Nathan membuka matanya yang terasa sangat berat dengan perlahan. Seketika, telinganya mendengar dengan jelas suara tangisan bayi yang cukup keras. Nathan memegang kepalanya yang terasa sangat pusing. Mungkin, kepalanya terjatuh karena dia terjatuh tadi.
Ia masih bingung dimana dirinya berada saat ini. Pikirannya bekerja. Dia baru menyadari jika saat ini ia masih berada di sebuah klinik bersalin. Sebuah tempat yang memberinya pengalaman yang tak akan terlupakan sepanjang hidupnya.Serang gadis berdiri di dekatnya. Memegang alat-alat medis yang Nathan tak tahu untuk apa kegunaannya. Gadis itu tersenyum ramah memandang Nathan saat tahu jika Nathan sudah bangun."Diminum pak," kata Tiara yang baru datang ke klinik itu beberapa menit yang lalu sambil menyodorkan segelas air putih pada Nathan. Nathan meminumnya dalam sekali teguk."Bayinya gimana?" tanya Nathan sambil memandang erat bayi yang sedang digendong wanita yang baru saja melahirkan itu."Nggak apa-apa. Sehat kok pak. Bayinya nangis karena masih menyesuaikan dengan lingkungan barunya saja. Bapak tenang saja, anak Bapak sehat, baik-baik saja," kata Tiara menjelaskan.Nathan membuang nafas kesal. Memandang Tiara dengan tatapan dinginnya."Saya bukan bapaknya," kata Nathan dengan tegas."Dia memang bukan suami saya, Bu," kata ibu itu dengan air mata yang mengalir. Entah karena bahagia atau mengapa.Jingga tertegun mendengar ucapan wanita itu. Sebelumnya, wanita itu hanya diam saja. Tak menyangkal jika Nathan bukan suaminya."Saya nggak kenal sama laki-laki itu. Tadi, sewaktu saya mules mau melahirkan, kebetulan laki-laki itu hampir nyerempet saya. Dia malah yang udah nolongin saya sampai saya bisa melahirkan disini. Kalau nggak ada dia mungkin saya sudah melahirkan di jalan," kata wanita itu sambil memandang Nathan dengan penuh rasa terima kasih."Suami saya sudah meninggal 4 bulan yang lalu. Saya cuma pengen melahirkan seperti wanita lainnya. Yang di dampingi suaminya. Makanya saya diam aja waktu Bu Bidan ngira dia suami saya," lanjut wanita itu dengan derai air mata.Jingga tertegun menatap wanita yang menangis itu. Tak menyangka jika ternyata dia yang salah faham dengan mereka.Jingga mendekati wanita itu sambil mengelus pelan bayi mungil di gendongannya."Nggak apa-apa. Yang penting, adek bayinya udah lahir dengan selamat. Bayi ini beruntung, punya ibu yang kuat seperti ibu," kata Jingga menghibur ibu baru itu. Tak ada yang berani bersuara lagi. Hanya suara tangis dari bayi kecil dan ibunya itulah yang memenuhi seluruh penjuru ruangan.***"Kan udah di bilangin. Aku bukan suaminya," kata Nathan yang muncul di samping Jingga yang sedang membereskan perlengkapan bersalinnya.Jingga tersenyum tipis memandang gaya Nathan yang merasa menang. Bisa menunjukkan jika Jingga telah salah faham dengannya."Iya. Maaf, Mas," kata Jingga dengan sopan. Nathan memandang Jingga dengan heran."Udah? Itu aja?" tanya Nathan bingung. Jingga balik memandang Nathan dengan heran. Tak mengerti maksud ucapannya."Trus harus gimana lagi?" tanya Jingga."Anda yang membawa saya dalam situasi canggung ini. Ini pertama kalinya saya melihat orang melahirkan langsung dengan mata kepala saya. Dan Bu Bidan cuma bilang 'maaf' ke saya?" tanya Nathan dengan herannya. Jingga mengeryitkan dahinya. Baru kali ini dia bertemu orang aneh seperti Nathan."Iya. Saya minta maaf karena sudah membawa mas dalam situasi ini. Mungkin mas nggak akan bisa ngelupain kejadian ini selamanya. Saya minta maaf," kata Jingga mengakhiri perdebatan ini. Lebih baik mengalah daripada harus panjang lebar berdebat dengan orang yang bahkan tak dikenalnya itu.Nathan terlihat tersenyum lebar mendengar jawaban pasrah dari Jingga."Kalau begitu, mana bayaran saya?" tanya Nathan. Jingga tertegun. Tak mengira akan mendapatkan pertanyaan seperti ini sepanjang hidupnya."Bukannya saya sudah membantu Bu Bidan? Saya bukan suami wanita itu. Jadi, saya berhak mendapat bayaran karena menjadi asisten ibu," kata Nathan dengan wajah serius.Jingga menelan ludah. Aneh. Bukankah seharusnya dia yang meminta bayaran? Apalagi saat ini Jingga melayani pasien diluar jam prakteknya."Mas bercanda ya?" tanya Jingga berusaha mencairkan suasana. Nathan memandang serius ke arah Jingga. "Apa saya terlihat seperti sedang bercanda?" tanya Nathan dengan wajah dinginnya.Jingga menggigit bibirnya. Suatu hal yang diluar dugaan. Nathan membuang muka. Senyum tipis tersungging di bibir manisnya. Rupanya Nathan hanya ingin mengerjai Jingga saja. Jingga terlihat polos dengan wajah bingungnya. Membuat Nathan bersemangat melanjutkan kekonyolannya."Emangnya mas minta berapa?" tanya Jingga dengan raut wajah penasaran sekaligus takut dengan jawaban Nathan. Nathan memasang senyum jahatnya."Tenang. Aku cuma minta 2 juta," kata Nathan dengan santainya. "2 juta?" Jingga tertegun. Ia menelan ludah. Bahkan, biaya persalinan di puskesmas saja tidak sampai segitu. Apalagi Nathan juga tak melakukan apa-apa tadi. "Ini belum seberapa daripada waktu aku yang terbuang percuma karena harus bantu ibu melakukan persalinan tadi," lanjut Nathan tanpa rasa bersalah. Jingga berkeringat dingin. "Tapi, bukannya saya yang harus minta bayaran? Sudah kewajiban saya membantu orang yang mau melahirkan. Dan saya membantu mas yang tadi minta tolong ke saya. Kenapa jadi saya yang harus bayar?" tanya Jingga tak mengerti.Nathan menyilangkan tangannya di depan. Memasang badan bak renternir yang siap menghabisi nasabahnya."Itu kalau saya keluarga dari ibu itu. Tapi saya nggak ada hubungan apa-apa dengan ibu itu," bantah Nathan dengan tegasnya."Oh ya. Dan satu lagi. Karena kesalahpahaman ibu yang mengira saya sebagai suami ibu itu. Menjadikan hati saya sangat sedih. Jadi, saya juga minta ganti rugi," kata Nathan. Jingga tertegun. Tak menyangka bertemu orang aneh seperti Nathan."Tunggu. Kenapa jadi salah saya? Siapapun akan mengira mas ini suami ibu itu kalau mas yang bawa ibu itu kesini. Ibu itu juga manggil 'sayang' tadi. Jadi, bukan salah saya," kata Jingga tak terima dengan apa yang dikatakan Nathan. Wajah bingung Jingga malah membuat Nathan makin gemas. Sangat polos. Gadis ini sangat polos."Saya nggak peduli. Yang penting, saya minta ganti rugi," kata Nathan kekeuh dalam pendiriannya. "Kalau saya nggak mau bayar?" "Saya akan datang kesini setiap hari. Sampai ibu mau bayar saya," "Ya udah datang aja," kata Jingga yang pasrah dengan bantahan Nathan. Toh, hanya datang ke klinik. Karena sepertinya Nathan bukanlah orang yang kasar."Bener saya boleh datang setiap hari?" tanya Nathan memastikan. Jingga mengangguk cepat."Kalau datangnya sama orang tua?" tanya Nathan.Jingga tertegun. Matanya memandang lekat wajah Nathan yang penuh dengan misteri. Jingga tak mengerti apa yang direncanakan laki-laki aneh di hadapannya itu.Apa dia hanya sekedar menggertak? Atau malah menggoda Jingga?Nathan tersenyum dengan senyum penuh kejahatan. Menjadi sebuah misteri untuk Jingga.
Nathan menjatuhkan tubuhnya pada sebuah kasur besar yang ada di ranjang kamarnya. Matanya memandang ke langit-langit kamar dengan cahaya lampu yang sudah redup itu.Sejenak, Nathan memasang senyum lebar di sudut bibirnya. Pikirannya menerawang jauh ke rumah seorang bidan muda yang baru saja ditemuinya tadi pagi.Jingga.Jingga berhasil membuat kesan terindah untuk Nathan. Memberikan sebuah pengalaman yang tak akan pernah bisa dilupakan bagi Nathan.Jingga. Sosok wanita perkasa yang terlihat kuat dan hebat tapi juga terlihat polos dan anggun disaat yang bersamaan. Sosok wanita muda yang bisa membantu sebuah kehidupan baru untuk melihat dunia ini.Nathan tertawa kecil. Tidak. Tawanya sangat lebar. Hingga memenuhi wajahnya yang kecil itu.Plakk..Nathan bertepuk tangan. Seketika lampu dengan sensor di kamarnya itu menyala dengan indahnya. Tampak sebuah kamar yang cukup luas dengan desain yang sangat mewah.Di salah satu sudut ruanga
"Aku mau kita putus," kata Jingga dengan penuh keyakinan.Matanya nanar memandang bayangan dirinya yang terpantul jelas dari cermin kamarnya.Kalimat yang setiap hari diucapkannya di depan cermin selalu tertelan habis saat berada di hadapan Arga. Lelaki yang sudah 3 tahun ini menjalin hubungan dengannya. Baginya, sudah tidak ada kecocokan lagi antara dirinya dan Arga. Apalagi dengan sikap Arga yang selalu bermain wanita di belakang Jingga.Jingga diam sesaat memandang cermin besar di hadapannya.Matanya terlihat sendu. Jingga memejamkan matanya sejenak dan kembali menghembuskan nafas panjang. Untuk kesekian kalinya, Jingga mengedipkan matanya. Berusaha menahan butir-butir air mata yang meresap melalui celah matanya.Perlahan, Ia kembali merapikan bajunya. Berusaha tampil lebih cantik di depan Arga. Setidaknya, jika kali ini dia bisa mengatakannya. Ia ingin semuanya menjadi perpisahan yang manis.Sekali lagi, Jin
"Cowok itu nggak akan berubah hanya karena seseorang, Ngga," ujar Tiara. Sahabat Jingga yang juga membantunya membuka klinik yang dijalankannya itu sesaat setelah Jingga menceritakan hubungannya dengan Arga.Jingga tersenyum tipis sambil menuliskan sesuatu di buku besarnya."Aku nggak berharap dia berubah, Ra. Aku cuma pengen dia ngerti apa yang aku mau. Emangnya aku salah ya kalau aku cuma mau perhatian dari dia?" kata Jingga melemparkan pandangannya pada Tiara yang masih sibuk membersihkan setiap sudut klinik itu.Tiara duduk di hadapan Jingga. Meletakkan tangannya di atas meja."Bukan masalah salah atau enggaknya. Tapi, sekarang kondisinya beda. Dia udah terlalu sering cuek sama kamu. Sampai kapan kamu mau nangis-nangis karena disia-siakan? Trus balik lagi luluh karena sikap dia yang menurut kamu romantis?" tanya Tiara tak mengerti dengan jalan pikiran Jingga.Jingga membuang nafas. Dia sendiri tak tahu harus bagaimana melawan sikap Arga."Aku sendir
Jingga menguap dengan mulut yang cukup lebar di depan meja makannya sambil memetik batang cabai. Matanya sedikit terpejam tapi tetap dipaksanya untuk terbuka lebar."Sama bawang merahnya juga ya, Ga," perintah Mama yang masih sibuk dengan panci di atas kompornya.Gaga. Itulah panggilan sayang Mama untuk Jingga. Katanya, agar lebih mudah manggilnya.Tok...Mama memukul kepala Jingga dengan centong sayurnya saat melihat Jingga yang masih terkantuk-kantuk di depan meja.Awww...Jingga menjerit keras sekaligus kaget. Seketika rasa kantuk itu hilang karena pukulan keras Mama.Hubungan Jingga dan Mama memang jauh dari kata 'damai'. Mereka lebih sering bertengkar layaknya saudara daripada ibu dan anak.Maklum saja, jarak usia antara mereka berdua tak terpaut jauh. Hanya 17 tahun. Bahkan lebih muda daripada umur Jingga saat ini.Mama Jingga melahirkannya saat usianya masih 17 tahun saat itu. Akibat sebuah
Jingga diam terpaku di samping mobil hitam yang terparkir di depan rumahnya.Di pagi yang sibuk ini seorang pemuda yang tak dikenalnya menarik paksa tangannya. Membawanya menuju ke sebuah kondisi yang katanya darurat itu.Laki-laki itu bernama Nathan. Seorang pemuda berusia 25 tahun yang hanya memakai kaos tipis dengan celana pendek sekaligus sandal japit. Membawa sebuah mobil yang terlihat cukup mahal. Terparkir dengan gagahnya di depan rumah Jingga.Ceklek...Pintu mobil itu terbuka. Seorang wanita hamil tua sedang menahan kesakitan di dalam sana. Wanita itu adalah wanita yang kemarin baru saja memeriksakan kandungannya di klinik Jingga kemarin.Jingga memandang Nathan dengan wajah sedikit heran. Tak menyangka jika suami dari wanita yang biasa menjadi pasiennya itu adalah seorang pria yang masih sangat muda."Aku bukan suaminya," kata Nathan yang mengerti maksud dari pandangan Jingga. Jingga mengangguk pelan."Sayaangg..." wanit
Nathan menjatuhkan tubuhnya pada sebuah kasur besar yang ada di ranjang kamarnya. Matanya memandang ke langit-langit kamar dengan cahaya lampu yang sudah redup itu.Sejenak, Nathan memasang senyum lebar di sudut bibirnya. Pikirannya menerawang jauh ke rumah seorang bidan muda yang baru saja ditemuinya tadi pagi.Jingga.Jingga berhasil membuat kesan terindah untuk Nathan. Memberikan sebuah pengalaman yang tak akan pernah bisa dilupakan bagi Nathan.Jingga. Sosok wanita perkasa yang terlihat kuat dan hebat tapi juga terlihat polos dan anggun disaat yang bersamaan. Sosok wanita muda yang bisa membantu sebuah kehidupan baru untuk melihat dunia ini.Nathan tertawa kecil. Tidak. Tawanya sangat lebar. Hingga memenuhi wajahnya yang kecil itu.Plakk..Nathan bertepuk tangan. Seketika lampu dengan sensor di kamarnya itu menyala dengan indahnya. Tampak sebuah kamar yang cukup luas dengan desain yang sangat mewah.Di salah satu sudut ruanga
Nathan membuka matanya yang terasa sangat berat dengan perlahan. Seketika, telinganya mendengar dengan jelas suara tangisan bayi yang cukup keras. Nathan memegang kepalanya yang terasa sangat pusing. Mungkin, kepalanya terjatuh karena dia terjatuh tadi.Ia masih bingung dimana dirinya berada saat ini. Pikirannya bekerja. Dia baru menyadari jika saat ini ia masih berada di sebuah klinik bersalin. Sebuah tempat yang memberinya pengalaman yang tak akan terlupakan sepanjang hidupnya.Serang gadis berdiri di dekatnya. Memegang alat-alat medis yang Nathan tak tahu untuk apa kegunaannya. Gadis itu tersenyum ramah memandang Nathan saat tahu jika Nathan sudah bangun."Diminum pak," kata Tiara yang baru datang ke klinik itu beberapa menit yang lalu sambil menyodorkan segelas air putih pada Nathan. Nathan meminumnya dalam sekali teguk."Bayinya gimana?" tanya Nathan sambil memandang erat bayi yang sedang digendong wanita yang baru saja melahirkan itu."Nggak apa-apa. S
Jingga diam terpaku di samping mobil hitam yang terparkir di depan rumahnya.Di pagi yang sibuk ini seorang pemuda yang tak dikenalnya menarik paksa tangannya. Membawanya menuju ke sebuah kondisi yang katanya darurat itu.Laki-laki itu bernama Nathan. Seorang pemuda berusia 25 tahun yang hanya memakai kaos tipis dengan celana pendek sekaligus sandal japit. Membawa sebuah mobil yang terlihat cukup mahal. Terparkir dengan gagahnya di depan rumah Jingga.Ceklek...Pintu mobil itu terbuka. Seorang wanita hamil tua sedang menahan kesakitan di dalam sana. Wanita itu adalah wanita yang kemarin baru saja memeriksakan kandungannya di klinik Jingga kemarin.Jingga memandang Nathan dengan wajah sedikit heran. Tak menyangka jika suami dari wanita yang biasa menjadi pasiennya itu adalah seorang pria yang masih sangat muda."Aku bukan suaminya," kata Nathan yang mengerti maksud dari pandangan Jingga. Jingga mengangguk pelan."Sayaangg..." wanit
Jingga menguap dengan mulut yang cukup lebar di depan meja makannya sambil memetik batang cabai. Matanya sedikit terpejam tapi tetap dipaksanya untuk terbuka lebar."Sama bawang merahnya juga ya, Ga," perintah Mama yang masih sibuk dengan panci di atas kompornya.Gaga. Itulah panggilan sayang Mama untuk Jingga. Katanya, agar lebih mudah manggilnya.Tok...Mama memukul kepala Jingga dengan centong sayurnya saat melihat Jingga yang masih terkantuk-kantuk di depan meja.Awww...Jingga menjerit keras sekaligus kaget. Seketika rasa kantuk itu hilang karena pukulan keras Mama.Hubungan Jingga dan Mama memang jauh dari kata 'damai'. Mereka lebih sering bertengkar layaknya saudara daripada ibu dan anak.Maklum saja, jarak usia antara mereka berdua tak terpaut jauh. Hanya 17 tahun. Bahkan lebih muda daripada umur Jingga saat ini.Mama Jingga melahirkannya saat usianya masih 17 tahun saat itu. Akibat sebuah
"Cowok itu nggak akan berubah hanya karena seseorang, Ngga," ujar Tiara. Sahabat Jingga yang juga membantunya membuka klinik yang dijalankannya itu sesaat setelah Jingga menceritakan hubungannya dengan Arga.Jingga tersenyum tipis sambil menuliskan sesuatu di buku besarnya."Aku nggak berharap dia berubah, Ra. Aku cuma pengen dia ngerti apa yang aku mau. Emangnya aku salah ya kalau aku cuma mau perhatian dari dia?" kata Jingga melemparkan pandangannya pada Tiara yang masih sibuk membersihkan setiap sudut klinik itu.Tiara duduk di hadapan Jingga. Meletakkan tangannya di atas meja."Bukan masalah salah atau enggaknya. Tapi, sekarang kondisinya beda. Dia udah terlalu sering cuek sama kamu. Sampai kapan kamu mau nangis-nangis karena disia-siakan? Trus balik lagi luluh karena sikap dia yang menurut kamu romantis?" tanya Tiara tak mengerti dengan jalan pikiran Jingga.Jingga membuang nafas. Dia sendiri tak tahu harus bagaimana melawan sikap Arga."Aku sendir
"Aku mau kita putus," kata Jingga dengan penuh keyakinan.Matanya nanar memandang bayangan dirinya yang terpantul jelas dari cermin kamarnya.Kalimat yang setiap hari diucapkannya di depan cermin selalu tertelan habis saat berada di hadapan Arga. Lelaki yang sudah 3 tahun ini menjalin hubungan dengannya. Baginya, sudah tidak ada kecocokan lagi antara dirinya dan Arga. Apalagi dengan sikap Arga yang selalu bermain wanita di belakang Jingga.Jingga diam sesaat memandang cermin besar di hadapannya.Matanya terlihat sendu. Jingga memejamkan matanya sejenak dan kembali menghembuskan nafas panjang. Untuk kesekian kalinya, Jingga mengedipkan matanya. Berusaha menahan butir-butir air mata yang meresap melalui celah matanya.Perlahan, Ia kembali merapikan bajunya. Berusaha tampil lebih cantik di depan Arga. Setidaknya, jika kali ini dia bisa mengatakannya. Ia ingin semuanya menjadi perpisahan yang manis.Sekali lagi, Jin