Beranda / Romansa / Dear, Ruby ... / 2 | Dear, Ruby ...

Share

2 | Dear, Ruby ...

Penulis: GRIZTAA
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bethany Brown

Dan pagi ini aku mengikuti detensi hanya karena meneriaki salah satu profesor kampusku dengan majas sinisme. Berlebihan.

Aku harus membereskan semua ini sendirian? Oh c'mon! Kamarku saja tidak pernah sekalipun aku coba untuk bereskan dengan tanganku yang hal—satan! Tanganku kotor!

"Dimana kau, ah, tidak. Aku tidak mungkin lupa membawanya. Diman—oh yeah thank god." Aku kembali bernafas lega ketika menemukan hand sanitizer-ku yang terselip didalam tasku. Aku benar-benar akan melaporkan ini kepada Remus! Dia harus tahu kalau anak satu-satunya ini dikenakan detensi yang keterlaluan!

Membereskan dan membersihkan gudang komputer. Tidakkah itu berlebihan? Dan jorok tentunya. Walaupun ruangan ini mungkin hanya 2x3 meter, tetap saja bagiku ini membuang waktu.

"Beth, ewh, ini menjijikan." Dan disana dua makhluk yang sudah aku tunggu dari satu jam yang lalu. Kenapa mereka baru datang sekarang! Apakah mereka bercinta dulu sebelum kesini? Tidak, Gina tidak suka lelaki imut semacam Louis. Mereka tidak mungkin melakukan itu—kecuali mungkin dalam keadaan mabuk.

"Kemana saja kalian!"

"Kami? Tentu menyelesaikan mata kuliah. Apa yang bisa kami bantu?" tanya Louis. Ah ya aku lupa. Mereka 'kan tadi menjadi anak manis yang tidak mencari masalah. Tumben sekali. Biasanya Louis dengan sengaja mengeluarkan suara desahan ditengah-tengah mata kuliah berlangsung.

"Tentu semuanya. Dari sana, hingga kesana. Bersihkan. Aku lelah." Suruhku. Louis mengangguk santai, sedangkan Gina menunjukkan wajah jijiknya kepadaku.

"Tunggu apa lagi, sana bantu Louis."

"Lalu, kau hanya diam disitu?" tanyanya, aku mengerdikkan bahuku santai sambil memainkan ponsel yang aku anggurkan selama satu jam tadi.

Tidak sia-sia aku bersahabat bersama mereka. Ya, setidaknya simbiosis mutualisme, mereka membutuhkanku untuk bersenang-senang, dan aku membutuhkan mereka untuk aku perintah. Simple.

Kau punya uang, kau punya kekuasaan.

Ya, aku sedikit bangga—atau banyak—menjadi anak seorang Remus Brown. I mean, siapa yang tidak mengenalnya? Seluruh Manhattan tahu siapa dia. Perusahaannya banyak, menjulang tinggi dibeberapa bagian dan negara. Aku bahkan tak mengerti bagaimana cara dia menghasilkan uang-uang itu hanya dalam hitungan jam.

Yang aku tahu hanya; bagaimana cara menghabiskannya. Tentu saja itu hal mudah.

Dan tidak ada yang menarik didalam aplikasi Instagramku. Ah, kurasa aku harus meminta Remus membelikanku Iphone terbaru. Aku sudah bosan dengan ponsel ini.

Aku meraih Marlboro dan pematiknya dari dalam tasku. Aku harus bisa mengatasi kebosanan ini. Tidak mungkin rasa bosanku hilang hanya karena melihat Louis dan Gina yang mengumpat sedari tadi ketika ada tikus dan laba-laba yang muncul entah dari penjuru mana aku tak perduli.

Aku menghisap rokok yang baru saja aku nyalakan. Hanya kurang liquor, jujur saja. Aku menikmati hari ini sesungguhnya.

"Kau, merokok?" tanya Louis. Kenapa dia seolah baru mengenalku. Apakah dia amnesia karena tadi kepalanya terbentur dengan kepala Gina?

"Jangan bersikap seolah kau tak mengenalku." Jawabku santai.

"Tidak seperti itu, Bethany! Kau tahu kampus kita mempunyai heat detector dan juga smoke detector." Lalu apa masalahnya? Tidakkah ia tahu kalau tempat ini adalah gudang?

"Ini gudang, Louis. Aku yakin detectornya mati. Untuk apa mereka menyalakan detector ditempat tak terpakai seperti ini." Jawabku santai.

"Matikan, okay. Aku sudah lelah, percaya padaku, detector tidak mereka matikan!"

"Easy, man. Berhenti berteriak. Aku bisa pastikan jika detector itu mat—"

RINGGGGGGGGGGGG

Dan kami bertiga, basah kuyup.

*******

"Ini salahmu! Seharusnya kau menurut apa yang aku suruh!" terus saja kau menyalahkanku dasar manusia kerdil tak tahu diri.

Kami bertiga, kembali mengikuti detensi. Seharusnya kami sudah pulang dari kampus ini sedari dua jam yang lalu. Tapi karena bell alarm sialan tadi, yang membuat seluruh penghuni kampus keluar karena panik, jadilah kami kembali detensi karena mereka mendapati awal mula detector berbunyi dari arah gudang ditempat kami tadi.

Jujur saja aku kedinginan. Bagaimana tidak, aku hanya memakai jeans dan atasan kaus putih polos. Ah bahkan bra-ku sudah tercetak jelas sekarang.

"Kau harus tahu tempat kalau ingin merokok."

"Berhenti menyalahkanku Louis! Tidakkah kau lihat aku kedinginan!" pekikku kesal sambil terus merapihkan buku-buku sesuai pada tempatnya. Memang dasar dosen sialan. Untuk apa dia menyuruh kami bertiga merapihkan buku-buku diperpustakaan lama. Bahkan tempat ini sudah tidak terpakai sama sekali. Ya, dipakai hanya untuk tempat bercinta oleh beberapa mahasiswa.

"Ini, pakai jaketku." Louis melemparkan jaketnya kepadaku. Aku memakainya, walau masih mendecak kesal. Aku dan Louis memang sering bertengkar seperti ini, menyalahkan satu sama lain. Tapi hanya sementara, karena sesudahnya kami pasti lupa dengan pertengkaran tadi.

"Bagianku sudah selesai. Apakah kalian juga?" tanya Gina yang baru saja muncul dari balik lemari buku.

"Ya, kurasa." Jawabku sambil melihat Louis, menunggu jawabannya apakah ia sudah selesai dengan bagiannya yang menyusun buku periklanan.

"Tentu. Ayo kita pergi dari tempat satan ini." Ucapnya sambil menarikku dan Gina keluar dari tempat terkutuk ini.

Okay. Aku tidak bohong jika sekarang kepalaku sedikit pening. Berlebihan sekali hanya karena terguyur air dari detector itu aku langsung sakit, itu terlalu dramatis.

Dan aku lagi-lagi harus menunggu Sean. Tidakkah ia hafal jadwal pulangku adalah pukul dua belas?

Seharusnya ia sudah disini, walaupun aku tidak pulang tepat waktu seharusnya ia menungguku! Menyusahkan!

Louis dan Gina sudah pulang lebih dulu. Untuk yang pertama kalinya aku merasa kasihan kepada mereka. Maka itu aku membiarkan mereka meninggalkanku.

Ketika aku tengah jenuh dan kesal menunggu Sean sialan itu, mataku menangkap sesosok pria yang tengah berjalan kearahku. Pandangannya sesekali menatapku, okay, dia cukup panas. Harus aku akui itu. Semoga saja dia bukan junior—fyi—aku tidak suka bermain dengan junior. Mereka—payah.

Dan sekarang jaraknya hanya tiga langkah didepanku. Ugh, that green eyes!

Baru dia ingin membuka mulutnya, aku sudah mendahuluinya. Aku tahu apa yang ia inginkan, terlebih semua orang tahu siapa aku.

"Oh aku tahu. Aku mengerti apa maksudmu kesini, berdiri dihadapanku. Aku tahu kau menginginkanku, 'kan? Kau tampan dan sangat panas. Tapi maaf, aku sedang sangat lelah hari ini. Kita lakukan lain waktu saja, okay?" lelaki yang berdiri dihadapanku ini menatapku dengan satu alis yang terangkat. Sebelum akhirnya ia terkekeh sambil mengusap hidungnya dengan jari telunjuknya.

"Aku kesini untuk menjemputmu, Nona Brown. Remus yang memberikan perintah. Perkenalkan, namaku Harry. Harry Kendrick."

Ya, setidaknya kali ini Remus tidak katarak atau parahnya—buta.

Dan, hanya itu yang kuingat—

*******

Aku dengan susah payah, membuka mataku. Rasanya sangat berat, aku bersumpah—walaupun masih berat tubuh Remus aku yakin. Aku menyadari diriku yang tengah tertidur diranjang empuk dan juga nyaman. Rasanya suasana ini tak asing bagiku dan ini luar biasa.

Dimana aku?

Santorini?

Paris?

New Zealand?

Sydney?

Tidak, ini dikamarku.

Aku langsung merubah posisiku, menjadi duduk. Aku mengamati inci per inci kamar tidurku. Apakah tadi aku tertabrak lalu amnesia? Tapi aku tahu, tadi aku sedang berdiri menunggu Sean untuk menjemputku. Lalu mengapa aku disini sekarang. Apakah aku punya kekuatan super?

Dengan keadaan mata yang masih berat, aku bisa mendengar suara derap kaki mendekati kamarku, dan tak lama, pintu itu terbuka. Baguslah ia tak perlu mengetuk pintunya, karena itu sangat mengganggu.

"Bagaimana keadaanmu?"

Aku mengernyitkan dahiku, tak lupa mataku memincing ketika melihatnya. Tunggu dulu ...

"Kau, aku pernah melihatmu. Apakah kau pangeranku, atau semacamnya?" tanyaku. Namun ia terkekeh santai.

"You feel better?" Tanyanya lagi.

"Aku sedang tidak ingin memainkan komparatif, jadi, ya, aku baik." Jawabku. Ia sedikit menarik ujung bibir kirinya, lalu setelahnya ia berdiri, meraih nampan yanh ada diatas nakas.

"Duduk, dan makanlah." Aku masih menatapnya—lebih fokus kepada bibirnya yang ingin sekali kujadikan makan malam? Atau sore? Jam berapa ini. Dan sekarang aku ingat, ia lelaki yang aku temui, sesaat sebelum aku akhirnya bangun dikamar ini.

Aku melihat nampan yang isinya terdapat alpukat, mashed potato, frankfurter dan susu cokelat.

"Mashed potato?" tanyaku, ia mengangguk santai.

"Kau membuatnya sendiri atau beli jadi dan kau hangatkan?" tanyaku lagi, ia sedikit berpikir dengan kepala yang sedikit ia miringkan.

"Kurasa, Marlyn? Namanya." Jawabnya dan aku mengerti.

"Okay."

"Ada masalah?" tanyanya, aku menggeleng pelan, bahkan teramat pelan.

"Aku hanya tidak suka mashed potato yang mengandung keju."

"Baiklah, aku mengerti. Makan." Ujarnya. Dia memang suka memerintah, atau bagaimana? Setelahnya ia melesat keluar dari kamarku, dalam diam. Apa yang salah denganku? Kenapa dia tidak terpesona denganku?

Tunggu,

Kenapa aku bisa ada disini. Tidakkah ia seharusnya memberikanku penjelasan? Dan dengan itu aku menyusulnya keluar, dan betapa terkejutnya aku dia duduk didepan kamarku, hanya berjarak satu meter kira-kira. Ia yang sedang memainkan ponselnya langsung menatapku.

"Sudah selesai dengan makananmu?" tanyanya. Aku memutarkan mataku. Bagaimana mungkin aku selesai makan hanya dalam waktu satu menit.

"Kau pikir aku memakan bubur bayi didalam? Tentu belum." Jawabku.

"Jaga leluconmu Nona Brown. Dan mulailah makan, habiskan semuanya." Oh dan sekarang dia sangat kaku.

"Aku tidak lapar, Mr. Stuffy." Jawabku sarkas.

"Kau pingsan karena telat makan. Kemana saja kau menghabiskan waktu makanmu? Dan sekarang belum mau makan?" aku langsung membulatkan mataku dengan sempurna. Dia, bercanda 'kan?

"Kau bercanda?"

"Apa aku terlihat bercanda?" tanyanya. Ya memang tidak, tapi, bagaimana bisa.

"Lalu kau membawaku kesini?"

"Aku tidak mungkin meninggalkan putri Tuan Brown satu-satunya tergeletak dilantai." Ucapnya.

"Siapa yang menggantikan bajuku? Setahuku bajuku basah tadi." Tanyaku. Dan ya kurasa ingatanku sudah kembali.

"Kau berharap siapa yang menggantikan bajumu, Nona Brown? Aku?" aku bersumpah dia sangat menyebalkan.

"Tentu saja tidak! Aku tidak sudi tubuhku dilihat olehmu!"

"Dan dengan segala hormat, Nona Brown, aku juga tidak ingin melihat tubuhmu. Sekarang makanlah. Mengenai bajumu yang basah, ada yang harus kita bicarakan tentang itu."

• • • •

To be continued,

Bab terkait

  • Dear, Ruby ...   3 | Dear, Ruby ...

    Bethany Brown"Dan apa yang ingin kau bicarakan." Tanyaku kepada lelaki ini. Aku terus memerhatikannya yang tengah menarik kursi meja riasku lalu sekarang, ia duduk didepanku. Kenapa dia menatapku seperti itu? Oh ataukah ia baru sadar akan pesonaku?"Kau terlalu banyak membuat masalah Nona Brown." Awalan yang baik sialan. Tidakkah ia bisa mencari kata lain untuk membuka pembicaraan ini?"Kurasa, masalah, adalah nama tengahku. Dan tolong, panggil aku Bethany, kurasa namaku tidak sulit untuk diucapkan.""Kita akan mulai membicarakan tentang masalah yang baru saja kau buat hari ini." Memangnya apa yang dia tahu tentangku."Tuan—siapa namamu? Okay baiklah, Tuan Kaku, aku tidak membuat masalah, apapun, hari ini.""Bagaimana dengan merokok didalam gudang disaat kau dikenakan detensi? Menyuruh dua sahabatmu untuk memb

  • Dear, Ruby ...   4 | Dear, Ruby ...

    Bethany's POV"APA YANG KAU LAKUKAN!" dan aku menaiki oktaf suaraku karena ulahnya! Dia membangunkanku dengan cara yang keterlaluan. Oh Tuhan untung saja aku bisa berenang. Tapi itu bukan masalah utamanya—INI DINGIN!Dia melemparku kedalam kolam renang memang sialan!"Membangunkanmu, tentu. Atau, should i clean you up?""Ini masih pukul delapan pagi!""Delapan lebih dua menit tiga puluh tiga detik, lebih tepatnya. Kau lupa tentang kata, disiplin, Beth?" dia berjongkok ditepi kolam renang, berbicara sangat santai sambil ia tersenyum polos. Aku benar-benar akan menonjok wajahnya itu!"Masih ada dua jam lagi untuk siapapun itu membuka kunci gerbang utama Columbia University!"

  • Dear, Ruby ...   P R O L O G U E

    Bethany BrownI am, Bethany Brown..Dan untuk yang kesekian kalinya, aku kembali memujanya. Semua tentangnya, baik fisik maupun nuraninya yang terlalu sempurna.Aku pikir, ketika aku bertemu dengannya dulu, kisah cintaku akan sama seperti kisah cintaku sebelum-sebelumnya. Yang kekanakkan, egois, singkat dan hanya tentang nafsu belaka.Tapi, ketika aku lebih mengenalnya dan rasa cintaku untuknya masuk lebih dalam kelubuk hatiku, ternyata, ini adalah kisah cinta yang sempurna.Kisah cinta yang tidak pernah ingin untuk aku akhiri. Kisah cinta yang selalu membuat duniaku jatuh-bangun. Kisah cinta yang selalu membuatku jungkir balik hanya karena hangatnya cinta yang ia berikan kepadaku.

  • Dear, Ruby ...   1 | Dear, Ruby ...

    Don't forget to press vote and give your comments, thank you.Bethany Brown"Kemana kau semalam. Pergi begitu saja dari club." Itu Louis. Ia sahabatku, kami berteman sedari di high school. Dan dia benar, aku memang pergi meninggalkannya di club semalam.Aku kembali menghisap rokokku, keadaan di smokar masih sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sudah hadir. Ini masih terlalu pagi, masih ada satu jam setengah untuk memulai mata kuliah pertama. Hari ini aku berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari Remus karena aku malas berbincang dengannya."Aku bermain dengan Ronald semalam." Jawabku santai. Sambil menaikkan kakiku keatas bangku taman yang ada didepanku."Woah! Apakah dia hebat diranjang?" Tanyanya dengan ketertarikan, aku bisa pastikan dia norma

Bab terbaru

  • Dear, Ruby ...   4 | Dear, Ruby ...

    Bethany's POV"APA YANG KAU LAKUKAN!" dan aku menaiki oktaf suaraku karena ulahnya! Dia membangunkanku dengan cara yang keterlaluan. Oh Tuhan untung saja aku bisa berenang. Tapi itu bukan masalah utamanya—INI DINGIN!Dia melemparku kedalam kolam renang memang sialan!"Membangunkanmu, tentu. Atau, should i clean you up?""Ini masih pukul delapan pagi!""Delapan lebih dua menit tiga puluh tiga detik, lebih tepatnya. Kau lupa tentang kata, disiplin, Beth?" dia berjongkok ditepi kolam renang, berbicara sangat santai sambil ia tersenyum polos. Aku benar-benar akan menonjok wajahnya itu!"Masih ada dua jam lagi untuk siapapun itu membuka kunci gerbang utama Columbia University!"

  • Dear, Ruby ...   3 | Dear, Ruby ...

    Bethany Brown"Dan apa yang ingin kau bicarakan." Tanyaku kepada lelaki ini. Aku terus memerhatikannya yang tengah menarik kursi meja riasku lalu sekarang, ia duduk didepanku. Kenapa dia menatapku seperti itu? Oh ataukah ia baru sadar akan pesonaku?"Kau terlalu banyak membuat masalah Nona Brown." Awalan yang baik sialan. Tidakkah ia bisa mencari kata lain untuk membuka pembicaraan ini?"Kurasa, masalah, adalah nama tengahku. Dan tolong, panggil aku Bethany, kurasa namaku tidak sulit untuk diucapkan.""Kita akan mulai membicarakan tentang masalah yang baru saja kau buat hari ini." Memangnya apa yang dia tahu tentangku."Tuan—siapa namamu? Okay baiklah, Tuan Kaku, aku tidak membuat masalah, apapun, hari ini.""Bagaimana dengan merokok didalam gudang disaat kau dikenakan detensi? Menyuruh dua sahabatmu untuk memb

  • Dear, Ruby ...   2 | Dear, Ruby ...

    Bethany BrownDan pagi ini aku mengikuti detensi hanya karena meneriaki salah satu profesor kampusku dengan majas sinisme. Berlebihan.Aku harus membereskan semua ini sendirian? Oh c'mon! Kamarku saja tidak pernah sekalipun aku coba untuk bereskan dengan tanganku yang hal—satan! Tanganku kotor!"Dimana kau, ah, tidak. Aku tidak mungkin lupa membawanya. Diman—oh yeah thank god." Aku kembali bernafas lega ketika menemukan hand sanitizer-ku yang terselip didalam tasku. Aku benar-benar akan melaporkan ini kepada Remus! Dia harus tahu kalau anak satu-satunya ini dikenakan detensi yang keterlaluan!Membereskan dan membersihkan gudang komputer. Tidakkah itu berlebihan? Dan jorok tentunya. Walaupun ruangan ini mungkin hanya 2x3 meter, tetap saja bagiku ini m

  • Dear, Ruby ...   1 | Dear, Ruby ...

    Don't forget to press vote and give your comments, thank you.Bethany Brown"Kemana kau semalam. Pergi begitu saja dari club." Itu Louis. Ia sahabatku, kami berteman sedari di high school. Dan dia benar, aku memang pergi meninggalkannya di club semalam.Aku kembali menghisap rokokku, keadaan di smokar masih sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sudah hadir. Ini masih terlalu pagi, masih ada satu jam setengah untuk memulai mata kuliah pertama. Hari ini aku berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari Remus karena aku malas berbincang dengannya."Aku bermain dengan Ronald semalam." Jawabku santai. Sambil menaikkan kakiku keatas bangku taman yang ada didepanku."Woah! Apakah dia hebat diranjang?" Tanyanya dengan ketertarikan, aku bisa pastikan dia norma

  • Dear, Ruby ...   P R O L O G U E

    Bethany BrownI am, Bethany Brown..Dan untuk yang kesekian kalinya, aku kembali memujanya. Semua tentangnya, baik fisik maupun nuraninya yang terlalu sempurna.Aku pikir, ketika aku bertemu dengannya dulu, kisah cintaku akan sama seperti kisah cintaku sebelum-sebelumnya. Yang kekanakkan, egois, singkat dan hanya tentang nafsu belaka.Tapi, ketika aku lebih mengenalnya dan rasa cintaku untuknya masuk lebih dalam kelubuk hatiku, ternyata, ini adalah kisah cinta yang sempurna.Kisah cinta yang tidak pernah ingin untuk aku akhiri. Kisah cinta yang selalu membuat duniaku jatuh-bangun. Kisah cinta yang selalu membuatku jungkir balik hanya karena hangatnya cinta yang ia berikan kepadaku.

DMCA.com Protection Status