Emily tersenyum saat melihat wajah suaminya saat pertama kali membuka mata. Dia mengulurkan telunjuk lantas menyentuh hidung mancung suaminya itu.Alaric menggeliat pelan karena terganggu dengan yang dilakukan Emily.Emily hanya mengulum senyum melihat suaminya bangun karena ulahnya. Hingga dia menatap Alaric yang baru saja membuka mata.“Pagi,” sapa Emily saat melihat suaminya sudah memandang dirinya.“Pagi,” balas Alaric yang tampak masih sangat mengantuk.“Kamu masih mengantuk, kalau begitu tidurlah lagi,” ucap Emily sambil mengusap rambut Alaric dengan lembut.Alaric merangsek ke arah Emily, lantas memeluk istrinya itu di bawah selimut yang menutupi tubuh mereka.Emily mengulum bibir karena Alaric memeluk posesif. Dia menatap wajah suaminya yang masih sangat mengantuk.“Aku masih mengantuk, tapi punya janji mengajakmu jalan-jalan,” ucap Alaric lantas mendaratkan kecupan di kening Emily.“Kalau begitu tidak usah pergi,” balas Emily karena tak tega melihat suaminya dipaksa bangun.A
“Sepertinya kamu tak tahu apa-apa,” ucap Gio ketika melihat Emily penasaran.Emily melihat Gio yang melirik ke sekretaris dan staffnya, seolah memberi kode agar dua orang itu pergi dulu.“Maaf, tahu atau tidak. Ini bukan urusanmu, aku juga tidak peduli dengan apa yang kamu maksud,” ucap Emily yang paham maksud Gio ingin bicara berdua dengannya, tapi Emily tak terpancing ucapan sepupu suaminya itu.Apalagi Alaric sudah memperingatkan agar Emily menghindar jika bertemu dengan Gio.Emily pun pergi meninggalkan pria itu begitu saja, tak mau berurusan apalagi Gio seolah ingin bicara dengannya saja.Gio menatap Emily yang pergi mengabaikan dirinya. Dia tersenyum sambil mengusap dagu melihat iparnya itu pergi begitu saja.“Dia sangat menarik, pantas saja Alaric menjadikannya istri. Tapi lihat saja, sampai mana dia bertahan di samping sepupuku itu.”**Emily kembali ke perusahaan, saat baru saja sampai lobi, staff resepsionis berjalan menghampirinya.“Bu Emi, tadi ada kiriman untuk Anda. Saya
Emily menginjak kaki Farrel karena kesal mendengar ucapan pria itu.“Emi!” pekik Farrel terkejut.“Mau memanfaatkan atau tidak, itu bukan urusanmu. Jangan campuri urusan kami lagi!” bentak Emily yang kesal.Emily berusaha kabur, tapi Farrel kembali menahan lengannya.“Jangan bodoh kamu! Aku berusaha menyadarkanmu. Dia tak sebaik yang kamu pikirkan!” Farrel memaksa agar Emily mau mendengar ucapannya.“Kamu bisa menilai orang, tapi bagaimana denganmu, hah?”Farrel hendak bicara, tapi dari samping ada yang menarik pundaknya lantas melayangkan sebuah pukulan ke Farrel.“Anda baik-baik saja?” tanya anak buah Alaric yang datang terlambat.“Aku baik,” ucap Emily agak syok karena salah satu anak buah Alaric memukul Farrel.Di saat bersamaan, mobil Alaric berhenti di sana. Pria itu langsung turun dari mobil lantas menghampiri Emily.Melihat Farrel di sana, membuat Alaric murka hingga ikut memberi bogem mentah ke pipi Farrel.“Berani mengganggunya, kupatahkan tanganmu!” ancam Alaric begitu murk
Alaric berjalan di koridor perusahaan. Dia berjalan mengabaikan beberapa staff yang menatapnya. Alaric pergi ke perusahaan Gio, tentu saja untuk memperingatkan sepupunya itu karena berani menemui Emily. Begitu masuk ruang kerja Gio. Alaric melihat sepupnya itu duduk sambil memandang dirinya. “Seperti keajaiban kamu mau datang ke kantorku,” ucap Gio sambil menutup berkas yang baru saja dibaca lantas menatap Alaric. Namun, bukan tanggapan sebuah ucapan yang didapat Gio, tapi bogem mentah yang menghantam pria itu. Alaric berdiri di depan meja kerja Gio, lantas menarik kerah kemeja sepupunya itu dengan cepat dan menghantamkan sebuah pukulan tepat di pipi. “Sialan! Berhenti bersikap kamu yang paling kuat hingga menghajarku dan selalu meremehkanku!” Gio mengumpat kesal karena Alaric tiba-tiba memukulnya. Alaric mencengkram erat kerah kemeja Gio, amarahnya memuncak hingga rahangnya mengetat dan membuat gigi-giginya bergemeretuk. “Selama ini aku diam dengan segala tingkahmu untuk meng
[Aku mau mengajakmu ke suatu sempat sepulang kerja nanti. Aku akan menjemput tepat waktu.]Emily tersenyum membaca pesan dari Alaric. Dia pun membalas pesan itu, lantas meletakkan ponsel kembali di meja.Emily mengecek berkas yang bertumpuk di meja. Dia harus segera menyelesaikan itu agar bisa pulang tepat waktu.Saat Emily masih sibuk mengecek berkas sebelum ditandatangani, ponselnya berdering dan langsung diangkat Emily tanpa melihat nama yang terpampang di layar.“Halo.”“Kupikir kamu tidak mau menjawab panggilanku, Kakak Ipar.”Emily terkejut ada yang memanggilnya kakak ipar. Dia langsung menjauhkan ponsel dari telinga untuk mengecek nomor yang terpampang hingga membuatnya terkejut.“Mau apa kamu? Untuk apa menghubungiku, aku tidak punya urusan denganmu,” ucap Emily dengan ekspresi wajah malas.Emily hendak mengakhiri panggilan itu tapi mendengar suara Gio yang mencegah.“Apa kamu tidak mau tahu alasan Alaric menikahimu, bahkan setelah bertunangan kenapa malah memilihmu?”Emily te
“Bekas lipstik ini?”Emily menarik lengan Alaric, memperlihatkan ada bekas lipstik berbentuk bibir di sana. Dia pun menatap tak senang ke suaminya.Alaric melirik ke lengannya, hingga memejam mata sekilas sambil mendesis. Dia pun buru-buru melepas jas itu kemudian melemparnya serampangan.Emily menatap Alaric yang baru saja membuang jas. Dia menatap tak senang karena suaminya belum menjelaskan.“Ada yang mau kamu jelaskan?” tanya Emily sambil meletakkan buket bunga yang dibawa ke meja.“Saat membeli kue, aku bertemu dengan rivalmu,” jawab Alaric jujur karena tak ingin ada kesalahpahaman di antara mereka.“Selena?” Emily langsung mengerutkan alis mendengar jawaban Alaric.“Ya. Dia tiba-tiba muncul dan menabrakku, membuat kue yang aku beli jatuh. Dia memaksa ingin mengganti kue itu, tapi aku tolak. Lalu saat akan pergi ….” Alaric menjeda ceritanya ketika ingat apa yang terjadi.“Sial!” umpatnya sambil memukul udara.Emily masih memperhatikan Alaric dengan eksprei wajah datar, hingga sua
“Aku senang kamu tak langsung menilai dari satu sudut pandang saja. Aku benar-benar tak salah memilihmu,” ucap Alaric saat sudah melepas pagutan bibir mereka, lantas menatap Emily yang ada di bawahnya.“Aku bukan wanita sembarangan. Kamu takkan menyesal memilihku sebagai teman seumur hidup,” balas Emily jemawa.Alaric gemas mendengar Emily yang penuh percaya diri. Dia pun menyentuhkan kening mereka, hingga hidung mereka saling bersentuhan.“Aku takkan melewati batas jika berniat membuangmu, jadi jangan pernah berpikir seperti itu,” ucap Alaric mencoba meyakinkan Emily.Emily mengangguk-angguk mendengar ucapan suaminya itu.“Kita menginap malam ini di sini, aku ingin berdua denganmu tanpa ganguan,” bisik Alaric lantas kembali mendekatkan bibir.“Al, aku lapar.”Baru saja Alaric ingin memadu kasih dengan istrinya setelah ketegangan yang terjadi, Emily malah mencegah karena lapar.Dia benar-benar merasakan sesuatu karena sikap Emily yang blak-blakan, merasa wanita itu yang terbaik karena
“Kenapa kamu murung seperti itu?” tanya Claudia saat siang itu bertemu Emily di kafe.Emily sedang mengaduk-aduk jusnya ketika mendengar pertanyaan Claudia. Dia menatap sahabatnya itu, lantas membalas, “Tidak murung.”Claudia mengerutkan alis mendengar jawaban Emily. Jelas-jelas sahabatnya itu sedang murung, bagaimana bisa berkata tidak.“Seharusnya yang murung itu aku,” ucap Claudia tiba-tiba.“Kenapa murung?” tanya Emily langsung menatap sahabatnya itu. Dia menyedot jusnya sambil memperhatikan Claudia.“Aku bertengkar dengan pacarku, lalu sekarang break. Rasanya aneh saat dia tak menghubungiku sama sekali,” jawab Claudia lantas menghela napas kasar.Emily langsung menyemburkan jus yang baru saja masuk mulut saat mendengar jawaban Claudia.“Tunggu! Pacar? Sejak kapan kamu punya pacar?” tanya Emily sangat syok karena tak tahu bahkan Claudia tak pernah bercerita soal itu.Claudia langsung mengulum bibir melihat Emily terkejut. Dia keceplosan bicara hingga akhirnya ketahuan sahabatnya i