Emily terkejut melihat Alaric bangun. Dia buru-buru ingin berdiri tapi kakinya malah kaku hingga membuatnya jatuh.“Agh!” Emily memekik sambil terduduk di lantai. Dia memegangi pergelangan kaki yang seperti terkilir.Alaric hanya bisa membuang napas melihat tingkah Emily. Dia pun bangun, lantas menatap Emily yang duduk di karpet sambil memegangi kaki.Pria itu tak banyak kata, bahkan langsung meninggalkan Emily yang sedang kesakitan. Emily pun terkejut karena Alaric mengabaikannya, berharap apa dia dari pria kulkas sepuluh pintu itu.“Besok aku mau nyari suami yang perhatian, penyayang, lemah lembut, dan baik setelah berpisah darinya nanti,” gerutu Emily yang sangat benci diabaikan.Emily menggerutu sambil memijat pergelangan kaki, hingga tiba-tiba Alaric menyodorkan salep untuknya. Emily terkejut sampai menatap pria itu yang berdiri di hadapannya.“Aku tidak akan berterima kasih.”Emily mengambil salep itu dengan perasaan dongkol. Dia takkan mau berterima kasih ke Alaric yang diangga
“Kenapa Tuhan menciptakannya nyaris sempurna?” Emily duduk di teras villa, memandang ke Alaric yang sedang jogging meski udara di sana lumayan dingin. Emily saja masih membungkus tubuh dengan jaket tebal, tapi pria yang sedang berlarian di depan matanya itu hanya memakai kaus pendek dan celana panjang saja. “Hidup itu memang tak adil. Lihat saja, dia tampan, kaya, gagah, sayangnya dingin. Kenapa tidak dibuat penyayang dan perhatian. Ck … ck … ck.” Emili menggeleng kepala setelah mengatakan itu semua. Saat Emily sedang mengagumi Alaric yang berlari di sekitar villa, tiba-tiba saja pria itu berhenti lantas menatap ke arahnya. Emily pun panik. Dia langsung mengambil cangkir coklat yang tadi disuguhkan pelayan, lantas menyeruput sambil pura-pura tak melihat Alaric. Emily melihat Alaric yang berjalan menghampirinya. Dia pun berpura melihat ke arah lain seolah sedang mengagumi suasana di sana. “Bagaimana kakimu?” tanya Alaric saat berdiri di depan Emily. Emily langsung melirik ke ka
Alaric duduk di ruang keluarga sambil menyangga dagu. Dia mengingat apa yang dilakukannya bersama Emily seharian tadi hingga membuat pria itu tiba-tiba tersenyum sendiri.“Wanita lucu,” gumam Alaric sambil tersenyum tapi dia buru-buru menghilangkan senyum setelahnya.Alaric merogoh saku celana, lantas mengeluarkan sesuatu dari saku. Ternyata itu sebuah gantungan kunci berinisial A.Dia mengingat ucapan Emily jika gantungan kunci itu hadiah dan Alaric tidak boleh menghilangkannya.“Padahal hanya gantungan biasa, kenapa dia sangat takut aku menghilangkannya?”Tanpa sadar kedua sudut bibir pria itu kembali tertarik ke atas saat mengingat ucapan Emily serta kebersamaan mereka selama seharian.Hingga Alaric memandang ke lantai dua. Dia pun berdiri lantas berjalan menaiki anak tangga untuk melihat apakah Emily sudah tidur.Sebelum masuk kamar, Alaric sempat mengetuk pintu untuk memastikan Emily sudah tidur atau belum. Tidak ada jawaban dari kamar sehingga Alaric pun membuka pintu perlahan s
Emily melongo melihat sang mami dan bibinya datang padahal dia belum memberi tahu. Dia lantas melirik ke Alaric yang malah memegangi kening sambil agak menunduk.“Kapan Mami datang?” tanya Emily dengan ekspesi bingung.Seharusnya dia senang bisa melihat sang mami, tapi berhubung ekspresi wajah mami yang panik, membuatnya jadi bingung.“Mamamu bilang kamu sakit, pusing dan demam,” ucap sang mami yang duduk di tepian ranjang sambil memegang telapak tangan Emily.Emily mengangguk-angguk mendengar ucapan sang mami.“Apa mual juga? Apa perutnya tidak nyaman?” tanya sang mami.Emily menatap sang mami, lantas mertuanya yang juga tampak cemas sebelum kembali menatap ibunya.“Hanya demam dan pusing, agak mual tapi waktu habis turun dari pesawat,” jawab Emily tapi ragu-ragu saat menjawab.Emily melihat sang mami tersenyum, tiba-tiba saja dia mendadak horor melihat tatapan itu.“Biar bibimu periksa sebentar, ya.” Sang mami berdiri lantas meminta bibinya Emily untuk memeriksa.Emily tak membantah
“Apa masih pusing? Seharusnya kalau masih pusing, tetap di kamar biar nanti Al yang antar makanan ke kamar,” ucap Mia.Emily menatap mertuanya itu sambil tersenyum, lantas melirik Alaric yang sedang makan dan terlihat tak acuh seperti biasa.“Tidak apa, Ma. Aku sudah mendingan setelah tadi istirahat,” balas Emily menjelaskan.Mia mengangguk-angguk mendengar jawaban Emily.“Apa kamu masih tetap akan bekerja di perusahaan ayahmu?” tanya sang kakek yang ikut bicara.Emily menatap pria tua itu, lantas menjawab, “Iya, Kek.”Sang kakek mengangguk-angguk mendengar jawaban Emily lantas kembali bicara.“Wanita memang harus bisa bekerja juga agar memiliki kesetaraan dengan pria,” ujar pria tua itu.Emily tersenyum mendengar ucapan kakek Alaric yang begitu terbuka dan modern, bukan pria tua kolot yang lebih suka seorang wanita mengurus rumah setelah menikah.“Lusa ada acara makan malam keluarga, kalian harus ikut,” ucap sang kakek lantas melirik ke Alaric.Emily menoleh suaminya, pria itu hanya
“Bagaimana? Dia masih perawan, kan?” Sebuah stopmap tebal langsung melayang saat pertanyaan itu terlontar. Alaric menatap tajam ke sahabatnya yang baru saja datang ke kantornya tapi sudah melontarkan pertanyaan menggelitik telinga. “Kenapa? Kenapa ekspresi wajahmu begitu? Ah … aku lupa, kalian hanya ….” “Apa kamu tidak bisa diam?” Alaric menatap tajam ke sahabatnya yang baru saja datang tapi sudah memancing kericuhan. Alaric menatap Billy yang tertawa padahal hampir terkena lemparan berkas dari tangannya. “Padahal aku penasaran dengan istrimu itu, sayangnya kamu tak mengizinkanku menemuinya. Dia sepertinya orangnya asyik, pasti cocok denganku,” ucap Billy menggoda sahabatnya itu. Alaric langsung menatap tajam ke Billy menunjukkan rasa tidak sukanya. “Setelah menikah, kenapa kamu tambah temperamen. Awas, istrimu nanti kabur,” ledek Billy yang memang cerewet dan sangat bertolak belakang dengan Alaric. “Jika ke sini hanya untuk membuat kericuhan, lebih baik kamu pergi,” ucap Alar
Emily balik ke perusahaan seperti orang kesetanan sampai meminta taksi kebut-kebutan agar sampai lebih dulu dari Alaric. Dia masuk lobi sambil merapikan rambut, lantas menunggu Alaric datang karena untungnya suaminya itu belum sampai perusahaan.“Awas saja kalau dia bohong,” gerutu Emily sambil mengatur napas setelah panik dengan panggilan suaminya.Beberapa saat kemudian, mobil Alaric tampak muncul di depan lobi. Emily pun buru-buru menghampiri lantas masuk mobil itu.“Kenapa ngabarinnya dadakan?” tanya Emily protes.Emily menoleh Alaric yang hanya diam dan kembali melajukan mobil. Sepertinya sekarang Emily sudah biasa dengan sikap tak acuh pria itu.“Kita mau ke mana?” tanya Emily sambil memperhatikan jalan.“Menemui rekan bisnisku,” jawab Alaric.Emily langsung menoleh Alaric saat mendengar sebutan rekan bisnis.“Kamu mau menemui rekan bisnis penting yang datang ke pernikahan kita?” tanya Emily setengah syok dan terkejut.“Kamu pikir rekan bisnisku hanya dia?” Alaric menoleh sekila
Emily menatap jengah ke Selena dan Farrel. Dia benar-benar muak hingga malas melihat muka mereka.“Ayo pergi!” Emily ingin menghindari masalah meski sudah melontarkan kata pedas ke mantan kekasih dan rivalnya itu.“Oh … ini yang katanya sok suci, sok terzolimi, ternyata menikah dengan pria lain secara dadakan. Jangan-jangan sebelum kami berhubungan, kamu sudah berhubungan dengannya, lalu mencari alasan agar kami yang terkesan merasa bersalah, sedangkan kamu tidak.”Emily merasa kepalanya panas mendengar ucapan Selena yang jelas-jelas sedang mengejek dirinya. Dia ingin sekali membalas ucapan Selena, tapi Alaric menggenggam telapak tangannya seolah meminta Emily untuk tak meladeni.“Tidak perlu mendengarkan ucapan sekumpulan orang bodoh yang bisa menguras energimu. Mendengarkan satu orang bodoh saja sudah membuat pusing, apalagi dua.”Emily terkejut mendengar ucapan Alaric. Dia menatap pria itu dengan wajah terperangah tapi juga kagum.Emily melihat Selena dan Farrel yang terlihat terke
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil