“Jadi, kamu ingat apa yang terjadi padamu?” tanya pria itu memastikan.
“Memang salahku mengemudi dengan kecepatan tinggi,” ucap Emily pelan. Akan tetapi, tak lama dia merasa kesal. Dia ingat, meskipun mengemudi dengan kecepatan tinggi tetapi dia yakin berada di lajur yang benar. “Tapi bukan semua kesalahanku juga. Aku yakin jalurku sudah lampu hijau, tapi tiba-tiba dari arah kanan, ada orang bodoh yang mengemudikan mobil menerobos lampu merah lalu menabrak bagian belakang mobilku. Ya, aku ingat ada mobil lain yang menabrakku, apa kamu melihatnya?” tanya Emily berapi-api pada pria itu. Emily sekali lagi tertegun melihat pria di hadapannya. Ada sebersit keterkejutan di mata pria itu, akan tetapi sejurus kemudian ekspresi pria itu kembali tenang. Ada yang aneh. “Saya tidak melihat ada mobil lain. Saya hanya melihat mobilmu yang sudah menabrak pohon,” jawab pria itu menjelaskan. Emily mendengkus kasar mendengar jawabannya. “Sial, mungkin pengemudi mobil itu kabur. Semoga saja dia dapat balasan yang lebih parah dariku,” gerutu Emily tampak kesal. Dia tidak terima seluruh badannya sakit, tetapi pelaku pelanggar lalu lintas itu malah kabur. Beberapa saat tidak ada percakapan di antara mereka, pria itu tidak merespon ucapannya membuat Emily agak salah tingkah. Emily masih terbaring di tempat tidurnya, sedangkan pria itu masih berdiri di sampingnya dan menatapnya. “Mungkin ini karma untukku.” Emily kembali bersuara. Kepribadiannya yang supel, membuatnya tak sungkan bercerita pada pria yang baru pertama kali ditemuinya itu. Juga dia tidak nyaman berada di situasi yang canggung seperti ini. Namun, Emily tetap kaget melihat pria itu tiba-tiba menarik kursi dan duduk di samping ranjang Emily. Seolah pria itu ingin mendengarkan ceritanya? “Saya Alaric,” kata pria itu, mengulurkan tangan pada Emily. “Maaf belum sempat mengenalkan diri.” Pria yang cukup sopan, dalam hati Emily membatin. Lantas Emily menyambut uluran tangan Alaric. “Kamu sudah tahu namaku. Emily.” “Saya rasa itu bukan karma,” ucap Alaric lagi. Emily membuang napas kasar mendengar respon Alaric, kemudian menjawab, “Kamu tidak tahu. Aku sudah menjadi anak yang durhaka karena tidak percaya ucapan ibuku. Ibuku bilang kalau pacarku itu bukan pria baik-baik, tapi aku malah membela pria bajing—aduh kepalaku.” “Kamu tidak apa-apa?” Alaric dengan sigap berdiri mendekati wajah Emily dengan wajahnya. Emily yang ditatap sedekat itu justru menjadi gelagapan. “Ti—tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Kamu bisa agak lebih jauh, tidak? Aku kesulitan bernapas.” Siapa yang tidak kesulitan bernapas ditatap pria tampan sedekat itu? Aduh, sekarang pipi Emily terasa panas. Emily menepuk pipinya, agar kembali waras. “Mau saya panggilkan dokter?” “Tidak perlu. Aku baik-baik saja.” Alaric hanya mengangguk kecil sambil kembali duduk, lalu bersuara, “Jadi, pacarmu selingkuh?” “Bagaimana kamu tahu?” “Saya hanya menebak,” kata pria itu datar. Merasa ada yang bisa merasakan perasaannya, tiba-tiba air mata Emily jatuh begitu saja. Emily jadi tak kuasa untuk tidak bercerita, “Iya! Dia berselingkuh dengan musuh bebuyutanku sendiri! Aku baru memergokinya tadi, makanya aku frustasi dan kebut-kebutan hingga akhirnya kecelakaan.” Alaric mengambil selembar tisu dan memberikannya pada Emily. Dia masih diam menatap dan mendengarkan Emily bercerita. “Makanya aku bilang ini karma, ‘kan? Sekarang aku ingin pulang ke rumah bertemu Mami tapi aku malu.” Emily mengeluarkan ingus dari hidung ke tisu dengan keras hingga menciptakan suara yang menggelitik telinga. Alaric sampai meringis mendengar suara ingus Emily tapi berusaha untuk tenang. “Kamu tahu apa yang paling membuatku marah? Bisa-bisanya aku dikhianati dan membela mati-matian pria berengsek itu di depan Mami!” cerocos Emily. Dia sudah tidak peduli dengan siapa dia sedang berbicara, perasaan kesal di hatinya harus dikeluarkan. Alaric hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan Emily. “Aku sudah sangat antusias ingin mengajaknya menikah. Tapi dia malah berselingkuh dengan alasan kalau aku kolot dan tak mau tidur dengannya. Apa kamu bisa bayangkan itu, bagaimana bisa ada pria seberengsek itu?” keluh Emily lagi sambil menangis. Dia meminta tisu pada Alaric lagi untuk membersihkan ingusnya. “Saya tidak tahu. Saya bukan pria berengsek,” gumam Alaric lantas memberikan tisu pada Emily. Emily kembali mengeluarkan ingus dengan kasar hingga membuat Alaric meringis lagi. “Seharusnya aku tadi menamparnya, kenapa hanya aku siram bir?” ucap Emily lebih pada dirinya sendiri. Alaric hanya diam dan bersedekap mendengar keluh-kesah Emily. “Semua lelaki memang berengsek! Maunya hanya bagian enaknya saja!” gerutu Emily. “Tidak semua lelaki,” balas Alaric. Emily melirik Alaric, tapi kembali menangis. Sedang pria itu tetap diam menatap Emily. “Aku harus bagaimana sekarang? Bagaimana caranya menghadapi orang tuaku?” tanya Emily sesaat kemudian, menundukkan kepala karena kembali ingat orang tuanya. Baru Emily ingin menoleh pada Alaric untuk meminta bantuan, justru wanita itu membelalakan matanya ketika Alaric tiba-tiba berkata, “Bagaimana kalau menikah denganku?”“Apa tadi kamu bilang?” tanya Emily menatap tak percaya. “Menikahlah dengan saya.” Alaric menjawab dengan santai. Emily mengerutkan alis. Dia tidak takut dengan tawaran pria itu, hanya saja merasa aneh dengan tawaran pria tampan itu yang mengajaknya menikah padahal baru saja kenal. “Kenapa aku harus menikah denganmu, sedangkan aku bisa cari yang lebih kaya dan tampan darimu. Lagi pula kita baru kenal, apa alasanmu mengajakku menikah?” tanya Emily mencecar dengan tatapan penuh curiga. Emily menatap Alaric yang terlihat menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan, lantas mendengar pria itu menjawab. “Saya kaya, beberapa perusahaan yang saya jalankan popularitasnya sudah tembus sampai ke luar negeri. Soal tampan, kamu sudah jelas bisa menilai.” Emily hampir tersedak ludah mendengar ucapan Alaric. Ingin mengingkari, tetapi kenyataannya pria itu memang sangat tampan, membuat kedua pipinya terasa panas saat menatap pria itu. “Meski begitu, aku juga tak mau sembarangan menyetujui
“Kamu ingat pulang!”Suara melengking itu terdengar nyaring saat Emily dan Alaric baru saja menginjakkan kaki di rumah.Emily melihat sang Mami yang menatapnya tajam penuh emosi.“Maaf kalau saya terlambat membawanya pulang.”Emily langsung menoleh pada Alaric yang seakan melindungi dirinya, hingga berpikir mungkinkah ini bagian dari akting?“Siapa kamu?” tanya sang Mami.Alaric tiba-tiba menggandeng tangan Emily, membuat wanita itu syok sambil menatap pria di sampingnya itu.Emily menatap Alaric dengan rasa tak percaya, tetapi sejurus kemudian dia sadar itu hanya sandiwara. Akan tetapi, tiba-tiba saja Emily tetap merasa gugup.“Dia pacarmu? Bukan, bukan dia.” Sang Mami menatap Alaric dengan teliti.Emily ingin menjelaskan saat adik dan ayahnya keluar melihatnya datang bersama pria, hingga Alaric tiba-tiba bicara lebih dulu.“Perkenalkan, saya Alaric Byantara. Saya pacar Emi, ada yang ingin saya sampaikan sehingga mengantarnya pulang,” ucap Alaric.Emily melihat ibu dan keluarganya te
Setelah Alaric pamit pulang, sang Mami, Papi dan Emily berkumpul, masih membahas lamaran yang tiba-tiba datang dari pria itu. “Beberapa hari lalu kamu bertengkar dengan mami karena ingin menikahi si Farrel-Farrel itu, sekarang malah mau menikah dengan Alaric? Kamu sedang mempermainkan kami?”Emily melihat sang Mami marah, lantas menghela napas kasar. Dia melihat sang Papi yang hanya diam, membuatnya mendekat pada sang Mami, lantas merangkul lengan wanita itu meski sang Mami memberontak menolak.“Iya, aku tahu kalau salah. Mami benar Farrel tidak baik, tapi Alaric berbeda, Mi. Lihat saja dia, datang ke sini dengan ketulusan dan kesungguhan hati melamarku. Berani menghadapi Mami dan Papi tanpa aku bela. Dia memang tulus ingin menikahiku dan aku setuju.” Emily bicara agak dilebih-lebihkan agar orang tuanya percaya. Jangan sampai rencana balas dendam pada mantan berengseknya gagal karena terhalang restu.Emily melirik kedua orang tuanya yang saling tatap, hingga pura-pura memasang wajah
“Aku bersyukur Kakak tidak jadi menikah dengan Kabel Paralel itu, hanya saja apa Kakak yakin ingin menikahi pria lain? Ini begitu cepat.” Emily menoleh sang adik yang sedang melayangkan protes ke arahnya. “Anak kecil tahu apa? Ssttt … diam saja.” Emily meminta adiknya diam karena dia sedang sibuk berhias untuk menyambut Alaric dan keluarganya datang hari ini. “Bukan tak tahu. Kakak itu gampang dimanfaatkan orang. Dikit-dikit kasihan, dikit-dikit kasihan, ujungnya apa? Patah hati! Farrel selingkuh ‘kan, makanya Kakak patah hati dan mau menikah dengan pria lain?” Emily langsung berdiri mendengar ucapan sang adik. Dia membekap mulut adiknya yang bocor saat bicara. “Dari mana kamu tahu?” tanya Emily. Sang adik menyingkirkan telapak tangannya dari mulut remaja itu, hingga sang adik bicara, “Ada, Kakak tidak perlu tahu. Yang jelas, Kakak putus sama si Kabel Paralel, tapi kenapa menikah dengan pria asing? Kalian tidak saling kenalkan?” Emily terdiam mendengar ucapan sang adik. T
“Berhari-hari hilang bak ditelan kucing, habis ketemu kamu bilang mau nikah? Kamu masih mau nikah sama si brengsek Farrel itu!”Emily menatap Claudia yang bicara dengan berapi-api, bahkan hidung sahabatnya itu kembang-kempis karena syok mendengar ucapannya.Emily mengambil satu kentang goreng, lantas memasukkan ke mulut Claudia, membuat sahabatnya itu langsung diam karena mengunyah kentang goreng.“Bukan sama Farrel. Dia sudah aku tenggelamkan ke segitiga bermuda. Aku dilamar presdir tampan, sangat tampan. Lebih tampan dari Farrel,” ucap Emily menjelaskan.Emily melihat Claudia yang sedang menelan kentang, sahabatnya itu siap bicara tapi Emily dengan iseng memasukkan kentang ke mulut temannya itu lagi.“Emi!” Claudia melotot ke Emily.Emily tertawa sampai hampir tersedak.“Kenapa tiba-tiba? Bukankah kamu cinta mati sama Farrel, sampai-sampai aku peringatkan ribuan kali pun kamu kekeh sama si brengsek itu,” ucap Claudia tak habis pikir.Emily memandang Claudia, lantas membalas, “Ga tiba
“Gaun pernikahannya bisa pas sekali di badanmu.”Emily menatap sang mami yang sedang memperhatikan gaun pengantin yang kini sudah melekat di tubuhnya. Dia tidak melakukan fitting baju sama sekali karena sudah disiapkan oleh keluarga Alaric.Hari itu pernikahannya dengan Alaric akan digelar. Emily berada di ruang ganti pengantin sudah selesai dirias.“Mungkin karena ukuran tubuhku pasaran, coba gemukan dikit, pasti nih gaun ga muat,” celetuk Emily ngasal.“Ish … apa-apaan. Ini tubuh udah bagus, ngapain pengen gemuk. Modelnya kekinian, cantik,” ucap sang mami sambil mengusap bagian pinggang.Emily menghela napas kasar, sejujurnya dia pun merasa sangat gugup dengan pernikahan yang akan dijalaninya ini.“Gugup?” tanya sang mami.“Iya,” jawab Emily sambil menatap sang mami yang kini memandangnya.“Tidak apa, ini wajar. Mami juga dulu gitu,” balas sang mami.“Tapi dulu Mami sangat tenang, bahkan sangat cantik,” ujar Emily sambil menatap ke wanita yang sudah membesarkannya selama 20 tahun in
Prosesi pernikahan pun dilakukan. Emily dan Alaric terlihat sangat bahagia dari sudut pandang keluarga dan tamu karena semua orang itu tak tahu dengan sandiwara keduanya. “Pengantin pria, kamu bisa mencium pengantinmu,” ucap Master Ceremony. Emily langsung melotot mendengar ucapan Master Ceremony, lantas menatap panik ke Alaric meski senyum masih tersungging di wajah. “Kamu tidak akan melakukannya, kan!” Emily bicara tanpa suara hanya bibir yang bergerak. “Ini sandiwara, kita tak bisa mengelak,” balas Alaric. Emily ingin sekali berteriak mendengar balasan Alaric, bagaimana bisa pria itu mau menciumnya sedangkan mereka sudah sepakat untuk tak melakukan kontak fisik selain berpegangan tangan. Belum juga Emily sadar dari keterkejutannya. Alaric sudah meraih pinggangnya, lantas menyentuhkan bibir mereka. Emily membulatkan bola mata, meski hanya menyentuhkan tapi tetap saja namanya ciuman. Semua orang bertepuk tangan atas pernikahan Alaric dan Emily. Emily kesal karena Alaric menci
Alaric terlihat tak senang karena Emily dipeluk pria lain padahal di pesta itu banyak yang melihat. Belum lagi status Emily sekarang adalah istrinya.Dia hendak melangkah untuk menegur, tapi langkahnya terhenti saat melihat wanita yang dinikahinya itu tertawa bahagia. Bahkan dia belum pernah melihat Emily tertawa seperti itu.“Kai! Kupikir kamu tidak datang.” Emily menatap sepupu yang tumbuh bersamanya dari kecil.Emily terlihat seperti ingin menangis karena kedatangan pria itu.“Bagaimana aku tidak datang di hari pernikahanmu? Untung saja urusannya selesai lebih cepat, jadi bisa mendarat hari ini. Aku bahkan langsung ke sini dari bandara dijemput Archie.”Alaric masih terus memperhatikan Emily yang sedang bicara. Hingga dia melihat Emily yang tiba-tiba menoleh ke arahnya.“Itu suamiku, ayo kukenalkan!” ajak Emily sambil menarik Kai.Alaric mencoba bersikap biasa meski sebelumnya terkejut dan tak senang karena Emily memeluk pria lain.Dia menatap Emily yang berjalan ke arahnya dengan