Hay readers, maaf karena cerita ini monoton😭 aku baru belajar, jadi harap di maklumi yaw😘 thankyou 🙏🏻 Ayayu♥️
Adip menghentikan langkahnya, untuk sejenak dia terpaku di ambang pintu. Dia memejamkan mata untuk meredam amarah yang membuncah. “Lila, ayo!” ucapnya tanpa menoleh ke arah kedua orang tuanya. “Adip… Nggak usah,” Lila memandangnya ragu, gadis itu menggeleng tapi tidak mampu berkata tidak sebab wajah Adip tampak tak bersahabat. Terpaksa dia menyetujui dan mengikuti langkah Adip keluar dari rumah yang kini terasa seperti neraka bagi Adip. “Adip! Kembali! Beraninya kamu—” Damar menahan tangan istrinya ketika Rahayu akan mengejar kepergian Adip. “Buk! Sudah! Nggak usah dikejar! Biarkan dia merasakan bagaimana hidup tanpa campur tangan orang tua!” “Tapi, Yah, Adip—” “Ayah bilang nggak usah ya nggak usah! Kita lihat saja nanti, seberapa lama dia bisa bertahan tanpa uang dari ayah! Paling juga besok pagi balik!” Rahayu hanya bisa menghela nafas panjang menanggapinya. Memang betul apa yang Damar katakan, sudah berulang kali Adip bertingkah seperti itu. Tapi ujung-ujungnya juga t
Dahi Lila berkerut dalam, “Gay? Apa aku nggak salah denger? M-maksud kamu apa, Dip? Jangan becanda kamu, ya!”Lila menunjuk wajah Adip dan menatapnya menuntut.Sementara Adip memalingkan wajah dengan mata terpejam frustasi sebab telah keceplosan dan membongkar rahasia tentang Galang yang selama ini dia simpan rapat-rapat. “Mampus! Bisa-bisanya gue keceplosan! Mulut sialan!” umpatnya dalam hati. “Dip,” Lila menarik kaos yang Adip pakai memaksa cowok itu menghadap ke arahnya. “Jelasin sama aku kenapa kamu bilang Galang gay!”Adip meringis tak enak, “Aku becanda, kok,” katanya berkilah.“Nggak mungkin!” seru Lila. “Kamu pasti bohong, kan? Kamu sahabat Galang sejak dulu! Mana mungkin kamu cuma becanda!”Adip kembali merutuk dalam hati, bimbang pula antara harus jujur atau kembali menyimpan rapat rahasia kelam itu. Namun, setan di telinga kirinya berbisik untuk mengatakan yang sejujurnya, jadi cowok itu menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata, “Kamu gak salah denger, Galang memang dulu
“Enggak! Apa-apaan, nih? Kamu kira kostku tempat penampungan!” seru Salma. “Sal, tolong lah, malam ini aja, besok nggak lagi, kok!” Adip memohon. “Dip, kamu gila ya? Mana mungkin Salma mau kalau sama aku?” bisik Lila yang berdiri canggung di sampingnya. Terlebih, Salma menatapnya tidak bersahabat. “Sal, plis.” Adip meraih tangan Salma dan menggenggamnya, wajahnya memelas hingga membuat Salma hampir goyah, tapi gadis itu lekas menggelengkan kepala. Ya, dengan tidak tahu malu Adip meminta Salma menampung Lila untuk sementara waktu. Dan tentu saja Salma menolak mentah-mentah permintaan tersebut. Lagi pula, apa yang Adip harapkan dari reaksi Salma? Menerima mereka berdua? Tidak mungkin! “Nggak bisa! Kalau kamu doang boleh, tapi kalau sama dia aku nggak izinin!” putus Salma. Mendengar itu Lila mendecih sinis. “Orang gila. Kalau gue doang mah nggak bakal gue ngemis-ngemis ke elo!” kata Adip. Salma menatap Adip dengan tatapan terluka. Bagaimana mungkin cowok ini dengan entengn
Pagi harinya saat mentari belum terlalu tinggi Adip mengerjap. Dia mengusap matanya, menghilangkan sisa kantuk yang melanda. Namun, saat matanya terbuka dia tidak menemukan Lila di mana pun.“Lila!” Tidak ada jawaban, bergegas Adip mencari keberadaan Lila di sekitar, tapi tetap tidak menemukan gadis itu.“Kemana dia?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.Sementara itu, di tempat lain, Lila yang sedang dicari-cari oleh Adip ternyata berada di rumah Galang. Ia sedang sibuk membereskan barang-barangnya yang tersisa di sana. Wajahnya terlihat datar, meskipun ada kilatan emosi yang sulit ditebak di matanya. Galang, yang berdiri di sudut ruangan, hanya mengamati tanpa berkata apa-apa. Suasana di antara mereka sangat canggung. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi terhalang oleh sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. “Lila.” Galang mendekat dan menahan gerakan tangan Lila yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Kita perlu bicara, jangan kayak gini.”Lila be
“A-apa?” Galang perlahan melonggarkan cekalan tangannya, lalu mengalihkan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari tatapan Lila yang kini juga telah beranjak duduk tepat di hadapannya. Senyap menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Lila menatap Galang dengan sorot mata yang sulit ditebak. Penasaran, kepastian dan sesuatu yang lain yang tak terdefinisi. “Galang...” Lila menggenggam lembut tangan Galang. “Apa benar... kamu pernah suka sama Adip—bukan... bukan suka sebagai sahabat. Tapi... dalam arti yang lain.” Kata-kata itu menggantung di udara, mulut Lila seakan tak mau mengatakan hal keji tersebut. Galang menaikkan sebelah alisnya, cowok itu malah terkekeh sinis, membuat Lila bingung dibuatnya. Namun dalam hati dia berkata, “Sialan Adip. Ternyata dia ngadu sama Lila.” “Kamu percaya aku kek gitu?” tanya Galang, cowok itu menatap Lila dengan intens. Lila menunduk dengan bibir terkatup rapat. Sebetulnya Lila ingin tak percaya, tapi
Hari berikutnya, Lila berusaha menjalani rutinitas seperti biasa meski hatinya masih berat. Galang? Tentu saja cowok itu masih mengejarnya, tapi Lila mengabaikan segala perkataan Galang yang terus meminta dirinya untuk kembali.Dengan wajah yang sengaja ditampilkan setenang mungkin, dia melangkah masuk ke sekolah. Namun, begitu melewati gerbang, bisik-bisik dan tatapan aneh langsung menyergapnya. “Eh, itu Lila kan?” “Iya, yang ada di video itu, kan?” "Iyyuuuh, jijik banget nggak sih? anak bikin anak!"“Parah banget sih... pantes Adip sama Galang tengkar, ternyata ini toh penyebabnya? Di rumah pohon lagi.” Lila menghentikan langkahnya, bingung dengan gumaman murid-murid yang semakin jelas mengarah padanya. Tatapan mereka membuat tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya panik. Dia mencoba mengabaikan semua itu dan terus berjalan ke kelas. Tapi suasana yang lebih buruk menantinya di sana. Begitu masuk, semua mata tertuju padanya.
Adip diikuti Lila sama-sama menoleh ke arah suara itu. Galang berdiri beberapa meter dari mereka dengan tatapan membara, napasnya memburu seperti baru saja berlari dikejar anjing.“Galang?” ucap kedua remaja itu bersamaan.“Lo nggak paham bahasa manusia, ya, Dip? Gue bilang jauhin Lila!” bentak Galang, langkahnya semakin mendekat.“Lo juga, La! Jadi cewek murahan banget. Bisa-bisanya Lo mau di ewe gratisan! Najis!”“Jaga, ya, mulut Lo!” Gertak Lila. Namun Galang hanya mendengus sinis, menatap Lila dengan pandangan jijik.“Sahabat macam apa Lo, Dip? Lo nusuk gue dari belakang tau nggak!”Adip yang dari tadi masih diam, mulai bangkit dari tempat duduknya, menatap Galang dengan senyum miring penuh ejekan. “Kenapa? Kalian mantan, jadi nggak ada alasan buat gue deketin Lila.”“Lo pikir ini lucu, hah? Video mesum kalian kesebar, lo bikin hidup Lila berantakan. Nggak tau malu emang ya lo?” Galang tak menunggu jawaban. Dia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Adip.Adip terhuyung ke belakan
Motor itu meluncur ke tepi jalan dan menghantam semak-semak sebelum akhirnya terguling dengan keras. Suara benturan terdengar nyaring, membuat beberapa warga yang kebetulan berada di sekitar area itu segera berlari ke lokasi kejadian. Lila terkapar tak bergerak di tanah, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir dari pelipisnya. Napasnya lemah, hampir tak terdengar. Dia pun tak bisa melihat langit dengan jelas sebab pandangannya kabur.Sementara Salma terbaring beberapa meter darinya, hanya dengan beberapa luka gores di lengan dan kakinya. Ia meringis kesakitan, tapi kesadarannya tetap penuh. “Cepat, angkat mereka ke mobil! Kita bawa ke rumah sakit!” teriak seorang pria paruh baya yang segera mengkoordinasi warga untuk membantu. Dalam waktu singkat, Lila dan Salma dibawa ke rumah sakit terdekat. Sirene ambulans meraung di udara, menyuarakan urgensi situasi. Salma duduk diam di atas tandu, tangannya yang terluka diikat perban seadanya. Sesekali, matanya melirik ke arah Lila yang t
Motor itu meluncur ke tepi jalan dan menghantam semak-semak sebelum akhirnya terguling dengan keras. Suara benturan terdengar nyaring, membuat beberapa warga yang kebetulan berada di sekitar area itu segera berlari ke lokasi kejadian. Lila terkapar tak bergerak di tanah, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir dari pelipisnya. Napasnya lemah, hampir tak terdengar. Dia pun tak bisa melihat langit dengan jelas sebab pandangannya kabur.Sementara Salma terbaring beberapa meter darinya, hanya dengan beberapa luka gores di lengan dan kakinya. Ia meringis kesakitan, tapi kesadarannya tetap penuh. “Cepat, angkat mereka ke mobil! Kita bawa ke rumah sakit!” teriak seorang pria paruh baya yang segera mengkoordinasi warga untuk membantu. Dalam waktu singkat, Lila dan Salma dibawa ke rumah sakit terdekat. Sirene ambulans meraung di udara, menyuarakan urgensi situasi. Salma duduk diam di atas tandu, tangannya yang terluka diikat perban seadanya. Sesekali, matanya melirik ke arah Lila yang t
Adip diikuti Lila sama-sama menoleh ke arah suara itu. Galang berdiri beberapa meter dari mereka dengan tatapan membara, napasnya memburu seperti baru saja berlari dikejar anjing.“Galang?” ucap kedua remaja itu bersamaan.“Lo nggak paham bahasa manusia, ya, Dip? Gue bilang jauhin Lila!” bentak Galang, langkahnya semakin mendekat.“Lo juga, La! Jadi cewek murahan banget. Bisa-bisanya Lo mau di ewe gratisan! Najis!”“Jaga, ya, mulut Lo!” Gertak Lila. Namun Galang hanya mendengus sinis, menatap Lila dengan pandangan jijik.“Sahabat macam apa Lo, Dip? Lo nusuk gue dari belakang tau nggak!”Adip yang dari tadi masih diam, mulai bangkit dari tempat duduknya, menatap Galang dengan senyum miring penuh ejekan. “Kenapa? Kalian mantan, jadi nggak ada alasan buat gue deketin Lila.”“Lo pikir ini lucu, hah? Video mesum kalian kesebar, lo bikin hidup Lila berantakan. Nggak tau malu emang ya lo?” Galang tak menunggu jawaban. Dia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Adip.Adip terhuyung ke belakan
Hari berikutnya, Lila berusaha menjalani rutinitas seperti biasa meski hatinya masih berat. Galang? Tentu saja cowok itu masih mengejarnya, tapi Lila mengabaikan segala perkataan Galang yang terus meminta dirinya untuk kembali.Dengan wajah yang sengaja ditampilkan setenang mungkin, dia melangkah masuk ke sekolah. Namun, begitu melewati gerbang, bisik-bisik dan tatapan aneh langsung menyergapnya. “Eh, itu Lila kan?” “Iya, yang ada di video itu, kan?” "Iyyuuuh, jijik banget nggak sih? anak bikin anak!"“Parah banget sih... pantes Adip sama Galang tengkar, ternyata ini toh penyebabnya? Di rumah pohon lagi.” Lila menghentikan langkahnya, bingung dengan gumaman murid-murid yang semakin jelas mengarah padanya. Tatapan mereka membuat tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya panik. Dia mencoba mengabaikan semua itu dan terus berjalan ke kelas. Tapi suasana yang lebih buruk menantinya di sana. Begitu masuk, semua mata tertuju padanya.
“A-apa?” Galang perlahan melonggarkan cekalan tangannya, lalu mengalihkan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari tatapan Lila yang kini juga telah beranjak duduk tepat di hadapannya. Senyap menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Lila menatap Galang dengan sorot mata yang sulit ditebak. Penasaran, kepastian dan sesuatu yang lain yang tak terdefinisi. “Galang...” Lila menggenggam lembut tangan Galang. “Apa benar... kamu pernah suka sama Adip—bukan... bukan suka sebagai sahabat. Tapi... dalam arti yang lain.” Kata-kata itu menggantung di udara, mulut Lila seakan tak mau mengatakan hal keji tersebut. Galang menaikkan sebelah alisnya, cowok itu malah terkekeh sinis, membuat Lila bingung dibuatnya. Namun dalam hati dia berkata, “Sialan Adip. Ternyata dia ngadu sama Lila.” “Kamu percaya aku kek gitu?” tanya Galang, cowok itu menatap Lila dengan intens. Lila menunduk dengan bibir terkatup rapat. Sebetulnya Lila ingin tak percaya, tapi
Pagi harinya saat mentari belum terlalu tinggi Adip mengerjap. Dia mengusap matanya, menghilangkan sisa kantuk yang melanda. Namun, saat matanya terbuka dia tidak menemukan Lila di mana pun.“Lila!” Tidak ada jawaban, bergegas Adip mencari keberadaan Lila di sekitar, tapi tetap tidak menemukan gadis itu.“Kemana dia?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.Sementara itu, di tempat lain, Lila yang sedang dicari-cari oleh Adip ternyata berada di rumah Galang. Ia sedang sibuk membereskan barang-barangnya yang tersisa di sana. Wajahnya terlihat datar, meskipun ada kilatan emosi yang sulit ditebak di matanya. Galang, yang berdiri di sudut ruangan, hanya mengamati tanpa berkata apa-apa. Suasana di antara mereka sangat canggung. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi terhalang oleh sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. “Lila.” Galang mendekat dan menahan gerakan tangan Lila yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Kita perlu bicara, jangan kayak gini.”Lila be
“Enggak! Apa-apaan, nih? Kamu kira kostku tempat penampungan!” seru Salma. “Sal, tolong lah, malam ini aja, besok nggak lagi, kok!” Adip memohon. “Dip, kamu gila ya? Mana mungkin Salma mau kalau sama aku?” bisik Lila yang berdiri canggung di sampingnya. Terlebih, Salma menatapnya tidak bersahabat. “Sal, plis.” Adip meraih tangan Salma dan menggenggamnya, wajahnya memelas hingga membuat Salma hampir goyah, tapi gadis itu lekas menggelengkan kepala. Ya, dengan tidak tahu malu Adip meminta Salma menampung Lila untuk sementara waktu. Dan tentu saja Salma menolak mentah-mentah permintaan tersebut. Lagi pula, apa yang Adip harapkan dari reaksi Salma? Menerima mereka berdua? Tidak mungkin! “Nggak bisa! Kalau kamu doang boleh, tapi kalau sama dia aku nggak izinin!” putus Salma. Mendengar itu Lila mendecih sinis. “Orang gila. Kalau gue doang mah nggak bakal gue ngemis-ngemis ke elo!” kata Adip. Salma menatap Adip dengan tatapan terluka. Bagaimana mungkin cowok ini dengan entengn
Dahi Lila berkerut dalam, “Gay? Apa aku nggak salah denger? M-maksud kamu apa, Dip? Jangan becanda kamu, ya!”Lila menunjuk wajah Adip dan menatapnya menuntut.Sementara Adip memalingkan wajah dengan mata terpejam frustasi sebab telah keceplosan dan membongkar rahasia tentang Galang yang selama ini dia simpan rapat-rapat. “Mampus! Bisa-bisanya gue keceplosan! Mulut sialan!” umpatnya dalam hati. “Dip,” Lila menarik kaos yang Adip pakai memaksa cowok itu menghadap ke arahnya. “Jelasin sama aku kenapa kamu bilang Galang gay!”Adip meringis tak enak, “Aku becanda, kok,” katanya berkilah.“Nggak mungkin!” seru Lila. “Kamu pasti bohong, kan? Kamu sahabat Galang sejak dulu! Mana mungkin kamu cuma becanda!”Adip kembali merutuk dalam hati, bimbang pula antara harus jujur atau kembali menyimpan rapat rahasia kelam itu. Namun, setan di telinga kirinya berbisik untuk mengatakan yang sejujurnya, jadi cowok itu menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata, “Kamu gak salah denger, Galang memang dulu
Adip menghentikan langkahnya, untuk sejenak dia terpaku di ambang pintu. Dia memejamkan mata untuk meredam amarah yang membuncah. “Lila, ayo!” ucapnya tanpa menoleh ke arah kedua orang tuanya. “Adip… Nggak usah,” Lila memandangnya ragu, gadis itu menggeleng tapi tidak mampu berkata tidak sebab wajah Adip tampak tak bersahabat. Terpaksa dia menyetujui dan mengikuti langkah Adip keluar dari rumah yang kini terasa seperti neraka bagi Adip. “Adip! Kembali! Beraninya kamu—” Damar menahan tangan istrinya ketika Rahayu akan mengejar kepergian Adip. “Buk! Sudah! Nggak usah dikejar! Biarkan dia merasakan bagaimana hidup tanpa campur tangan orang tua!” “Tapi, Yah, Adip—” “Ayah bilang nggak usah ya nggak usah! Kita lihat saja nanti, seberapa lama dia bisa bertahan tanpa uang dari ayah! Paling juga besok pagi balik!” Rahayu hanya bisa menghela nafas panjang menanggapinya. Memang betul apa yang Damar katakan, sudah berulang kali Adip bertingkah seperti itu. Tapi ujung-ujungnya juga t
Adip memandang Lila yang masih menangis dalam pelukannya. Hujan tak mau berhenti mengguyur tanah, menyamarkan tangis dan luka hati gadis remaja itu. Bahkan, Lila tak mau di ajak pindah untuk mencari tempat berteduh. Jadi, terpaksa Adip ikut berdiri bersamanya sambil memayungi kepala Lila dengan kedua tangan.“Gimana kalau kita hujan-hujanan sambil naik motor?” ujar Adip. Lila mengangkat pandangannya dengan dahi berkerut dalam.“Kamu pulang dulu aja, Dip,” Lila kembali menunduk, “Aku masih mau di sini.”Adip menggeleng, “Ayo! Ikut!” Adip menarik paksa lengan Lila, dan menuntunnya menaiki motor. Lila menurut meski sedikit enggan. “Hujan-hujanan sambil naik motor lebih asik. Percaya sama aku!” kata Adip. Lila mendengus, cowok itu memang selalu punya cara untuk membuatnya menghilangkan rasa gundah.Sepanjang jalan yang sepi, motor mereka melaju pelan di bawah langit kelabu yang semakin petang. Kabut dingin menyelimuti, menyentuh kulit mereka berdua dengan lembut. Sementara Adip fokus men