“Saya tidak setuju! Apa-apaan kalian? Anak saya ini masih di bawah umur!”
Suara ibu Lila bergema di ruangan itu, tangan kirinya menggebrak meja hingga cangkir bekas minum mereka bergetar. Membuat setiap pasang mata di sana tertuju padanya.
“Bu, tenang dulu sebentar,” tegur pak RT.
“Tenang-tenang, omong kosong bapak ini sudah keterlaluan!” Ia berdiri dengan wajah memerah, tatapannya tajam menusuk langsung ke arah Pak RT. Sementara telunjuknya lurus mengarah ke wajah Pak RT tanpa sedikit pun menyembunyikan kemarahannya. Pak RT menelan ludah, tetapi tidak gentar.
“Bu, ini sudah aturan kami. Mereka tertangkap basah di satu kamar!” katanya, mencoba menahan tekanan emosi yang membuncah dalam suaranya.
Ibu Lila mendengus tak percaya, melayangkan pandangannya ke arah seluruh warga yang mengangguk-angguk, seolah mendukung pernyataan Pak RT tanpa berpikir dua kali.
“Kalian bahkan tidak melihat apa yang mereka lakukan! Siapa yang bisa pastikan mereka berbuat yang tidak-tidak?” katanya sinis.
Pak Damar yang duduk seberang ibu Lila, rahangnya mengeras, sementara tinjunya terkepal erat menahan malu.
Pandangannya menusuk ke arah Adip yang duduk tertunduk bersama Lila. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk pembelaan. Ia menebak bahwa keheningan anaknya adalah bentuk pengakuan.
“Ini yang dia sebut sebagai keinginan untuk menikah?” pikirnya dengan getir.
Di tengah ketegangan, tiba-tiba terdengar suara lemah, tetapi cukup lantang untuk menghentikan perdebatan.
“Enggak! Aku nggak mau menikah! Aku masih sekolah!” Lila berdiri, air matanya mengalir di pipi, tetapi tak sedikit pun sorot matanya menunjukkan ketakutan. Matanya justru memantulkan perlawanan yang keras terhadap orang-orang yang mencoba menindasnya.
Orang-orang di ruangan itu saling pandang. Ada yang terkejut, ada yang tersenyum sinis. Sementara Ibu Lila mengangguk mantap pada putrinya, merasa bahwa Lila memang tidak bersalah.
“Benar itu! Dia masih harus sekolah! Anak saya ini bukan untuk dinikahkan sembarangan!”
Akan tetapi, suara lain muncul dari kerumunan, seakan tak peduli dengan jeritan hati Lila.
“Kalau tidak mau menikah, berarti harus menerima hukumannya—digundul dan diarak keliling kampung karena mereka sudah berbuat zina!” ucap pak RT menegaskan.
“Zina? Zina apa?” Lila tak bisa lagi menahan amarahnya. Ia memandang satu per satu orang-orang yang tadi masuk ke kamar kosnya dan menyeretnya ke mari.
“Kalian lihat aku melakukan zina? Kalian tidak punya bukti apa pun!” lanjut Lila menegaskan bahwa dirinya tidak bersalah. Namun, beberapa warga menggeleng dan tetap bertahan pada pendapat mereka.
“Laki-laki dan perempuan dalam satu kamar? Kalau bukan zina, mau apa lagi?” ujar seorang bapak-bapak sambil menoleh ke arah yang lain meminta persetujuan.
Adip yang sedari tadi diam kini mencoba menarik tangan Lila untuk duduk kembali, tetapi Lila menepisnya keras.
“Apa, sih, Dip?! Ngomong dong kalau kita emang nggak ngapa-ngapain!”
Akan tetapi, Adip malah kembali menunduk membuat Lila semakin kesal. Cowok itu duduk diam, seperti menyerah pada keadaan. Di sini ia merasa sendirian, bahkan Adip tak sedikitpun berdiri untuk membelanya.
“Saya setuju mereka dinikahkan!” seorang warga yang berada di belakang ikut bersuara.
“Daripada terus begini, lebih baik segera dinikahkan saja!” suara-suara setuju pun mulai terdengar di sana-sini.
Lila menutup matanya, air matanya sudah kering. Setiap kata yang terlontar dari warga membuat hatinya semakin hancur. Mereka bicara soal dosa, soal kehormatan, seolah tahu segalanya tanpa memberi kesempatan padanya untuk berbicara. Bahkan, gelak tawa kecil terdengar di antara mereka, seperti menganggapnya lelucon.
“Cukup! Biar saya yang berbicara!” Pak RT beralih menatap Lila, “Nak Lila, silahkan duduk dulu.” pintanya.
Pak Damar yang sudah berdiam cukup lama, akhirnya bersuara. “Pak RT, apakah tidak ada solusi lain? Misalnya, saya bisa tebus dengan…” Ia tak menyelesaikan kalimatnya, tetapi semua orang tahu maksudnya.
“Tidak bisa, Pak Damar,” jawab Pak RT, menahan emosi di wajahnya. “Kami tidak bisa ditukar dengan uang. Ini masalah norma, bukan harga.”
Pak Damar menelan ludah, memandang ke arah istrinya. “Baiklah. Kalau memang begitu, kami setuju menikahkan mereka!” katanya akhirnya, seolah melempar nasib Adip ke tangan orang lain.
Mendengar itu, tubuh Lila goyah, lututnya lemas dan ia nyaris jatuh kalau saja tidak dipegang oleh Adip. Namun, Lila segera menjauhkan tubuhnya dari Adip, menatapnya dengan mata merah penuh kebencian. Cowok itu tetap saja diam, tidak melakukan apa pun.
Pak RT melihat ke arah ibu Lila. “Jadi bagaimana, Bu? Apa ibu setuju?”
Ibu Lila menghela napas panjang, menatap wajah putrinya yang penuh harap. Pandangan itu cukup untuk membuat Lila tahu bahwa ibunya akan berpihak padanya.
Ibu Lila berdiri, wajahnya tegas dan tanpa ragu, “Tidak ada pernikahan. Saya akan laporkan ke polisi kalau kalian terus memaksa! Tapi—”
“Tapi apa, Bu?”
“Tunangkan saja mereka lebih dulu, mengingat mereka masih di bawah umur, saya sendiri yang akan menikahkan mereka jika mereka kembali melakukan kesalahan yang sama!”
Pak RT terdiam sejenak, memandang ibu Lila dan mempertimbangkan usulan yang belum terpikirkan sebelumnya. Sebagian warga terlihat tak puas, dan beberapa di antaranya langsung menyuarakan keberatan.
“Pak RT, apa maksudnya menunda begini? Apa tunangan bisa menjaga kehormatan kampung kita?” sergah seorang warga yang berada di barisan belakang.
Ibu Lila menarik napas panjang dan balas menatap orang-orang yang mulai ramai mempertanyakan.
“Kalau mereka memang berbuat salah, saya sendiri yang akan memastikan Lila mendapat hukumannya,” katanya dengan nada tegas, “tapi kalau terbukti mereka tidak melakukan apa pun, saya tidak akan izinkan anak saya menikah hanya untuk menuruti aturan tanpa bukti!”
Pak Damar dan istrinya tampak terdiam. Wajah Bu Rahayu tampak memerah menahan amarah, tetapi Pak Damar mengangkat tangan, memberi isyarat agar istrinya diam. Ia tahu bahwa situasi ini sudah cukup memalukan tanpa membuatnya menjadi lebih buruk dengan percekcokan yang tak ada ujungnya.
Pak RT menatap Pak Damar untuk meminta pandangannya terhadap ide ini. Akhirnya, Pak Damar mendesah dan mengangguk pelan.
“Baiklah, kami setuju... sementara kita pertunangkan saja,” ucap pak Damar dengan nada dingin.
Pak RT berpikir sejenak dan menganggukkan kepalanya, meski tampak enggan. “Baiklah. Untuk sementara, kita tunangkan saja mereka. Tapi ingat, jika ada kejadian seperti ini lagi, tidak akan ada kompromi lagi.”
Akhirnya Lila bisa bernafas lega, setidaknya ia bisa terbebas dari pernikahan konyol ini. Namun, saat ia memandang ke arah Adip yang masih saja duduk diam tanpa satu pun kata pembelaan, ia kembali merasa kesal bahkan lebih dari sekadar marah.
Lalu, saat keadaan hening, tiba-tiba Adip berbicara membuat semua orang tiba-tiba hening mendengarnya.
“Sebenarnya gue sengaja menyelinap ke kamar kos Lila, karena gue biar dinikahin sama dia, jadi ini semua salah paham,” kata Adip.“Nah, dengar sendiri, kan? Saya yakin kalian semua masih cukup muda untuk tuli!” timpal ibu Lila.Semua orang terperangah, termasuk pak RT yang wajahnya sudah memerah karena kesal merasa dijadikan umpan oleh para warga. Bisik-bisik mulai terdengar riuh di telinga, para warga beralih topik pembicaraan, mereka menyuarakan keheranan sekaligus cibiran.Lila yang sejak tadi tertekan, kini mengangkat wajahnya. Matanya yang basah menatap Adip dan berkata, “Dip, makasih.” Adip menatap Lila sebentar lalu mengangguk lirih. Netranya beralih pandang pada kedua orang tuanya yang sudah siap menerkam. Pak damar menggenggam kursi erat, rahangnya pun mengeras."Anak itu... awan nanti kamu di rumah!” ucap pak Damar dalam hati.“Ehem, baik, karena tersangka sudah mengakui perbuatannya, maka saya pikir keputusan saya tadi salah,” ujar pak RT penuh rasa sesal.“Tentu sja sala
Adip memejamkan mata saat vas bunga yang Damar layangkan tepat mengenai pelipisnya. Darah segar mengalir, tetapi Adip tidak bergeming sedikitpun. Hatinya jauh lebih sakit dibanding hanya tergores pecahan beling.“Semakin lama, kamu semakin tidak punya sopan santun sama orang tua!” Terengah-engah Damar kembali memaki Adip. Tangannya memegangi dada yang tiba-tiba nyeri.Sebagai ibu, melihat Adip yang berlumuran darah, hati Rahayu sedikit tergerak untuk memeluk putranya, tetapi egonya masih lebih tinggi dari rasa kasihan. Jadi, dia hanya berakhir menatap putranya tanpa melakukan apapun.“S-sudah Ayah, jangan emosi lagi, duduk dulu, duduk, tarik nafas—buang?” ujar Rahayu menuntun suaminya untuk kembali duduk.Adip menyeka darah yang mulai menetes di pipinya, gerakannya pelan tanpa emosi. Tatapannya kosong, tertuju pada tangannya yang berlumuran merah. “Bagus,” katanya, suaranya datar nyaris tanpa tekanan. “Seperti inilah yang kalian ajarkan, selalu pakai kekerasan. Itu sebabnya gue jadi
“Woy! Siapa lo?”Adip membelalak bukan main ketika seorang gadis tiba-tiba muncul di rumah pohonnya. Terlebih, gadis itu memakai hoodie hitam yang menutupi kepala, sudah seperti malaikat pencabut nyawa.“Heh, memangnya aku hantu? Cewek cantik gini,” gerutunya kesal, tangannya membuka penutup kepala yang dia pakai. Barulah Adip menghela nafas lega.Adip menyipit kala sperti mengenal gadis tersebut, “Salma? Elo Salma, kan? 11 IPS 2!” tanya Adip agak ragu-ragu.Gadis itu menoleh cepat dan mengangguk dengan semangat, matanya berbinar, senyum bangga merekah di wajahnya.“Adip tahu namaku?” gumam Salma, pipinya merona. Ia menyelipkan sehelai rambut basah di balik telinganya dengan gerakan gugup.“Kan kita sekelas, masa lo nggak tau? Tiap hari juga kita ketemu!” kata Adip datar membuat Salma semakin tersipu. Dia tak menyangka ternyata Adip menyadari keberadaannya di antara sekian banyak murid di dalam kelas mereka.“Dih, si aneh. Kenapa jadi senyum-senyum dah?” tanya Adip masih dengan nada da
“Keterlaluan ya kamu! Kamu hampir membunuh Selly, loh, Dip! Tapi kamu nggak ada rasa menyesal sedikitpun!” geram Bu Widya sambil membetulkan kaca mata tebalnya yang melorot.Di sinilah mereka berada sekarang—ruang BK, menunggu orang tua masing-masing yang sudah dihubungi oleh pihak sekolah. Ketegangan terjadi di antara mereka bertiga, ruangan yang sempit menjadi lebih sesak ketika Bu Widya berbicara.“Merusak properti sekolah! Kalau saja Lila tidak cepat bertindak, kamu mungkin sekarang sudah berada di penjara!”Yap, benar sekali. Adip hampir membunuh Selly jika saja Lila tidak mendorongnya hingga pot bunga berbahan semen yang akan digunakan untuk menghantam kepala Selly beralih menghantam lantai.Lila tampak gelisah mendengar ucapan guru BK tersebut. Ia takut jika dikeluarkan dari sekolah karena sudah bertengkar hingga menyebabkan korban dibawa ke rumah sakit.Ia melirik Adip yang duduk di sebelahnya. Cowok itu menyandar cuek di kursi, pemandangan luar jendela tampaknya lebih menarik
“Kenapa dia?” batin Galang.Alih-alih mencari alasan untuk meninggalkan barisan, tanpa peduli dengan guru pengawas, Galang berlari mengejar kekasihnya dengan perasaan khawatir.Sementara Lila, gadis itu masuk ke dalam toilet dan mengunci pintunya dari dalam. Ia langsung menyalakan air keran dan menadahnya dengan tangan gemetar.Berulang-ulang ia menggosok bibirnya dengan kasar sampai telapak tangannya memerah karena tekanan. Luka lebamnya semakin perih, tetapi bayangan samar bibir Adip yang menempel pada bibirnya jauh lebih perih.“Jahat banget kamu, Dip! Aku benci sama kamu!” pekiknya tertahan karena takut jika ada yang mendengar. “Galang, maaf, maafin aku.”Sungguh, bayangan senyum hangat Galang ketika bersamanya semakin memupuk rasa bersalah yang kian membuncah.Adip benar-benar sudah melewati batas, keinginannya untuk menjauhi Adip kini semakin menggebu akibat kejadian yang tidak diinginkan tersebut.Brak brak brak“Lila, kamu di dalam kan? Lila! Ini aku, Galang!” Suara Galang cem
“Bapak yakin mau mengeluarkan anak saya? Apa bapak siap jika saya tarik semua investasi saya di sekolah ini?” Kepala sekolah menundukkan kepalanya mendengar pertanyaan Damar. Sepertinya ia lupa dengan konsekuensi itu.“Saya dengar di halaman belakang akan dibangun kolam renang, betul itu, Pak?”“Mulai,” gumam Adip. Damar meliriknya sinis, kemudian kembali beralih pandang pada kepala sekolah.Kepala sekolah mengangkat pandangannya dengan cepat, “B-betul sekali itu, Pak, kami belum punya kolam renang sendiri. Jadi kalau ada ekstrakurikuler renang kami harus menyewa kolam renang. Dan biayanya sangat besar, Pak Damar.”“Mata duitan,” gumam Adip lagi. Semua orang menatap ke arahnya dengan pandangan berbeda, “Apa liat-liat? Lanjutin aja cepet!”Sungguh, jika tidak ada siapapun di ruangan itu, Damar sudah babat habis mulut lemes anaknya tersebut. Sementara Kepala sekolah hanya berdehem canggung mendengar ucapan sarkas yang keluar dari mulut Adip.“Saya bisa pikirkan itu, bapak tidak perlu k
“Maksud Lo?” tanya Galang dengan dahi berkerut dalam. Namun, Adip terlihat santai menikmati nikotin di tangannya sambil bermain ponsel. Padahal, semua orang yang berada di ruangan tersebut menahan nafas sejenak, menunggu jawaban apa yang keluar dari mulut si sialan ini.Dengan tanpa rasa bersalahnya, cowok itu menaikkan sebelah alisnya, seakan bertanya tentang apa yang terjadi karena semua orang kini menatapnya intens.“Kenapa pada ngeliatin gue kek gitu? Emang gue salah?” tegur Adip.“Maksud Lo sayang sama cewek gue apaan, Dip? Jangan bikin orang salah paham sama ucapan Lo!” tegur Galang, tetapi Adip hanya mendengus, enggan menanggapi pertanyaan yang menurutnya tidak penting.“Rasa sayang sama orang tuh nggak harus didasari suka, Lang, jadi Lo jangan salah paham dulu,” ucap indra mencoba mencairkan suasana yang sedikit tegang.“Wishh, bro man gue nih!” kata Adip. Mereka bertiga bertos ria, disambung kekehan sumbang dari teman-teman yang lain.“Iya juga, sih,” katanya. Ketika matanya
Sedetik kemudian Lila merasakan benda kenyal bertubrukan dengan bibirnya. Tangannya tak bisa bergerak, cowok sialan itu menyatukan tangan Lila dan menghimpitnya ke tembok di atas kepala. Tangannya yang lain digunakan untuk merengkuh pinggang Lila agar tubuh mereka semakin rapat.“Eunghh.”Lenguhan panjang lolos dari bibirnya, gadis itu histeris, memberontak ketika bibirnya dilumat begitu dalam oleh Adip yang seperti kesetanan.Air mata Lila berlomba menuruni celah pipinya, tetapi Adip tak peduli. Hasratnya untuk menghapus jejak Galang di bibir Lila semakin menggebu ketika membayangkan adegan panas gadis itu bersama Galang.Lima menit berlalu, akhirnya Adip melepaskan ciumanya, memberi waktu untuk Lila meraup oksigen banyak-banyak. Namun, gadis itu malah mengumpati dirinya, “ANJ*NG LO! DASAR MESUM! CABUL! COWOK—Eunghhhh.”Kata-kata Lila tertelan saat Adip kembali menyambar bibirnya dengan lumatan lebih dalam dan lebih mendominasi. Dadanya bergemuruh mendengar umpatan yang baru saja ia d
Motor itu meluncur ke tepi jalan dan menghantam semak-semak sebelum akhirnya terguling dengan keras. Suara benturan terdengar nyaring, membuat beberapa warga yang kebetulan berada di sekitar area itu segera berlari ke lokasi kejadian. Lila terkapar tak bergerak di tanah, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir dari pelipisnya. Napasnya lemah, hampir tak terdengar. Dia pun tak bisa melihat langit dengan jelas sebab pandangannya kabur.Sementara Salma terbaring beberapa meter darinya, hanya dengan beberapa luka gores di lengan dan kakinya. Ia meringis kesakitan, tapi kesadarannya tetap penuh. “Cepat, angkat mereka ke mobil! Kita bawa ke rumah sakit!” teriak seorang pria paruh baya yang segera mengkoordinasi warga untuk membantu. Dalam waktu singkat, Lila dan Salma dibawa ke rumah sakit terdekat. Sirene ambulans meraung di udara, menyuarakan urgensi situasi. Salma duduk diam di atas tandu, tangannya yang terluka diikat perban seadanya. Sesekali, matanya melirik ke arah Lila yang t
Adip diikuti Lila sama-sama menoleh ke arah suara itu. Galang berdiri beberapa meter dari mereka dengan tatapan membara, napasnya memburu seperti baru saja berlari dikejar anjing.“Galang?” ucap kedua remaja itu bersamaan.“Lo nggak paham bahasa manusia, ya, Dip? Gue bilang jauhin Lila!” bentak Galang, langkahnya semakin mendekat.“Lo juga, La! Jadi cewek murahan banget. Bisa-bisanya Lo mau di ewe gratisan! Najis!”“Jaga, ya, mulut Lo!” Gertak Lila. Namun Galang hanya mendengus sinis, menatap Lila dengan pandangan jijik.“Sahabat macam apa Lo, Dip? Lo nusuk gue dari belakang tau nggak!”Adip yang dari tadi masih diam, mulai bangkit dari tempat duduknya, menatap Galang dengan senyum miring penuh ejekan. “Kenapa? Kalian mantan, jadi nggak ada alasan buat gue deketin Lila.”“Lo pikir ini lucu, hah? Video mesum kalian kesebar, lo bikin hidup Lila berantakan. Nggak tau malu emang ya lo?” Galang tak menunggu jawaban. Dia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Adip.Adip terhuyung ke belakan
Hari berikutnya, Lila berusaha menjalani rutinitas seperti biasa meski hatinya masih berat. Galang? Tentu saja cowok itu masih mengejarnya, tapi Lila mengabaikan segala perkataan Galang yang terus meminta dirinya untuk kembali.Dengan wajah yang sengaja ditampilkan setenang mungkin, dia melangkah masuk ke sekolah. Namun, begitu melewati gerbang, bisik-bisik dan tatapan aneh langsung menyergapnya. “Eh, itu Lila kan?” “Iya, yang ada di video itu, kan?” "Iyyuuuh, jijik banget nggak sih? anak bikin anak!"“Parah banget sih... pantes Adip sama Galang tengkar, ternyata ini toh penyebabnya? Di rumah pohon lagi.” Lila menghentikan langkahnya, bingung dengan gumaman murid-murid yang semakin jelas mengarah padanya. Tatapan mereka membuat tubuhnya terasa kaku, jantungnya berdegup kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya panik. Dia mencoba mengabaikan semua itu dan terus berjalan ke kelas. Tapi suasana yang lebih buruk menantinya di sana. Begitu masuk, semua mata tertuju padanya.
“A-apa?” Galang perlahan melonggarkan cekalan tangannya, lalu mengalihkan tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang. Matanya menghindari tatapan Lila yang kini juga telah beranjak duduk tepat di hadapannya. Senyap menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Lila menatap Galang dengan sorot mata yang sulit ditebak. Penasaran, kepastian dan sesuatu yang lain yang tak terdefinisi. “Galang...” Lila menggenggam lembut tangan Galang. “Apa benar... kamu pernah suka sama Adip—bukan... bukan suka sebagai sahabat. Tapi... dalam arti yang lain.” Kata-kata itu menggantung di udara, mulut Lila seakan tak mau mengatakan hal keji tersebut. Galang menaikkan sebelah alisnya, cowok itu malah terkekeh sinis, membuat Lila bingung dibuatnya. Namun dalam hati dia berkata, “Sialan Adip. Ternyata dia ngadu sama Lila.” “Kamu percaya aku kek gitu?” tanya Galang, cowok itu menatap Lila dengan intens. Lila menunduk dengan bibir terkatup rapat. Sebetulnya Lila ingin tak percaya, tapi
Pagi harinya saat mentari belum terlalu tinggi Adip mengerjap. Dia mengusap matanya, menghilangkan sisa kantuk yang melanda. Namun, saat matanya terbuka dia tidak menemukan Lila di mana pun.“Lila!” Tidak ada jawaban, bergegas Adip mencari keberadaan Lila di sekitar, tapi tetap tidak menemukan gadis itu.“Kemana dia?” gumamnya dengan suara serak khas bangun tidur.Sementara itu, di tempat lain, Lila yang sedang dicari-cari oleh Adip ternyata berada di rumah Galang. Ia sedang sibuk membereskan barang-barangnya yang tersisa di sana. Wajahnya terlihat datar, meskipun ada kilatan emosi yang sulit ditebak di matanya. Galang, yang berdiri di sudut ruangan, hanya mengamati tanpa berkata apa-apa. Suasana di antara mereka sangat canggung. Ada banyak hal yang ingin dikatakan, tetapi terhalang oleh sesuatu yang lebih besar dari kata-kata. “Lila.” Galang mendekat dan menahan gerakan tangan Lila yang sedang memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Kita perlu bicara, jangan kayak gini.”Lila be
“Enggak! Apa-apaan, nih? Kamu kira kostku tempat penampungan!” seru Salma. “Sal, tolong lah, malam ini aja, besok nggak lagi, kok!” Adip memohon. “Dip, kamu gila ya? Mana mungkin Salma mau kalau sama aku?” bisik Lila yang berdiri canggung di sampingnya. Terlebih, Salma menatapnya tidak bersahabat. “Sal, plis.” Adip meraih tangan Salma dan menggenggamnya, wajahnya memelas hingga membuat Salma hampir goyah, tapi gadis itu lekas menggelengkan kepala. Ya, dengan tidak tahu malu Adip meminta Salma menampung Lila untuk sementara waktu. Dan tentu saja Salma menolak mentah-mentah permintaan tersebut. Lagi pula, apa yang Adip harapkan dari reaksi Salma? Menerima mereka berdua? Tidak mungkin! “Nggak bisa! Kalau kamu doang boleh, tapi kalau sama dia aku nggak izinin!” putus Salma. Mendengar itu Lila mendecih sinis. “Orang gila. Kalau gue doang mah nggak bakal gue ngemis-ngemis ke elo!” kata Adip. Salma menatap Adip dengan tatapan terluka. Bagaimana mungkin cowok ini dengan entengn
Dahi Lila berkerut dalam, “Gay? Apa aku nggak salah denger? M-maksud kamu apa, Dip? Jangan becanda kamu, ya!”Lila menunjuk wajah Adip dan menatapnya menuntut.Sementara Adip memalingkan wajah dengan mata terpejam frustasi sebab telah keceplosan dan membongkar rahasia tentang Galang yang selama ini dia simpan rapat-rapat. “Mampus! Bisa-bisanya gue keceplosan! Mulut sialan!” umpatnya dalam hati. “Dip,” Lila menarik kaos yang Adip pakai memaksa cowok itu menghadap ke arahnya. “Jelasin sama aku kenapa kamu bilang Galang gay!”Adip meringis tak enak, “Aku becanda, kok,” katanya berkilah.“Nggak mungkin!” seru Lila. “Kamu pasti bohong, kan? Kamu sahabat Galang sejak dulu! Mana mungkin kamu cuma becanda!”Adip kembali merutuk dalam hati, bimbang pula antara harus jujur atau kembali menyimpan rapat rahasia kelam itu. Namun, setan di telinga kirinya berbisik untuk mengatakan yang sejujurnya, jadi cowok itu menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata, “Kamu gak salah denger, Galang memang dulu
Adip menghentikan langkahnya, untuk sejenak dia terpaku di ambang pintu. Dia memejamkan mata untuk meredam amarah yang membuncah. “Lila, ayo!” ucapnya tanpa menoleh ke arah kedua orang tuanya. “Adip… Nggak usah,” Lila memandangnya ragu, gadis itu menggeleng tapi tidak mampu berkata tidak sebab wajah Adip tampak tak bersahabat. Terpaksa dia menyetujui dan mengikuti langkah Adip keluar dari rumah yang kini terasa seperti neraka bagi Adip. “Adip! Kembali! Beraninya kamu—” Damar menahan tangan istrinya ketika Rahayu akan mengejar kepergian Adip. “Buk! Sudah! Nggak usah dikejar! Biarkan dia merasakan bagaimana hidup tanpa campur tangan orang tua!” “Tapi, Yah, Adip—” “Ayah bilang nggak usah ya nggak usah! Kita lihat saja nanti, seberapa lama dia bisa bertahan tanpa uang dari ayah! Paling juga besok pagi balik!” Rahayu hanya bisa menghela nafas panjang menanggapinya. Memang betul apa yang Damar katakan, sudah berulang kali Adip bertingkah seperti itu. Tapi ujung-ujungnya juga t
Adip memandang Lila yang masih menangis dalam pelukannya. Hujan tak mau berhenti mengguyur tanah, menyamarkan tangis dan luka hati gadis remaja itu. Bahkan, Lila tak mau di ajak pindah untuk mencari tempat berteduh. Jadi, terpaksa Adip ikut berdiri bersamanya sambil memayungi kepala Lila dengan kedua tangan.“Gimana kalau kita hujan-hujanan sambil naik motor?” ujar Adip. Lila mengangkat pandangannya dengan dahi berkerut dalam.“Kamu pulang dulu aja, Dip,” Lila kembali menunduk, “Aku masih mau di sini.”Adip menggeleng, “Ayo! Ikut!” Adip menarik paksa lengan Lila, dan menuntunnya menaiki motor. Lila menurut meski sedikit enggan. “Hujan-hujanan sambil naik motor lebih asik. Percaya sama aku!” kata Adip. Lila mendengus, cowok itu memang selalu punya cara untuk membuatnya menghilangkan rasa gundah.Sepanjang jalan yang sepi, motor mereka melaju pelan di bawah langit kelabu yang semakin petang. Kabut dingin menyelimuti, menyentuh kulit mereka berdua dengan lembut. Sementara Adip fokus men