“A-apa? Menikah?” Ayah sampai gugup mendengar ucapan konyol Adip.
Semua orang terperangah mendengar ucapan Adip, apa anak itu sudah gila? Dirinya saja masih hidup menumpang orang tuanya, omong kosong macam apa ini?
“Maksud kamu apa, Dip? Jangan bercanda kamu! Kamu menghamili anak orang? Ha?!” timpal ibunya. Adip memejamkan matanya frustasi, nafasnya masih terengah-engah di bawah kaki ayahnya.
“Adip, bicara yang benar!” desis sang ayah.
“Aku … aku mau menikah, sama Lila karena—”
“Apa?! Kamu menghamili pacar temenmu sendiri! Memang anak kurang ajar kamu!”
Bugh
Ayah menendang perut Adip sebelum cowok itu menyelesaikan ucapannya hingga Adip terkulai lemah ke lantai.
Memang selalu seperti itu, mereka tidak mau mendengarkan penjelasan Adip terlebih dahulu. Memukul adalah cara ayah mendidik anak sejak kecil. Lebih tepatnya mendidik Adip karena kakak Adip adalah sosok anak yang penurut.
“Sebagai hukumannya, kamu dilarang ke luar rumah sampai besok!” ucap ayah dengan nafas memburu, ia beralih menatap istrinya, “bu, ambilkan tongkat golf ayah, biar ayah kasih pelajaran anak berandalan ini.”
Istrinya mengangguk lalu pergi ke arah kamar untuk mengambilkan tongkat golf itu.
Para maid yang menyaksikan dari balik tembok merasa tidak tega dengan perlakuan ayah kepada Adip. Sebagian mereka bahkan menangis menengok keadaan Adip yang sudah babak belur.
“Kasian den Adip, padahal dulu dia anak yang penurut, maaf den, kamu tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap salah satu maid menangisi keadaan Adip.
“Duduk kamu! Duduk!” perintah ayah dengan mata melotot tajam. Namun Adip tidak peduli, ia mencoba berdiri sambil memegangi perutnya yang terasa mual.
Adip mendecih, ia mengusap darah yang kembali mengalir dari sudut bibirnya, menatap sang ayah yang masih berapi-api dan berkata, “Kenapa ayah nggak pernah tanya alasannya, kenapa selalu membuat asumsi sendiri?”
“Karena ayah sudah tidak percaya dengan kata-kata kamu! Berapa kali kamu mempermalukan ayah, ha?! Berapa kali?” Ayah mencengkram kerah baju Adip dengan tangan bergetar, “Anak siapa kamu sebenarnya? Aku tidak punya gen pembangkang seperti kamu!”
Bugh
Ayah menghempaskan tubuh Adip hingga membentur tembok. Lagi-lagi orang tua itu mengucapkan kata-kata menyakitkan dari mulutnya.
Ibu menghela nafas panjang melihat terpental hingga ke tembok. Sebenarnya ibu tidak tega melihat Adip terus-terusan dipukuli oleh ayahnya, tetapi jika tidak seperti ini, maka Adik tidak akan jera membuat malu keluarga.
“Ini, Yah,” ucap ibu memberikan tongkat golf yang ayah minta.
Adip terkekeh miris, dengan tertatih ia mencoba bangun. Ia tidak mau dianggap lemah oleh orang tuanya sendiri. “Anda saja ragu saya anak anda, apalagi saya? Saya menyesal lahir dari orang tua macam kalian!”
“Kurang ajar kamu!”
Para maid sudah memejamkan mata dengan tangan menutupi telinga. Mereka tidak sanggup menyaksikan tongkat golf itu melayang ke tubuh Adip. Tidak terkecuali ibu, ia memalingkan wajah kala ayah mengangkat tongkat golf untuk memukul Adip.
Namun, sebelum tongkat itu mendarat di kepalanya, Adip menahan tongkat itu dengan tangan bergetar.
“Cukup, aku capek! Aku capek dipukuli…” Adip menurunkan tongkat golf itu, air matanya pun menetes melewati sudut mata yang lebam, “biarkan aku menentukan hidupku sendiri, jangan ikut campur!”
“Aarrgghh,” teriak Adip merebut tongkat golf ayah lalu melemparnya hingga mengenai guci besar yang berada di dekat tangga. Ayah, ibu serta para maid terdiam menyaksikan amarah Adip.
Setelah mengatakan itu, Adip berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya. Mengharukan teriakan-teriakan ayahnya yang meminta untuk tetap berada di sana.
“Adip! Kembali kamu anak pembawa sial! Adip! Jangan harap ayah akan membelamu kalau ada yang datang meminta tanggung jawab! Adip!”
“Ayah, sudah. Nanti darah tinggi ayah kumat,” Ibu mengusap punggung ayah untuk sekedar menenangkan, tetapi matanya sesekali melihat Adip yang berlari cepat, “Adip pasti merenungi kesalahannya, nanti ibu tanya baik-baik, gadis mana yang dihamili Adip.”
“Dasar anak tidak tau diuntung! Anak siapa sih dia sebenarnya, Bu? Apa benar dia anak kita?” Ayah tampak berapi-api, wajahnya tegang sampai urat-urat di wajahnya menonjol.
“Sudah, ayo kita duduk, biar nanti ibu yang bicara sama dia.”
Brak
“Anak sialan! Awas kamu Adip—”
“Ayah, sudah,” ucap ibu memegangi tangan ayah yang akan menaiki tangga.
Suara pintu dibanting dari kamar Adip mengejutkan semua orang yang berada di sana, para maid akhirnya bubar, ibu pun menuntun ayah untuk kembali duduk dengan tenang di ruang tamu. Ibu takut jika darah tinggi ayah kumat lagi setelah menghajar Adip.
Sementara itu di dalam kamar, Adip langsung menuju kamar mandi. Adip berdiri tegak di depan cermin, tangannya mencengkram pinggiran wastafel, bibirnya bergetar memandang wajahnya yang pernah luka lebam.
“Gue nggak suka dibanding-bandingin,” Adip meringis menyentuh luka sobek di sudut bibirnya, “hidup gue kayak bayangan sodara-sodara gue aja, nggak pernah sekalipun mereka liat gue sebagai anak.”
Meskipun Adip seorang cowok berandal, saat ia mendengar kata-kata yang menyakitkan keluar dari mulut orang yang ia sayang, pastilah hatinya tetap hancur.
Adip membuka kemeja seragamnya lalu melemparkan ke keranjang kotor. Ia berniat mandi dan mengistirahatkan tubuhnya sesegera mungkin.
Cowok itu menghadapkan punggungnya ke cermin, tak jauh berbeda dengan wajahnya, tubuh Adip pun di penuhi luka lebam. Bahkan ada beberapa bekas luka sayatan yang terlihat jelas. Adip mendapatkan luka itu dari ayahnya waktu dulu ia tertangkap polisi karena ikut tawuran.
Namun, Adip semuak apapun dengan orang tuanya, Adip tetap menaruh hormat. Meski terkadang ia ingin membalas, tetapi Adip tidak pernah melakukannya.
Malam semakin larut dan sekarang Adip sudah berada di depan kamar kost Lila yang terletak tak jauh dari rumahnya. Tanpa sadar ada tiga orang bapak-bapak sedang ronda melihatnya curiga.
Adip menoleh ke kanan-kiri memastikan jika tidak ada yang melihatnya. Setelah dirasa aman, Adip memasukkan kunci duplikat yang ia bikin beberapa waktu lalu ke pintu kamar kost Lila.
Ceklek
“Yes.” Adip bersorak gembira. Namun, suaranya seperti berbisik.
Mengapa Adip menduplikat kunci kamar kost Lila? Ya tentu untuk mempermudah dirinya keluar masuk kost Lila. Sebab terkadang Lila tidak mau membukakan pintu untuknya masuk.
Dari pintu tampak Lila yang tidur lelap menghadap tembok. Gadis itu bergelung di dalam selimut hingga menyisakan kepalanya saja.
Adip melangkah dengan sangat pelan dan hati-hati, ia langsung naik ke atas kasur dan berbaring di belakang Lila. Wangi shampoo aroma strawberry dari rambut Lila pun langsung menyapa indera penciumannya.
“Maaf, ya, La. Aku nggak bisa tidur, jadi mampir ke sini,” bisik Adip lalu menyibak selimut dan melingkarkan tangannya ke perut Lila dan memejamkan mata. Adip merasa dirinya akan baik-baik saja ketika sudah memeluk Lila.
Sementara itu, Lila terperanjat kala merasakan berat menimpa perutnya. Kemudian gadis itu mendesah panjang kala mengingat seseorang yang selama ini memang suka menyelinap masuk ke dalam kamar kostnya.
“Pasti kamu, ya, Dip?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur, nada bicaranya pun ketus.
Adip terkekeh, lalu lebih mengeratkan lagi pelukannya, Adip berkata, “Maaf aku bikin kamu kebangun.”
Lila sudah akan mengomel, tetapi setelah merasakan hembusan nafas Adip yang panas, dia berbalik menghadap Adip dan menaruh punggung tangannya di dahi Adip.
“Kamu demam? Lebam kamu juga tambah banyak, kamu dipukuli ayah kamu lagi, ya?” tanya Lila tampak khawatir. Lila tahu sebab Adip selalu mengadu padanya setelah dipukuli ayahnya.
Adip terkekeh, “Sedikit kok, tapi langsung sembuh karena udah meluk kamu.”
“Maaf, ya, pasti gara-gara luka kamu dipukuli Galang, ayah kamu jadi marah.” Lila mengusap lebam di wajah Adip yang sudah membiru.
“Ngapain kamu minta maaf, bukan—
Brak brak brak
“Mbak, tolong buka pintunya!” teriak seorang laki-laki dari luar.
Mereka berdua saling berpandangan dengan perasaan campur aduk. Siapa yang mengetuk pintu tengah malam begini? Lagi pula, kenapa di luar terdengar sangat ribut?
“Dip, tadi kamu masuk nggak ada yang lihat, kan?” tanya Lila mulai panik, suara orang-orang di depan semakin riuh meneriaki Lila untuk membuka pintu. “Mbak kita tau di dalam ada laki-laki yang menginap!” Brak brak brak“Dip, gimana?”“A-aku ngumpet di kamar mandi, kamu buka pintu, oke? Jangan panik, usahakan kamu bisa alihin perhatian mereka, hm.” “Tapi aku takut kalau nanti—”Adip menempelkan telunjuknya ke bibir Lila, “Jangan takut, kamu yang tenang, oke?”Lila mengangguk paham, lalu Adip beranjak lalu berjalan tergesa-gesa ke arah kamar mandi.Brak brak brak“Iya sebentar!” teriak Lila memastikan Adip masuk ke dalam kamar mandi.Setelah Adip tidak terlihat, giliran Lila yang berlari ke arah pintu masuk. Ia menggenggam erat pegangan pintu, mengambil nafas dalam-dalam lalu memutar kuncinya.Ceklek Baru saja pintu dibuka, empat orang dewasa dan ibu kost langsung nyelonong masuk ke dalam kamar Lila. Mencari-cari seseorang yang tadi membuat bapak-bapak yang sedang ronda curiga.“Man
“Saya tidak setuju! Apa-apaan kalian? Anak saya ini masih di bawah umur!”Suara ibu Lila bergema di ruangan itu, tangan kirinya menggebrak meja hingga cangkir bekas minum mereka bergetar. Membuat setiap pasang mata di sana tertuju padanya. “Bu, tenang dulu sebentar,” tegur pak RT.“Tenang-tenang, omong kosong bapak ini sudah keterlaluan!” Ia berdiri dengan wajah memerah, tatapannya tajam menusuk langsung ke arah Pak RT. Sementara telunjuknya lurus mengarah ke wajah Pak RT tanpa sedikit pun menyembunyikan kemarahannya. Pak RT menelan ludah, tetapi tidak gentar.“Bu, ini sudah aturan kami. Mereka tertangkap basah di satu kamar!” katanya, mencoba menahan tekanan emosi yang membuncah dalam suaranya.Ibu Lila mendengus tak percaya, melayangkan pandangannya ke arah seluruh warga yang mengangguk-angguk, seolah mendukung pernyataan Pak RT tanpa berpikir dua kali. “Kalian bahkan tidak melihat apa yang mereka lakukan! Siapa yang bisa pastikan mereka berbuat yang tidak-tidak?” katanya sinis.P
“Sebenarnya gue sengaja menyelinap ke kamar kos Lila, karena gue biar dinikahin sama dia, jadi ini semua salah paham,” kata Adip.“Nah, dengar sendiri, kan? Saya yakin kalian semua masih cukup muda untuk tuli!” timpal ibu Lila.Semua orang terperangah, termasuk pak RT yang wajahnya sudah memerah karena kesal merasa dijadikan umpan oleh para warga. Bisik-bisik mulai terdengar riuh di telinga, para warga beralih topik pembicaraan, mereka menyuarakan keheranan sekaligus cibiran.Lila yang sejak tadi tertekan, kini mengangkat wajahnya. Matanya yang basah menatap Adip dan berkata, “Dip, makasih.” Adip menatap Lila sebentar lalu mengangguk lirih. Netranya beralih pandang pada kedua orang tuanya yang sudah siap menerkam. Pak damar menggenggam kursi erat, rahangnya pun mengeras."Anak itu... awan nanti kamu di rumah!” ucap pak Damar dalam hati.“Ehem, baik, karena tersangka sudah mengakui perbuatannya, maka saya pikir keputusan saya tadi salah,” ujar pak RT penuh rasa sesal.“Tentu sja sala
Adip memejamkan mata saat vas bunga yang Damar layangkan tepat mengenai pelipisnya. Darah segar mengalir, tetapi Adip tidak bergeming sedikitpun. Hatinya jauh lebih sakit dibanding hanya tergores pecahan beling.“Semakin lama, kamu semakin tidak punya sopan santun sama orang tua!” Terengah-engah Damar kembali memaki Adip. Tangannya memegangi dada yang tiba-tiba nyeri.Sebagai ibu, melihat Adip yang berlumuran darah, hati Rahayu sedikit tergerak untuk memeluk putranya, tetapi egonya masih lebih tinggi dari rasa kasihan. Jadi, dia hanya berakhir menatap putranya tanpa melakukan apapun.“S-sudah Ayah, jangan emosi lagi, duduk dulu, duduk, tarik nafas—buang?” ujar Rahayu menuntun suaminya untuk kembali duduk.Adip menyeka darah yang mulai menetes di pipinya, gerakannya pelan tanpa emosi. Tatapannya kosong, tertuju pada tangannya yang berlumuran merah. “Bagus,” katanya, suaranya datar nyaris tanpa tekanan. “Seperti inilah yang kalian ajarkan, selalu pakai kekerasan. Itu sebabnya gue jadi
“Woy! Siapa lo?”Adip membelalak bukan main ketika seorang gadis tiba-tiba muncul di rumah pohonnya. Terlebih, gadis itu memakai hoodie hitam yang menutupi kepala, sudah seperti malaikat pencabut nyawa.“Heh, memangnya aku hantu? Cewek cantik gini,” gerutunya kesal, tangannya membuka penutup kepala yang dia pakai. Barulah Adip menghela nafas lega.Adip menyipit kala sperti mengenal gadis tersebut, “Salma? Elo Salma, kan? 11 IPS 2!” tanya Adip agak ragu-ragu.Gadis itu menoleh cepat dan mengangguk dengan semangat, matanya berbinar, senyum bangga merekah di wajahnya.“Adip tahu namaku?” gumam Salma, pipinya merona. Ia menyelipkan sehelai rambut basah di balik telinganya dengan gerakan gugup.“Kan kita sekelas, masa lo nggak tau? Tiap hari juga kita ketemu!” kata Adip datar membuat Salma semakin tersipu. Dia tak menyangka ternyata Adip menyadari keberadaannya di antara sekian banyak murid di dalam kelas mereka.“Dih, si aneh. Kenapa jadi senyum-senyum dah?” tanya Adip masih dengan nada da
“Keterlaluan ya kamu! Kamu hampir membunuh Selly, loh, Dip! Tapi kamu nggak ada rasa menyesal sedikitpun!” geram Bu Widya sambil membetulkan kaca mata tebalnya yang melorot.Di sinilah mereka berada sekarang—ruang BK, menunggu orang tua masing-masing yang sudah dihubungi oleh pihak sekolah. Ketegangan terjadi di antara mereka bertiga, ruangan yang sempit menjadi lebih sesak ketika Bu Widya berbicara.“Merusak properti sekolah! Kalau saja Lila tidak cepat bertindak, kamu mungkin sekarang sudah berada di penjara!”Yap, benar sekali. Adip hampir membunuh Selly jika saja Lila tidak mendorongnya hingga pot bunga berbahan semen yang akan digunakan untuk menghantam kepala Selly beralih menghantam lantai.Lila tampak gelisah mendengar ucapan guru BK tersebut. Ia takut jika dikeluarkan dari sekolah karena sudah bertengkar hingga menyebabkan korban dibawa ke rumah sakit.Ia melirik Adip yang duduk di sebelahnya. Cowok itu menyandar cuek di kursi, pemandangan luar jendela tampaknya lebih menarik
“Kenapa dia?” batin Galang.Alih-alih mencari alasan untuk meninggalkan barisan, tanpa peduli dengan guru pengawas, Galang berlari mengejar kekasihnya dengan perasaan khawatir.Sementara Lila, gadis itu masuk ke dalam toilet dan mengunci pintunya dari dalam. Ia langsung menyalakan air keran dan menadahnya dengan tangan gemetar.Berulang-ulang ia menggosok bibirnya dengan kasar sampai telapak tangannya memerah karena tekanan. Luka lebamnya semakin perih, tetapi bayangan samar bibir Adip yang menempel pada bibirnya jauh lebih perih.“Jahat banget kamu, Dip! Aku benci sama kamu!” pekiknya tertahan karena takut jika ada yang mendengar. “Galang, maaf, maafin aku.”Sungguh, bayangan senyum hangat Galang ketika bersamanya semakin memupuk rasa bersalah yang kian membuncah.Adip benar-benar sudah melewati batas, keinginannya untuk menjauhi Adip kini semakin menggebu akibat kejadian yang tidak diinginkan tersebut.Brak brak brak“Lila, kamu di dalam kan? Lila! Ini aku, Galang!” Suara Galang cem
“Bapak yakin mau mengeluarkan anak saya? Apa bapak siap jika saya tarik semua investasi saya di sekolah ini?” Kepala sekolah menundukkan kepalanya mendengar pertanyaan Damar. Sepertinya ia lupa dengan konsekuensi itu.“Saya dengar di halaman belakang akan dibangun kolam renang, betul itu, Pak?”“Mulai,” gumam Adip. Damar meliriknya sinis, kemudian kembali beralih pandang pada kepala sekolah.Kepala sekolah mengangkat pandangannya dengan cepat, “B-betul sekali itu, Pak, kami belum punya kolam renang sendiri. Jadi kalau ada ekstrakurikuler renang kami harus menyewa kolam renang. Dan biayanya sangat besar, Pak Damar.”“Mata duitan,” gumam Adip lagi. Semua orang menatap ke arahnya dengan pandangan berbeda, “Apa liat-liat? Lanjutin aja cepet!”Sungguh, jika tidak ada siapapun di ruangan itu, Damar sudah babat habis mulut lemes anaknya tersebut. Sementara Kepala sekolah hanya berdehem canggung mendengar ucapan sarkas yang keluar dari mulut Adip.“Saya bisa pikirkan itu, bapak tidak perlu k
Motor itu meluncur ke tepi jalan dan menghantam semak-semak sebelum akhirnya terguling dengan keras. Suara benturan terdengar nyaring, membuat beberapa warga yang kebetulan berada di sekitar area itu segera berlari ke lokasi kejadian. Lila terkapar tak bergerak di tanah, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir dari pelipisnya. Napasnya lemah, hampir tak terdengar. Dia pun tak bisa melihat langit dengan jelas sebab pandangannya kabur.Sementara Salma terbaring beberapa meter darinya, hanya dengan beberapa luka gores di lengan dan kakinya. Ia meringis kesakitan, tapi kesadarannya tetap penuh. “Cepat, angkat mereka ke mobil! Kita bawa ke rumah sakit!” teriak seorang pria paruh baya yang segera mengkoordinasi warga untuk membantu. Dalam waktu singkat, Lila dan Salma dibawa ke rumah sakit terdekat. Sirene ambulans meraung di udara, menyuarakan urgensi situasi. Salma duduk diam di atas tandu, tangannya yang terluka diikat perban seadanya. Sesekali, matanya melirik ke arah Lila yang t
Adip diikuti Lila sama-sama menoleh ke arah suara itu. Galang berdiri beberapa meter dari mereka dengan tatapan membara, napasnya memburu seperti baru saja berlari dikejar anjing.“Galang?” ucap kedua remaja itu bersamaan.“Lo nggak paham bahasa manusia, ya, Dip? Gue bilang jauhin Lila!” bentak Galang, langkahnya semakin mendekat.“Lo juga, La! Jadi cewek murahan banget. Bisa-bisanya Lo mau di ewe gratisan! Najis!”“Jaga, ya, mulut Lo!” Gertak Lila. Namun Galang hanya mendengus sinis, menatap Lila dengan pandangan jijik.“Sahabat macam apa Lo, Dip? Lo nusuk gue dari belakang tau nggak!”Adip yang dari tadi masih diam, mulai bangkit dari tempat duduknya, menatap Galang dengan senyum miring penuh ejekan. “Kenapa? Kalian mantan, jadi nggak ada alasan buat gue deketin Lila.”“Lo pikir ini lucu, hah? Video mesum kalian kesebar, lo bikin hidup Lila berantakan. Nggak tau malu emang ya lo?” Galang tak menunggu jawaban. Dia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Adip.Adip terhuyung ke belakan
Hari berikutnya, Lila berusaha menjalani rutinitas seperti biasa meski hatinya masih berat. Galang? Tentu saja cowok itu masih mengejarnya, tapi Lila mengabaikan segala perkataan Galang yang terus meminta dirinya untuk kembali.Dengan wajah yang sengaja ditampilkan setenang mungkin, dia melangkah masuk ke sekolah. Namun, begitu melewati gerbang, bisik-bisik dan tatapan aneh langsung menyergapnya. “Eh, itu Lila kan?” “Iya, yang ada di video itu, kan?” "Iyyuuuh, jijik banget nggak sih? anak bikin anak!"“Parah banget sih... pantes Adip sama Galang tengkar, ternyata ini toh penyebabnya? Di rumah pohon lagi.” Lila menghentikan langkahnya, bingung dengan gumaman murid-murid yang semakin jelas mengarah padanya. Tatapan mereka membuat tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya panik. Dia mencoba mengabaikan semua itu dan terus berjalan ke kelas. Tapi suasana yang lebih buruk menantinya di sana. Begitu masuk, semua mata tertuju padanya.
“A-apa?” Galang perlahan melonggarkan cekalan tangannya, lalu mengalihkan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari tatapan Lila yang kini juga telah beranjak duduk tepat di hadapannya. Senyap menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Lila menatap Galang dengan sorot mata yang sulit ditebak. Penasaran, kepastian dan sesuatu yang lain yang tak terdefinisi. “Galang...” Lila menggenggam lembut tangan Galang. “Apa benar... kamu pernah suka sama Adip—bukan... bukan suka sebagai sahabat. Tapi... dalam arti yang lain.” Kata-kata itu menggantung di udara, mulut Lila seakan tak mau mengatakan hal keji tersebut. Galang menaikkan sebelah alisnya, cowok itu malah terkekeh sinis, membuat Lila bingung dibuatnya. Namun dalam hati dia berkata, “Sialan Adip. Ternyata dia ngadu sama Lila.” “Kamu percaya aku kek gitu?” tanya Galang, cowok itu menatap Lila dengan intens. Lila menunduk dengan bibir terkatup rapat. Sebetulnya Lila ingin tak percaya, tapi
Pagi harinya saat mentari belum terlalu tinggi Adip mengerjap. Dia mengusap matanya, menghilangkan sisa kantuk yang melanda. Namun, saat matanya terbuka dia tidak menemukan Lila di mana pun.“Lila!” Tidak ada jawaban, bergegas Adip mencari keberadaan Lila di sekitar, tapi tetap tidak menemukan gadis itu.“Kemana dia?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.Sementara itu, di tempat lain, Lila yang sedang dicari-cari oleh Adip ternyata berada di rumah Galang. Ia sedang sibuk membereskan barang-barangnya yang tersisa di sana. Wajahnya terlihat datar, meskipun ada kilatan emosi yang sulit ditebak di matanya. Galang, yang berdiri di sudut ruangan, hanya mengamati tanpa berkata apa-apa. Suasana di antara mereka sangat canggung. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi terhalang oleh sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. “Lila.” Galang mendekat dan menahan gerakan tangan Lila yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Kita perlu bicara, jangan kayak gini.”Lila be
“Enggak! Apa-apaan, nih? Kamu kira kostku tempat penampungan!” seru Salma. “Sal, tolong lah, malam ini aja, besok nggak lagi, kok!” Adip memohon. “Dip, kamu gila ya? Mana mungkin Salma mau kalau sama aku?” bisik Lila yang berdiri canggung di sampingnya. Terlebih, Salma menatapnya tidak bersahabat. “Sal, plis.” Adip meraih tangan Salma dan menggenggamnya, wajahnya memelas hingga membuat Salma hampir goyah, tapi gadis itu lekas menggelengkan kepala. Ya, dengan tidak tahu malu Adip meminta Salma menampung Lila untuk sementara waktu. Dan tentu saja Salma menolak mentah-mentah permintaan tersebut. Lagi pula, apa yang Adip harapkan dari reaksi Salma? Menerima mereka berdua? Tidak mungkin! “Nggak bisa! Kalau kamu doang boleh, tapi kalau sama dia aku nggak izinin!” putus Salma. Mendengar itu Lila mendecih sinis. “Orang gila. Kalau gue doang mah nggak bakal gue ngemis-ngemis ke elo!” kata Adip. Salma menatap Adip dengan tatapan terluka. Bagaimana mungkin cowok ini dengan entengn
Dahi Lila berkerut dalam, “Gay? Apa aku nggak salah denger? M-maksud kamu apa, Dip? Jangan becanda kamu, ya!”Lila menunjuk wajah Adip dan menatapnya menuntut.Sementara Adip memalingkan wajah dengan mata terpejam frustasi sebab telah keceplosan dan membongkar rahasia tentang Galang yang selama ini dia simpan rapat-rapat. “Mampus! Bisa-bisanya gue keceplosan! Mulut sialan!” umpatnya dalam hati. “Dip,” Lila menarik kaos yang Adip pakai memaksa cowok itu menghadap ke arahnya. “Jelasin sama aku kenapa kamu bilang Galang gay!”Adip meringis tak enak, “Aku becanda, kok,” katanya berkilah.“Nggak mungkin!” seru Lila. “Kamu pasti bohong, kan? Kamu sahabat Galang sejak dulu! Mana mungkin kamu cuma becanda!”Adip kembali merutuk dalam hati, bimbang pula antara harus jujur atau kembali menyimpan rapat rahasia kelam itu. Namun, setan di telinga kirinya berbisik untuk mengatakan yang sejujurnya, jadi cowok itu menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata, “Kamu gak salah denger, Galang memang dulu
Adip menghentikan langkahnya, untuk sejenak dia terpaku di ambang pintu. Dia memejamkan mata untuk meredam amarah yang membuncah. “Lila, ayo!” ucapnya tanpa menoleh ke arah kedua orang tuanya. “Adip… Nggak usah,” Lila memandangnya ragu, gadis itu menggeleng tapi tidak mampu berkata tidak sebab wajah Adip tampak tak bersahabat. Terpaksa dia menyetujui dan mengikuti langkah Adip keluar dari rumah yang kini terasa seperti neraka bagi Adip. “Adip! Kembali! Beraninya kamu—” Damar menahan tangan istrinya ketika Rahayu akan mengejar kepergian Adip. “Buk! Sudah! Nggak usah dikejar! Biarkan dia merasakan bagaimana hidup tanpa campur tangan orang tua!” “Tapi, Yah, Adip—” “Ayah bilang nggak usah ya nggak usah! Kita lihat saja nanti, seberapa lama dia bisa bertahan tanpa uang dari ayah! Paling juga besok pagi balik!” Rahayu hanya bisa menghela nafas panjang menanggapinya. Memang betul apa yang Damar katakan, sudah berulang kali Adip bertingkah seperti itu. Tapi ujung-ujungnya juga t
Adip memandang Lila yang masih menangis dalam pelukannya. Hujan tak mau berhenti mengguyur tanah, menyamarkan tangis dan luka hati gadis remaja itu. Bahkan, Lila tak mau di ajak pindah untuk mencari tempat berteduh. Jadi, terpaksa Adip ikut berdiri bersamanya sambil memayungi kepala Lila dengan kedua tangan.“Gimana kalau kita hujan-hujanan sambil naik motor?” ujar Adip. Lila mengangkat pandangannya dengan dahi berkerut dalam.“Kamu pulang dulu aja, Dip,” Lila kembali menunduk, “Aku masih mau di sini.”Adip menggeleng, “Ayo! Ikut!” Adip menarik paksa lengan Lila, dan menuntunnya menaiki motor. Lila menurut meski sedikit enggan. “Hujan-hujanan sambil naik motor lebih asik. Percaya sama aku!” kata Adip. Lila mendengus, cowok itu memang selalu punya cara untuk membuatnya menghilangkan rasa gundah.Sepanjang jalan yang sepi, motor mereka melaju pelan di bawah langit kelabu yang semakin petang. Kabut dingin menyelimuti, menyentuh kulit mereka berdua dengan lembut. Sementara Adip fokus men