Ah, andai saja aku bisa memutar waktu, maka tak akanku ajak Tono menemui Lisa. Jika saja hal itu tak terjadi, tentunya Tono tak akan merebut Lisa. Ah Tono..Tono. Kenapa kau tega mengkhianatiku. Padahal kau tahu bagaimana kami saling mencintai. Tapi kau sengaja menusukkan pisau belati ke punggungku. Meminta ayahmu membisikkan ke mamak Lisa supaya melamarmu manakala aku tengah merantau di negeri seberang.
Aku juga tak bisa menyalahkan mu, No. Mungkin ini juga kesalahanku. Aku yang tak berpunya. Tentunya keluarga Lisa lebih memilih kau yang mapan dan kaya raya. Sementara aku hanya seorang mahasiswa kere yang tengah mengadu nasib di perantauan.
Ah, Lisa. Bagaimana kau bisa meninggalkanku seperti ini? Padahal kau yang menangis-nangis kepadaku dahulu supaya aku tak melupakanmu di sini, di perantauanku. Aku sudah melakukannya. Aku tak pernah bermain mata dengan perempuan manapun. Aku bertahan sejauh ini hanya karena kamu, Sa.
Kau ingat janji kita dulu di tepian Danau Singkarak, Sa? Dua hari sebelum aku berangkat ke Jogja. Kita berjanji untuk saling setia. Kau berjanji akan menungguku pulang untuk meminang mu. Tapi apa yang aku dapatkan, Sa? Malah selenting kabar pernikahanmu dari pulau seberang. Hanya pengkhianatan yang aku dapatkan, Sa. Pengkhianatan cinta mu.
“Kau aku tanyai malah tambah melamun. Tak kau dengarkan aku ngomong? Sudah bosan rasanya aku mengulang-ulang itu juga. Tapi aku tak dapat tanggapan. Serasa ngomong sama tembok.” Bang Sidumpuan kembali mengagetkanku. Aku menatapnya seraya sedikit tersenyum.
“Maaf, bang. Bukan maksudku untuk membuat abang tersinggung apalagi resah. Aku tidak melamunkan Lisa, bang.” Aku berbohong. “Aku hanya tengah bingung menanggapi permintaan mamak-ku perihal pernikahanku. Aku belum siap, bang.”
“Apa lagi yang kau tunggu? Umur kau sudah hampir kepala tiga. Kerja sudah mapan. Kau juga seorang profesor muda sebentar lagi. Apalagi yang kau tunggu? Kau mau tunggu sampai si Lisa cerai. Lalu kau bisa menikahinya?”
“Ah, si abang. Janganlah abang mengada-ada seperti itu. Aku sama sekali tak berniat untuk mengusik pernikahan Lisa, bang. Dia pasti sudah bahagia sekarang. Apalagi yang tidak dia punya. Tono gagah, kaya raya. Dia juga punya cinta yang besar terhadap Lisa.”
“Kau juga punya segalanya, Nar. Aku yakin cintamu lebih besar dari pada cinta si Tono terhadap si Lisa.”
***
“Lisa.. Lisa..” Teriak Uda Tono mengagetkanku. Ah, alamat tidak baik untuk pagiku.
“Iya, uda. Sebentar.” Aku bergegas menuju ruang tamu. Mendapati suamiku tengah duduk bersama seorang laki-laki. Awalnya aku pangling dengan penampilan laki-laki itu. Tapi begitu melihat wajahnya, aku yakin dunia berputar sesaat waktu itu.
Aku takkan pernah lupa wajah laki-laki itu. Wajah yang setiap malam membayangi setiap dinding kamarku. Wajah yang senantiasa hadir di setiap mimpiku dan wajah yang selalu aku kenang bila aku tengah bertengkar dengan uda Tono. Wajah itu milik cinta pertamaku dan yang akan selalu menjadi cintaku. Meski aku tahu, aku tak pantas lagi untuk mengharapkan cintanya. Aku telah menghianatinya. Aku telah mengkhianati cinta dan sumpah kami.
“Tolong kau ambilkan minuman untuk Nara.”
“Iya, uda. Kopi atau teh, bang Nara?” Aku berbalik bertanya pada laki-laki itu. Berusaha sekuat mungkin untuk menyembunyikan rasa gugup dan kerinduanku yang meluap-luap.
“Tak usah repot-repot, Kari. Ambo cuma sebentar saja mau membicarakan perihal sawah yang digadaikan amak.”
“Kau jangan sungkan seperti itu padaku. Kita kan masih tetap kawan dan saudara. Buatkan saja kopi, Sa.”
“Baik, uda.” Aku bergegas meninggalkan ruang tamu. Jantungku tak bisa berdetak dengan normal. Rasanya seperti ada seseorang yang menabuh Tabuikdi dalam sana.
Aku ingin sekali menangis. Menangis bahagia melihat bang Nara dan menangis merana karena dia tak bisa lagi untukku genggam. Ah, andai saja waktu dapat di putar. Tentu aku akan mempertahankan bang Nara sekuat tenaga. Tapi apa daya. Ninik mamakku semuanya keras. Apa yang sudah jadi keputusan tak akan bisa digugat. Coba saja dulu aku berani untuk berkata tidak. Bila perlu aku mengancam akan bunuh diri jika permintaanku tak dituruti. Apalah daya. Aku tak punya cukup keberanian untuk melakukannya. Mungkin cintaku tak cukup kuat.
“Ayo duduk di sini.” Uda Tono menahanku supaya tetap di ruang tamu manakala aku selesai mengantar kopi. Ah, uda. Kenapa kau tega menyuruhku berada di sini. Apa kau sengaja untuk menunjukkan betapa bahagianya dirimu bisa memenangkanku. Kalau memang seperti itu tujuanmu, kau salah besar, uda. Bang Nara itu tidak buta. Dia pasti tahu betapa tak bahagianya aku bersamamu. Betapa kurusnya aku sekarang. Betapa tambah menuanya wajahku di banding umurku. Betapa lebamnya badanku kau pukuli setiap aku melakukan kesalahan kecil.
“Aku dengar kau menerima lamaran keluarganya mak Minah?”
“Iya, aku pikir sudah waktunya untuk menikah. Terlebih umurku sudah 27 tahun. Tak baik lama-lama membujang, hahaha.” Aku melihat bang Nara tertawa lepas. Hatiku sedikit mencelos mendengar dia akan segera menikah. Dia terlihat tidak terusik dengan kehadiranku. Wajahnya cerah seperti biasa. Hanya badannya yang terlihat semakin kurus saja. Mungkin karena banyak pikiran, dia sudah sukses sekarang. Aku senang. Setidaknya bang Nara bisa sukses sesuai dengan impiannya dulu. Meski kenyataannya aku tak bisa menjadi bagian dari kesuksesannya.
“Kau sudah jalan dengan dia?”
“Belum, Kari. Aku sibuk di Jakarta setahun belakangan ini. Terlebih aku juga harus bolak-balik ke Kanada.”
“Aku dengar dia kuliah di Jogja juga?”
“Iya. Dia kuliah di UIN. Masih satu almamater, tapi aku belum pernah bersua.”
“Kapan rencananya pernikahanmu akan dilangsungkan?”
“Aku juga belum sempat bercerita dengan niniak mamak.”
Aku ingin segera meninggalkan ruang tamu. Aku tak kuasa mendengarkan obrolan mengenai pernikahan bang Nara seperti ini. Ah, alangkah beruntungnya perempuan yang mendapatkan bang Nara. Siapakah dia gerangan? Apa dia lebih cantik dariku? Dia akan menjadi perempuan yang paling aku irikan. Karena dia berhasil mendapatkan bang Nara.
***
"Aku tidak mau menikah, mak. Aku itu masih kecil. Masih 20 tahun. Aku juga mau kuliah dulu. Aku masih semester lima, mak.” Aku bersungut-sungut menerima telepon amak. Masih saja telepon mengenai pernikahanku. Apalagi ini soal masa depan. Aku tak mau menikah cepat. Aku tak mau berhenti kuliah. Masih banyak mimpi-mimpiku yang belum aku capai. Aku juga tak mau kehilangan beasiswaku hanya karena menikah. Apalagi aku dengar calonku sudah tua. Sudah berumur 27 tahun.“Pokoknya Nala tak mau.” Aku mematikan teleponku.“Kamu kenapa, La? Kok marah-marah gitu.” Ria temanku memandangku dengan rasa ingin tahu yang besar. Aku menghela nafas. Memandang sekeliling. Tampak beberapa orang menatapku dengan ingin tahu. Aku sama sekali tak sadar jika tengah berada di tempat ngopi yang biasa aku datangi bersama anak-anak kontrakan daerah atau bersama teman-temanku. “Oi, kalau di tanya itu ya di jawab dong. Bukannya malah bengong.”&ldqu
Aku memandangi perempuan berjilbab abu-abu yang tengah mengomel-omel kepada orang yang di teleponnya. Hatiku sedikit bergetar tak menentu melihatnya marah-marah. Perasaan yang sama seperti yang pernah aku rasakan kepada Lisa. Ah, ngapain aku menatapinya seperti itu. Nanti dia malah risih. “Atul, bang.” Ujar gadis yang duduk di sampingku memperkenalkan diri. Semester lima jurusan Hukum Tatanegara.” “Syari’ah juga ya.” “Iya, bang. Ada satu lagi yang satu kosan. Namanya Nala, jurusan Sastra Inggris. Itu dia bang yang pake jilbab abu-abu.” Aku mengikuti telunjuk Atul yang mendarat pada gadis manis yang sedari tadi aku pandangi. Jadi namanya Nala. Aku kaget melihat gadis ini. Dia begitu blak-blakan sampai membuatku salah tingkah. Berbeda sekali dengan Lisa. “Abang kuliah dimana? Umurnya berapa? Udah nikah belum?” “Di McGill. Belum, rencananya mau nugguin kamu.” Entah karena kaget mendengar gombalanku atau karena apa. Gadis ini langsung ters
Mendengar Lisa sakit berat. Tak sampai hati aku untuk tak mengacuhkannya. Apalagi untuk tidak memikirkannya. Aku mulai dibayang-bayangi kembali oleh kehadiran Lisa. Wajah manisnya dulu kembali merusak bayangan Nala di dalam pikiranku. “Abang beneran mau pulang sekarang?” “Iya Nala. Ada yang harus abang urus di rumah. Tak bisa ditunda lagi.” “Ya sudah kalau begitu. Hati-hati ya, bang.” Meski Nala menghadiahkan senyumnya padaku. Aku dapat melihat dari matanya jika ia kecewa padaku. Bagaimanapun aku sudah berjanji padanya untuk pulang bersama saat dia liburan semester lima ini. Tapi aku juga tak bisa mengacuhkan Lisa begitu saja. Aku merasa kurang ajar pada kedua wanita ini. Terlebih kepada Nala. “Nara, ada sesuatu yang mau aku pinta kepadamu?” Tiba-tiba saja Tono menelponku pagi itu. “Ada apa Tono?” “Apa kau bisa pulang ke kampung dalam minggu ini? Lisa sakit keras. Dia selalu menyebut nama kau dalam igauannya. Aku tak bisa lagi me
Aku kaget melihat keramaian di rumah. Ternyata mak tidak berbohong padaku. Aku langsung ditarik oleh mak ke ruang tamu, menghadap tetua kaumku. Aku menyalami setiap orang. “Kapan kau sampai, La?” “Baru saja, ntan. “Antan berkumpul bersama dengan niniak mamak kau yang lain di rumah ini, buat membicarakan masalah pernikahan kau. Kami sepakat untuk membatalkannya.” Hatiku mencolos mendengar ucapan kakek. Cobaan apalagi ini Tuhan. Jadi ini yang terjadi. Pantas saja hatiku resah akir-akir ini. “Permasalahannya, Nara itu tak sebaik yang kami pikirkan. Dia ketahuan berbuat tidak baik kepada Lisa, mantannya dulu.” Apa? Aku berteriak dalam hati. Jadi bang Nara memilih untuk pulang cepat demi Lisa. Aku bertambah patah hati. Aku ingin menangis untuk pertama kalinya dikarenakan laki-laki. Tapi aku malu. Aku hanya diam sepanjang
Kau tak perlu takut dengan dunia ini, sayang. Aku takkan meninggalkan dirimu barang sedetik pun bersama dengan kekejaman di dalamnya. Kau cukup menatap ke depan, sayang. Maka biarkan aku mengurus segala yang sumbang.Jangan pergi, Lis. Aku tak bisa membayangkan hidupku ini tanpa dirimu. Kau sendiri juga tahu, Lis. Selama ini aku terlalu terbiasa dengan kehadiranmu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nanti hari-hariku. Tentunya sepi tanpa kehadiran mu. Lisa, kau ingat bahwa setiap hari aku senantiasa menyantap senyuman manja dari bibirmu. Lantas bagaimana hariku sekarang? Tentu aku akan sengsara menahan rasa lapar akan dirimu.Bang Nara. Apalagi yang bisa aku katakan kepada abang. Hatiku juga sudah terlanjur sakit. Sakit bukan karena abang. Tapi sakit karena perpisahan ini. Abang sendiri juga tahu bagaimana aku sangat mencintaimu. Bahkan aku tidak yakin. Bagaimana caranya aku bisa hidup tanpa kehadiran mu.Hidupku juga terasa hamp
Aku kaget melihat keramaian di rumah. Ternyata mak tidak berbohong padaku. Aku langsung ditarik oleh mak ke ruang tamu, menghadap tetua kaumku. Aku menyalami setiap orang. “Kapan kau sampai, La?” “Baru saja, ntan. “Antan berkumpul bersama dengan niniak mamak kau yang lain di rumah ini, buat membicarakan masalah pernikahan kau. Kami sepakat untuk membatalkannya.” Hatiku mencolos mendengar ucapan kakek. Cobaan apalagi ini Tuhan. Jadi ini yang terjadi. Pantas saja hatiku resah akir-akir ini. “Permasalahannya, Nara itu tak sebaik yang kami pikirkan. Dia ketahuan berbuat tidak baik kepada Lisa, mantannya dulu.” Apa? Aku berteriak dalam hati. Jadi bang Nara memilih untuk pulang cepat demi Lisa. Aku bertambah patah hati. Aku ingin menangis untuk pertama kalinya dikarenakan laki-laki. Tapi aku malu. Aku hanya diam sepanjang
Mendengar Lisa sakit berat. Tak sampai hati aku untuk tak mengacuhkannya. Apalagi untuk tidak memikirkannya. Aku mulai dibayang-bayangi kembali oleh kehadiran Lisa. Wajah manisnya dulu kembali merusak bayangan Nala di dalam pikiranku. “Abang beneran mau pulang sekarang?” “Iya Nala. Ada yang harus abang urus di rumah. Tak bisa ditunda lagi.” “Ya sudah kalau begitu. Hati-hati ya, bang.” Meski Nala menghadiahkan senyumnya padaku. Aku dapat melihat dari matanya jika ia kecewa padaku. Bagaimanapun aku sudah berjanji padanya untuk pulang bersama saat dia liburan semester lima ini. Tapi aku juga tak bisa mengacuhkan Lisa begitu saja. Aku merasa kurang ajar pada kedua wanita ini. Terlebih kepada Nala. “Nara, ada sesuatu yang mau aku pinta kepadamu?” Tiba-tiba saja Tono menelponku pagi itu. “Ada apa Tono?” “Apa kau bisa pulang ke kampung dalam minggu ini? Lisa sakit keras. Dia selalu menyebut nama kau dalam igauannya. Aku tak bisa lagi me
Aku memandangi perempuan berjilbab abu-abu yang tengah mengomel-omel kepada orang yang di teleponnya. Hatiku sedikit bergetar tak menentu melihatnya marah-marah. Perasaan yang sama seperti yang pernah aku rasakan kepada Lisa. Ah, ngapain aku menatapinya seperti itu. Nanti dia malah risih. “Atul, bang.” Ujar gadis yang duduk di sampingku memperkenalkan diri. Semester lima jurusan Hukum Tatanegara.” “Syari’ah juga ya.” “Iya, bang. Ada satu lagi yang satu kosan. Namanya Nala, jurusan Sastra Inggris. Itu dia bang yang pake jilbab abu-abu.” Aku mengikuti telunjuk Atul yang mendarat pada gadis manis yang sedari tadi aku pandangi. Jadi namanya Nala. Aku kaget melihat gadis ini. Dia begitu blak-blakan sampai membuatku salah tingkah. Berbeda sekali dengan Lisa. “Abang kuliah dimana? Umurnya berapa? Udah nikah belum?” “Di McGill. Belum, rencananya mau nugguin kamu.” Entah karena kaget mendengar gombalanku atau karena apa. Gadis ini langsung ters
"Aku tidak mau menikah, mak. Aku itu masih kecil. Masih 20 tahun. Aku juga mau kuliah dulu. Aku masih semester lima, mak.” Aku bersungut-sungut menerima telepon amak. Masih saja telepon mengenai pernikahanku. Apalagi ini soal masa depan. Aku tak mau menikah cepat. Aku tak mau berhenti kuliah. Masih banyak mimpi-mimpiku yang belum aku capai. Aku juga tak mau kehilangan beasiswaku hanya karena menikah. Apalagi aku dengar calonku sudah tua. Sudah berumur 27 tahun.“Pokoknya Nala tak mau.” Aku mematikan teleponku.“Kamu kenapa, La? Kok marah-marah gitu.” Ria temanku memandangku dengan rasa ingin tahu yang besar. Aku menghela nafas. Memandang sekeliling. Tampak beberapa orang menatapku dengan ingin tahu. Aku sama sekali tak sadar jika tengah berada di tempat ngopi yang biasa aku datangi bersama anak-anak kontrakan daerah atau bersama teman-temanku. “Oi, kalau di tanya itu ya di jawab dong. Bukannya malah bengong.”&ldqu
Ah, andai saja aku bisa memutar waktu, maka tak akanku ajak Tono menemui Lisa. Jika saja hal itu tak terjadi, tentunya Tono tak akan merebut Lisa. Ah Tono..Tono. Kenapa kau tega mengkhianatiku. Padahal kau tahu bagaimana kami saling mencintai. Tapi kau sengaja menusukkan pisau belati ke punggungku. Meminta ayahmu membisikkan ke mamak Lisa supaya melamarmu manakala aku tengah merantau di negeri seberang.Aku juga tak bisa menyalahkan mu, No. Mungkin ini juga kesalahanku. Aku yang tak berpunya. Tentunya keluarga Lisa lebih memilih kau yang mapan dan kaya raya. Sementara aku hanya seorang mahasiswa kere yang tengah mengadu nasib di perantauan.Ah, Lisa. Bagaimana kau bisa meninggalkanku seperti ini? Padahal kau yang menangis-nangis kepadaku dahulu supaya aku tak melupakanmu di sini, di perantauanku. Aku sudah melakukannya. Aku tak pernah bermain mata dengan perempuan manapun. Aku bertahan sejauh ini hanya karena kamu, Sa.Kau ingat janji kita dulu di te
Kau tak perlu takut dengan dunia ini, sayang. Aku takkan meninggalkan dirimu barang sedetik pun bersama dengan kekejaman di dalamnya. Kau cukup menatap ke depan, sayang. Maka biarkan aku mengurus segala yang sumbang.Jangan pergi, Lis. Aku tak bisa membayangkan hidupku ini tanpa dirimu. Kau sendiri juga tahu, Lis. Selama ini aku terlalu terbiasa dengan kehadiranmu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nanti hari-hariku. Tentunya sepi tanpa kehadiran mu. Lisa, kau ingat bahwa setiap hari aku senantiasa menyantap senyuman manja dari bibirmu. Lantas bagaimana hariku sekarang? Tentu aku akan sengsara menahan rasa lapar akan dirimu.Bang Nara. Apalagi yang bisa aku katakan kepada abang. Hatiku juga sudah terlanjur sakit. Sakit bukan karena abang. Tapi sakit karena perpisahan ini. Abang sendiri juga tahu bagaimana aku sangat mencintaimu. Bahkan aku tidak yakin. Bagaimana caranya aku bisa hidup tanpa kehadiran mu.Hidupku juga terasa hamp