Ehem ... jangan lupa tinggalkan komentarnya, yang belum kasih ulasan dan bintang lima, bantu kasih, ya. Dibantu rekomendasikan ke teman juga boleh, hehehehe. Terima kasih
Emily memicingkan mata ke Alaric. Dia masih kesal dengan kejadian tadi.“Apa? Awas saja, lain kali aku akan benar-benar mengadu!” ancam Emily saat melihat suaminya melirik ke arahnya.Mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah orang tua Emily karena para orang tua itu sangat syok melihat berita yang beredar hingga meminta Alaric dan Emily buru-buru datang ke rumah.“Baru juga nikah sehari, sudah ada masalah begini. Bagaimana dengan enam bulan ke depan,” gerutu Emily yang tak habis pikir kenapa pernikahan mereka jadi konsumsi publik.“Mulai sekarang kamu harus siap jika menghadapi masalah seperti ini,” ucap Alaric saat mendengar Emily menggerutu.Emily hanya komat-kamit mendengar ucapan Alaric. Dia paham dunia bisnis seperti apa, termasuk bagaimana situasi saat menghadapi media, tapi yang membuatnya kesal dan tak terima adalah tuduhan yang dilayangkan kepadanya.Mobil mereka sudah sampai di rumah. Emily dan Alaric pun masuk rumah dan ternyata sudah disambut tatapan penuh curiga kedua
“Kita akan berlibur di pantai?”Emily terlihat syok saat memandang tiket mereka. Dia menoleh Alaric hingga melihat pria itu menatapnya tanpa kata.“Kita tidak jadi pergi saja.” Emily memegang gagang koper hendak berbalik arah.“Mau ke mana kamu?” Alaric menahan koper Emily.Emily menatap Alaric yang menahan kopernya lantas menjawab, “Aku tidak suka laut. Jika tujuan kita ke laut, lebih baik lupakan. Pulang saja.”Emily hendak menarik kopernya tapi Alaric menahannya.“Mama yang menyiapkan ini. Jangan sampai dia curiga karena kita tidak jadi pergi.”Emily menatap Alaric yang mencegahnya pergi. Dia diam dengan tatapan yang tak bisa diartikan.“Ini hanya formalitas. Kamu bisa tetap di kamar jika malas ke pantai. Laut juga tidak akan menelanmu kalau kamu tetap di kamar.”Emily menatap Alaric saat mendengar ucapan pria itu. Dia sedang berpikir, hingga tiba-tiba Alaric mengambil alih kopernya.“Silakan kalau mau pulang, hadapi kekecewaan Mama sendirian.”Alaric berjalan menarik dua koper di
Emily benar-benar tak mau keluar dari kamarnya meski cuaca hari itu sangat mendukung untuk berjalan-jalan. Dia memilih duduk sambil membaca buku di kamar, sedangkan Alaric keluar sendiri berjalan-jalan di pantai.Saat sedang fokus membaca, ponsel Emily berdering membuatnya buru-buru mengecek siapa yang menghubungi.“Mama.”Emily melihat nama sang mertua terpampang di layar. Dia pun segera menjawab panggilan itu.“Halo, Ma.”“Emi, apa kamu sakit?” tanya sang mertua dari seberang panggilan.Emily mengerutkan alis mendengar pertanyaan mertuanya itu.“Tidak, Ma.”“Lalu, kenapa pelayan hotel bilang kamu tidak jalan-jalan keluar? Bahkan keluar dari kamar pun tidak. Mama cemas.”Emily memejamkan mata sekilas mendengar ucapan sang mertua. Dia lupa kalau hotel itu milik keluarga Alaric dan sudah pasti pelayan di sana ikut mengawasi.“Oh, itu bukan karena sakit, Ma. Aku hanya masih lelah, jadi agak malas keluar. Ingin istirahat dulu, baru jalan-jalan,” kilah Emily agar mertuanya tidak curiga.“
“Hanya demam biasa, tidak ada yang serius,” ucap dokter yang baru saja memeriksa kondisi Emily. Alaric begitu panik saat melihat Emily sesak napas. Dia segera membawa ke rumah sakit untuk memastikan. “Lalu bagaimana dengan pernapasannya? Kenapa dia tadi seperti tak bisa bernapas?” tanya Alaric memastikan. Alaric melihat dokter menoleh Emily yang tertidur dan ada selang infus terpasang di lengan. “Mungkin dia memiliki trauma berat. Terkadang seseorang akan kembali mengalami syok berat saat berada di tempat-tempat yang baginya mengingatkan akan traumanya,” ujar dokter menjelaskan. “Secara keseluruhan medis, pasien tidak memiliki penyakit dalam. Semua pemeriksaan tak ada yang menunjukkan keanehan akan kondisi tubuhnya,” ujar dokter lagi. Alaric mengangguk pelan. Dia lantas berterima kasih ke dokter. Alaric menatap Emily yang tertidur pulas setelah diberi obat penenang. Wanita itu juga sudah tak lagi sesak napas seperti sebelumnya. Malam itu Alaric tidur dengan posisi duduk, menjag
“Kenapa kamu mengemas pakaian? Apa kita sudah selesai liburannya?” tanya Emily bingung saat kembali ke hotel setelah dirawat setengah hari, lalu Alaric mengemas pakaian.Emily melihat Alaric yang baru saja selesai memasukkan pakaian ke koper, hingga pria itu kembali berjalan mengambil koper Emily lantas membuka.Emily mendadak terkejut saat Alaric hendak mengambil pakaian kotornya. Dia ingin mencegah tapi terlambat.Sebuah bra berenda jatuh tepat di atas kaki Alaric. Pria itu menurunkan pandangan saat merasakan sesuatu yang jatuh di atas kakinya.Emily sangat syok karena Alaric melihat branya. Meski masih agak lemas, dia berlari lantas mengambil pakaian kotornya dari tangan pria itu. Dia juga berjongkok mengambil branya. Untung celana dalamnya tidak ikut jatuh, atau dia akan malu setengah mati.“Kalau mau ngemas, bilang aja. Apa susahnya ngomong, sih? Ngomong, tinggal ngomong kalau kita mau check out!”Emily mengamuk bukan karena marah tapi karena malu.Alaric terlihat tak acuh dengan
Emily menggerakkan kelopak mata saat merasakan suhu ruangan di sana sangat dingin meski selimut tebal sudah membungkus tubuh.Dia membuka mata perlahan, hingga melihat daun yang melambai di jendela. Dia baru menyadari jika tidak bangun di hotel tepi pantai, tempat itu berbeda.Baru juga bangun, tiba-tiba perutnya berbunyi karena cacing-cacing di perutnya belum diberi makan sejak pulang dari rumah sakit.“Lapar,” gumam Emily sambil mengusap perut.Dia malas bangun, tapi perutnya tak bisa diajak kompromi.Emily membalikkan badan menghadap pintu karena ingin bangun, tapi sebelum dirinya bangun, pintu kamar itu terbuka dan tampak Alaric yang hendak masuk.Emily pun kembali memejamkan mata pura-pura jika masih tidur.Namun, tampaknya dia ketahuan karena Alaric berkata, “Bangunlah, aku sudah melihatmu membuka mata.”Emily menggerutu dalam hati, hingga akhirnya tidak bisa berpura-pura dan memilih membuka mata. Dia memandang Alaric yang datang membawa nampan makanan.Emily melihat pria itu me
Emily terkejut melihat Alaric bangun. Dia buru-buru ingin berdiri tapi kakinya malah kaku hingga membuatnya jatuh.“Agh!” Emily memekik sambil terduduk di lantai. Dia memegangi pergelangan kaki yang seperti terkilir.Alaric hanya bisa membuang napas melihat tingkah Emily. Dia pun bangun, lantas menatap Emily yang duduk di karpet sambil memegangi kaki.Pria itu tak banyak kata, bahkan langsung meninggalkan Emily yang sedang kesakitan. Emily pun terkejut karena Alaric mengabaikannya, berharap apa dia dari pria kulkas sepuluh pintu itu.“Besok aku mau nyari suami yang perhatian, penyayang, lemah lembut, dan baik setelah berpisah darinya nanti,” gerutu Emily yang sangat benci diabaikan.Emily menggerutu sambil memijat pergelangan kaki, hingga tiba-tiba Alaric menyodorkan salep untuknya. Emily terkejut sampai menatap pria itu yang berdiri di hadapannya.“Aku tidak akan berterima kasih.”Emily mengambil salep itu dengan perasaan dongkol. Dia takkan mau berterima kasih ke Alaric yang diangga
“Kenapa Tuhan menciptakannya nyaris sempurna?” Emily duduk di teras villa, memandang ke Alaric yang sedang jogging meski udara di sana lumayan dingin. Emily saja masih membungkus tubuh dengan jaket tebal, tapi pria yang sedang berlarian di depan matanya itu hanya memakai kaus pendek dan celana panjang saja. “Hidup itu memang tak adil. Lihat saja, dia tampan, kaya, gagah, sayangnya dingin. Kenapa tidak dibuat penyayang dan perhatian. Ck … ck … ck.” Emili menggeleng kepala setelah mengatakan itu semua. Saat Emily sedang mengagumi Alaric yang berlari di sekitar villa, tiba-tiba saja pria itu berhenti lantas menatap ke arahnya. Emily pun panik. Dia langsung mengambil cangkir coklat yang tadi disuguhkan pelayan, lantas menyeruput sambil pura-pura tak melihat Alaric. Emily melihat Alaric yang berjalan menghampirinya. Dia pun berpura melihat ke arah lain seolah sedang mengagumi suasana di sana. “Bagaimana kakimu?” tanya Alaric saat berdiri di depan Emily. Emily langsung melirik ke ka