“Ngapain kalian di kamar berduaan?”
Adip dan Lila terperanjat ketika pintu di buka dari luar. Dengan santai Adip akhirnya menyerah, ia melepaskan cekalan tangannya dan beralih berbaring di samping Lila dengan tangan kanan ia gunakan sebagai bantalan. Bibirnya menyunggingkan senyum malas disertai decakan samar. Matanya terpejam, sepertinya Adip lebih kecewa karena gagal mencium Lila daripada ketahuan berduaan dengan Lila, oleh Galang.
Sementara Lila, gadis itu tampak panik. Ia beranjak lalu berlari ke arah Galang yang berdiri dengan wajah datar di tengah pintu, tetapi nafasnya memburu.
“Lang, aku sama Adip— Galang!” Galang melangkah cepat ke arah Adip yang tampak santai di tempat tidur. “Duh, gawat.”
Bugh
Galang langsung menimpa tubuh Adip dan menghajar Adip tanpa ampun. Kepalan tangannya menghujam wajah tampan Adip hingga Adip terkulai lemas.
“Galang! Udah, berhenti, Galang!”
Lila berusaha menarik tubuh Galang, tetapi Galang begitu kuat menghajar Adip yang tidak melawan sedikitpun.
“Sialan, lo! Sahabat macam apa nusuk dari belakang? Mati lo, Dip! Mati!”
Adip seperti tidak mempunyai tenaga melawan Galang, ia hanya menyilangkan kedua tangan di depan wajah sebagai perlindungan.
“Biadab lo, Dip!” nafas Galang memburu, tetapi ia belum mau berhenti sampai puas membuat Adip babak belur.
Bukanya Adip tidak mau melawan, tetapi Adip berpikir ia pantas mendapatkannya karena memang tindakanya menyukai pacar sahabat, tidak bisa dibenarkan.
Padahal jika Adip mau, dia bisa melumpuhkan Galang dengan sekali pukul karena tubuh Adip lebih besar daripada Galang.
“Galang, udah Galang! Nanti Adip mati!”
Lila mulai menangis menyaksikan Adip yang babak belur dan pasrah di bawah kungkungan Galang. Namun, Galang seperti kesetanan, dia kalap dan tidak bisa dihentikan hingga Lila terpental jatuh ke lantai akibat dorongan Galang.
Saking bingungnya, Lila berlari keluar kamar hendak mencari bantuan. Dia berdiri di di pembatas lantai satu dan dua dengan wajah panik, matanya berpendar mencari keberadaan teman-teman mereka yang ternyata sedang bermain PlayStation di ruang tengah.
“Indra! Tolong!... tolong! Galang mukulin Adip di kamar! Cepet tolong! bego! Malah pada plonga plongo!"
Lila kembali masuk ke dalam kamar lagi, diikuti beberapa teman Galang yang segera berlari ke lantai dua.
Mereka terperangah melihat adegan tersebut, kelima remaja itu langsung berlari dan naik ke atas ranjang, empat orang memegangi Galang sedangkan satu teman mereka bersama Lila memeriksa keadaan Adip yang pingsan dengan berlumuran darah.
“Lepasin gue, sialan! Biar gue matiin penghianat itu! Bangs*t! Aarrrgghhh!”
Mereka berempat menyeret Galang keluar dari kamar agar situasi tidak semakin buruk.
“Dip, hiks hiks, sadar, Dip.” gumam Lila sembari menangis, ia mengusap sudut bibir Adip, mengangkat kepala cowok itu ke pangkuannya.
“La, kayaknya Adip pingsan!” Lila berdecak kesal mendengar ucapan indra yang terkesan bodoh. Sudah lihat Adip pingsan kenapa masih menebak?
“Dip, bangun.” Lila menepuk-nepuk pipi Adip pelan, tetapi cowok itu tidak mau membuka matanya. Darah yang mengalir dari hidung serta mulut Adip, Lila elap dengan ujung baju seragam putihnya.
“Dip, bangun, jangan bikin aku khawatir,” Lila terisak, tanganya terulur menggenggam tangan Adip yang dingin. Ibu jarinya ia tempelkan ke pergelangan tangan Adip, ia bernafas lega kala masih merasakan denyut nadi Adip.
Indra terperangah menyaksikan adegan konyol itu, ia menggelengkan kepala dengan mulut terbuka. Memanglah makhluk seperti Lila ini terkesan di luar nalar. Mana ada orang dipukuli sedikit jadi mati, pikir Indra.
“Kamu pikir Adip mati, la?” tanya Adip heran.
“Ck, diem! Bantu sadarin Adip, aku takut dia kenapa-kenapa!”
“La, bawa ke rumah sakit aja,” usul Indra, Lila tampak berpikir.
“Tapi nanti orang tua Adip tau gimana? Nanti Adip tambah dipukuli lagi karena ketahuan berantem.” jawab Lila.
Indra tampak menghela nafas berat, Lila serta teman-teman Adip lainnya paham betul bagaimana perlakuan orang tua Adip yang terkesan otoriter.
Bukannya membela, mereka justru tidak akan segan-segan menghajar Adip habis-habisan jika diberi tahu bahwa Adip babak belur dipukuli oleh Galang.
“Jadi gimana?” tanya indra bingung.
“Cari p3k, biar aku yang obatin.” Perintah Lila sambil sibuk mengelap wajah Adip. Cowok itu tidak mau bangun meski Lila menekan lukanya sedikit dalam.
Akan tetapi, tanpa Lila tahu, sebenarnya Adip pura-pura pingsan, dia sesekali mengintip lewat matanya yang menyipit. Dan tersenyum dalam hati melihat kekhawatiran Lila padanya.
Di lantai satu ….
Mereka mendudukkan Galang di sofa ruang tamu, Galang terus memberontak, tetapi mereka berempat memegangi Galang lebih kuat.
“Lepasin! Mana Lila! Biar gue hajar juga dia! Ha?!”
“Lang udah, Lang, lo bisa bunuh Adip!”
“Gue nggak peduli, dia udah nusuk gue dari belakang!”
“Lang, tenang!”
“Iya, Lang, Lo tenang dulu, kita bisa bicarain baik-baik!”
Mereka berempat kewalahan karena tenaga Galang sangat kuat. Saking tidak sabarnya, salah satu teman Galang—Bara, memukul wajah Galang dengan sekuat tenaga agar Galang diam.
Bugh
“Bisa diem nggak lo? Ha?” Dada Bara naik turun setelah melayangkan pukulan tepat di pipi sebelah kiri Galang, suasana menjadi hening seketika, tetapi baiknya Galang akhirnya bisa diam.
“Bar, sabar. Jangan sampai jadi elo yang berantem sama Galang,” ujar Danu. Bara menoleh sekilas ke arah Danu, lalu matanya kembali menatap Galang yang mengusap pipi bekas pukulan Bara.
Galang memainkan lidahnya di pipi sebelah kiri yang sedikit nyeri dan terasa anyir, boleh juga ternyata tinju Bara, sampai bisa merobek bibir bagian dalam Galang.
“Sorry, Lang, gue lepas kontrol,” ucap Bara menghempaskan tubuhnya ke sofa. Lengannya ia gunakan untuk menutup wajahnya karena malu dan merasa bersalah sudah memukul Galang tadi.
“Cuih,” Galang meludah ke arah samping karena rasa anyir darah di mulut membuat Galang semakin kesal. “Panggil mereka berdua ke sini.”
“Sebenarnya ada apa, Lang? Kenapa Lo pukulin Adip sampai babak belur gitu, Lo hampir bikin Adip mati tau nggak?” ucap Bara mencoba mengalihkan pembicaraan. Ketiga teman mereka pun ikut mengangguk penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua. Eh, bertiga dengan Lila.
Akan tetapi, Galang tidak menghiraukan pertanyaan Bara, dia menatap temannya satu-persatu dengan mata elangnya.
“Kalian mau panggil, atau gue panggil sendiri si pengkhianat itu?” desis Galang muak.
“Bar, panggil!” perintah Danu yng sudah takut dengan wajah menyeramkan Galang ketika marah.
Bara berdecak, tetapi matanya tetap terpejam. “Kenapa nggak lo aja?”
“Elo kan—”
“Lama!” Galang berdiri lalu melangkah ke arah tangga, karena tidak sabaran, ia sedikit berlari menaiki tangga untuk cepat sampai ke lantai 2.
“Woy, Lang, mau ke mana lo?”
Mereka bertiga mengikuti langkah cepat Galang ke lantai dua, tetapi ketika sampai di tangga, Danu berbalik arah saat merasa Bara tidak mengikutinya.
“Woy, cepet! Lo mau ada huru-hara lagi?”
Bara berdecak kesal, sebenarnya dia malas mengikuti Galang karena bara sudah lebih dulu tahu hal ini akan terjadi. Semua ini gara-gara Adip yang tidak mau menyerah meski Lila sudah menjadi kekasih Galang.
Dengan langkah gontai, akhirnya Bara ikut mengejar Galang yang mungkin sudah kembali menghajar Adip.
****
Di kamar Galang …
Mereka bertujuh duduk di kamar dengan suasana yang menyesakkan. Lila duduk di tempat tidur tepat di samping Galang, dengan tangan yang terus digenggam erat oleh Galang. Dan Adip duduk di sofa besar kamar Galang.
Di kanan dan kiri Adip, ada Bara dan Indra yang memegang pundaknya. Serta teman-teman yang lain duduk di karpet.
“Jadi selama ini Lo suka sama cewek gue, Dip?”
Flashback Beberapa saat yang lalu …“Adip, ini nggak bener, Dip, kalau Galang liat gimana?” Lila terperanjat ketika lengan kekar seseorang tiba-tiba melingkar di perutnya. Dan ternyata itu Adip, sahabat pacar Lila—Galang. Namun, Adip tidak menghiraukan ucapan lila, tidak menjawab hanya menghembuskan nafas hangat yang menyapu pori-pori kulit Lila.“Dip, udah, ini rumah Galang!” Lila menyingkirkan tangan Adip yang mengunci pergerakannya, tetapi Adip malah mengeratkan pelukannya.“Biarin gini dulu, lima menit, aku janji abis itu aku pergi.” pinta Adip, suaranya serak di belakang leher Lila, hembusan nafas Adip yang hangat membangkitkan gelenyar aneh dalam perut Lila.Ya, Rengga Adipura atau sering Lila panggil Adip sebagai panggilan akrab, adalah sahabat dari pacar Lila, Galang Axelio.Remaja berusia delapan belas tahun yang masih duduk di bangku sekolah menengah itu sering kali mendekati Lila diam-diam, meski tahu bahwa Lila adalah pacar sahabatnya, tetapi Adip tidak perduli, ia hanya
"jadi selama ini Lo suka sama cewek gue, Dip?" tanya Galang dengan rahang mengeras.Adip meliriknya malas pada Galang, “Iy—”“Enggak …” sergah Lila menyela ucapan Adip, ia memegang lengan Galang dengan wajah panik, takut jika Adip akan berterus terang tentang perasaanya sekarang, “iya kan, Dip? Kamu nggak suka sama aku, kan. Tadi itu cuma salah paham kan, Dip.”“Aku—”“Adip kira tadi nggak ada aku di sini, jadi Adip mau tiduran, ehhh ternyata aku juga tidur di sini juga. Iya kan, Dip?” cerocos Lila menatap Adip meminta persetujuan. “Mana ada nggak sengaja sampai tindihan gitu, dianya aja yang kegatelan. Sini lo, gue abisin lo, ya.”“Galang! Udah jangan! Jangan berantem lagi aku takut!” Lila memeluk tubuh Galang yang akan kembali menerjang Adip. Dua teman Adip reflek pasang badan melindungi cowok itu, sementara Adip berlaku santai seperti tidak takut jika kembali dipukuli oleh Galang.“Woy, Lang, sabar dong! Jangan main hakim sendiri!” cecar indra sembari mengusap dadanya.Seketika Ga
“A-apa? Menikah?” Ayah sampai gugup mendengar ucapan konyol Adip.Semua orang terperangah mendengar ucapan Adip, apa anak itu sudah gila? Dirinya saja masih hidup menumpang orang tuanya, omong kosong macam apa ini?“Maksud kamu apa, Dip? Jangan bercanda kamu! Kamu menghamili anak orang? Ha?!” timpal ibunya. Adip memejamkan matanya frustasi, nafasnya masih terengah-engah di bawah kaki ayahnya. “Adip, bicara yang benar!” desis sang ayah.“Aku … aku mau menikah, sama Lila karena—”“Apa?! Kamu menghamili pacar temenmu sendiri! Memang anak kurang ajar kamu!”BughAyah menendang perut Adip sebelum cowok itu menyelesaikan ucapannya hingga Adip terkulai lemah ke lantai. Memang selalu seperti itu, mereka tidak mau mendengarkan penjelasan Adip terlebih dahulu. Memukul adalah cara ayah mendidik anak sejak kecil. Lebih tepatnya mendidik Adip karena kakak Adip adalah sosok anak yang penurut.“Sebagai hukumannya, kamu dilarang ke luar rumah sampai besok!” ucap ayah dengan nafas memburu, ia berali
“Dip, tadi kamu masuk nggak ada yang lihat, kan?” tanya Lila mulai panik, suara orang-orang di depan semakin riuh meneriaki Lila untuk membuka pintu. “Mbak kita tau di dalam ada laki-laki yang menginap!” Brak brak brak“Dip, gimana?”“A-aku ngumpet di kamar mandi, kamu buka pintu, oke? Jangan panik, usahakan kamu bisa alihin perhatian mereka, hm.” “Tapi aku takut kalau nanti—”Adip menempelkan telunjuknya ke bibir Lila, “Jangan takut, kamu yang tenang, oke?”Lila mengangguk paham, lalu Adip beranjak lalu berjalan tergesa-gesa ke arah kamar mandi.Brak brak brak“Iya sebentar!” teriak Lila memastikan Adip masuk ke dalam kamar mandi.Setelah Adip tidak terlihat, giliran Lila yang berlari ke arah pintu masuk. Ia menggenggam erat pegangan pintu, mengambil nafas dalam-dalam lalu memutar kuncinya.Ceklek Baru saja pintu dibuka, empat orang dewasa dan ibu kost langsung nyelonong masuk ke dalam kamar Lila. Mencari-cari seseorang yang tadi membuat bapak-bapak yang sedang ronda curiga.“Man
“Saya tidak setuju! Apa-apaan kalian? Anak saya ini masih di bawah umur!”Suara ibu Lila bergema di ruangan itu, tangan kirinya menggebrak meja hingga cangkir bekas minum mereka bergetar. Membuat setiap pasang mata di sana tertuju padanya. “Bu, tenang dulu sebentar,” tegur pak RT.“Tenang-tenang, omong kosong bapak ini sudah keterlaluan!” Ia berdiri dengan wajah memerah, tatapannya tajam menusuk langsung ke arah Pak RT. Sementara telunjuknya lurus mengarah ke wajah Pak RT tanpa sedikit pun menyembunyikan kemarahannya. Pak RT menelan ludah, tetapi tidak gentar.“Bu, ini sudah aturan kami. Mereka tertangkap basah di satu kamar!” katanya, mencoba menahan tekanan emosi yang membuncah dalam suaranya.Ibu Lila mendengus tak percaya, melayangkan pandangannya ke arah seluruh warga yang mengangguk-angguk, seolah mendukung pernyataan Pak RT tanpa berpikir dua kali. “Kalian bahkan tidak melihat apa yang mereka lakukan! Siapa yang bisa pastikan mereka berbuat yang tidak-tidak?” katanya sinis.P
“Sebenarnya gue sengaja menyelinap ke kamar kos Lila, karena gue biar dinikahin sama dia, jadi ini semua salah paham,” kata Adip.“Nah, dengar sendiri, kan? Saya yakin kalian semua masih cukup muda untuk tuli!” timpal ibu Lila.Semua orang terperangah, termasuk pak RT yang wajahnya sudah memerah karena kesal merasa dijadikan umpan oleh para warga. Bisik-bisik mulai terdengar riuh di telinga, para warga beralih topik pembicaraan, mereka menyuarakan keheranan sekaligus cibiran.Lila yang sejak tadi tertekan, kini mengangkat wajahnya. Matanya yang basah menatap Adip dan berkata, “Dip, makasih.” Adip menatap Lila sebentar lalu mengangguk lirih. Netranya beralih pandang pada kedua orang tuanya yang sudah siap menerkam. Pak damar menggenggam kursi erat, rahangnya pun mengeras."Anak itu... awan nanti kamu di rumah!” ucap pak Damar dalam hati.“Ehem, baik, karena tersangka sudah mengakui perbuatannya, maka saya pikir keputusan saya tadi salah,” ujar pak RT penuh rasa sesal.“Tentu sja sala
Adip memejamkan mata saat vas bunga yang Damar layangkan tepat mengenai pelipisnya. Darah segar mengalir, tetapi Adip tidak bergeming sedikitpun. Hatinya jauh lebih sakit dibanding hanya tergores pecahan beling.“Semakin lama, kamu semakin tidak punya sopan santun sama orang tua!” Terengah-engah Damar kembali memaki Adip. Tangannya memegangi dada yang tiba-tiba nyeri.Sebagai ibu, melihat Adip yang berlumuran darah, hati Rahayu sedikit tergerak untuk memeluk putranya, tetapi egonya masih lebih tinggi dari rasa kasihan. Jadi, dia hanya berakhir menatap putranya tanpa melakukan apapun.“S-sudah Ayah, jangan emosi lagi, duduk dulu, duduk, tarik nafas—buang?” ujar Rahayu menuntun suaminya untuk kembali duduk.Adip menyeka darah yang mulai menetes di pipinya, gerakannya pelan tanpa emosi. Tatapannya kosong, tertuju pada tangannya yang berlumuran merah. “Bagus,” katanya, suaranya datar nyaris tanpa tekanan. “Seperti inilah yang kalian ajarkan, selalu pakai kekerasan. Itu sebabnya gue jadi
“Woy! Siapa lo?”Adip membelalak bukan main ketika seorang gadis tiba-tiba muncul di rumah pohonnya. Terlebih, gadis itu memakai hoodie hitam yang menutupi kepala, sudah seperti malaikat pencabut nyawa.“Heh, memangnya aku hantu? Cewek cantik gini,” gerutunya kesal, tangannya membuka penutup kepala yang dia pakai. Barulah Adip menghela nafas lega.Adip menyipit kala sperti mengenal gadis tersebut, “Salma? Elo Salma, kan? 11 IPS 2!” tanya Adip agak ragu-ragu.Gadis itu menoleh cepat dan mengangguk dengan semangat, matanya berbinar, senyum bangga merekah di wajahnya.“Adip tahu namaku?” gumam Salma, pipinya merona. Ia menyelipkan sehelai rambut basah di balik telinganya dengan gerakan gugup.“Kan kita sekelas, masa lo nggak tau? Tiap hari juga kita ketemu!” kata Adip datar membuat Salma semakin tersipu. Dia tak menyangka ternyata Adip menyadari keberadaannya di antara sekian banyak murid di dalam kelas mereka.“Dih, si aneh. Kenapa jadi senyum-senyum dah?” tanya Adip masih dengan nada da
Motor itu meluncur ke tepi jalan dan menghantam semak-semak sebelum akhirnya terguling dengan keras. Suara benturan terdengar nyaring, membuat beberapa warga yang kebetulan berada di sekitar area itu segera berlari ke lokasi kejadian. Lila terkapar tak bergerak di tanah, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir dari pelipisnya. Napasnya lemah, hampir tak terdengar. Dia pun tak bisa melihat langit dengan jelas sebab pandangannya kabur.Sementara Salma terbaring beberapa meter darinya, hanya dengan beberapa luka gores di lengan dan kakinya. Ia meringis kesakitan, tapi kesadarannya tetap penuh. “Cepat, angkat mereka ke mobil! Kita bawa ke rumah sakit!” teriak seorang pria paruh baya yang segera mengkoordinasi warga untuk membantu. Dalam waktu singkat, Lila dan Salma dibawa ke rumah sakit terdekat. Sirene ambulans meraung di udara, menyuarakan urgensi situasi. Salma duduk diam di atas tandu, tangannya yang terluka diikat perban seadanya. Sesekali, matanya melirik ke arah Lila yang t
Adip diikuti Lila sama-sama menoleh ke arah suara itu. Galang berdiri beberapa meter dari mereka dengan tatapan membara, napasnya memburu seperti baru saja berlari dikejar anjing.“Galang?” ucap kedua remaja itu bersamaan.“Lo nggak paham bahasa manusia, ya, Dip? Gue bilang jauhin Lila!” bentak Galang, langkahnya semakin mendekat.“Lo juga, La! Jadi cewek murahan banget. Bisa-bisanya Lo mau di ewe gratisan! Najis!”“Jaga, ya, mulut Lo!” Gertak Lila. Namun Galang hanya mendengus sinis, menatap Lila dengan pandangan jijik.“Sahabat macam apa Lo, Dip? Lo nusuk gue dari belakang tau nggak!”Adip yang dari tadi masih diam, mulai bangkit dari tempat duduknya, menatap Galang dengan senyum miring penuh ejekan. “Kenapa? Kalian mantan, jadi nggak ada alasan buat gue deketin Lila.”“Lo pikir ini lucu, hah? Video mesum kalian kesebar, lo bikin hidup Lila berantakan. Nggak tau malu emang ya lo?” Galang tak menunggu jawaban. Dia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Adip.Adip terhuyung ke belakan
Hari berikutnya, Lila berusaha menjalani rutinitas seperti biasa meski hatinya masih berat. Galang? Tentu saja cowok itu masih mengejarnya, tapi Lila mengabaikan segala perkataan Galang yang terus meminta dirinya untuk kembali.Dengan wajah yang sengaja ditampilkan setenang mungkin, dia melangkah masuk ke sekolah. Namun, begitu melewati gerbang, bisik-bisik dan tatapan aneh langsung menyergapnya. “Eh, itu Lila kan?” “Iya, yang ada di video itu, kan?” "Iyyuuuh, jijik banget nggak sih? anak bikin anak!"“Parah banget sih... pantes Adip sama Galang tengkar, ternyata ini toh penyebabnya? Di rumah pohon lagi.” Lila menghentikan langkahnya, bingung dengan gumaman murid-murid yang semakin jelas mengarah padanya. Tatapan mereka membuat tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya panik. Dia mencoba mengabaikan semua itu dan terus berjalan ke kelas. Tapi suasana yang lebih buruk menantinya di sana. Begitu masuk, semua mata tertuju padanya.
“A-apa?” Galang perlahan melonggarkan cekalan tangannya, lalu mengalihkan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari tatapan Lila yang kini juga telah beranjak duduk tepat di hadapannya. Senyap menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Lila menatap Galang dengan sorot mata yang sulit ditebak. Penasaran, kepastian dan sesuatu yang lain yang tak terdefinisi. “Galang...” Lila menggenggam lembut tangan Galang. “Apa benar... kamu pernah suka sama Adip—bukan... bukan suka sebagai sahabat. Tapi... dalam arti yang lain.” Kata-kata itu menggantung di udara, mulut Lila seakan tak mau mengatakan hal keji tersebut. Galang menaikkan sebelah alisnya, cowok itu malah terkekeh sinis, membuat Lila bingung dibuatnya. Namun dalam hati dia berkata, “Sialan Adip. Ternyata dia ngadu sama Lila.” “Kamu percaya aku kek gitu?” tanya Galang, cowok itu menatap Lila dengan intens. Lila menunduk dengan bibir terkatup rapat. Sebetulnya Lila ingin tak percaya, tapi
Pagi harinya saat mentari belum terlalu tinggi Adip mengerjap. Dia mengusap matanya, menghilangkan sisa kantuk yang melanda. Namun, saat matanya terbuka dia tidak menemukan Lila di mana pun.“Lila!” Tidak ada jawaban, bergegas Adip mencari keberadaan Lila di sekitar, tapi tetap tidak menemukan gadis itu.“Kemana dia?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.Sementara itu, di tempat lain, Lila yang sedang dicari-cari oleh Adip ternyata berada di rumah Galang. Ia sedang sibuk membereskan barang-barangnya yang tersisa di sana. Wajahnya terlihat datar, meskipun ada kilatan emosi yang sulit ditebak di matanya. Galang, yang berdiri di sudut ruangan, hanya mengamati tanpa berkata apa-apa. Suasana di antara mereka sangat canggung. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi terhalang oleh sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. “Lila.” Galang mendekat dan menahan gerakan tangan Lila yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Kita perlu bicara, jangan kayak gini.”Lila be
“Enggak! Apa-apaan, nih? Kamu kira kostku tempat penampungan!” seru Salma. “Sal, tolong lah, malam ini aja, besok nggak lagi, kok!” Adip memohon. “Dip, kamu gila ya? Mana mungkin Salma mau kalau sama aku?” bisik Lila yang berdiri canggung di sampingnya. Terlebih, Salma menatapnya tidak bersahabat. “Sal, plis.” Adip meraih tangan Salma dan menggenggamnya, wajahnya memelas hingga membuat Salma hampir goyah, tapi gadis itu lekas menggelengkan kepala. Ya, dengan tidak tahu malu Adip meminta Salma menampung Lila untuk sementara waktu. Dan tentu saja Salma menolak mentah-mentah permintaan tersebut. Lagi pula, apa yang Adip harapkan dari reaksi Salma? Menerima mereka berdua? Tidak mungkin! “Nggak bisa! Kalau kamu doang boleh, tapi kalau sama dia aku nggak izinin!” putus Salma. Mendengar itu Lila mendecih sinis. “Orang gila. Kalau gue doang mah nggak bakal gue ngemis-ngemis ke elo!” kata Adip. Salma menatap Adip dengan tatapan terluka. Bagaimana mungkin cowok ini dengan entengn
Dahi Lila berkerut dalam, “Gay? Apa aku nggak salah denger? M-maksud kamu apa, Dip? Jangan becanda kamu, ya!”Lila menunjuk wajah Adip dan menatapnya menuntut.Sementara Adip memalingkan wajah dengan mata terpejam frustasi sebab telah keceplosan dan membongkar rahasia tentang Galang yang selama ini dia simpan rapat-rapat. “Mampus! Bisa-bisanya gue keceplosan! Mulut sialan!” umpatnya dalam hati. “Dip,” Lila menarik kaos yang Adip pakai memaksa cowok itu menghadap ke arahnya. “Jelasin sama aku kenapa kamu bilang Galang gay!”Adip meringis tak enak, “Aku becanda, kok,” katanya berkilah.“Nggak mungkin!” seru Lila. “Kamu pasti bohong, kan? Kamu sahabat Galang sejak dulu! Mana mungkin kamu cuma becanda!”Adip kembali merutuk dalam hati, bimbang pula antara harus jujur atau kembali menyimpan rapat rahasia kelam itu. Namun, setan di telinga kirinya berbisik untuk mengatakan yang sejujurnya, jadi cowok itu menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata, “Kamu gak salah denger, Galang memang dulu
Adip menghentikan langkahnya, untuk sejenak dia terpaku di ambang pintu. Dia memejamkan mata untuk meredam amarah yang membuncah. “Lila, ayo!” ucapnya tanpa menoleh ke arah kedua orang tuanya. “Adip… Nggak usah,” Lila memandangnya ragu, gadis itu menggeleng tapi tidak mampu berkata tidak sebab wajah Adip tampak tak bersahabat. Terpaksa dia menyetujui dan mengikuti langkah Adip keluar dari rumah yang kini terasa seperti neraka bagi Adip. “Adip! Kembali! Beraninya kamu—” Damar menahan tangan istrinya ketika Rahayu akan mengejar kepergian Adip. “Buk! Sudah! Nggak usah dikejar! Biarkan dia merasakan bagaimana hidup tanpa campur tangan orang tua!” “Tapi, Yah, Adip—” “Ayah bilang nggak usah ya nggak usah! Kita lihat saja nanti, seberapa lama dia bisa bertahan tanpa uang dari ayah! Paling juga besok pagi balik!” Rahayu hanya bisa menghela nafas panjang menanggapinya. Memang betul apa yang Damar katakan, sudah berulang kali Adip bertingkah seperti itu. Tapi ujung-ujungnya juga t
Adip memandang Lila yang masih menangis dalam pelukannya. Hujan tak mau berhenti mengguyur tanah, menyamarkan tangis dan luka hati gadis remaja itu. Bahkan, Lila tak mau di ajak pindah untuk mencari tempat berteduh. Jadi, terpaksa Adip ikut berdiri bersamanya sambil memayungi kepala Lila dengan kedua tangan.“Gimana kalau kita hujan-hujanan sambil naik motor?” ujar Adip. Lila mengangkat pandangannya dengan dahi berkerut dalam.“Kamu pulang dulu aja, Dip,” Lila kembali menunduk, “Aku masih mau di sini.”Adip menggeleng, “Ayo! Ikut!” Adip menarik paksa lengan Lila, dan menuntunnya menaiki motor. Lila menurut meski sedikit enggan. “Hujan-hujanan sambil naik motor lebih asik. Percaya sama aku!” kata Adip. Lila mendengus, cowok itu memang selalu punya cara untuk membuatnya menghilangkan rasa gundah.Sepanjang jalan yang sepi, motor mereka melaju pelan di bawah langit kelabu yang semakin petang. Kabut dingin menyelimuti, menyentuh kulit mereka berdua dengan lembut. Sementara Adip fokus men