“Kenapa kamu murung seperti itu?” tanya Claudia saat siang itu bertemu Emily di kafe.Emily sedang mengaduk-aduk jusnya ketika mendengar pertanyaan Claudia. Dia menatap sahabatnya itu, lantas membalas, “Tidak murung.”Claudia mengerutkan alis mendengar jawaban Emily. Jelas-jelas sahabatnya itu sedang murung, bagaimana bisa berkata tidak.“Seharusnya yang murung itu aku,” ucap Claudia tiba-tiba.“Kenapa murung?” tanya Emily langsung menatap sahabatnya itu. Dia menyedot jusnya sambil memperhatikan Claudia.“Aku bertengkar dengan pacarku, lalu sekarang break. Rasanya aneh saat dia tak menghubungiku sama sekali,” jawab Claudia lantas menghela napas kasar.Emily langsung menyemburkan jus yang baru saja masuk mulut saat mendengar jawaban Claudia.“Tunggu! Pacar? Sejak kapan kamu punya pacar?” tanya Emily sangat syok karena tak tahu bahkan Claudia tak pernah bercerita soal itu.Claudia langsung mengulum bibir melihat Emily terkejut. Dia keceplosan bicara hingga akhirnya ketahuan sahabatnya i
“Aku akan mengantarmu,” ucap Claudia setelah selesai makan siang bersama Emily. “Tidak usah, aku naik taksi saja. Atau manggil anak buah suamiku yang mengawasiku untuk mengantar,” tolak Emily enteng. “Siapa?” Claudia terkejut mendengar ucapan Emily. “Anak buah suamiku, tuh!” Emily menunjuk menggunakan dagu ke arah salah satu sudut kafe. Claudia menoleh ke arah Emily menunjuk hingga melihat dua pria yang langsung memalingkan muka. “Suamimu protektif sekali, apa dia pikir aku akan menculik atau menganiayamu sampai dia meminta orang mengawalmu?” tanya Claudia tapi tentunya dengan nada ledekan. Emily tergelak mendengar pertanyaan Claudia, hingga kemudian membalas, “Dia itu cinta mati denganku, makanya takut kalau ada semut yang menggigitku.” “Dih, lebay.” Claudia malah gemas dengan ucapan Emily yang memang penuh percaya diri. “Sudah, ayo balik,” ajak Emily lantas berdiri sambil mencangklong tasnya. Emily dan Claudia pun berdiri karena harus kembali ke perusahaan. Hingga l
“Aku sudah tidak bisa membiarkan Gio berbuat seenaknya.”Billy menatap Alaric yang bicara dengan nada penuh emosi. Dia melihat sahabatnya itu terlihat begitu kesal.“Mau aku yang bertindak?” tanya Billy sambil memainkan pulpen di jarinya.Alaric langsung menatap Billy. Dia mendengkus kasar karena masih berpikir dua kali untuk membalas perbuatan Gio.“Jika bukan karena Kakek, aku ingin sekali menghajarnya sampai dia tak bisa bangun,” geram Alaric dengan telapak tangan mengepal.Billy menghela napas kasar, lantas meletakkan pulpen di meja.“Perbuatannya sudah keterlaluan untuk menjatuhkanmu, apa kamu masih terus saja memikirkan perasaan kakekmu sedangkan perasaanmu juga bakal jadi tumbal,” ucap Billy sambil menatap Alaric yang terlihat sangat kesal.“Blokir semua aksesnya untuk mendapat proyek, aku takkan membiarkannya mendapat satu proyek pun sebagai pelajaran karena sudah main-main denganku!” perintah Alaric tanpa berpikir lagi.Alaric mungkin tak bisa main fisik karena semua itu akan
“Akhirnya kamu mau menemuiku.” Farrel terlihat senang saat melihat Emily menemuinya di private room sebuah restoran. “Dari mana kamu mendapatkan ini semua?” tanya Emily sambil melempar amplop coklat yang ditemukannya di ruang kerjanya. Di sana ada secarik kertas bertuliskan permintaan Farrel untuk bertemu. “Kamu lupa kalau keluargaku ada yang bekerja di kepolisian? Tentu saja rekaman itu valid, semua itu benar,” jawab Farrel. Emily diam dengan telapak tangan mengepal. Dia benar-benar tak menyangka banyak fakta yang mendadak muncul hingga membuat kepalanya begitu sakit. “Aku tidak tahu kamu kecelakaan malam itu. Aku benar-benar minta maaf karena sudah membuatmu terluka. Tapi jujur aku tak bermaksud seperti itu, aku hanya khilaf saja karena Selena terus menggodaku,” ucap Farrel mencoba membujuk Emily. “Kamu pikir, dengan memberiku semua bukti ini, lantas aku akan memaafkan perbuatanmu?” Emily tersenyum miring ke Farrel. “Aku hanya berharap kamu memaafkanku. Juga aku ingin menunju
“Siapa yang ada di kamarmu?” tanya Emily penasaran. “Tidak, tidak ada siapa-siapa.” Claudia menghalangi Emily yang hendak masuk kamarnya. “Tapi ada suara di dalam. Kamu ini kenapa sih? Kamu menyembunyikan apa dariku?” Emily semakin penasaran karena sikap Claudia. Claudia terlihat semakin panik, membuat Emily yakin pasti ada sesuatu. Emily hendak masuk tapi dicegah Claudia. “Tidak ada apa-apa di dalam, mungkin tadi aku naruh gelas kurang ke tengah meja, makanya gelasnya jatuh,” ucap Claudia dengan ekspresi wajah panik. “Mana ada naruh gelas tadi, jatuhnya sekarang kalau bukan karena kesenggol. Minggir ga? Kamu ini nyembunyiin apa?” Emily benar-benar tak percaya dengan alasan Claudia. Dia memaksa masuk kamar sahabatnya itu, hingga saat baru saja membuka pintu, Emily syok dengan apa yang dilihatnya. Claudia memejamkan mata, dia ketahuan oleh temannya itu. “Apa-apaan ini? Kenapa dia di sini? Ada apa ini?” Emily sangat syok dan bingung dengan yang terjadi. Dia menatap Clau
“Ayo duduk dulu,” ucap Claudia mengajak Emily duduk.Emily benar-benar sedih dengan yang terjadi. Dia bingung harus bagaimana mengontrol emosi yang meluap sampai-sampai mengamuk ke semua orang.Evano terlihat merasa bersalah dan berpikir jika sang kakak menangis karena hubungannya dengan Claudia.“Duduklah.” Claudia membantu Emily duduk lantas mengambil tisu untuk menyeka air mata sahabatnya itu.“Kami tidak bermaksud membohongimu, hanya saja aku dan Vano benar-benar masih pacaran biasa, kita juga bisa saja bertengkar dan putus, karena itu aku merasa tak perlu memberitahumu dulu,” ucap Claudia menjelaskan.Evano terkejut mendengar ucapan Claudia yang mengatakan jika bisa saja putus, membuatnya tak senang karena ucapan wanita yang enam tahun lebih tua darinya itu.Emily menarik napas panjang lantas mengembuskan kasar. Dia lantas menatap sang adik yang duduk di sebelahnya.“Bagaimana bisa kamu pacaran sama wanita yang harusnya jadi kakakmu, hah?” Emily mengamuk Evano sambil menarik teli
Alaric kebingungan karena Emily benar-benar sudah tak ada di perusahaan. Dia sampai memohon ke security untuk membuka rekaman Cctv, untungnya karena dia menantu di perusahaan itu, sehingga kepala security mau memperlihatkan. Alaric melihat Emily pergi lewat taksi yang menjemput di pintu belakang gedung, pantas saja anak buahnya tak melihat. Dia berusaha menghubungi Emily lagi tapi tak berhasil, pulang ke rumah tapi istrinya juga tidak ada di rumah. Ingin bertanya ke keluarga, takutnya semua orang cemas. “Kamu sudah menemukannya?” tanya Alaric saat menghubungi Billy. “Belum, aku coba lacak GPS taksi yang membawa istrimu, tapi belum ketemu karena harus memilah file yang sangat banyak,” jawab Billy. “Lacak pertanggal dan jam tadi, Billy!” Alaric geram karena Billy mendadak lemot. “Sabarlah, aku sedang berusaha.” Alaric mengakhiri panggilan. Dia kebingungan di kamarnya karena Emily belum ditemukan. “Ke mana kamu? Kenapa pergi secara diam-diam bahkan mematikan ponsel?” Ala
“Tolong jaga kakakku,” ucap Evano saat berpamitan dengan Claudia. “Kamu tenang saja, dia kakakmu juga sahabatku tentu aku akan menjaganya dengan baik,” balas Claudia mencoba menenangkan Evano yang cemas. Evano melongok ke dalam, lantas memandang Claudia lagi. “Ada apa?” tanya Claudia yang aneh dengan tingkah kekasih berondongnya itu. Evano menyentuh pipi dengan telunjuk lantas berkata, “Sebelum aku pergi.” Claudia melotot mendengar ucapan pemuda itu. “Ish … kamu ini tidak takut Emi ngamuk lagi? Jangan aneh-aneh!” tolak Claudia padahal sebenarnya malu. “Ayolah, sekali. Biasanya juga tak masalah,” protes Evano. Claudia mengulum bibir, lantas menoleh ke dalam dan tak melihat Emily. Dia mencium pipi pemuda itu dengan cepat, hingga membuat Evano langsung tersenyum semringah. “Sudah sana, pergi.” Claudia mengusir pemuda itu karena malu sendiri. “Baiklah, aku pergi. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku,” kata Evano. Claudia hanya mengangguk-angguk, lantas melambai ke Ev
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil