“Sa ... saya ....” Mala terlihat panik dan gelagapan.Sabrina benar-benar tak mengerti kenapa Mala tega melakukan itu. Mendengar Mala yang tak kunjung menjawab pertanyaan Vano, Sabrina langsung menoleh ke rekan kerjanya itu.“Kenapa kamu melakukan itu, hah? Aku bekerja untuk kita semua, agar kita semua aman. Tapi kamu malah melakukan itu, kamu tega menghapus file penting itu. Apa salahku kepadamu?” Sabrina benar-benar merasa semua ini tak masuk akal.Di luar ruangan, staff lain melihat ketegangan di ruangan Vano dari dinding kaca yang tidak ditutup tirai. Mereka bisa melihat Mala yang menunduk sedangkan Sabrina terlihat emosi.Vano menghela napas kasar, tatapannya masih tertuju ke Mala.“Apa tujuanmu melakukan itu? Sikapmu ini cukup menunjukkan kalau kamu memang pelaku yang menghapus file Sabrina,” ucap Vano langsung menyimpulkan dari apa yang dilihatnya.Mala akhirnya menatap Vano yang baru saja selesai bicara, lalu menoleh ke Sabrina yang sudah menatap sedih dan kecewa kepadanya.“I
Oma Aruna pergi ke ruangan Emily karena ingin membahas soal Vano. Saat baru saja keluar dari lift, Oma Aruna bertemu dengan Emily yang sedang ingin pergi.“Mama kok di sini?” tanya Emily terkejut.“Kamu mau ke mana?” Oma Aruna malah balik bertanya.“Aku mau jemput Thalia, tapi sebelumnya mau mampir dulu mengecek sesuatu,” jawab Emily, “Mami sendiri mau ke mana?” tanya Emily kemudian.“Mau nemuin kamu. Kalau gitu mami ikut saja kalau memang mau sekalin jemput Thalia, lagi pula ada yang mau mami bahas,” ucap Oma Aruna.Oma Aruna akhirnya ikut Emily. Mereka pergi ke mall karena Emily mau mengecek sesuatu, lalu setelahnya mereka pergi ke sekolah Thalia.“Memangnya Mami ada urusan apa sampai ke kantor?” tanya Emily keheranan.“Oh, mami mau bahas adikmu. Mami agak cemas dia melenceng,” jawab Oma Aruna.Emily langsung menghela napas mendengar jawaban sang mami.“Takut melenceng bagaimana sih, Mami? Vano tuh normal, kenapa Mami cemas berlebihan?” tanya Emily keheranan.Oma Aruna menoleh ke Em
Sabrina duduk sambil menatap komputernya, tapi sesekali dia melirik ke sekitar, melihat staff lain memperhatikan dirinya. Sabrina merasa cemas dan takut jika semua staff menyalahkan dirinya karena pemecatan Mala.“Sab.”Sabrina terkejut saat ada yang memanggil, membuatnya langsung menoleh dan melihat temannya sudah di dekatnya. Dia juga menyadari kalau yang lain kini memperhatikannya.“Maaf, karenaku Mala dipecat,” ucap Sabrina mencoba tak egois dan mau mengakui kalau pemecatan Mala karena dirinya.“Kenapa kamu minta maaf? Justru karenamu, sekarang kami tahu seperti apa Mala. Kami benar-benar nggak nyangka dia seperti itu,” balas staff itu menjelaskan.Sabrina terkejut mendengar ucapan staff itu hingga mendengar staff lain bicara.“Jika mungkin kemarin yang diposisimu itu salah satu dari kami, mungkin sekarang kami yang akan dipecat karena dianggap lalai. Kami bersyukur dihindarkan dari orang seperti Mala,” timpal yang lain.Sabrina menatap satu persatu staff di sana, lalu menganggukka
Sejak Oma Aruna berkata jika Vano sebenarnya menyukai Sabrina. Vano sekarang agak canggung ketika bertemu Sabrina. Namun, meski begitu Vano tetap profesional ketika bekerja.Sabrina sendiri mulai mengamati Vano. Dia merasa aneh karena sekarang Vano seperti salah tingkah ketika berdua dengannya. Dia sampai bertanya-tanya, apakah ada yang salah hingga membuat Vano seperti itu.“Beberapa hari ini Vano bertingkah aneh dan agak menjauhiku, apa aku punya salah, ya?” Sabrina sampai bertanya-tanya sendiri karena bingung dengan sikap Vano.Sabrina memandang berkas yang baru saja dibuatnya. Berkas itu harus dicek dan mendapat tandatangan Vano. Kalau dia masuk, pasti Vano akan terlihat bingung seperti sebelumnya. Sabrina benar-benar bingung dengan perubahan sikap Vano.“Sudahlah, kalau dia kebingungan ya tinggal aku jelaskan,” gumam Sabrina lalu berdiri sambil membawa berkas yang sudah dibuatnya.Sabrina mengetuk pintu ruangan Vano, hingga terdengar suara pria itu mengizinkan masuk. Sabrina masu
Vano keluar dari ruang kerjanya. Dia kemudian pergi menghampiri meja Sabrina. Saat sudah sampai di sana, Vano berdeham karena melihat Sabrina yang sedang serius bekerja.Sabrina menoleh saat mendengar suara Vano. Dia langsung berdiri dan berusaha bersikap formal karena ada di hadapan banyak orang.“Pekerjaanmu masih banyak?” tanya Vano.“Tidak juga, hanya tinggal menyusun beberapa data,” jawab Sabrina, “apa ada yang perlu saya kerjakan lagi?” tanya Sabrina kemudian.Vano berdeham pelan, kemudian menjawab, “Aku diminta menemui klien, aku ingin kamu ikut agar bisa memberikan penjelasans soal margin atau pembahasan lain soal perkembangan perusahaan kita.”Vano tidak mungkin berkata kalau dia tidak pandai berinteraksi dengan orang sehingga mengajak Sabrina, karena itu dia menggunakan alasan itu.Sabrina mengangguk-angguk pelan mendengar ucapan Vano.“Jadi, bisa ikut denganku sekarang?” tanya Vano memastikan.“Iya, bisa.” Sabrina langsung merapikan meja dan menyimpan file miliknya. Dia kemu
Sabrina keluar dari private room menuju toilet, saat baru saja akan sampai ke toilet, Sabrina mendengar ada yang memanggil. “Sab!” Sabrina menoleh dan tersenyum lebar melihat siapa yang menghampirinya. “Papa.” Sabrina langsung memeluk ke pria berumur 50 tahunan itu. “Papa kangen sekali, syukur bertemu denganmu. Papa tidak menyangka kamu di sini dan kenapa bisa jadi asisten. Papa bingung, Sab.” Raditya—ayah Sabrina benar-benar bingung kenapa putrinya malah jadi asisten orang, padahal akan diberi jabatan manager utama di perusahaan. “Ceritanya panjang, Pa. Tapi sekarang aku mau peluk dulu, aku kangen.” Sabrina belum mau menceritakan alasan dirinya di sana. Dia masih ingin memeluk sang papa. Raditya mengusap lembut punggung dan kepala Sabrina. Dia juga rindu karena putrinya tiba-tiba pergi entah ke mana, tapi sekarang malah bertemu secara tak terduga. Di saat itu. Vano melihat Sabrina dipeluk Raditya hingga membuatnya syok dan tidak habis pikir dengan semua itu. Vano memilih pergi
Vano sedang mengecek berkas, tapi dia terlihat gelisah dan sama sekali tidak fokus karena kejadian tadi. Dia kesal sampai menutup berkas kasar, lalu menoleh ke dinding kaca untuk melihat Sabrina sekilas yang terlihat sangat senang.Vano tidak tahu, kenapa dia terus terbayang-bayang saat Sabrina memeluk Raditya, dia terus berpikir meski mencoba untuk membuang bayangan itu.“Kenapa aku harus kesal, bukankah dia mau dengan siapa itu hak dia!” gerutu Vano.Vano kembali melirik ke Sabrina, tapi kali ini saat melihat Sabrina tersenyum saat bekerja, kenapa membuat kepalanya semakin panas.“Apa selama ini Sabrina menjadi simpanan pria itu?”Pikiran buruk akhirnya bersarang di kepalanya. Apalagi jika mengingat masa lalu, Sabrina berasal dari keluarga biasa yang mau dijual pamannya lalu kabur, kemudian sekarang Sabrina tiba-tiba datang sebagai sarjana lulusan terbaik di universitas ternama, membuat Vano bertanya-tanya ji
Vano semakin gelisah tapi bingung karena apa dan harus bagaimana. Dia keluar dari kamar karena merasa sesak berada di ruangan itu, saat baru saja akan menuruni anak tangga, Vano berpapasan dengan sang papi.“Ternyata kamu sudah pulang,” ucap Opa Ansel saat bertemu Vano.“Ya,” jawab Vano.Opa Ansel hanya mengangguk lalu kembali berjalan menuju lantai atas, tapi langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Vano.“Pi, aku mau tanya sesuatu. Apa Papi ada waktu?” tanya Vano memberanikan diri karena kegelisahan di hatinya benar-benar tak bisa terbendung lagi.Opa Ansel agak aneh dengan ucapan Vano, tak biasanya putranya itu membahas sesuatu dengannya selain pekerjaan, itupun biasanya dibahas di kantor.“Tentu,” balas Opa Ansel yang tentunya tak keberatan sama sekali.Vano akhirnya pergi ke lantai dua bersama ayahnya, mereka kini berada di balkon.“Mau membahas apa? Papi agak terkejut
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil