“Hanya demam biasa, tidak ada yang serius,” ucap dokter yang baru saja memeriksa kondisi Emily. Alaric begitu panik saat melihat Emily sesak napas. Dia segera membawa ke rumah sakit untuk memastikan. “Lalu bagaimana dengan pernapasannya? Kenapa dia tadi seperti tak bisa bernapas?” tanya Alaric memastikan. Alaric melihat dokter menoleh Emily yang tertidur dan ada selang infus terpasang di lengan. “Mungkin dia memiliki trauma berat. Terkadang seseorang akan kembali mengalami syok berat saat berada di tempat-tempat yang baginya mengingatkan akan traumanya,” ujar dokter menjelaskan. “Secara keseluruhan medis, pasien tidak memiliki penyakit dalam. Semua pemeriksaan tak ada yang menunjukkan keanehan akan kondisi tubuhnya,” ujar dokter lagi. Alaric mengangguk pelan. Dia lantas berterima kasih ke dokter. Alaric menatap Emily yang tertidur pulas setelah diberi obat penenang. Wanita itu juga sudah tak lagi sesak napas seperti sebelumnya. Malam itu Alaric tidur dengan posisi duduk, menjag
“Kenapa kamu mengemas pakaian? Apa kita sudah selesai liburannya?” tanya Emily bingung saat kembali ke hotel setelah dirawat setengah hari, lalu Alaric mengemas pakaian.Emily melihat Alaric yang baru saja selesai memasukkan pakaian ke koper, hingga pria itu kembali berjalan mengambil koper Emily lantas membuka.Emily mendadak terkejut saat Alaric hendak mengambil pakaian kotornya. Dia ingin mencegah tapi terlambat.Sebuah bra berenda jatuh tepat di atas kaki Alaric. Pria itu menurunkan pandangan saat merasakan sesuatu yang jatuh di atas kakinya.Emily sangat syok karena Alaric melihat branya. Meski masih agak lemas, dia berlari lantas mengambil pakaian kotornya dari tangan pria itu. Dia juga berjongkok mengambil branya. Untung celana dalamnya tidak ikut jatuh, atau dia akan malu setengah mati.“Kalau mau ngemas, bilang aja. Apa susahnya ngomong, sih? Ngomong, tinggal ngomong kalau kita mau check out!”Emily mengamuk bukan karena marah tapi karena malu.Alaric terlihat tak acuh dengan
Emily menggerakkan kelopak mata saat merasakan suhu ruangan di sana sangat dingin meski selimut tebal sudah membungkus tubuh.Dia membuka mata perlahan, hingga melihat daun yang melambai di jendela. Dia baru menyadari jika tidak bangun di hotel tepi pantai, tempat itu berbeda.Baru juga bangun, tiba-tiba perutnya berbunyi karena cacing-cacing di perutnya belum diberi makan sejak pulang dari rumah sakit.“Lapar,” gumam Emily sambil mengusap perut.Dia malas bangun, tapi perutnya tak bisa diajak kompromi.Emily membalikkan badan menghadap pintu karena ingin bangun, tapi sebelum dirinya bangun, pintu kamar itu terbuka dan tampak Alaric yang hendak masuk.Emily pun kembali memejamkan mata pura-pura jika masih tidur.Namun, tampaknya dia ketahuan karena Alaric berkata, “Bangunlah, aku sudah melihatmu membuka mata.”Emily menggerutu dalam hati, hingga akhirnya tidak bisa berpura-pura dan memilih membuka mata. Dia memandang Alaric yang datang membawa nampan makanan.Emily melihat pria itu me
Emily terkejut melihat Alaric bangun. Dia buru-buru ingin berdiri tapi kakinya malah kaku hingga membuatnya jatuh.“Agh!” Emily memekik sambil terduduk di lantai. Dia memegangi pergelangan kaki yang seperti terkilir.Alaric hanya bisa membuang napas melihat tingkah Emily. Dia pun bangun, lantas menatap Emily yang duduk di karpet sambil memegangi kaki.Pria itu tak banyak kata, bahkan langsung meninggalkan Emily yang sedang kesakitan. Emily pun terkejut karena Alaric mengabaikannya, berharap apa dia dari pria kulkas sepuluh pintu itu.“Besok aku mau nyari suami yang perhatian, penyayang, lemah lembut, dan baik setelah berpisah darinya nanti,” gerutu Emily yang sangat benci diabaikan.Emily menggerutu sambil memijat pergelangan kaki, hingga tiba-tiba Alaric menyodorkan salep untuknya. Emily terkejut sampai menatap pria itu yang berdiri di hadapannya.“Aku tidak akan berterima kasih.”Emily mengambil salep itu dengan perasaan dongkol. Dia takkan mau berterima kasih ke Alaric yang diangga
“Kenapa Tuhan menciptakannya nyaris sempurna?” Emily duduk di teras villa, memandang ke Alaric yang sedang jogging meski udara di sana lumayan dingin. Emily saja masih membungkus tubuh dengan jaket tebal, tapi pria yang sedang berlarian di depan matanya itu hanya memakai kaus pendek dan celana panjang saja. “Hidup itu memang tak adil. Lihat saja, dia tampan, kaya, gagah, sayangnya dingin. Kenapa tidak dibuat penyayang dan perhatian. Ck … ck … ck.” Emili menggeleng kepala setelah mengatakan itu semua. Saat Emily sedang mengagumi Alaric yang berlari di sekitar villa, tiba-tiba saja pria itu berhenti lantas menatap ke arahnya. Emily pun panik. Dia langsung mengambil cangkir coklat yang tadi disuguhkan pelayan, lantas menyeruput sambil pura-pura tak melihat Alaric. Emily melihat Alaric yang berjalan menghampirinya. Dia pun berpura melihat ke arah lain seolah sedang mengagumi suasana di sana. “Bagaimana kakimu?” tanya Alaric saat berdiri di depan Emily. Emily langsung melirik ke ka
Alaric duduk di ruang keluarga sambil menyangga dagu. Dia mengingat apa yang dilakukannya bersama Emily seharian tadi hingga membuat pria itu tiba-tiba tersenyum sendiri.“Wanita lucu,” gumam Alaric sambil tersenyum tapi dia buru-buru menghilangkan senyum setelahnya.Alaric merogoh saku celana, lantas mengeluarkan sesuatu dari saku. Ternyata itu sebuah gantungan kunci berinisial A.Dia mengingat ucapan Emily jika gantungan kunci itu hadiah dan Alaric tidak boleh menghilangkannya.“Padahal hanya gantungan biasa, kenapa dia sangat takut aku menghilangkannya?”Tanpa sadar kedua sudut bibir pria itu kembali tertarik ke atas saat mengingat ucapan Emily serta kebersamaan mereka selama seharian.Hingga Alaric memandang ke lantai dua. Dia pun berdiri lantas berjalan menaiki anak tangga untuk melihat apakah Emily sudah tidur.Sebelum masuk kamar, Alaric sempat mengetuk pintu untuk memastikan Emily sudah tidur atau belum. Tidak ada jawaban dari kamar sehingga Alaric pun membuka pintu perlahan s
Emily melongo melihat sang mami dan bibinya datang padahal dia belum memberi tahu. Dia lantas melirik ke Alaric yang malah memegangi kening sambil agak menunduk.“Kapan Mami datang?” tanya Emily dengan ekspesi bingung.Seharusnya dia senang bisa melihat sang mami, tapi berhubung ekspresi wajah mami yang panik, membuatnya jadi bingung.“Mamamu bilang kamu sakit, pusing dan demam,” ucap sang mami yang duduk di tepian ranjang sambil memegang telapak tangan Emily.Emily mengangguk-angguk mendengar ucapan sang mami.“Apa mual juga? Apa perutnya tidak nyaman?” tanya sang mami.Emily menatap sang mami, lantas mertuanya yang juga tampak cemas sebelum kembali menatap ibunya.“Hanya demam dan pusing, agak mual tapi waktu habis turun dari pesawat,” jawab Emily tapi ragu-ragu saat menjawab.Emily melihat sang mami tersenyum, tiba-tiba saja dia mendadak horor melihat tatapan itu.“Biar bibimu periksa sebentar, ya.” Sang mami berdiri lantas meminta bibinya Emily untuk memeriksa.Emily tak membantah
“Apa masih pusing? Seharusnya kalau masih pusing, tetap di kamar biar nanti Al yang antar makanan ke kamar,” ucap Mia.Emily menatap mertuanya itu sambil tersenyum, lantas melirik Alaric yang sedang makan dan terlihat tak acuh seperti biasa.“Tidak apa, Ma. Aku sudah mendingan setelah tadi istirahat,” balas Emily menjelaskan.Mia mengangguk-angguk mendengar jawaban Emily.“Apa kamu masih tetap akan bekerja di perusahaan ayahmu?” tanya sang kakek yang ikut bicara.Emily menatap pria tua itu, lantas menjawab, “Iya, Kek.”Sang kakek mengangguk-angguk mendengar jawaban Emily lantas kembali bicara.“Wanita memang harus bisa bekerja juga agar memiliki kesetaraan dengan pria,” ujar pria tua itu.Emily tersenyum mendengar ucapan kakek Alaric yang begitu terbuka dan modern, bukan pria tua kolot yang lebih suka seorang wanita mengurus rumah setelah menikah.“Lusa ada acara makan malam keluarga, kalian harus ikut,” ucap sang kakek lantas melirik ke Alaric.Emily menoleh suaminya, pria itu hanya