"A-aku di mana?" pekik Alana panik. Matanya melotot, wajah tegang dan gugup. Dia tahu ini sebuah kamar, tetapi di mana? Dan bagaimana bisa dia ada di tempat ini. Bukankah tadi dia di ruangan Ethan? Mengingat Ethan dan pekerjaan, Alana reflek bangkit dari ranjang. Namun, dia tak beranjak–otomatis menoleh pada kakinya yang telanjang. Hei! Di mana heelsnya? Alana menoleh ke sana kemari untuk mencari heels tersebut, ternyata ada di ujung depan ranjang. Alana langsung mengambil dan menekannya. Setelah itu, dia segera merapikan pakaian dan tatanan rambut. Alana keluar dari kamar tersebut, gugup dan canggung karena dia langsung bersitatap dengan Ethan. Sialnya, hanya ada Ethan di ruangan ini. "Si-siang, Kak," sapa Alana, mencoba tetap ramah meskipun dia tak suka Ethan karena terlalu kaku dan datar. "Malam," jawab Ethan. Tiba-tiba berdiri dan segera mendekat ke arah Alana. "Hah?! Malam?" Alana bagai anak hilang, menoleh ke sana kemari demi memastikan sesuatu. Mengingat dia pun
"Apa? Besok aku sudah mulai pengambilan gambar dan shooting untuk promosi?" Alana begitu terkejut mendengar penjelasan Tia. Mereka sedang bertelponan. "Aku juga bertanggung jawab untuk iklan yah? Wah, bagus sekali. Luisa pasti tambah mengamuk padaku. Ahahaha … semakin dia mengamuk, semakin aku senang." 'Iya, tapi kita akan diawasi ketat oleh wakil CEO. Meskipun Tuan Ethan itu kakak sepupuku, tetapi aku merasa dia berbeda. Ma-maksudku … tak memandang persaudaraan kalau sudah menyangkut pekerjaan. Oh iya, aku akan mengirim aturan tambahan dan kontrak kerja sama. Jangan lupa dibaca.' "Hu'um." Alana berdehem singkat. Dia mengakhiri pembicaraan dengan Tia–menutup telepon, setelah itu jingkrak-jingkrak di atas ranjang karena sangat senang. "Oh my goodness! Aku dapat projek iklan juga. Aku nggak sabar untuk besok, ingin melihat Luisa melabrakku. Ahahaha …." "Yes … job-nya kuambil, jobnya kuambil. Yes yes yes yes …." "Kalau aku berhasil di sini, pasti aku akan dilirik banyak brand."
"Uhg, bagus-bagus semua fotonya." Alana melihat hasil jepretan Tia, semuanya bagus dan Alana sangat suka. 'Kak Ethan tampan juga kalau dilihat-lihat. Umm-- tampan pake banget sih sebenarnya. Tapi sayang, dia Azam dan … i don't like Azam. Iss, not my type.' batin Alana, tanpa sadar men-zoom wajah Ethan. Namun, ketika dia menyadari apa yang dia lakukan, Alana reflek mematikan zoom. Dia langsung menoleh ke arah Ethan, memastikan apakah Ethan melihat atau tidak. Untungnya tidak. "Kak, boleh tidak foto yang ini aku upload di sosial mediaku?" tanya Alana, memperlihatkan foto yang ingin dia posting di sosial media-nya. "Boleh." Ethan menjawab santai–Luke yang berdiri di sebelahnya membulatkan mata karena tercengang. Selain anti kamera, Ethan juga anti hal yang seperti Alana pinta. Bahkan di majalah bisnis yang membahas keluarga Azam, wajah Ethan selalu diblur. Namun, kenapa mendadak Ethan membiarkan. Dua hari bersama Alana, dua hari tuannya menunjukkan sikap yang tak biasa. "Aku mau t
"Terimakasih atas kerja samanya." Alana berterimakasih pada fotografer dan para kru. Pengambilan gambar hari ini telah selesai, dan Alana memang terbiasa berterimakasih pada kru yang bekerja dengannya. "Terimakasih juga, Nona Alana. Selain cantik, anda juga sangat baik." ujar sang fotografer. Alana tersenyum manis. Setelah itu pamit untuk keluar dari ruangan tersebut. Dia dan Tia berjalan bersama. Alana berencana pulang tanpa mengabari Ethan. Dia takut Ethan kembali mengantarnya pulang. Bukan apa-apa, Alana hanya tak enak hati pada kakaknya tersebut. Rumah mereka berlawanan arah. "Alana." Alana dan Tia yang sedang asyik mengobrol langsung berhenti melangkah. Mereka berdua memutar tubuh, menatap seorang perempuan yang memanggilnya. "Alana, kamu keterlaluan!" Luisa mengambil ancang-ancang untuk menampar Alana, akan tetapi Alana mengindari ke samping sehingga Luisa berakhir terjerembab. "Argkkk!" Luisa menjerit tak terima. "Kamu--" marahnya, menunjuk ke arah Alana.
"Meminta?" Ethan menaikkan sebelah alis, wajahnya datar dan begitu juga dengan sorot matanya; sayu tetapi mengintimidasi. Alana meneguk saliva secara kasar. Sial! Dia keseringan meminta minta pada kakaknya sehingga menyamakan semua orang dengan kakaknya. Ah, tentu saja Ethan berbeda! "Maksudku meminjam uang Kak Ethan. Setelah di rumah, nanti uangnya kuganti," ucap Alana dengan nada malas. Ethan ternyata pelit, dan sudah ia duga jika kebaikan Ethan selama beberapa hari ini hanya bentuk pencitraan saja. "Ini." Ethan menyerahkan dompetnya pada Alana, membuat perempuan itu terkejut karena tak ekspek Ethan akan menyerahkan dompetnya. Namun, saat Alana berniat mengambil dompet tersebut, Ethan menariknya–membuat Alana sedikit kesal karena merasa dipermainkan, "tidak perlu bayar sekarang, aku akan menagih di kemudian hari." "Iya iya. Nanti hutangku kucatat di buku khusus," jawab Lea pelan tetapi dengan nada cemberut, mengambil dompet Ethan lalu buru-buru kembali masuk ke minimarket. Et
Alana buru-buru mengambil tomat bentuk love tersebut lalu buru-buru memasukkannya dalam mulut. "Kau ikhlas memberikannya untukku, Alana?" tanya Ethan, menutup kembali kotak bekal. Dia menyandar ke kursi kerja, bersedekap dingin di dada sembari menatap datar ke arah Alana. Senyum tipis muncul di bibir pria tampan itu, geli melihat Alana sedang mengunyah tomat tadi secara terburu-buru. Insiden tomat love-- lumayan mengejutkan bagi Ethan. Namun, raut muka panik Alana lebih menarik! "Tentu saja." Alana menelan susah payah tomat tersebut. Dia suka tomat tetapi dia memakannya karena panik, hingga rasanya menelannya sangat sulit. "Tomat enak, Kak," lanjut Alana, diakhiri cengiran khas dan tatapan malu pada Ethan. 'Sepertinya Kak Ethan tidak mempermasalahkan tomat lope-lope tadi. Iss, siapa yang naro tomat lope-lope di bekal Kak Ethan sih?' batin Alana, masih menyengir pada Ethan. "Aku pamit, Kak," ujar Alana gugup, bergerak kikuk dan beranjak dari ruangan Ethan. "Cih." Ethan
"Apa terlalu kentara?" tanya Ethan dengan nada datar, berhasil membuat Luke terkejut–batuk-batuk karena tersedak makanan sendiri. Alana mendongak pada Luke dan Ethan, dia meraih tissue kemudian menyerahkannya pada Luke. "Ini, Pak." "Terimakasih, Nona," jawab Luke gugup, efek masih terkejut mendengar ucapan Ethan barusan. Ethan suka Alana! Mereka kembali makan dalam keheningan. Alana kembali kepikiran pada masalah tadi, di mana Samuel memarahi Ethan karena masalah konsep iklan yang telah dipakai oleh rival perusahaan. Semua disalahkan pada Ethan, dan Alana merasa kasihan. Di sisi lain, Ethan juga memikirkan masalah yang terjadi di perusahaan. Dia sedang bertanya pada dirinya sendiri, apakah memang benar ini kesalahannya?Setelah mereka selesai makan, Alana masih di sana. Alana mencuti-curi pandang pada Ethan yang tengah sibuk mencari solusi dari masalah ini. "Bagaimana, Tuan? Apa kita memakai konsep lama saja untuk iklan?" tanya Luke, "aku sudah berbicara dengan Tuan Samuel, dan
Setelah masalah kemarin, akhirnya Ethan bisa meyakinkan para petinggi perusahaan untuk menggunakan konsep yang idenya berasal dari Alana. Sedangkan Samuel, meskipun awalnya dia berat dan ragu, tetapi akhirnya dia memberikan kesempatan pada Ethan. Semua sudah fix dan besok mereka akan berangkat ke lokasi shooting. Karena temanya fantasi, mereka shooting di sebuah bangunan tua yang memiliki kemiripan dengan kastil. Alana sangat tak sabar karena dia merasa tertantang! Meskipun hanya sekedar iklan, tetapi iklan ini setara dengan film. Dia juga akan menampilkan skill aktingnya yang luar biasa, dan dia mengambil peran sebagai ratu vampire. Durasi iklan sekitar 30 detik per part. Sedangkan total keseluruhan iklan adalah dua menit, sehingga ada 4 part dalam iklan ini. Sayangnya, ada masalah. Mereka belum menemukan aktor cilik yang bisa memerankan si anak kecil berambut putih. Tetapi tenang! Di mana ada Alana, maka masalah akan teratasi. "Halo, Kakak ipar kesayanganku." Alana menghubung
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub