Ketukan pintu terdengar dari luar, Dinar keluar dari pelukan suaminya dan bergegas membuka pintu, Nora berdiri di sana.
“Anak saya bagaimana?”
“Di-dia baik Tante, lukanya sudah saya obati dan tempel pakai plester.”
“Oke, thank you.”
Nora masuk ke dalam kamar dengan langkah elegannya, menghampiri putranya yang masih tiduran di atas tempat tidur. Sementara Dinar mengikuti dari belakang dan berhenti agak jauh dari tempat tidur suaminya.
“Am baik-baik saja, Ma.” Dirham memandang mamanya.
“Baguslah, Papa sangat marah sama kamu, jangan bicara dulu sama Papa. Tunggu sampai emosinya reda.”
“Iya, Am tidak menyangka ternyata akan terbongkar secepat ini.”
“Mama mau bicara empat mata sama kamu.”
“Di, istirahat saja di kamarmu.” Dirham berkata pada istrinya.
“Aku mau masak buat makan siang, kamu mau dimasakin apa?”
“Apa saja boleh, asal jangan batu sama kayu, itu memang aku tidak akan mak
Mengandung konten 21+, yang di bawah umur mundur teratur ya, happy reading😘😘 Dinar masih berdiri kaku di depan Nora, dia menunduk menyembunyikan butiran bening yang mulai jatuh di kedua pipinya. “Hei, kenapa ini?”Nora mengangkat wajah gadis di depannya, dia tersenyum ramah.“Maaf, bukan maksud Mama membuat kamu sedih. Ayo duduk sebentar.” Nora menarik lengan Dinar untuk duduk bersama di kursi meja makan.“Kamu menantu Mama, mana ada menantu yang memanggil ibu mertuanya dengan panggilan tante.”“Maksudnya?” Dinar masih tidak percaya dengan apa yang didengar.“Panggil Mama, jangan Tante lagi.” Seperti ada batu besar yang diangkat dari dadanya, Dinar lega mendengar perkataan Nora.“Kamu akan menjadi ibu dari cucuku, cucu pertama yang keluarga Assegaff idamkan. Jangan berpikir macam-macam, kami akan berusaha menerimamu sebagai ibu dari cucuku.” Nora tersenyum. ‘Ibu dari cucuku? Kenapa bukan istri
Mengandung konten 21+, silahkan skip bagi yang tidak berkenan. Dinar bergegas menuju kamar suaminya. Mendengar suara Dirham tadi membuat dia khawatir. Setelah sampai di dalam kamar dia melihat Dirham masih berbaring di atas tempat tidurnya.“Kunci pintunya.”“Kenapa? apa yang sakit?”“Tidak perlu tanya kenapa Di, kunci saja pintunya, aku tidak mau ada yang mengganggu momen kita.” Dinar lalu berbalik dan mengunci pintu kamar. Dia mendekati suaminya. Mata Dirham tajam menatap sang istri.“Kenapa? Apa lagi yang sakit?”“Dekat aku sini, berbaring di sebelahku, baru kau tahu.”Dinar makin mendekat. Dirham tersenyum merasa jeratnya mengena. Dia bergeser ke tengah tempat tidur memberi tempat untuk istrinya.Dinar pun mengikuti arahan suaminya dengan wajah heran. Tangan Dirham memeluk tubuh istrinya, dengan cepat kakinya menindih kaki Dinar. Menguncinya. Dia menyembamkan wajah di leher istrinya. Dinar terbeliak
Selesai saja membersihkan diri, Dirham mengajak Dinar untuk keluar dan bersiap mengantar ibunya ke pusat oleh-oleh di kawasan wisata tidak jauh dari rumah sewanya. Aldiano hanya tersenyum kecil melihat betapa posesifnya Dirham sekarang. Bahkan dia tidak diizinkan untuk pergi mengantar Dinar dan ibunya. Bukannya mereka pergi hanya berdua. ‘Cinta tapi tidak mengakui, dasar cowok hati batu!’ geram hati Aldiano dibuatnya, mengaku hanya butuh Dinar untuk mengandung anaknya tapi melarang ini itu. Di dalam mobil, Nora yang duduk di kursi belakang bersandar menikmati panorama senja sepanjang jalan dengan pemandangan pantai itu. “Mama dari tadi tunggu kamu untuk tahu jawaban bisa pergi nggak temani Mama, eh setelah masuk kamar malah nggak keluar lagi, Di.” Dinar gelagapan tidak tahu menjawab apa. Salah tingkah. Ini semua gara-gara Dirham yang tiba-tiba menahannya untuk keluar kamar. Dirham yang ny
“Tapi Pa, gimana dengan proyek di sini, bukankah perkiraan siap masih sebulan lagi?” “Jangan pikirkan proyek di sini, Papa percaya Al dan Dito bisa menghandle semuanya, hari ini ada projek manager bagian finishing yang akan datang di site.” “Kalau itu kemauan Papa, Am hanya bisa ikut.” “Jangan lupa perjanjian kita Am, setelah kamu menikah, kamu harus siap memegang jabatan sebagai CEO AAD Group.” Dirham mengangguk kemudian berdiri dan duduk di kursi depan Adam. Mulai fokus dengan ponselnya. **** Setelah melepas kepergian kedua orang tuanya di bandara Dirham segera pulang ke rumah. Dia tidak mengajak Dinar pergi ke bandara karena Dinar bilang mau istirahat, perutnya kram tadi pagi, Nora sudah banyak mengomeli putranya, mungkin aktivitas mereka kemarin sore yang mengakibatkan kram perut Dinar, Dirham sangat kuatir ada apa-apa dengan anaknya, dia berpesan sebelum pergi agar istrinya itu tidak keluar ruma
Acara televisi tidak menarik perhatian Dirham sama sekali, dia lebih tertarik dengan sosok gadis polos yang sekarang tengah berbaring mengiring membelakanginya. Tangan yang sudah melingkari perut istrinya itu mulai mengusap dengan lembut, membelai seolah meninabobokan anak yang ada dalam perut sang istri. “Tidurlah Di, nanti waktu makan siang baru bangun.” “Engh.. ” itu saja suara yang keluar dari bibir Dinar, dia seperti dibius dengan sentuhan suaminya, matanya perlahan terpejam, tapi segera terbuka lagi ketika merasakan ada sesuatu yang keras dan hangat menyentuh belakang punggungnya. Jantung Dinar seolah ingin melompat keluar, dia gugup. Tubuhnya menegang. Dap dup dap dup “Biarkan dia begitu, tidurlah lagi.” Dirham seolah mengerti gerak tubuh istrinya. Seakan paham dengan apa yang ada dalam pikiran Dinar. Tangannya terus membelai hingga akhirnya keduanya tertidur
“Kenapa harus berhenti kerja? nanti aku bosan kalau diem terus nggak ada aktifitas.” “Terima syarat ku, maka aku akan izinkan kamu datang di hari pertunangan temanmu. Jawab iya, Minggu depan kita pulang ke rumah Mama.” Dinar kaget, keputusan yang terlalu mendadak. Berhenti kerja? “Tapi, apa pendapat mas Tama nanti, ini mendadak banget.” “Aku tahu alasan yang sebenarnya kenapa kamu mau terus bekerja. Karena biaya hidup Ibuk dan Arfa kan?” Dinar mengangguk pelan. “Jangan dipikirkan, aku akan urus itu nanti. Yang penting penuhi kemauan ku sesuai perjanjian kita.” Lagi-lagi perjanjian, syarat dan apa lagi nanti. Dinar menahan perasaan. Dirham duduk di samping Dinar. Daster hamil yang dipakai Dinar terlihat begitu cocok sekali dengan warna kulitnya yang bersih. Sangat menawan meski hanya pakaian sederhana yang dikenakan. Ada kebahagiaan tersendiri saat dia dekat de
Dirham dan Dinar pergi ke rumah Riko untuk memberitahukan kalau dia akan resign dari pekerjaannya. Kebetulan hari ini Riko tidak ada jadwal di kampus. “Assalamualaikum.. ” kedua pasangan muda itu mengucap salam bersamaan, Nek Ijah yang sore itu sedang menyiram tanaman di halaman rumah tersenyum ramah melihat siapa yang datang. Dinar mencium tangan tua itu diikuti oleh suaminya. Mata Dinar terpaku pada rumah sebelah, rumah tempatnya berteduh untuk pertama kali di kota kecil ini. Di rumah itu dia selalu menghibur dirinya, berdoa meminta ada kebahagiaan setelah kesedihan, dia selalu yakin akan ada pelangi setelah hujan. Jalan hidup yang berliku telah membuatnya menjadi sosok perempuan tegar dan tidak takut menghadapi hari esok. “Waalaikumussalam nak, ayo masuk, kok malah bengong to?” Dirham ikut menoleh menatap wajah ayu istrinya yang sudah terlihat sedih, ada air jernih di sudut matanya.
Mengandung konten 21+ “Am.. mandiiih dulu sana.” kecupan-kecupan kecil di belakang telinga Dinar membuatnya menggeliat karena geli. Bulu kuduknya berdiri bersamaan dengan desiran gairah karena sedikit sentuhan di area belakang telinganya, juga usapan lembut di perut menjalar naik ke atas, Dirham terlalu pintar membuatnya haus akan sentuhan. “No bra? Why? Are you ready for me?” napas Dirham berat menampar belakang telinga istrinya. ‘Ish, aku salah memilih tadi, kenapa tidak pakai bra saja malam ini.’ Dinar memarahi dirinya sendiri. “Kalau tidur pakai bra sesak, Aaah.. ” satu desahan lolos dari bibir mungil Dinar yang merah alami ketika tangan suaminya sudah meremas dan mencubit serta menggosok puncak bukit kembarnya secara bergantian. Erangan Dinar seolah menginginkan sentuhan lebih lagi. “Minggu depan kita pulang ke Jakarta, kamu bisa bertemu dengan temanmu.” Dirham memutar tubuh istrinya, kini mereka berhadap