Guys, aku lagi butuh semangat. Semangatin aku biar terus bisa lanjut kisah ini ya. terima kasih banyak yang sudah setia baca kisah ini sampai akhir tanpa tapi. Lope kalian.
Christina dan kedua orang tuanya pergi melayat ke rumah Bobby sebagai bentuk peduli dan berbela sungkawa atas meninggalnya Lena. Apalagi keluarga Bobby menjadi bagian keluarga besar bibinya Christina karena Alaric menikahi Emily. Christina hanya duduk melihat orang-orang penting di sana datang melayat. Hingga tatapannya tertuju ke Alaric yang berjalan keluar dari rumah. “Kamu mau ke mana?” tanya Nana saat melihat Christina berdiri. “Menemui suaminya Emi bentar,” jawab Christina. Christina melihat sang mama mengangguk-angguk. Dia lalu segera menghampiri Alaric yang sedang menemui salah satu rekan bisnis. “Al.” Alaric menoleh saat mendengar suara Christina. “Aku ikut berduka cita,” ucap Christina. “Terima kasih,” balas Alaric lalu menoleh ke pintu. “Di mana Emi?” tanya Christina karena tidak melihat Emily. “Dia masih di rumah sakit, dokter belum mengizinkannya keluar,” jawab Alaric. Christina mengangguk mendengar jawaban Alaric, hingga pria itu melontarkan pertanyaa
“Cepat sekali karmanya datang.”Emily langsung melotot mendengar ucapan Claudia. Sahabatnya itu baru pulang semalam, pagi ini langsung ke rumah sakit saat tahu Lena meninggal.“Ish, ngomongnya jangan begitu,” kata Emily.“Ya gimana, dia dulu sangat jahat, kenapa matinya cepat?” Claudia tetap kesal dan dendam karena Lena dulu terus berusaha mencelakai Emily.“Ya, memang. Tapi namanya manusia juga bisa berubah. Dia pergi setelah mengakui semua perbuatannya serta menerima segala hukuman atas kesalahannya. Itu memang lebih baik daripada dia dipenjara seumur hidup,” ucap Emily menjelaskan.“Tetap saja, dia itu sangat jahat.” Claudia tetap tak terima.Emily menghela napas kasar mendengar jawaban Claudia, tak bisa memaksa jika memang seperti itu cara pandang sahabatnya itu.“Tapi jangan membahas seperti itu saat ada Gio. Dia sedang berusaha berubah, tapi malah mendapatkan musibah. Hargai dia, ya.” Emily mengingatkan karena takut terjadi masalah jika Claudia asal bicara ketika bertemu Gio.Cl
Christina masih mengusap punggung Gio dengan lembut. Meski tidak terisak, tapi Christina tahu kalau Gio masih menitikkan air mata.Cukup lama Christina memeluk untuk menenangkan, hingga akhirnya Gio menjauhkan kepala dari pundak Christina.Gio masih menunduk sambil menyeka sisa air mata dari kelopak mata. Tampaknya dia malu karena ketahuan menangis di depan wanita, padahal sudah berusaha untuk tak menangis.Christina seperti ingin tersenyum melihat Gio yang tampak menggemaskan, tapi dia tahu itu tak sopan karena bagaimanapun Gio sedang dalam masa berkabung.“Kamu mau minum atau mungkin makan. Biar aku carikan,” kata Christina karena wajah Gio tampak pucat.Gio belum bicara, lalu menatap Christina yang baru saja menawarinya.“Terima kasih sudah meminjamkan bahumu,” ucap Gio lalu memilih kembali duduk.Christina awalnya terkejut mendengar ucapan Gio, tapi lega karena pria itu terlihat lebih tenang.“Aku ambilkan minum, ya,” kata Christina karena melihat meja Gio kosong tak ada gelas sam
Christina awalnya terkejut mendengar ucapan Gio karena memang tak paham dengan maksud ucapan pria itu. Namun, dia berusaha untuk menganggap jika apa yang dikatakan semata-mata hanya karena pria itu sedang putus asa. “Tidak peduli bagaimana masa lalumu, tapi sebuah kepedulian itu tidak memandang miskin atau kaya, baik atau buruk. Bahkan seorang penjahat pun terkadang butuh sebuah kepedulian, karena aku meyakini jika tak akan ada akibat tanpa sebab,” ucap Christina lalu mengulurkan sendok ke Gio. Gio menatap Christina yang berpikiran positif dan optimis. Entah dia tak tahu cara menjauhkan wanita itu darinya, karena kenyataannya meski sudah berusaha membuat Christina menjauh, wanita itu sekarang malah semakin mendekat. Gio akhirnya menerima sendok dari Christina dan siap untuk makan. “Minum air putihnya dulu sebelum makan,” kata Christina mengingatkan. Gio berhenti menyendok makanan saat mendengar perkataan Christina. Dia akhirnya minum lebih dulu lalu dilanjutkan dengan makan. Chri
“Padahal kita baru saja melayat, tapi kenapa rasanya kamu bicara sesuatu yang berbau tentang persaingan?”Nana langsung mengultimatum suaminya karena merasa aneh dengan pertanyaan Bastian ke Christina.“Bukan bicara persaingan, hanya menanyakan,” balas Bastian sambil memandang Nana yang ikut ke kantornya.“Iya tahu, tapi kalau keluarga Byantara tahu jika kita terus membahas hal seperti itu, apa baik? Meski mereka juga saingan bisnis, tapi tetap saja mereka juga sekarang bagian keluarga dari Kak Sashi,” ucap Nana mengingatkan.Bastian memandang Nana yang seperti cemas, lalu berkata, “Kamu mencemaskan apa, hm? Aku tidak bermaksud apa-apa. Serius aku hanya tanya untuk memastikan saja.”“Tapi caramu memastikan membuat Christina takut,” balas Nana.Bastina menoleh Nana lagi, tapi kemudian terlihat berpikir sejenak.“Sudah, tidak usah dibahas lagi. Bukankah yang terpenting aku tidak bertanya di hadapan keluarga Byantara.”Nana akhirnya diam karena mendengar perkataan suaminya dan memilih ta
Christina menatap Alaric dan Emily bergantian, lalu bertanya, “Apa ada sesuatu yang benar-benar buruk?”“Ya, itu tergantung caramu menyikapinya,” balas Alaric.Emily dan Alaric menunggu Christina siap mendengarkan karena wanita itu terlihat ragu.“Jika kamu tak yakin, lebih baik tak usah dengar. Jika kamu yakin, aku akan menceritakan tapi jangan pernah membahasnya di depan Gio,” ucap Alaric mencoba meyakinkan Christina.Christina terlihat ragu, hingga akhirnya menganggukkan kepala.“Aku ingin mendengarnya,” ucap Christina mencoba meyakinkan perasaannya sendiri. Bukankah dia sudah berusaha untuk mengenal lebih jauh, kenapa sekarang harus mundur.Emily melirik Alaric, melihat suaminya bersiap bicara.“Polisi di sana karena orang tua Gio ditahan atas kasus percobaan pembunuhan dan beberapa kasus lain,” ucap Alaric, “dia meninggal saat masih dalam status sebagai tahanan, karena itu polisi harus memiliki berkas kematiannya untuk laporan.”Christina sangat terkejut mendengar cerita Alaric s
Emily akhirnya sudah diperbolehkan pulang. Dia sudah sampai rumah bersama Alaric, tapi tetap harus di atas kursi roda karena dokter tidak menyarankan Emily banyak bergerak untuk sementara waktu.“Di mana Gio?” tanya Emily ke Alaric.“Mungkin di kamarnya,” jawab Alaric, “kamu mau menemuinya?” tanya Alaric kemudian.Emily mengangguk menjawab pertanyaan Alaric, hingga Mia datang menyambut mereka.“Kamu mau istirahat? Mama sudah meminta pelayan menyiapkan kamar di lantai bawah agar kamu tak perlu naik turun,” ucap Mia saat menyambut Emily.“Iya, terima kasih, Ma,” balas Emily, “tapi aku mau bertemu Gio dulu,” ucapnya kemudian.“Oh, dia ada di kamarnya. Sejak pagi tadi pulang dari pemakaman sampai sekarang, Gio tak mau keluar dari kamar. Bahkan tadi mau makan karena dibujuk Christina,” ujar Mia menceritakan apa yang terjadi.Emily terkejut mendengar cerita Mia, sudah sepeduli itu Christina terhadap Gio, apakah Christina akan mundur setelah tahu masa lalu Gio yang tadi diceritakan.Emily me
Nana mencemaskan Christina hingga memilih pergi ke kamar putrinya itu untuk melihat apakah terjadi sesuatu dengan Christina.“Chris, mama masuk ya.” Nana mengetuk pintu lalu meminta izin masuk sebelum membuka pintu.Terdengar suara Christina dari dalam mengizinkan, membuat Nana membuka pintu lalu masuk untuk menemui Christina.“Kamu tidak makan malam?” tanya Nana saat melihat Christina duduk di atas ranjang dengan laptop di pangkuan.Christina menutup laptop saat melihat sang mama datang. Matanya terlihat agak merah, membuka laptop sepertinya hanya alasan saja agar dia terlihat sibuk.“Aku baru selesai mengerjakan berkas,” jawab Christina lalu meletakkan laptop di kasur.Nana memperhatikan mata Christina yang agak merah, lalu duduk di tepian ranjang sambil memandang putrinya itu.“Apa ada masalah?” tanya Nana.Meski Christina terlihat baik-baik saja, tapi Nana tidak bisa mengabaikan mata Christina yang terlihat bengkak.“Tidak,” jawab Christina lalu memulas senyum.“Lalu, kenapa matam
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil