Kisah maminya Emily ada di buku. Kakak Cantik, Jadi Mamiku!. Terima kasih.
“Cari informasi lebih banyak lagi. Kali ini aku benar-benar tak bisa membiarkannya begitu saja,” ucap Alaric saat bicara di telepon dengan seseorang. Emily baru saja keluar dari kamar mandi. Dia melihat Alaric yang sedang menerima panggilan telepon. “Kamu bicara dengan siapa?” tanya Emily saat melihat Alaric sudah selesai bicara. Alaric menoleh Emily, lantas berjalan mendekat ke istrinya itu. “Billy, aku memintanya mencari siapa sopir truk yang menabrak kita,” jawab Alaric. Emily menatap Alaric yang terlihat kesal, hingga kemudian kembali bertanya, “Apa ini ada hubungannya dengan sepupumu?” Alaric terlihat terkejut mendengar pertanyaan Emily, hingga kemudian menjawab, “Hanya dugaan saja, karena itu aku meminta Billy mencari bukti lebih banyak.” Emily diam berpikir saat mendengar jawaban Alaric. “Jika kamu bertemu Gio saat tidak bersamaku, jauhi dia dan abaikan saja. Paham?” Alaric bicara sambil menatap kedua bola mata Emily. Emily menganggukkan kepala menjawab pertany
Emily menatap apa yang dilakukan kedua anak buah Alaric, lantas menoleh suaminya.“Aku ingat kapan pernah ke sini,” ucap Emily.“Kapan?” tanya Alaric dengan santainya.“Saat umur enam tahun, aku diajak ke sini main layangan, lalu terseret layangan, aku kapok main itu,” jawab Emily sambil tersenyum miring lantas menunjuk ke anak buah Alaric yang sedang berusaha menaikkan layangan ke udara.“Aku tahu,” balas Alaric sambil menatap istrinya itu.“Tahu apa?” tanya Emily mengerutkan alis.“Tahu kamu pernah terseret layangan sampai berteriak-teriak tapi tak melepas benangnya. Kamu terseret di rerumputan saat kedua orang tuamu tak mengawasi,” ujar Alaric.Emily sangat terkejut mendengar ucapan Alaric, hingga kemudian berkata, “Oh, pasti Papi atau Mami yang cerita.”“Bukan,” balas Alaric.Emily mengerutkan alis mendengar balasan suaminya itu.“Kamu tahu kenapa aku bertanya sejak kapan kamu mendapatkan luka di keningmu itu?” tanya Alaric.Emily menggelengkan kepala mendengar pertanyaan Alaric.
“Kita benar-benar akan menginap?” tanya Emily saat sedang makan malam dengan Alaric.“Kalau tidak, untuk apa aku memesan semua fasilitas di sini?” Alaric membalas dengan gaya angkuh seperti biasa.Emily hanya menahan senyum, lantas menikmati hidangan yang tersedia di meja.“Anak buahmu juga akan menginap?” tanya Emily lagi.Alaric menoleh ke arah dua anak buahnya yang sedang makan malam juga, lantas membalas, “Tenang saja, mereka akan tidur di kamar lain.”Emily tergelak mendengar balasan Alaric, hingga kemudian kembali bicara.“Iya tahu, bukan berarti aku mengatakan mereka akan sekamar dengan kita,” ucap Emily tak bisa menahan tawanya.Alaric hanya tersenyum kecil melihat Emily tertawa, mereka pun kembali menikmati hidangan yang tersedia.Setelah makan malam. Alaric dan Emily berjalan di sekitar tempat menginap.“Tempat ini sangat nyaman untuk dijadikan tempat beristirahat,” ucap Emily sambil mengamati sekitar dan menikmati udara malam yang menenangkan di sana.“Aku tidak salah tempa
Emily masih menautkan bibir mereka, hingga akhirnya dia melepas sambil menurunkan pandangan. Wajahnya memerah mungkin malu karena dia yang memulainya.Emily memberanikan diri memandang Alaric yang ternyata sudah menatapnya. Dia pun mengulum bibirnya saat tatapan pria itu begitu intens kepadanya.“Kamu boleh melakukannya sekarang jika mau,” ucap Emily lantas mengulum bibir sambil menurunkan pandangan.Alaric terlihat terkejut mendengar ucapan Emily. Dia menangkup kedua pipi istrinya lantas menatap dalam ke mata Emily.Tanpa pikir panjang, Alaric kembali menautkan bibir mereka dalam-dalam, dia benar-benar menikmati setiap ciuman yang dilakukan.Alaric mengajak Emily masuk kamar. Dia merebahkan tubuh istrinya lantas mengukung di bawahnya.Emily menatap Alaric yang ada di atasnya. Wajahnya benar-benar bersemu merah, jantungnya pun berdegup sangat cepat membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.“Kamu benar-benar yakin?” tanya Alaric memastikan. Dia menatap Emily yang ada di bawah tub
Emily tersenyum saat melihat wajah suaminya saat pertama kali membuka mata. Dia mengulurkan telunjuk lantas menyentuh hidung mancung suaminya itu.Alaric menggeliat pelan karena terganggu dengan yang dilakukan Emily.Emily hanya mengulum senyum melihat suaminya bangun karena ulahnya. Hingga dia menatap Alaric yang baru saja membuka mata.“Pagi,” sapa Emily saat melihat suaminya sudah memandang dirinya.“Pagi,” balas Alaric yang tampak masih sangat mengantuk.“Kamu masih mengantuk, kalau begitu tidurlah lagi,” ucap Emily sambil mengusap rambut Alaric dengan lembut.Alaric merangsek ke arah Emily, lantas memeluk istrinya itu di bawah selimut yang menutupi tubuh mereka.Emily mengulum bibir karena Alaric memeluk posesif. Dia menatap wajah suaminya yang masih sangat mengantuk.“Aku masih mengantuk, tapi punya janji mengajakmu jalan-jalan,” ucap Alaric lantas mendaratkan kecupan di kening Emily.“Kalau begitu tidak usah pergi,” balas Emily karena tak tega melihat suaminya dipaksa bangun.A
“Sepertinya kamu tak tahu apa-apa,” ucap Gio ketika melihat Emily penasaran.Emily melihat Gio yang melirik ke sekretaris dan staffnya, seolah memberi kode agar dua orang itu pergi dulu.“Maaf, tahu atau tidak. Ini bukan urusanmu, aku juga tidak peduli dengan apa yang kamu maksud,” ucap Emily yang paham maksud Gio ingin bicara berdua dengannya, tapi Emily tak terpancing ucapan sepupu suaminya itu.Apalagi Alaric sudah memperingatkan agar Emily menghindar jika bertemu dengan Gio.Emily pun pergi meninggalkan pria itu begitu saja, tak mau berurusan apalagi Gio seolah ingin bicara dengannya saja.Gio menatap Emily yang pergi mengabaikan dirinya. Dia tersenyum sambil mengusap dagu melihat iparnya itu pergi begitu saja.“Dia sangat menarik, pantas saja Alaric menjadikannya istri. Tapi lihat saja, sampai mana dia bertahan di samping sepupuku itu.”**Emily kembali ke perusahaan, saat baru saja sampai lobi, staff resepsionis berjalan menghampirinya.“Bu Emi, tadi ada kiriman untuk Anda. Saya
Emily menginjak kaki Farrel karena kesal mendengar ucapan pria itu.“Emi!” pekik Farrel terkejut.“Mau memanfaatkan atau tidak, itu bukan urusanmu. Jangan campuri urusan kami lagi!” bentak Emily yang kesal.Emily berusaha kabur, tapi Farrel kembali menahan lengannya.“Jangan bodoh kamu! Aku berusaha menyadarkanmu. Dia tak sebaik yang kamu pikirkan!” Farrel memaksa agar Emily mau mendengar ucapannya.“Kamu bisa menilai orang, tapi bagaimana denganmu, hah?”Farrel hendak bicara, tapi dari samping ada yang menarik pundaknya lantas melayangkan sebuah pukulan ke Farrel.“Anda baik-baik saja?” tanya anak buah Alaric yang datang terlambat.“Aku baik,” ucap Emily agak syok karena salah satu anak buah Alaric memukul Farrel.Di saat bersamaan, mobil Alaric berhenti di sana. Pria itu langsung turun dari mobil lantas menghampiri Emily.Melihat Farrel di sana, membuat Alaric murka hingga ikut memberi bogem mentah ke pipi Farrel.“Berani mengganggunya, kupatahkan tanganmu!” ancam Alaric begitu murk
Alaric berjalan di koridor perusahaan. Dia berjalan mengabaikan beberapa staff yang menatapnya. Alaric pergi ke perusahaan Gio, tentu saja untuk memperingatkan sepupunya itu karena berani menemui Emily. Begitu masuk ruang kerja Gio. Alaric melihat sepupnya itu duduk sambil memandang dirinya. “Seperti keajaiban kamu mau datang ke kantorku,” ucap Gio sambil menutup berkas yang baru saja dibaca lantas menatap Alaric. Namun, bukan tanggapan sebuah ucapan yang didapat Gio, tapi bogem mentah yang menghantam pria itu. Alaric berdiri di depan meja kerja Gio, lantas menarik kerah kemeja sepupunya itu dengan cepat dan menghantamkan sebuah pukulan tepat di pipi. “Sialan! Berhenti bersikap kamu yang paling kuat hingga menghajarku dan selalu meremehkanku!” Gio mengumpat kesal karena Alaric tiba-tiba memukulnya. Alaric mencengkram erat kerah kemeja Gio, amarahnya memuncak hingga rahangnya mengetat dan membuat gigi-giginya bergemeretuk. “Selama ini aku diam dengan segala tingkahmu untuk meng
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil