Oma Aruna pergi ke ruangan Emily karena ingin membahas soal Vano. Saat baru saja keluar dari lift, Oma Aruna bertemu dengan Emily yang sedang ingin pergi.“Mama kok di sini?” tanya Emily terkejut.“Kamu mau ke mana?” Oma Aruna malah balik bertanya.“Aku mau jemput Thalia, tapi sebelumnya mau mampir dulu mengecek sesuatu,” jawab Emily, “Mami sendiri mau ke mana?” tanya Emily kemudian.“Mau nemuin kamu. Kalau gitu mami ikut saja kalau memang mau sekalin jemput Thalia, lagi pula ada yang mau mami bahas,” ucap Oma Aruna.Oma Aruna akhirnya ikut Emily. Mereka pergi ke mall karena Emily mau mengecek sesuatu, lalu setelahnya mereka pergi ke sekolah Thalia.“Memangnya Mami ada urusan apa sampai ke kantor?” tanya Emily keheranan.“Oh, mami mau bahas adikmu. Mami agak cemas dia melenceng,” jawab Oma Aruna.Emily langsung menghela napas mendengar jawaban sang mami.“Takut melenceng bagaimana sih, Mami? Vano tuh normal, kenapa Mami cemas berlebihan?” tanya Emily keheranan.Oma Aruna menoleh ke Em
Sabrina duduk sambil menatap komputernya, tapi sesekali dia melirik ke sekitar, melihat staff lain memperhatikan dirinya. Sabrina merasa cemas dan takut jika semua staff menyalahkan dirinya karena pemecatan Mala.“Sab.”Sabrina terkejut saat ada yang memanggil, membuatnya langsung menoleh dan melihat temannya sudah di dekatnya. Dia juga menyadari kalau yang lain kini memperhatikannya.“Maaf, karenaku Mala dipecat,” ucap Sabrina mencoba tak egois dan mau mengakui kalau pemecatan Mala karena dirinya.“Kenapa kamu minta maaf? Justru karenamu, sekarang kami tahu seperti apa Mala. Kami benar-benar nggak nyangka dia seperti itu,” balas staff itu menjelaskan.Sabrina terkejut mendengar ucapan staff itu hingga mendengar staff lain bicara.“Jika mungkin kemarin yang diposisimu itu salah satu dari kami, mungkin sekarang kami yang akan dipecat karena dianggap lalai. Kami bersyukur dihindarkan dari orang seperti Mala,” timpal yang lain.Sabrina menatap satu persatu staff di sana, lalu menganggukka
Sejak Oma Aruna berkata jika Vano sebenarnya menyukai Sabrina. Vano sekarang agak canggung ketika bertemu Sabrina. Namun, meski begitu Vano tetap profesional ketika bekerja.Sabrina sendiri mulai mengamati Vano. Dia merasa aneh karena sekarang Vano seperti salah tingkah ketika berdua dengannya. Dia sampai bertanya-tanya, apakah ada yang salah hingga membuat Vano seperti itu.“Beberapa hari ini Vano bertingkah aneh dan agak menjauhiku, apa aku punya salah, ya?” Sabrina sampai bertanya-tanya sendiri karena bingung dengan sikap Vano.Sabrina memandang berkas yang baru saja dibuatnya. Berkas itu harus dicek dan mendapat tandatangan Vano. Kalau dia masuk, pasti Vano akan terlihat bingung seperti sebelumnya. Sabrina benar-benar bingung dengan perubahan sikap Vano.“Sudahlah, kalau dia kebingungan ya tinggal aku jelaskan,” gumam Sabrina lalu berdiri sambil membawa berkas yang sudah dibuatnya.Sabrina mengetuk pintu ruangan Vano, hingga terdengar suara pria itu mengizinkan masuk. Sabrina masu
Vano keluar dari ruang kerjanya. Dia kemudian pergi menghampiri meja Sabrina. Saat sudah sampai di sana, Vano berdeham karena melihat Sabrina yang sedang serius bekerja.Sabrina menoleh saat mendengar suara Vano. Dia langsung berdiri dan berusaha bersikap formal karena ada di hadapan banyak orang.“Pekerjaanmu masih banyak?” tanya Vano.“Tidak juga, hanya tinggal menyusun beberapa data,” jawab Sabrina, “apa ada yang perlu saya kerjakan lagi?” tanya Sabrina kemudian.Vano berdeham pelan, kemudian menjawab, “Aku diminta menemui klien, aku ingin kamu ikut agar bisa memberikan penjelasans soal margin atau pembahasan lain soal perkembangan perusahaan kita.”Vano tidak mungkin berkata kalau dia tidak pandai berinteraksi dengan orang sehingga mengajak Sabrina, karena itu dia menggunakan alasan itu.Sabrina mengangguk-angguk pelan mendengar ucapan Vano.“Jadi, bisa ikut denganku sekarang?” tanya Vano memastikan.“Iya, bisa.” Sabrina langsung merapikan meja dan menyimpan file miliknya. Dia kemu
Sabrina keluar dari private room menuju toilet, saat baru saja akan sampai ke toilet, Sabrina mendengar ada yang memanggil. “Sab!” Sabrina menoleh dan tersenyum lebar melihat siapa yang menghampirinya. “Papa.” Sabrina langsung memeluk ke pria berumur 50 tahunan itu. “Papa kangen sekali, syukur bertemu denganmu. Papa tidak menyangka kamu di sini dan kenapa bisa jadi asisten. Papa bingung, Sab.” Raditya—ayah Sabrina benar-benar bingung kenapa putrinya malah jadi asisten orang, padahal akan diberi jabatan manager utama di perusahaan. “Ceritanya panjang, Pa. Tapi sekarang aku mau peluk dulu, aku kangen.” Sabrina belum mau menceritakan alasan dirinya di sana. Dia masih ingin memeluk sang papa. Raditya mengusap lembut punggung dan kepala Sabrina. Dia juga rindu karena putrinya tiba-tiba pergi entah ke mana, tapi sekarang malah bertemu secara tak terduga. Di saat itu. Vano melihat Sabrina dipeluk Raditya hingga membuatnya syok dan tidak habis pikir dengan semua itu. Vano memilih pergi
Vano sedang mengecek berkas, tapi dia terlihat gelisah dan sama sekali tidak fokus karena kejadian tadi. Dia kesal sampai menutup berkas kasar, lalu menoleh ke dinding kaca untuk melihat Sabrina sekilas yang terlihat sangat senang.Vano tidak tahu, kenapa dia terus terbayang-bayang saat Sabrina memeluk Raditya, dia terus berpikir meski mencoba untuk membuang bayangan itu.“Kenapa aku harus kesal, bukankah dia mau dengan siapa itu hak dia!” gerutu Vano.Vano kembali melirik ke Sabrina, tapi kali ini saat melihat Sabrina tersenyum saat bekerja, kenapa membuat kepalanya semakin panas.“Apa selama ini Sabrina menjadi simpanan pria itu?”Pikiran buruk akhirnya bersarang di kepalanya. Apalagi jika mengingat masa lalu, Sabrina berasal dari keluarga biasa yang mau dijual pamannya lalu kabur, kemudian sekarang Sabrina tiba-tiba datang sebagai sarjana lulusan terbaik di universitas ternama, membuat Vano bertanya-tanya ji
Vano semakin gelisah tapi bingung karena apa dan harus bagaimana. Dia keluar dari kamar karena merasa sesak berada di ruangan itu, saat baru saja akan menuruni anak tangga, Vano berpapasan dengan sang papi.“Ternyata kamu sudah pulang,” ucap Opa Ansel saat bertemu Vano.“Ya,” jawab Vano.Opa Ansel hanya mengangguk lalu kembali berjalan menuju lantai atas, tapi langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Vano.“Pi, aku mau tanya sesuatu. Apa Papi ada waktu?” tanya Vano memberanikan diri karena kegelisahan di hatinya benar-benar tak bisa terbendung lagi.Opa Ansel agak aneh dengan ucapan Vano, tak biasanya putranya itu membahas sesuatu dengannya selain pekerjaan, itupun biasanya dibahas di kantor.“Tentu,” balas Opa Ansel yang tentunya tak keberatan sama sekali.Vano akhirnya pergi ke lantai dua bersama ayahnya, mereka kini berada di balkon.“Mau membahas apa? Papi agak terkejut
Vano masih diam mencerna semua ucapan sang papi, hingga papinya tiba-tiba menepuk pundaknya.“Tidak ada salahnya mencari tahu, setidaknya itu bisa meringankan beban pikiran dan tidak membuat salah paham atau rasa penasaran,” ucap Opa Ansel.Vano memandang ke sang papi, lalu menganggukkan kepala.“Terima kasih, Pi. Aku akan sampaikan masalah ini ke temenku, terima kasih sarannya,” ucap Vano.Vano pamit pergi ke kamarnya, sedangkan Opa Ansel masih mengamati. Dia merasa jika yang diceritakan oleh Vano bukanlah temannya tapi diri sendiri.“Semoga dia nggak salah langkah,” gumam Opa Ansel.Opa Ansel masih berpikir positif karena cerita Vano masih berdasarkan penilaian pribadi bukan fakta yang terjadi.Vano berada di kamar. Dia gelisah dan bingung meski sudah diberi solusi. Dia masih tak percaya kalau dirinya menyukai Sabrina, hanya berpikir jika itu rasa simpati saja.Vano menghubungi resepsionis