Beberapa hari berlalu. Kondisi Lena memang lumayan membaik, tapi karena dari pihak rumah sakit belum mengizinkan Lena keluar karena masih harus dipantau, membuat wanita itu tetap dirawat di rumah sakit khusus itu sampai benar-benar pulih.
“Bagaimana kondisi mamamu?” tanya Mia sambil menyiapkan sarapan untuk Gio.
“Sudah lumayan membaik, untung saja pihak rumah sakit masih belum mengizinkan Mama keluar dari rumah sakit, jadi setidaknya dia masih bisa mendapat perawatan yang layak,” jawab Gio.
Mungkin Bobby dan Mia memiliki perasaan bersalah karena Lena sekarang sakit parah. Namun, semua juga ulah Lena sendiri, andai dulu Lena tak terus menerus melakukan kejahatan, mungkin nasibnya tidak seperti sekarang.
“Nanti siang aku akan menjenguknya,” ucap Mia lalu menyodorkan piring berisi nasi dan lauk untuk Gio.
Gio tahu jika Mia sangat membenci sang mama, tapi siapa sangka wanita itu berbesar hati mau menjenguk Lena yang
“Kelelahan, stres, mengangkat barang berat bisa menjadi salah satu pemicu ada pembukaan sebelum waktunya. Meski tidak terlalu besar, tapi ini juga bisa membahayakan kondisi janin karena ada flek juga. Untuk sementara biarkan ibu istirahat, bedrest minimal beberapa hari atau minggu untuk mengamankan kondisi janin.”Alaric dan Sashi diam mendengar penjelasan dokter kandungan yang baru saja melakukan USG ke Emily. Dokter juga menyarankan agar Emily dirawat inap untuk memantau kondisinya.“Temani Emi, akan kubantu menyiapkan kamar inapnya,” ucap Sashi ke Alaric lalu menepuk pelan punggung suami keponakannya itu.Alaric mengangguk lalu mendekat ke Emily yang berbaring di ranjang. Perawat sedang membantu menyelimuti Emily karena setelah ini harus dipindah ke IGD lagi sampai ruang inap siap.“Dia baik-baik saja, kan?” tanya Emily langsung menggenggam telapak tangan Alaric.“Iya, dia baik. Tapi dokter menyarankan agar kamu bedrest agar dia bisa bertahan, setidaknya sampai kandungannya kuat da
Emily bingung menjawab pertanyaan Gio. Dia agak merapatkan kedua kaki, tapi malu untuk bicara ke sepupunya itu.“Kamu butuh apa? Biar aku yang carikan,” kata Gio karena Alaric sudah berpesan agar Emily tidak turun dari ranjang, apalagi berjalan.Emily tampak panik karena seperti menahan sesuatu.“Emi, katakan saja.” Gio melihat gelagat aneh Emily.Emily melirik Gio yang menatapnya. Dia semakin bingung hingga akhirnya berkata lirih, “Aku mau ke kamar mandi. Ini sudah tidak tahan.”Gio langsung menghela mendengar ucapan Emily.“Kenapa tidak bilang? Tinggal bilang saja, kenapa malah ke mana-mana.”Gio mengambil kantong cairan infus dari tiang, lalu meletakkan di pangkuan Emily.Emily agak panik dengan yang dilakukan Gio. Lalu pria itu menggendongnya membuat Emily semakin syok.“Seharusnya pakai kursi roda saja, kamu tidak harus menggendongku,” protes Emily.“Kelamaan jika mengambil kursi roda lebih dulu, kamu keburu mengompol,” balas Gio.Emily langsung menggelembungkan kedua pipi menden
“Kalian baik-baik saja, kan?” tanya Emily karena Christina hanya diam.Christina menatap Emily sambil tersenyum tapi malah membahas hal lain.“Tadi aku terkejut waktu bertemu Paman dan dia bilang kamu masuk rumah sakit karena kontraksi. Perasaan baru juga empat bulanan, tapi kok sudah kontraksi, makanya aku menghubungimu dan ternyata benar” ujar Christina mengalihkan pertanyaan Emily.“Iya, karena kelelahan dan banyaknya tekanan saat kerja, jadi tiba-tiba saja mengalami kontraksi,” balas Emily menceritakan yang dialaminya, melupakan pertanyaannya tentang Christina dan Gio.Christina mengangguk-angguk mendengar balasan Emily. Dia terus membahas hal lain agar Emily tidak bertanya tentang dirinya lagi.“Aku harus kembali ke kantor. Lekas sembuh dan jaga kesehatan biar bayinya sehat sampai lahir,” ucap Christina penuh perhatian.Emily mengangguk-angguk mendengar ucapan Christina, lalu berterima kas
Mia pergi menjenguk Lena yang dirawat di rumah sakit khusus. Dia sudah berada di depan ruang inap Lena dan harus mendaftar dulu agar bisa menjenguk.Saat masuk kamar itu, Lena berbaring tapi tidak memejamkan mata. Mantan iparnya itu sedang memandang ke jendela hingga langkah kaki Mia membuat Lena menoleh.“Tak kusangka kamu datang ke sini,” ucap Lena saat melihat Mia.Mia hanya berdeham mendengar ucapan Lena. Dia kemudian duduk di kursi yang ada di samping ranjang.“Bagaimana kondisimu?” tanya Mia dengan ekspresi wajah datar.“Sangat baik karena aku bisa mendapatkan banyak perhatian dari Gio,” jawab Lena sambil memulas senyum.Mia tetap memasang wajah datar karena dia tak ingin Lena merasa dirinya luluh begitu saja.“Terima kasih sudah membuat Gio banyak berubah. Rasanya tak pernah menyangka bisa punya anak perhatian. Sepertinya aku memang sudah sangat banyak memiliki dosa,” ucap Lena sa
“Memangnya ada masalah apa sampai kalian membahas perang dunia?”Emily dan Alaric saling pandang, lalu menatap ke arah Vano yang baru saja datang.“Memangnya kami membahas perang dunia?” Emily mencoba mengelak karena dilihat dari mimik wajah sang adik, pemuda itu seperti tidak tahu.“Tadi pas mau masuk, aku dengar kamu bilang ‘bisa terjadi perang dunia’. Apa itu?”Emily melirik Alaric, sepertinya Vano benar-benar tak mendengar semua yang dibicarakannya dengan Alaric.“Oh, itu karena aku pengen jalan-jalan ke luar negeri, tapi karena kondisiku sekarang, kalau Mama dan Mami tahu, pasti akan terjadi perang dunia karena mereka pasti tak mengizinkan,” ujar Emily menjelaskan agar Vano tidak tanya lebih banyak.“Oh ....” Vano percaya dengan apa yang dikatakan Emily.Emily dan Alaric saling lirik, mereka bernapas lega karena Vano percaya dengan yang Emily jelaskan.“Kamu dari kampus?” tanya Emily karena melihat Vano masih membawa tas.“Iya, langsung ke sini setelah kelas,” jawab Vano duduk sa
Gio berjalan cepat masuk kamar Lena untuk memastikan. Dokter terlihat sedang memeriksa sang mama, sipir dan perawat juga di sana.“Ada apa dengan mamaku?” tanya Gio ke sipir.Sipir itu menoleh saat mendengar pertanyaan Gio, lalu menjawab, “Bu Lena tiba-tiba mengalami kejang, karena itu saya memanggil perawat dan dokter.”Gio menjatuhkan paper bag yang dibawa, lalu mendekat ke sisi ranjang satunya untuk melihat Lena lebih dekat.“Ma, aku di sini.” Gio menggenggam telapak tangan Lena, tapi ujung jarinya terasa sangat dingin.Dokter baru saja mengecek detak jantung Lena, lalu menoleh ke perawat sambil menggeleng kepala.Gio melihat dokter tak melakukan apa pun, hingga dia bicara dengan sedikit nada membentak. “Kenapa kalian diam saja? Lakukan sesuatu jika mamaku tidak baik-baik saja!”Dokter memandang Gio, kemudian menjelaskan, “Maaf, pasien sudah tiada.”Gio sangat syok mendengar ucapan dokter. Dia sampai menggeleng kepala dengan rasa tak percaya.“Tidak mungkin. Bukankah kondisinya memb
Christina dan kedua orang tuanya pergi melayat ke rumah Bobby sebagai bentuk peduli dan berbela sungkawa atas meninggalnya Lena. Apalagi keluarga Bobby menjadi bagian keluarga besar bibinya Christina karena Alaric menikahi Emily. Christina hanya duduk melihat orang-orang penting di sana datang melayat. Hingga tatapannya tertuju ke Alaric yang berjalan keluar dari rumah. “Kamu mau ke mana?” tanya Nana saat melihat Christina berdiri. “Menemui suaminya Emi bentar,” jawab Christina. Christina melihat sang mama mengangguk-angguk. Dia lalu segera menghampiri Alaric yang sedang menemui salah satu rekan bisnis. “Al.” Alaric menoleh saat mendengar suara Christina. “Aku ikut berduka cita,” ucap Christina. “Terima kasih,” balas Alaric lalu menoleh ke pintu. “Di mana Emi?” tanya Christina karena tidak melihat Emily. “Dia masih di rumah sakit, dokter belum mengizinkannya keluar,” jawab Alaric. Christina mengangguk mendengar jawaban Alaric, hingga pria itu melontarkan pertanyaa
“Cepat sekali karmanya datang.”Emily langsung melotot mendengar ucapan Claudia. Sahabatnya itu baru pulang semalam, pagi ini langsung ke rumah sakit saat tahu Lena meninggal.“Ish, ngomongnya jangan begitu,” kata Emily.“Ya gimana, dia dulu sangat jahat, kenapa matinya cepat?” Claudia tetap kesal dan dendam karena Lena dulu terus berusaha mencelakai Emily.“Ya, memang. Tapi namanya manusia juga bisa berubah. Dia pergi setelah mengakui semua perbuatannya serta menerima segala hukuman atas kesalahannya. Itu memang lebih baik daripada dia dipenjara seumur hidup,” ucap Emily menjelaskan.“Tetap saja, dia itu sangat jahat.” Claudia tetap tak terima.Emily menghela napas kasar mendengar jawaban Claudia, tak bisa memaksa jika memang seperti itu cara pandang sahabatnya itu.“Tapi jangan membahas seperti itu saat ada Gio. Dia sedang berusaha berubah, tapi malah mendapatkan musibah. Hargai dia, ya.” Emily mengingatkan karena takut terjadi masalah jika Claudia asal bicara ketika bertemu Gio.Cl
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil