Nathan menjatuhkan tubuhnya pada sebuah kasur besar yang ada di ranjang kamarnya. Matanya memandang ke langit-langit kamar dengan cahaya lampu yang sudah redup itu.
Sejenak, Nathan memasang senyum lebar di sudut bibirnya. Pikirannya menerawang jauh ke rumah seorang bidan muda yang baru saja ditemuinya tadi pagi.Jingga.Jingga berhasil membuat kesan terindah untuk Nathan. Memberikan sebuah pengalaman yang tak akan pernah bisa dilupakan bagi Nathan. Jingga. Sosok wanita perkasa yang terlihat kuat dan hebat tapi juga terlihat polos dan anggun disaat yang bersamaan. Sosok wanita muda yang bisa membantu sebuah kehidupan baru untuk melihat dunia ini.Nathan tertawa kecil. Tidak. Tawanya sangat lebar. Hingga memenuhi wajahnya yang kecil itu.
Plakk..Nathan bertepuk tangan. Seketika lampu dengan sensor di kamarnya itu menyala dengan indahnya. Tampak sebuah kamar yang cukup luas dengan desain yang sangat mewah. Di salah satu sudut ruangan terdapat sebuah meja kerja nan elegan yang biasa digunakan Nathan jika harus lembur bekerja di kamarnya.Di atas meja itu terdapat tumpukan buku yang menjulang hampir 1 meter. Tanda Nathan selalu membawa pekerjaannya sampai ke rumah. Nathan adalah seorang programmer muda yang bisa dibilang sangat sukses di bidangnya. Bahkan, Nathan juga telah memiliki sebuah perusahaan yang cukup besar berkat aplikasi yang dikembangkannya itu. Tak heran jika Nathan memiliki bertumpuk-tumpuk buku di kamarnya karena pekerjaannya yang bahkan tak bisa diselesaikannya selama 1 hari.Tok... Tok... Tok...Ceklek...Pintu kamar Nathan terbuka dengan sendirinya."Mas," panggil seorang wanita paruh baya pada Nathan. Ibu Rini namanya. Seorang wanita yang sudah bekerja lebih dari 25 tahun di rumah Nathan. Bahkan bisa mungkin lebih lama dari pada umur Nathan saat ini."Mau di siapin air anget?" tanya Bu Rini dengan nada lembutnya pada Nathan. Nathan mendongakkan kepalanya. Memandang Bu Rini yang menunggu jawaban darinya."Nggak usah, buk," jawab Nathan singkat."Makan malamnya?" lanjut Bu Rini dengan pertanyaannya. Nathan diam sesaat lalu menggeleng pelan."Nggak perlu. Nanti kalau saya mau makan, biar saya urus sendiri aja," kata Nathan santun. Bu Rini mengangguk dan segera keluar dari kamar Nathan. Membiarkan Nathan kembali menikmati rebahan di kasurnya.Bu Rini memang sudah dianggap Nathan sebagai keluarga sendiri. Karena, semua yang ada di rumah ini memang sesuai dengan peraturan Bu Rini. Bisa dibilang Bu Rini adalah senior dari semua pegawai di rumah Nathan.Nathan bangkit dari tidurnya. Berjalan ke meja kerja yang tampak berantakan itu. Dilihatnya sebuah bingkai kecil bergambar foto dirinya sendiri.Nathan tersenyum tipis. Pikirannya melayang pada sebuah bingkai foto yang ada di atas meja klinik milik Jingga. Di foto itu terlihat foto Jingga dan Arga yang terlihat sangat bahagia. Nathan memasang senyum kecil di sudut bibirnya. 'Gadis itu sudah memiliki pacar'Pikirnya sejak pertama melihat foto Arga dan Jingga yang terpasang jelas di meja itu. Nathan memegang bingkai foto dirinya dan menutupnya dengan perlahan. Tekatnya berkobar. Akan menutup bingkai foto di meja Jingga sama seperti yang saat ini dilakukannya pada mejanya.Nathan tersenyum misterius.***Jingga berlari keluar rumah dengan langkah yang antusias. Dilihatnya Arga yang tengah berdiri di depan kliniknya. Jingga tersenyum lebar dan segera mendekati Arga.Ahh...Lagi-lagi, Jingga kalah dengan keberadaan Arga di hadapannya. Membuatnya lupa dengan ketiadaan Arga selama ini."Arga," panggil Jingga dengan suara yang lembut. Tak ada sedikitpun kemarahan yang terlihat di wajah mungilnya.Arga menoleh. Memandang Jingga yang sedang tersenyum padanya.Jingga yang sedang dalam suasana hati bahagia segera memeluk Arga erat. Seolah tak pernah terjadi apa-apa dengan hubungannya dan Arga selama ini."Arga. Aku seneng banget hari ini," kata Jingga dengan wajah yang antusias. Arga melepaskan pelukan Jingga dan memandang Jingga dengan raut wajah yang tak kalah penasaran. "Seneng kenapa?" tanya Arga penasaran."Hari ini, aku berhasil melakukan persalinan sendirian. Ada sebuah kehidupan baru yang berhasil aku selamatkan. Aku seneng banget," jawab Jingga dengan wajah polosnya."Oh ya? Selamat. Kamu hebat," jawab Arga yang tak kalah bahagianya.Arga tertawa bangga sambil mengelus rambut Jingga. "Tapi bukannya hari ini hari libur kamu?" lanjut Arga dengan wajah heran. Jingga mengangguk cepat. Senyumnya masih tersungging lebar di sudut bibirnya."Iya, tadi ada cowok dateng bawa ibu-ibu yang mau melahirkan. Mau nggak mau aku nolongin dia disini. Karena udah nggak mungkin lagi ngerujuk ibu itu ke rumah sakit," kata Jingga bersemangat menceritakan semuanya. Arga memandang ke rumah Jingga. Rumah itu tampak sudah sedikit gelap. Tanda keluarga Jingga sudah mulai pada terlelap."Tadi acaranya gimana?" tanya Arga mengalihkan pembicaraan.Jingga menghilangkan senyum lebarnya. Sebenarnya ia masih ingin membahas kebahagiaannya itu. Tapi, sepertinya Arga memang tidak ingin melanjukannya."Lancar aja kok. Kamu kemana aja? Kenapa nggak datang? Mama sama Papa nyariin kamu," kata Jingga dengan wajah sedikit kesal. Arga menggigit bibirnya dan membuang nafas panjang."Maaf. Tadi lagi sibuk ngurus kerjaan yang nggak sempet aku selesaiin kemarin. Kan kamu tahu sendiri. Tiap akhir bulan aku emang sibuk banget," kata Arga dengan wajah seriusnya. Jingga mendesah pelan. Ingin marah. Tapi takut Arga menganggapnya tidak dewasa. Karena tak mengerti dengan keadaannya. "Tapi kan acaranya juga cuma sebentar. Satu tahun sekali juga. Masak kamu nggak bisa ngeluangin waktu sebentar aja sih?" kata Jingga dengan suara yang berusaha ditahannya agar tetap lembut. Tak ingin marah pada Arga. "Lain kali deh. Aku janji akan datang di acara keluarga kamu," kata Arga berusaha menenangkan Jingga. Jingga menunduk. Berusaha menutupi kekesalannya. "Ya udah. Aku balik dulu ya kalau gitu," kata Arga. Jingga mengeryitkan dahinya. Heran."Pulang? Sekarang?" tanya Jingga dengan nada sedikit kesal. Arga mengangguk pelan."Iya. Ada kerjaan yang harus aku selesaiin juga. Nanti kalau aku udah nggak sibuk kita ketemu lagi," kata Arga.Jingga diam. Tak ingin menjawab pamitan Arga itu. Baru saja mereka bertemu. Dan Arga sudah mau pamit dalam waktu 5 menit saja. "Udah malem juga. Kamu harus istirahat. Besok mulai kerja lagi," kata Arga lalu memeluk Jingga. Jingga tak membalas pelukan Arga. Wajahnya masih terlihat ketus dengan sikap Arga yang terlalu cuek itu. Padahal, seharusnya dialah yang berusaha merayu Jingga karena telah ingkar janji.Meski begitu, Arga tetap pergi dengan mobil yang ada di sampingnya. Tak peduli tentang Jingga yang saat itu sedang marah padanya. Jingga hanya bisa memandang kepergian Arga di tengah kegelapan malam itu. Meninggalkan perasaan kesal dan marah yang belum terlampiaskan."Aku mau kita putus," kata Jingga dengan penuh keyakinan.Matanya nanar memandang bayangan dirinya yang terpantul jelas dari cermin kamarnya.Kalimat yang setiap hari diucapkannya di depan cermin selalu tertelan habis saat berada di hadapan Arga. Lelaki yang sudah 3 tahun ini menjalin hubungan dengannya. Baginya, sudah tidak ada kecocokan lagi antara dirinya dan Arga. Apalagi dengan sikap Arga yang selalu bermain wanita di belakang Jingga.Jingga diam sesaat memandang cermin besar di hadapannya.Matanya terlihat sendu. Jingga memejamkan matanya sejenak dan kembali menghembuskan nafas panjang. Untuk kesekian kalinya, Jingga mengedipkan matanya. Berusaha menahan butir-butir air mata yang meresap melalui celah matanya.Perlahan, Ia kembali merapikan bajunya. Berusaha tampil lebih cantik di depan Arga. Setidaknya, jika kali ini dia bisa mengatakannya. Ia ingin semuanya menjadi perpisahan yang manis.Sekali lagi, Jin
"Cowok itu nggak akan berubah hanya karena seseorang, Ngga," ujar Tiara. Sahabat Jingga yang juga membantunya membuka klinik yang dijalankannya itu sesaat setelah Jingga menceritakan hubungannya dengan Arga.Jingga tersenyum tipis sambil menuliskan sesuatu di buku besarnya."Aku nggak berharap dia berubah, Ra. Aku cuma pengen dia ngerti apa yang aku mau. Emangnya aku salah ya kalau aku cuma mau perhatian dari dia?" kata Jingga melemparkan pandangannya pada Tiara yang masih sibuk membersihkan setiap sudut klinik itu.Tiara duduk di hadapan Jingga. Meletakkan tangannya di atas meja."Bukan masalah salah atau enggaknya. Tapi, sekarang kondisinya beda. Dia udah terlalu sering cuek sama kamu. Sampai kapan kamu mau nangis-nangis karena disia-siakan? Trus balik lagi luluh karena sikap dia yang menurut kamu romantis?" tanya Tiara tak mengerti dengan jalan pikiran Jingga.Jingga membuang nafas. Dia sendiri tak tahu harus bagaimana melawan sikap Arga."Aku sendir
Jingga menguap dengan mulut yang cukup lebar di depan meja makannya sambil memetik batang cabai. Matanya sedikit terpejam tapi tetap dipaksanya untuk terbuka lebar."Sama bawang merahnya juga ya, Ga," perintah Mama yang masih sibuk dengan panci di atas kompornya.Gaga. Itulah panggilan sayang Mama untuk Jingga. Katanya, agar lebih mudah manggilnya.Tok...Mama memukul kepala Jingga dengan centong sayurnya saat melihat Jingga yang masih terkantuk-kantuk di depan meja.Awww...Jingga menjerit keras sekaligus kaget. Seketika rasa kantuk itu hilang karena pukulan keras Mama.Hubungan Jingga dan Mama memang jauh dari kata 'damai'. Mereka lebih sering bertengkar layaknya saudara daripada ibu dan anak.Maklum saja, jarak usia antara mereka berdua tak terpaut jauh. Hanya 17 tahun. Bahkan lebih muda daripada umur Jingga saat ini.Mama Jingga melahirkannya saat usianya masih 17 tahun saat itu. Akibat sebuah
Jingga diam terpaku di samping mobil hitam yang terparkir di depan rumahnya.Di pagi yang sibuk ini seorang pemuda yang tak dikenalnya menarik paksa tangannya. Membawanya menuju ke sebuah kondisi yang katanya darurat itu.Laki-laki itu bernama Nathan. Seorang pemuda berusia 25 tahun yang hanya memakai kaos tipis dengan celana pendek sekaligus sandal japit. Membawa sebuah mobil yang terlihat cukup mahal. Terparkir dengan gagahnya di depan rumah Jingga.Ceklek...Pintu mobil itu terbuka. Seorang wanita hamil tua sedang menahan kesakitan di dalam sana. Wanita itu adalah wanita yang kemarin baru saja memeriksakan kandungannya di klinik Jingga kemarin.Jingga memandang Nathan dengan wajah sedikit heran. Tak menyangka jika suami dari wanita yang biasa menjadi pasiennya itu adalah seorang pria yang masih sangat muda."Aku bukan suaminya," kata Nathan yang mengerti maksud dari pandangan Jingga. Jingga mengangguk pelan."Sayaangg..." wanit
Nathan membuka matanya yang terasa sangat berat dengan perlahan. Seketika, telinganya mendengar dengan jelas suara tangisan bayi yang cukup keras. Nathan memegang kepalanya yang terasa sangat pusing. Mungkin, kepalanya terjatuh karena dia terjatuh tadi.Ia masih bingung dimana dirinya berada saat ini. Pikirannya bekerja. Dia baru menyadari jika saat ini ia masih berada di sebuah klinik bersalin. Sebuah tempat yang memberinya pengalaman yang tak akan terlupakan sepanjang hidupnya.Serang gadis berdiri di dekatnya. Memegang alat-alat medis yang Nathan tak tahu untuk apa kegunaannya. Gadis itu tersenyum ramah memandang Nathan saat tahu jika Nathan sudah bangun."Diminum pak," kata Tiara yang baru datang ke klinik itu beberapa menit yang lalu sambil menyodorkan segelas air putih pada Nathan. Nathan meminumnya dalam sekali teguk."Bayinya gimana?" tanya Nathan sambil memandang erat bayi yang sedang digendong wanita yang baru saja melahirkan itu."Nggak apa-apa. S
Nathan menjatuhkan tubuhnya pada sebuah kasur besar yang ada di ranjang kamarnya. Matanya memandang ke langit-langit kamar dengan cahaya lampu yang sudah redup itu.Sejenak, Nathan memasang senyum lebar di sudut bibirnya. Pikirannya menerawang jauh ke rumah seorang bidan muda yang baru saja ditemuinya tadi pagi.Jingga.Jingga berhasil membuat kesan terindah untuk Nathan. Memberikan sebuah pengalaman yang tak akan pernah bisa dilupakan bagi Nathan.Jingga. Sosok wanita perkasa yang terlihat kuat dan hebat tapi juga terlihat polos dan anggun disaat yang bersamaan. Sosok wanita muda yang bisa membantu sebuah kehidupan baru untuk melihat dunia ini.Nathan tertawa kecil. Tidak. Tawanya sangat lebar. Hingga memenuhi wajahnya yang kecil itu.Plakk..Nathan bertepuk tangan. Seketika lampu dengan sensor di kamarnya itu menyala dengan indahnya. Tampak sebuah kamar yang cukup luas dengan desain yang sangat mewah.Di salah satu sudut ruanga
Nathan membuka matanya yang terasa sangat berat dengan perlahan. Seketika, telinganya mendengar dengan jelas suara tangisan bayi yang cukup keras. Nathan memegang kepalanya yang terasa sangat pusing. Mungkin, kepalanya terjatuh karena dia terjatuh tadi.Ia masih bingung dimana dirinya berada saat ini. Pikirannya bekerja. Dia baru menyadari jika saat ini ia masih berada di sebuah klinik bersalin. Sebuah tempat yang memberinya pengalaman yang tak akan terlupakan sepanjang hidupnya.Serang gadis berdiri di dekatnya. Memegang alat-alat medis yang Nathan tak tahu untuk apa kegunaannya. Gadis itu tersenyum ramah memandang Nathan saat tahu jika Nathan sudah bangun."Diminum pak," kata Tiara yang baru datang ke klinik itu beberapa menit yang lalu sambil menyodorkan segelas air putih pada Nathan. Nathan meminumnya dalam sekali teguk."Bayinya gimana?" tanya Nathan sambil memandang erat bayi yang sedang digendong wanita yang baru saja melahirkan itu."Nggak apa-apa. S
Jingga diam terpaku di samping mobil hitam yang terparkir di depan rumahnya.Di pagi yang sibuk ini seorang pemuda yang tak dikenalnya menarik paksa tangannya. Membawanya menuju ke sebuah kondisi yang katanya darurat itu.Laki-laki itu bernama Nathan. Seorang pemuda berusia 25 tahun yang hanya memakai kaos tipis dengan celana pendek sekaligus sandal japit. Membawa sebuah mobil yang terlihat cukup mahal. Terparkir dengan gagahnya di depan rumah Jingga.Ceklek...Pintu mobil itu terbuka. Seorang wanita hamil tua sedang menahan kesakitan di dalam sana. Wanita itu adalah wanita yang kemarin baru saja memeriksakan kandungannya di klinik Jingga kemarin.Jingga memandang Nathan dengan wajah sedikit heran. Tak menyangka jika suami dari wanita yang biasa menjadi pasiennya itu adalah seorang pria yang masih sangat muda."Aku bukan suaminya," kata Nathan yang mengerti maksud dari pandangan Jingga. Jingga mengangguk pelan."Sayaangg..." wanit
Jingga menguap dengan mulut yang cukup lebar di depan meja makannya sambil memetik batang cabai. Matanya sedikit terpejam tapi tetap dipaksanya untuk terbuka lebar."Sama bawang merahnya juga ya, Ga," perintah Mama yang masih sibuk dengan panci di atas kompornya.Gaga. Itulah panggilan sayang Mama untuk Jingga. Katanya, agar lebih mudah manggilnya.Tok...Mama memukul kepala Jingga dengan centong sayurnya saat melihat Jingga yang masih terkantuk-kantuk di depan meja.Awww...Jingga menjerit keras sekaligus kaget. Seketika rasa kantuk itu hilang karena pukulan keras Mama.Hubungan Jingga dan Mama memang jauh dari kata 'damai'. Mereka lebih sering bertengkar layaknya saudara daripada ibu dan anak.Maklum saja, jarak usia antara mereka berdua tak terpaut jauh. Hanya 17 tahun. Bahkan lebih muda daripada umur Jingga saat ini.Mama Jingga melahirkannya saat usianya masih 17 tahun saat itu. Akibat sebuah
"Cowok itu nggak akan berubah hanya karena seseorang, Ngga," ujar Tiara. Sahabat Jingga yang juga membantunya membuka klinik yang dijalankannya itu sesaat setelah Jingga menceritakan hubungannya dengan Arga.Jingga tersenyum tipis sambil menuliskan sesuatu di buku besarnya."Aku nggak berharap dia berubah, Ra. Aku cuma pengen dia ngerti apa yang aku mau. Emangnya aku salah ya kalau aku cuma mau perhatian dari dia?" kata Jingga melemparkan pandangannya pada Tiara yang masih sibuk membersihkan setiap sudut klinik itu.Tiara duduk di hadapan Jingga. Meletakkan tangannya di atas meja."Bukan masalah salah atau enggaknya. Tapi, sekarang kondisinya beda. Dia udah terlalu sering cuek sama kamu. Sampai kapan kamu mau nangis-nangis karena disia-siakan? Trus balik lagi luluh karena sikap dia yang menurut kamu romantis?" tanya Tiara tak mengerti dengan jalan pikiran Jingga.Jingga membuang nafas. Dia sendiri tak tahu harus bagaimana melawan sikap Arga."Aku sendir
"Aku mau kita putus," kata Jingga dengan penuh keyakinan.Matanya nanar memandang bayangan dirinya yang terpantul jelas dari cermin kamarnya.Kalimat yang setiap hari diucapkannya di depan cermin selalu tertelan habis saat berada di hadapan Arga. Lelaki yang sudah 3 tahun ini menjalin hubungan dengannya. Baginya, sudah tidak ada kecocokan lagi antara dirinya dan Arga. Apalagi dengan sikap Arga yang selalu bermain wanita di belakang Jingga.Jingga diam sesaat memandang cermin besar di hadapannya.Matanya terlihat sendu. Jingga memejamkan matanya sejenak dan kembali menghembuskan nafas panjang. Untuk kesekian kalinya, Jingga mengedipkan matanya. Berusaha menahan butir-butir air mata yang meresap melalui celah matanya.Perlahan, Ia kembali merapikan bajunya. Berusaha tampil lebih cantik di depan Arga. Setidaknya, jika kali ini dia bisa mengatakannya. Ia ingin semuanya menjadi perpisahan yang manis.Sekali lagi, Jin