Prosesi pernikahan pun dilakukan. Emily dan Alaric terlihat sangat bahagia dari sudut pandang keluarga dan tamu karena semua orang itu tak tahu dengan sandiwara keduanya.
“Pengantin pria, kamu bisa mencium pengantinmu,” ucap Master Ceremony. Emily langsung melotot mendengar ucapan Master Ceremony, lantas menatap panik ke Alaric meski senyum masih tersungging di wajah. “Kamu tidak akan melakukannya, kan!” Emily bicara tanpa suara hanya bibir yang bergerak. “Ini sandiwara, kita tak bisa mengelak,” balas Alaric. Emily ingin sekali berteriak mendengar balasan Alaric, bagaimana bisa pria itu mau menciumnya sedangkan mereka sudah sepakat untuk tak melakukan kontak fisik selain berpegangan tangan. Belum juga Emily sadar dari keterkejutannya. Alaric sudah meraih pinggangnya, lantas menyentuhkan bibir mereka. Emily membulatkan bola mata, meski hanya menyentuhkan tapi tetap saja namanya ciuman. Semua orang bertepuk tangan atas pernikahan Alaric dan Emily. Emily kesal karena Alaric menciumnya, dia menatap pria itu tanpa dosa masih bisa tersenyum ke semua orang. “Lihat saja, aku balas nanti,” gerutu Emily dalam hati. Semua tamu memberi selamat ke Emily dan Alaric, di saat itulah Emily harus pandai bersandiwara jika sangat bahagia dengan pernikahan itu. “Aku dengar di luar banyak wartawan, memangnya kamu mengundang wartawan?” tanya Emily penasaran saat keduanya duduk berdua. “Tidak, tapi mereka datang karena penasaran,” jawab Alaric. “Penasaran? Kenapa? Kamu bukan anak presiden, untuk apa penasaran dengan pernikahanmu?” tanya Emily cerewet karena penasaran. Alaric menoleh Emily yang berisik, lantas membalas, “Menurutmu?” Emily memanyunkan bibir karena Alaric tak menjawab, padahal tinggal bilang saja alasannya apa. “Rekan bisnisku datang. Sapalah mereka!” ajak Alaric meminta Emily menemui rekan bisnisnya. “Tukang perintah!” gerutu Emily karena Alaric mulai memperlihatkan sifat otoriter. Emily melihat Alaric yang meliriknya karena mendengarnya menggerutu, tapi Emily tak peduli. Emily ikut Alaric menemui rekan bisnis, dia menebak jika itu rekan bisnis penting sampai Alaric yang menghampiri. “Dia ....” Rekan bisnis Alaric menatap Emily karena berbeda dengan calon yang seharusnya dinikahi Alaric. “Ini Emi,” ucap Alaric memperkenalkan Emily. Emily mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri. “Emily,” ucap wanita itu sambil menjabat tangan rekan bisnis. Emily melihat tatapan aneh pria itu kepadanya, lantas buru-buru menarik tangannya. Dia menoleh Alaric yang ternyata menatapnya, masa bodoh dengan pria itu yang menganggapnya tak sopan karena menarik tangan dengan cepat, yang jelas Emily tak mau berjabat tangan dengan pria yang menatap aneh kepadanya. “Aku mau menemui Mami dulu,” ucap Emily ke Alaric. Pria itu mengangguk mengizinkan Emily pergi. Dia pun sedikit mengangkat gaun bagian depan, lantas pergi ke arah sang mami berada. Alaric menatap Emily pergi, lantas memandang ke rekan bisnisnya. “Apa ini? Siapa yang kamu kenalkan lalu siapa yang kamu nikahi?” tanya pria itu. Alaric mengambil gelas berisi wine dari nampan pelayan, lantas menenggaknya pelan sebelum menjawab pertanyaan rekan bisnisnya. “Dia lebih baik dari Aster,” jawab Alaric lantas menatap rekan bisnisnya. “Dia bukan wanita sewaan, kan?” Alaric menatap tak senang mendengar ucapan rekan bisnisnya itu. Dia hanya menatap tapi langsung bisa membuat rekan bisnisnya panik. “Aku hanya bercanda, kenapa tatapanmu begitu?” Alaric masih menatap rekan bisnisnya yang kini sedang menenggak wine. Dia tadi juga melihat bagaimana cara pria itu menjabat tangan Emily. “Emi itu istriku, kuharap kamu memperlakukannya hormat sama seperti memperlakukanku.” Alaric bicara dengan penekanan ke pria di depannya. Di sisi lain. Emily memilih bergabung dengan sang mami dan adiknya yang sedang menikmati hidangan. “Di mana Claudia?” tanya Emily tak melihat sahabatnya. “Tadi bilang mau ke toilet.” Evano menjawab pertanyaan sang kakak. Emily mengangguk-angguk mendengar jawaban Evano, lantas mengedarkan pandangan. “Di mana Archie, bukankah tadi dia ada di sini?” tanya Emily mencari sepupunya. Emily melihat Evano mengedarkan pandangan, hingga adiknya itu mengedikkan bahu. “Mami, kuenya enak? Suapi.” Emily bersikap manja ke sang mami. “Kamu ini, sudah nikah masih minta suap.” Emily tertawa kecil mendengar sang mami menggerutu, meski begitu wanita paruh baya itu tetap menyuapinya. “Disuapi Mami tuh bikin makanan yang masuk mulut lebih enak,” ujar Emily memuji agar sang mami terus menyuapinya. “Alasan.” Emily menikmati makan disuapi sang mami, bahkan minta lagi sampai dirinya puas. Menjadi anak perempuan satu-satunya dalam keluarga besarnya, membuat Emily manja karena perhatian semua orang tertuju kepadanya. Saat sedang makan disuapi sang mami, tiba-tiba saja ada yang memeluknya, membuat Emily sangat terkejut begitu juga dengan sang mami dan adiknya. Alaric yang juga kebetulan sedang menoleh Emily, begitu terkejut ada pria yang memeluk erat istrinya itu.Alaric terlihat tak senang karena Emily dipeluk pria lain padahal di pesta itu banyak yang melihat. Belum lagi status Emily sekarang adalah istrinya.Dia hendak melangkah untuk menegur, tapi langkahnya terhenti saat melihat wanita yang dinikahinya itu tertawa bahagia. Bahkan dia belum pernah melihat Emily tertawa seperti itu.“Kai! Kupikir kamu tidak datang.” Emily menatap sepupu yang tumbuh bersamanya dari kecil.Emily terlihat seperti ingin menangis karena kedatangan pria itu.“Bagaimana aku tidak datang di hari pernikahanmu? Untung saja urusannya selesai lebih cepat, jadi bisa mendarat hari ini. Aku bahkan langsung ke sini dari bandara dijemput Archie.”Alaric masih terus memperhatikan Emily yang sedang bicara. Hingga dia melihat Emily yang tiba-tiba menoleh ke arahnya.“Itu suamiku, ayo kukenalkan!” ajak Emily sambil menarik Kai.Alaric mencoba bersikap biasa meski sebelumnya terkejut dan tak senang karena Emily memeluk pria lain.Dia menatap Emily yang berjalan ke arahnya dengan
Emily tidur sangat pulas karena kelelahan seharian meladeni tamu di resepsi pernikahannya dengan Alaric. Bahkan sekarang tak sadar jika hari sudah pagi tapi dia masih tidur begitu nyenyak. Hingga saat masih merasa dalam alam mimpi. Tangannya meraba sesuatu yang keras saat dipeluk. Dia menepuk pelan, hingga kelopak matanya berkerut. “Kenapa gulingnya sangat keras?” Emily bergumam sambil masih meraba, tangannya meraba-raba sebab merasa guling itu lebih besar dari ukurannya. Hingga dia terkejut saat ada yang berdeham. “Kalau begini, siapa yang dirugikan?” Emily buru-buru membuka mata. Dia melihat ke mana tangannya berada hingga sangat syok sampai-sampai bangun dengan cepat. Emily sangat ceroboh, sampai terjungkal ke lantai “Sakit!” pekik Emily. Alaric yang melihat tingkah Emily pun hanya bisa memijat kening. Untungnya Emily lekas bangun, atau wanita itu akan semakin membangunkan miliknya di bawah sana. “Kenapa aku bisa memelukmu?” Emily berdiri sambil melotot. “Kamu pikir aku m
“Mama senang acara kemarin berjalan dengan lancar. Kalian semalam tidur nyenyak, kan?” Emily tanpa sengaja menguap saat mertuanya sedang bicara. Bahkan tingkahnya itu tertangkap mata sang mertua dan kakek, hingga dua orang tua itu menatapnya. Emily baru sadar jika sedang ditatap sang mertua, hingga langsung mengulum bibir. “Iya, Ma. Nyenyak kok.” Emily membalas karena sungkan. Dia melirik Alaric yang menoleh ke arah lain. Emily melihat mertuanya tidak marah, tapi wanita itu malah senyum-senyum membuatnya keheranan. “Meski nyenyak, kalian pasti masih sangat lelah,” ucap sang mertua sambil senyum-senyum. Emily hanya mengangguk-angguk sambil senyum karena merasa aneh dengan tatapan sang mertua kepadanya. “Kenapa dia menatap sambil senyum begitu? Aku mendadak horor,” gumam Emily dalam hati. “Setelah menikah, kalian tetap harus tinggal di sini. Ini sudah kita sepakati jadi kalian tidak boleh mengelak,” ucap sang kakek. Emily sangat terkejut mendengar ucapan kakek, jika tinggal di s
Emily melihat Alaric langsung mengambil ponsel. Dia begitu syok tapi Alaric terlihat sangat murka karena berita yang mereka lihat. “Bukankah aku sudah bilang untuk mengurus mereka!” Suara Alaric begitu lantang menggelegar hingga membuat Emily terkejut. Emily tak menyangka Alaric sangat menakutkan ketika marah. “Aku tidak mau tahu. Cari tahu siapa yang membuat berita itu, lalu bungkam!” Setelah memberi perintah Alaric mengakhiri panggilan itu. Emily masih menatap Alaric yang begitu emosi. Daripada keterkejutan karena berita yang dilihat, Emily kini lebih terkejut dan takut dengan karakter Alaric. Alaric menoleh Emily, hingga melihat bola mata wanita itu tampak berkaca-kaca. “Kamu tenang saja, asistenku akan mengurus masalah ini,” ucap Alaric dengan nada suara yang diturunkan. Emily hanya mengangguk-angguk karena syok. Alaric melihat Emily tampak takut, salahnya yang emosi sampai mengeluarkan suara yang keras. Saat keduanya masih kesal karena berita yang beredar, terdengar suara
Emily memicingkan mata ke Alaric. Dia masih kesal dengan kejadian tadi.“Apa? Awas saja, lain kali aku akan benar-benar mengadu!” ancam Emily saat melihat suaminya melirik ke arahnya.Mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah orang tua Emily karena para orang tua itu sangat syok melihat berita yang beredar hingga meminta Alaric dan Emily buru-buru datang ke rumah.“Baru juga nikah sehari, sudah ada masalah begini. Bagaimana dengan enam bulan ke depan,” gerutu Emily yang tak habis pikir kenapa pernikahan mereka jadi konsumsi publik.“Mulai sekarang kamu harus siap jika menghadapi masalah seperti ini,” ucap Alaric saat mendengar Emily menggerutu.Emily hanya komat-kamit mendengar ucapan Alaric. Dia paham dunia bisnis seperti apa, termasuk bagaimana situasi saat menghadapi media, tapi yang membuatnya kesal dan tak terima adalah tuduhan yang dilayangkan kepadanya.Mobil mereka sudah sampai di rumah. Emily dan Alaric pun masuk rumah dan ternyata sudah disambut tatapan penuh curiga kedua
“Kita akan berlibur di pantai?”Emily terlihat syok saat memandang tiket mereka. Dia menoleh Alaric hingga melihat pria itu menatapnya tanpa kata.“Kita tidak jadi pergi saja.” Emily memegang gagang koper hendak berbalik arah.“Mau ke mana kamu?” Alaric menahan koper Emily.Emily menatap Alaric yang menahan kopernya lantas menjawab, “Aku tidak suka laut. Jika tujuan kita ke laut, lebih baik lupakan. Pulang saja.”Emily hendak menarik kopernya tapi Alaric menahannya.“Mama yang menyiapkan ini. Jangan sampai dia curiga karena kita tidak jadi pergi.”Emily menatap Alaric yang mencegahnya pergi. Dia diam dengan tatapan yang tak bisa diartikan.“Ini hanya formalitas. Kamu bisa tetap di kamar jika malas ke pantai. Laut juga tidak akan menelanmu kalau kamu tetap di kamar.”Emily menatap Alaric saat mendengar ucapan pria itu. Dia sedang berpikir, hingga tiba-tiba Alaric mengambil alih kopernya.“Silakan kalau mau pulang, hadapi kekecewaan Mama sendirian.”Alaric berjalan menarik dua koper di
Emily benar-benar tak mau keluar dari kamarnya meski cuaca hari itu sangat mendukung untuk berjalan-jalan. Dia memilih duduk sambil membaca buku di kamar, sedangkan Alaric keluar sendiri berjalan-jalan di pantai.Saat sedang fokus membaca, ponsel Emily berdering membuatnya buru-buru mengecek siapa yang menghubungi.“Mama.”Emily melihat nama sang mertua terpampang di layar. Dia pun segera menjawab panggilan itu.“Halo, Ma.”“Emi, apa kamu sakit?” tanya sang mertua dari seberang panggilan.Emily mengerutkan alis mendengar pertanyaan mertuanya itu.“Tidak, Ma.”“Lalu, kenapa pelayan hotel bilang kamu tidak jalan-jalan keluar? Bahkan keluar dari kamar pun tidak. Mama cemas.”Emily memejamkan mata sekilas mendengar ucapan sang mertua. Dia lupa kalau hotel itu milik keluarga Alaric dan sudah pasti pelayan di sana ikut mengawasi.“Oh, itu bukan karena sakit, Ma. Aku hanya masih lelah, jadi agak malas keluar. Ingin istirahat dulu, baru jalan-jalan,” kilah Emily agar mertuanya tidak curiga.“
“Hanya demam biasa, tidak ada yang serius,” ucap dokter yang baru saja memeriksa kondisi Emily. Alaric begitu panik saat melihat Emily sesak napas. Dia segera membawa ke rumah sakit untuk memastikan. “Lalu bagaimana dengan pernapasannya? Kenapa dia tadi seperti tak bisa bernapas?” tanya Alaric memastikan. Alaric melihat dokter menoleh Emily yang tertidur dan ada selang infus terpasang di lengan. “Mungkin dia memiliki trauma berat. Terkadang seseorang akan kembali mengalami syok berat saat berada di tempat-tempat yang baginya mengingatkan akan traumanya,” ujar dokter menjelaskan. “Secara keseluruhan medis, pasien tidak memiliki penyakit dalam. Semua pemeriksaan tak ada yang menunjukkan keanehan akan kondisi tubuhnya,” ujar dokter lagi. Alaric mengangguk pelan. Dia lantas berterima kasih ke dokter. Alaric menatap Emily yang tertidur pulas setelah diberi obat penenang. Wanita itu juga sudah tak lagi sesak napas seperti sebelumnya. Malam itu Alaric tidur dengan posisi duduk, menjag
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil