Share

Bab Enam

Author: Fahmi Nur
last update Last Updated: 2021-08-25 18:09:55

Aku kaget melihat keramaian di rumah. Ternyata mak  tidak berbohong padaku. Aku langsung ditarik oleh mak ke ruang tamu, menghadap tetua kaumku.

Aku menyalami setiap orang.

“Kapan kau sampai, La?”

“Baru saja, ntan.

“Antan berkumpul bersama dengan niniak mamak kau yang lain di rumah ini, buat membicarakan masalah pernikahan kau. Kami sepakat untuk membatalkannya.” Hatiku mencolos mendengar ucapan kakek. Cobaan apalagi ini Tuhan. Jadi ini yang terjadi. Pantas saja hatiku resah akir-akir ini.

“Permasalahannya, Nara itu tak sebaik yang kami pikirkan. Dia ketahuan berbuat tidak baik kepada Lisa, mantannya dulu.” Apa? Aku berteriak dalam hati. Jadi bang Nara memilih untuk pulang cepat demi Lisa. Aku bertambah patah hati. Aku ingin menangis untuk pertama kalinya dikarenakan laki-laki. Tapi aku malu.

Aku hanya diam sepanjang pertemuan keluarga. Aku langsung mengunci diri manakala pertemuan usai.

“La, jangan mengunci diri seperti itu. Masak kau tak jadi nikah segitu banget. Masih banyak laki-laki lain di dunia ini. Kalau kau buru- buru mau nikah. Nanti mak bicarakan sama antan kau.”

“Nggak mau, mak. Aku maunya sama bang Nara. Dulu aja mak maksa-maksa nikah. Sekarang malah mak batalin.” Aku berteriak seraya merengek-rengek.

“Kau kan tahu sendiri apa yang sudah terjadi. Nara ketahuan berduaan dengan Lisa.”

“Apa salahnya dengan berdua, mak. Kan belum tentu mereka ngapa-ngapain.”

“Kau aneh-aneh saja. Mana ada orang yang berduaan tidak ngapa-ngapain.”

“Mak suudzon saja. Pokoknya aku nggak mau tau. Aku maunya sama bang Nara. Kalau nggak sama bang Nara, aku nggak mau makan. Mau mati saja.”

“Astaghfirullah. Istighfar, nak. Dulu saja kau tolak si Nara. Sekarang malah kau tangis-tangisi dia. Cengeng kau.”

“Pokoknya aku maunya bang Nara.” Aku berteriak. Aku mendengar mak menghela nafas panjang, lantas pergi. Aku hanya sesegukan di dalam kamar. Kenapa abang tega melakukan ini padaku, bang. Bukannya abang yang pertama kali menyatakan cinta padaku. Bukannya abang sendiri yang bilang kalau abang sudah melupakannya. Lantas mengapa sekarang abang yang berkianat.

“Aku harus menemui bang Nara.” Aku memanjat pintu kamarku, melompat dari lantai dua. Hal yang sering kali aku lakukan saat masih sekolah di pesantren dulu. Jika mak sampai tau kelakuanku ini. Aku bisa di rotan.

***

Aku mendengar kabar dari mak bahwa pernikahanku dan Nala dibatalkan.  Tampaknya terjadi kesalahpahaman dari pihak calon mertuaku. Aku sedikit menyesal. Aku memandangi Lisa yang tengah bercakap dengan anaknya. Sementara Tono sudah tak ada lagi di rumah ini. Dia memutuskan untuk melepaskan Lisa. Sementara Lisa berharap untukku nikahi. Aku bimbang. Di satu sisi aku ingin kembali pada Lisa. Di sisi lain aku juga mulai mencintai Nala.

Aku kaget melihat Nala. Aku lupa kalau hari ini adalah hari kepulangannya. Aku tengah menyuapi Rio, anaknya Lisa. Tampak sekali kekecewaan di mata gadis itu. Aku melihat matanya bengkak. Sepertinya dia sudah tahu perihal pernikahan kami yang dibatalkan. Nala berjalan mendekat menuju kami. 

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

“Maaf cari siapa ya?” Lisa mendahuluiku bertanya pada Nala.

“Tidak ada. Aku hanya mau ngucapin selamat pada bang Nara dan juga kamu kak Lisa. Selamat atas rencana pernikahan kalian.”

Kamu kenalan bang Nara, ya? Makasih ya untuk ucapannya. Doaakan saja pernikahan kami lancar. Oh, iya. Nama kamu siapa?” Lisa tersenyum ramah pada Nala. Aku hanya melongos. Kenapa Lisa menganggap bahwa aku pasti akan menikahinya.

“Aku Nala, kak.” Nala langsung meninggalkan kami usai memperkenalkan diri. Lisa sedikit terkejut mendengar nama Nala. Aku berlari mengejar Nala. Aku sudah memutuskan untuk mengikuti kata hatiku. Aku pernah berkata akan mempertahankannya. Maka aku akan mengejarnya dan tak akan melepasnya. Lisa boleh jadi menjadi cinta pertamaku. Tapi tetap saja dia bukanlah jodoh yang ditakdirkan Tuhan untukku.

Memang taka lagi penghalang hubungan kami. Tapi aku yakin, rasaku untuk Lisa bukan lagi rasa yang sama. Rasa yang aku rasakan sekarang, hanyalah rasa kasihan. Hanyalah rasa cinta seorang kakak kepada adiknya. Bukan lagi rasa seorang laki-laki kepada perempuan.

“Nara. Tunggu aku. Jangan pergi.” Aku mendengar suara Lisa sayup-sayup meneriakiku. Tapi aku sudah terlalu jauh berlari. Aku tak berniat untuk menengok ke belakang. Aku tak berniat untuk menengok kembali masa laluku.

***

Aku memandangi laki-laki yang tengah diwawancara di televisi. Aku tersenyum lega. Setidaknya melihatnya di televisi telah mengobati sedikit kerinduanku. Menyirami pohon hatiku yang kering. Sudah dua tahun pohonku layu.

Daunnyal telah lama menguning dan perlahan mulai rontok. Tak terdengar lagi nyanyian di dalamnya. Tak terlihat lagi awan yang akan membawa hujan. Aku telah memutuskan untuk meninggalkan angin yang akan membawa awan. Aku memutuskan untuk meninggalkan bang Nara untuk waktu yang entah sampai kapan.

Semenjak kejadian dua tahun lalu. Aku tak bertemu dengan bang Nara. Aku memutuskan untuk menghentikan segala macam komunikasi dengannya. Aku yakin dia sudah bahagia dengan Lisa. Jika membayangkan Lisa. Aku tambah sengsara. Wajahnya yang cantik. Senyumnya yang ramah dan sopan. Berbeda sekali dengan aku yang urak-urakan. Jika kami digabungkan dalam sebuah lirik lagu, maka akan terlihat sumbang.

Maka ku biarkan daun-daunku terbang di makan zaman. Tak berniatku untuk mencari angin aataupun awan. Apalagi berniat supaya Tuhan datangkan hujan. Maka biarkanlah daun ini bernyanyi walau terdengar sumbang. Bila masanya tiba tentu dia juga akan diam dan jatuh dalam kubangan kenangan.

***

Harusnya kau mendengarkan dulu penjelasanku. Kini kita benar-benar terpisahkan oleh jarak seperti ini. Aku tak bisa menghubungi mu sama sekali. Bahkan tak seorangpun mau memberitahukan keberadaan mu padaku. Aku akui kesalahanku yang dulu sudah berniat untuk menghianatimu. Aku menyesal. Bisakah kau kembali datang?

Berkali-kali aku mendatangi rumah Nala, tapi langsung diusir oleh keluarganya. Aku tahu, mereka masih salah paham padaku. Tapi aku juga tak bisa seperti ini terus. Aku tak bisa melepaskan gadisku lagi, seperti dulu aku melepaskan Lisa.

***

Related chapters

  • Daun Yang Sumbang   Bab Satu

    Kau tak perlu takut dengan dunia ini, sayang. Aku takkan meninggalkan dirimu barang sedetik pun bersama dengan kekejaman di dalamnya. Kau cukup menatap ke depan, sayang. Maka biarkan aku mengurus segala yang sumbang.Jangan pergi, Lis. Aku tak bisa membayangkan hidupku ini tanpa dirimu. Kau sendiri juga tahu, Lis. Selama ini aku terlalu terbiasa dengan kehadiranmu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nanti hari-hariku. Tentunya sepi tanpa kehadiran mu. Lisa, kau ingat bahwa setiap hari aku senantiasa menyantap senyuman manja dari bibirmu. Lantas bagaimana hariku sekarang? Tentu aku akan sengsara menahan rasa lapar akan dirimu.Bang Nara. Apalagi yang bisa aku katakan kepada abang. Hatiku juga sudah terlanjur sakit. Sakit bukan karena abang. Tapi sakit karena perpisahan ini. Abang sendiri juga tahu bagaimana aku sangat mencintaimu. Bahkan aku tidak yakin. Bagaimana caranya aku bisa hidup tanpa kehadiran mu.Hidupku juga terasa hamp

    Last Updated : 2021-08-25
  • Daun Yang Sumbang   Bab Dua

    Ah, andai saja aku bisa memutar waktu, maka tak akanku ajak Tono menemui Lisa. Jika saja hal itu tak terjadi, tentunya Tono tak akan merebut Lisa. Ah Tono..Tono. Kenapa kau tega mengkhianatiku. Padahal kau tahu bagaimana kami saling mencintai. Tapi kau sengaja menusukkan pisau belati ke punggungku. Meminta ayahmu membisikkan ke mamak Lisa supaya melamarmu manakala aku tengah merantau di negeri seberang.Aku juga tak bisa menyalahkan mu, No. Mungkin ini juga kesalahanku. Aku yang tak berpunya. Tentunya keluarga Lisa lebih memilih kau yang mapan dan kaya raya. Sementara aku hanya seorang mahasiswa kere yang tengah mengadu nasib di perantauan.Ah, Lisa. Bagaimana kau bisa meninggalkanku seperti ini? Padahal kau yang menangis-nangis kepadaku dahulu supaya aku tak melupakanmu di sini, di perantauanku. Aku sudah melakukannya. Aku tak pernah bermain mata dengan perempuan manapun. Aku bertahan sejauh ini hanya karena kamu, Sa.Kau ingat janji kita dulu di te

    Last Updated : 2021-08-25
  • Daun Yang Sumbang   Bab Tiga

    "Aku tidak mau menikah, mak. Aku itu masih kecil. Masih 20 tahun. Aku juga mau kuliah dulu. Aku masih semester lima, mak.” Aku bersungut-sungut menerima telepon amak. Masih saja telepon mengenai pernikahanku. Apalagi ini soal masa depan. Aku tak mau menikah cepat. Aku tak mau berhenti kuliah. Masih banyak mimpi-mimpiku yang belum aku capai. Aku juga tak mau kehilangan beasiswaku hanya karena menikah. Apalagi aku dengar calonku sudah tua. Sudah berumur 27 tahun.“Pokoknya Nala tak mau.” Aku mematikan teleponku.“Kamu kenapa, La? Kok marah-marah gitu.” Ria temanku memandangku dengan rasa ingin tahu yang besar. Aku menghela nafas. Memandang sekeliling. Tampak beberapa orang menatapku dengan ingin tahu. Aku sama sekali tak sadar jika tengah berada di tempat ngopi yang biasa aku datangi bersama anak-anak kontrakan daerah atau bersama teman-temanku. “Oi, kalau di tanya itu ya di jawab dong. Bukannya malah bengong.”&ldqu

    Last Updated : 2021-08-25
  • Daun Yang Sumbang   Bab Empat

    Aku memandangi perempuan berjilbab abu-abu yang tengah mengomel-omel kepada orang yang di teleponnya. Hatiku sedikit bergetar tak menentu melihatnya marah-marah. Perasaan yang sama seperti yang pernah aku rasakan kepada Lisa. Ah, ngapain aku menatapinya seperti itu. Nanti dia malah risih. “Atul, bang.” Ujar gadis yang duduk di sampingku memperkenalkan diri. Semester lima jurusan Hukum Tatanegara.” “Syari’ah juga ya.” “Iya, bang. Ada satu lagi yang satu kosan. Namanya Nala, jurusan Sastra Inggris. Itu dia bang yang pake jilbab abu-abu.” Aku mengikuti telunjuk Atul yang mendarat pada gadis manis yang sedari tadi aku pandangi. Jadi namanya Nala. Aku kaget melihat gadis ini. Dia begitu blak-blakan sampai membuatku salah tingkah. Berbeda sekali dengan Lisa. “Abang kuliah dimana? Umurnya berapa? Udah nikah belum?” “Di McGill. Belum, rencananya mau nugguin kamu.” Entah karena kaget mendengar gombalanku atau karena apa. Gadis ini langsung ters

    Last Updated : 2021-08-25
  • Daun Yang Sumbang   Bab Lima

    Mendengar Lisa sakit berat. Tak sampai hati aku untuk tak mengacuhkannya. Apalagi untuk tidak memikirkannya. Aku mulai dibayang-bayangi kembali oleh kehadiran Lisa. Wajah manisnya dulu kembali merusak bayangan Nala di dalam pikiranku. “Abang beneran mau pulang sekarang?” “Iya Nala. Ada yang harus abang urus di rumah. Tak bisa ditunda lagi.” “Ya sudah kalau begitu. Hati-hati ya, bang.” Meski Nala menghadiahkan senyumnya padaku. Aku dapat melihat dari matanya jika ia kecewa padaku. Bagaimanapun aku sudah berjanji padanya untuk pulang bersama saat dia liburan semester lima ini. Tapi aku juga tak bisa mengacuhkan Lisa begitu saja. Aku merasa kurang ajar pada kedua wanita ini. Terlebih kepada Nala. “Nara, ada sesuatu yang mau aku pinta kepadamu?” Tiba-tiba saja Tono menelponku pagi itu. “Ada apa Tono?” “Apa kau bisa pulang ke kampung dalam minggu ini? Lisa sakit keras. Dia selalu menyebut nama kau dalam igauannya. Aku tak bisa lagi me

    Last Updated : 2021-08-25

Latest chapter

  • Daun Yang Sumbang   Bab Enam

    Aku kaget melihat keramaian di rumah. Ternyata mak tidak berbohong padaku. Aku langsung ditarik oleh mak ke ruang tamu, menghadap tetua kaumku. Aku menyalami setiap orang. “Kapan kau sampai, La?” “Baru saja, ntan. “Antan berkumpul bersama dengan niniak mamak kau yang lain di rumah ini, buat membicarakan masalah pernikahan kau. Kami sepakat untuk membatalkannya.” Hatiku mencolos mendengar ucapan kakek. Cobaan apalagi ini Tuhan. Jadi ini yang terjadi. Pantas saja hatiku resah akir-akir ini. “Permasalahannya, Nara itu tak sebaik yang kami pikirkan. Dia ketahuan berbuat tidak baik kepada Lisa, mantannya dulu.” Apa? Aku berteriak dalam hati. Jadi bang Nara memilih untuk pulang cepat demi Lisa. Aku bertambah patah hati. Aku ingin menangis untuk pertama kalinya dikarenakan laki-laki. Tapi aku malu. Aku hanya diam sepanjang

  • Daun Yang Sumbang   Bab Lima

    Mendengar Lisa sakit berat. Tak sampai hati aku untuk tak mengacuhkannya. Apalagi untuk tidak memikirkannya. Aku mulai dibayang-bayangi kembali oleh kehadiran Lisa. Wajah manisnya dulu kembali merusak bayangan Nala di dalam pikiranku. “Abang beneran mau pulang sekarang?” “Iya Nala. Ada yang harus abang urus di rumah. Tak bisa ditunda lagi.” “Ya sudah kalau begitu. Hati-hati ya, bang.” Meski Nala menghadiahkan senyumnya padaku. Aku dapat melihat dari matanya jika ia kecewa padaku. Bagaimanapun aku sudah berjanji padanya untuk pulang bersama saat dia liburan semester lima ini. Tapi aku juga tak bisa mengacuhkan Lisa begitu saja. Aku merasa kurang ajar pada kedua wanita ini. Terlebih kepada Nala. “Nara, ada sesuatu yang mau aku pinta kepadamu?” Tiba-tiba saja Tono menelponku pagi itu. “Ada apa Tono?” “Apa kau bisa pulang ke kampung dalam minggu ini? Lisa sakit keras. Dia selalu menyebut nama kau dalam igauannya. Aku tak bisa lagi me

  • Daun Yang Sumbang   Bab Empat

    Aku memandangi perempuan berjilbab abu-abu yang tengah mengomel-omel kepada orang yang di teleponnya. Hatiku sedikit bergetar tak menentu melihatnya marah-marah. Perasaan yang sama seperti yang pernah aku rasakan kepada Lisa. Ah, ngapain aku menatapinya seperti itu. Nanti dia malah risih. “Atul, bang.” Ujar gadis yang duduk di sampingku memperkenalkan diri. Semester lima jurusan Hukum Tatanegara.” “Syari’ah juga ya.” “Iya, bang. Ada satu lagi yang satu kosan. Namanya Nala, jurusan Sastra Inggris. Itu dia bang yang pake jilbab abu-abu.” Aku mengikuti telunjuk Atul yang mendarat pada gadis manis yang sedari tadi aku pandangi. Jadi namanya Nala. Aku kaget melihat gadis ini. Dia begitu blak-blakan sampai membuatku salah tingkah. Berbeda sekali dengan Lisa. “Abang kuliah dimana? Umurnya berapa? Udah nikah belum?” “Di McGill. Belum, rencananya mau nugguin kamu.” Entah karena kaget mendengar gombalanku atau karena apa. Gadis ini langsung ters

  • Daun Yang Sumbang   Bab Tiga

    "Aku tidak mau menikah, mak. Aku itu masih kecil. Masih 20 tahun. Aku juga mau kuliah dulu. Aku masih semester lima, mak.” Aku bersungut-sungut menerima telepon amak. Masih saja telepon mengenai pernikahanku. Apalagi ini soal masa depan. Aku tak mau menikah cepat. Aku tak mau berhenti kuliah. Masih banyak mimpi-mimpiku yang belum aku capai. Aku juga tak mau kehilangan beasiswaku hanya karena menikah. Apalagi aku dengar calonku sudah tua. Sudah berumur 27 tahun.“Pokoknya Nala tak mau.” Aku mematikan teleponku.“Kamu kenapa, La? Kok marah-marah gitu.” Ria temanku memandangku dengan rasa ingin tahu yang besar. Aku menghela nafas. Memandang sekeliling. Tampak beberapa orang menatapku dengan ingin tahu. Aku sama sekali tak sadar jika tengah berada di tempat ngopi yang biasa aku datangi bersama anak-anak kontrakan daerah atau bersama teman-temanku. “Oi, kalau di tanya itu ya di jawab dong. Bukannya malah bengong.”&ldqu

  • Daun Yang Sumbang   Bab Dua

    Ah, andai saja aku bisa memutar waktu, maka tak akanku ajak Tono menemui Lisa. Jika saja hal itu tak terjadi, tentunya Tono tak akan merebut Lisa. Ah Tono..Tono. Kenapa kau tega mengkhianatiku. Padahal kau tahu bagaimana kami saling mencintai. Tapi kau sengaja menusukkan pisau belati ke punggungku. Meminta ayahmu membisikkan ke mamak Lisa supaya melamarmu manakala aku tengah merantau di negeri seberang.Aku juga tak bisa menyalahkan mu, No. Mungkin ini juga kesalahanku. Aku yang tak berpunya. Tentunya keluarga Lisa lebih memilih kau yang mapan dan kaya raya. Sementara aku hanya seorang mahasiswa kere yang tengah mengadu nasib di perantauan.Ah, Lisa. Bagaimana kau bisa meninggalkanku seperti ini? Padahal kau yang menangis-nangis kepadaku dahulu supaya aku tak melupakanmu di sini, di perantauanku. Aku sudah melakukannya. Aku tak pernah bermain mata dengan perempuan manapun. Aku bertahan sejauh ini hanya karena kamu, Sa.Kau ingat janji kita dulu di te

  • Daun Yang Sumbang   Bab Satu

    Kau tak perlu takut dengan dunia ini, sayang. Aku takkan meninggalkan dirimu barang sedetik pun bersama dengan kekejaman di dalamnya. Kau cukup menatap ke depan, sayang. Maka biarkan aku mengurus segala yang sumbang.Jangan pergi, Lis. Aku tak bisa membayangkan hidupku ini tanpa dirimu. Kau sendiri juga tahu, Lis. Selama ini aku terlalu terbiasa dengan kehadiranmu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nanti hari-hariku. Tentunya sepi tanpa kehadiran mu. Lisa, kau ingat bahwa setiap hari aku senantiasa menyantap senyuman manja dari bibirmu. Lantas bagaimana hariku sekarang? Tentu aku akan sengsara menahan rasa lapar akan dirimu.Bang Nara. Apalagi yang bisa aku katakan kepada abang. Hatiku juga sudah terlanjur sakit. Sakit bukan karena abang. Tapi sakit karena perpisahan ini. Abang sendiri juga tahu bagaimana aku sangat mencintaimu. Bahkan aku tidak yakin. Bagaimana caranya aku bisa hidup tanpa kehadiran mu.Hidupku juga terasa hamp

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status