“Jadi, urusan temanmu sudah selesai?” tanya Opa Ansel tapi dengan nada sindiran.
Vano mengulum bibir karena canggung. Dia dan Opa Ansel sudah kembali ke perusahaan, sedangkan Sabrina pergi sebentar dengan Raditya atas izin Opa Ansel.
“Ada yang mau kamu ceritakan? Soalnya cerita Pak Raditya dengan cerita yang kamu bilang dialami temanmu, itu sama.” Opa Ansel menatap Vano yang diam setelah mendengar ucapannya.
Vano menggaruk kepala tidak gatal, kemudian memandang ke Opa Ansel yang menunggu jawaban darinya.
“Ya, itu Sabrina,” jawab Vano tak bisa berkutik.
“Hm … itu Sabrina lalu temanmu itu apa benar temanmu atau kamu?” tanya Opa Ansel menuntut.
Vano semakin mengusap tengkuk mendengar pertanyaan Opa Ansel, lalu kemudian menjawab, “Aku.”
Opa Ansel menatap Vano yang terlihat salah tingkah, lalu membalas, “Padahal tinggal bilang itu Sabrina dan kamu mau menolongnya atau
Beberapa hari berlalu, hubungan Sabrina dan Vano semakin baik meski keduanya masih menyembunyikan hubungan dari semua orang, tapi gelagat keduanya sudah dicurigai para staff.Sepulang bekerja, Vano mengajak Sabrina pulang bersama seperti biasa, tapi hari itu tak langsung pulang karena Vano malah mengajak Sabrina jalan.“Harusnya ganti pakaian dulu sebelum jalan,” ucap Sabrina saat berjalan sambil bergandengan tangan dengan Vano.“Memangnya kenapa kalau memakai pakaian kantor, menurutku bukan masalah besar,” balas Vano.“Iya bukan masalah besar, tapi kalau jalan pakai sepatu hak tinggi seperti ini juga lama-lama pegal,” ucap Sabrina.“Kalau pegal, aku yang gendong,” balas Vano dengan santainya.Sabrina gemas sampai memukul lengan Vano.Vano hanya tersenyum melihat Sabrina gemas kepadanya hingga terlihat lucu.“Aku masih penasaran dengan satu hal, tapi selalu lupa saat ingin b
“Om Vano, makan bareng kita, ya!” ajak Kyle ketika mereka sudah mendapatkan barang yang diinginkan.Claudia dan Billy terkejut mendengar ajakan Kyle ke Vano. Tentunya itu akan menjadikan rasa canggung satu sama lain, mengingat Vano selama ini mendiamkan mereka.Sabrina melihat gelagat aneh dari Claudia dan Billy, meski keduanya tersenyum tapi sikap mereka seperti ada rasa canggung. Dia menoleh Vano dan menunggu jawaban Vano atas ajakan Kyle.“Sama Kakak juga, kita makan bersama. Nanti aku biar bisa pamer ke Thalia kalau aku makan sama Om Vano,” ucap Kyle penuh semangat dan memaksa.“Kyle, Om Vano dan Kakak mungkin masih sibuk dan ada urusan lain. Kyle tidak boleh memaksa, ya.” Claudia mencoba memberi pengertian ke putranya.“Baiklah.” Bertolak dengan Claudia yang berusaha tak menciptakan kecanggungan lebih dalam, Vano malah setuju untuk makan bersama Kyle.“Asik!” teriak Kyle senang
Hari itu. Sabrina ikut Vano ke acara ulang tahun Athalia. Acara itu diadakan di taman samping rumah dan mengundang teman sekolah Athalia. “Kakak Sabrina!” Athalia terlihat sangat senang melihat Sabrina datang. Sabrina langsung tersenyum senang, tapi siapa sangka Athalia yang berlari ke arahnya langsung minta gendong. Emily dan Oma Aruna yang ada di sana sampai terkejut dengan tingkah Athalia, hingga Oma Aruna memandang Vano yang menatap Sabrina sambil tersenyum. Oma Aruna sedikit heran, kenapa Vano mengajak staff itu ke pesta Emily, apakah benar kalau keduanya memang dekat seperti yang Oma Aruna pikirkan? “Thalia, jangan minta gendong seperti itu. Ayo turun!” perintah Emily. “Iya, Mama.” Athalia menoleh ke Emily, lalu memandang Sabrina yang menggendongnya. “Kakak Sabrina, kueku tinggi dan besar sekali, lho. Kakak Sabrina mau lihat?” tanya Athalia lalu turun dari gendongan Sabrina. “Boleh,” jawab Sabrina. Athalia menggandeng tangan Sabrina, lalu mengajak ke taman samping untuk
“Sepertinya kamu dan Kak Claudia sangat dekat. Apa karena dia teman Kak Emily?” tanya Sabrina saat berada di mobil yang melaju di jalanan. Vano terkejut mendengar pertanyaan Sabrina, tapi dia memilih diam tak menjawab pertanyaan Sabrina. Sabrina menataop Vano yang hanya diam, lalu menghela napas agak kasar. “Sepertinya kamu sangat membencinya. Aku melihat tatapanmu yang tak biasa saat berhadapan dengannya,” ucap Sabrina lagi karena Vano tak membalas ucapannya. “Lebih baik kamu tak membahasnya,” balas Vano akhirnya mau bicara. Sabrina terkejut dengan reaksi Vano, rasa penasarannya diselimuti banyak tebakan di kepala. “Bukan ingin membahas, hanya saja aku merasa sikapmu sangat dingin kepadanya. Apa kamu ada masalah dengannya?” tanya Sabrina lagi, “padahal dia baik.” “Sab, berhenti membahasnya.” Vano langsung menegaskan karena untuk saat ini dia tak mau membicarakan soal Claudia. Sabrina langsung diam mendengar suara Vano agak membentaknya. Hingga dia memalingkan muka dan tak mema
Hari berikutnya, Vano berangkat ke perusahaan seperti biasa. Namun, pagi ini dia tak menjemput Sabrina karena gadis itu tak membalas pesannya atau menjawab panggilan darinya.Vano berpikir jika Sabrina pasti masih kesal, lalu membiarkan saja jika Sabrina ingin menghindarinya lebih dulu. Dia hanya ingin memberi kesempatan agar Sabrina lebih tenang dan rasa kesalnya tak semakin memuncak.Jam kerja sudah dimulai. Vano berada di ruang kerjanya mengecek berkas, hingga tatapannya tertuju ke meja Sabrina. Kosong, gadis itu tidak berangkat ke kantor.“Kenapa dia tidak berangkat?” Vano tentunya cemas, apalagi sejak pagi Sabrina tak menjawab panggilan darinya.Vano mencoba menghubungi Sabrina lagi, tapi masih tidak dijawab. Akhirnya Vano memutuskan untuk keluar dari ruangannya.“Apa Sabrina memberitahu kalau dia tidak berangkat?” tanya Vano ke rekan terdekat Sabrina.“Tidak, Pak. Sabrina tidak menghubungi saya. Saya juga
Vano masih di apartemen Sabrina. Dia begitu cemas karena panas tubuh Sabrina tidak turun-turun dan gadis itu tidak mau minum obat.“Sab.” Vano memanggil lembut karena Sabrina tidur dengan dahi berkerut, menandakan jika gadis itu gelisah.“Kamu mimpi buruk, hm?” tanya Vano sambil mengusap pipi Sabrina yang panas.Sabrina seperti terkejut hingga membuka mata saat merasakan sentuhan tangan Vano di pipinya.“Tubuhmu semakin panas, kalau kamu tidak coba minum obat, kita ke rumah sakit saja agar kamu mendapat penanganan tepat,” ucap Vano karena sangat mencemaskan kondisi Sabrina.Sabrina menggeleng mendengar ucapan Vano, lalu mencoba bangun untuk minum obat karena tak ingin ke rumah sakit.Vano bingung kenapa Sabrina tak mau minum obat, padahal kondisinya sangat tidak baik.Sabrina ingin mengambil obat, tapi karena tubuhnya lemas membuatnya susah menggapai.Akhirnya Vano yang mengambilkan bersamaan dengan segelas air putih.Setelah mendapat obatnya, Sabrina masih ragu untuk minum.“Ada apa?
Vano masih berada di apartemen Sabrina seharian bahkan sampai malam. Saat jam makan malam, Vano membangunkan Sabrina yang seharian ini tidur karena kondisi tubuhnya masih belum sehat. “Sab, bangunlah dan makan dulu sebelum minum obat,” kata Vano dengan suara lembut saat membangunkan Sabrina. Sabrina membuka mata dengan agak berat lalu melihat Vano yang berjongkok di samping ranjang menatap dirinya. “Tidak mau,” jawab Sabrina karena merasa kondisi tubuhnya tak ada perubahan. “Harus, Sab. Biar kamu sembuh,” ucap Vano memaksa, “kalau malam ini sampai pagi panasmu tidak turun, aku akan membawamu ke rumah sakit,” ucap Vano lagi. Sabrina langsung memanyunkan bibir mendengar ucapan Vano, hingga kemudian membalas, “Sebenarnya sakitku ini bisa sembuh dengan mudah. Tidak perlu obat atau dokter.” Dahi Vano berkerut halus mendengar ucapan Sabrina. “Mudah apanya? Nyatanya sudah minum obat dan istirahat seharian masih panas.” Sabrina masih manyun, lalu membalas, “Sakitku itu karena memikirkan
Vano terkejut mendengar pertanyaan Sabrina. Dia bingung harus menjawab apa karena dia sendiri masih tidak tahu apa sebenarnya yang ada di hatinya. Masih suka atau benci ke Claudia. Sabrina masih menunggu jawaban Vano dengan hati cemas. Apalagi pria itu terlihat ragu dan tak menjawab secara spontan yang menunjukkan jika ada sesuatu yang harus dipertimbangkan. “Bagaimana masa lalu dan perasaanku dulu, aku sekarang hanya ingin fokus mencintaimu saja,” ucap Vano tak menjawab bagaimana perasaannya ke Claudia. Sabrina agak kecewa karena bukan jawaban itu yang diharapkan. “Jika kamu tidak bisa lepas dari masa lalu, hubungan kita takkan pernah berjalan dengan baik ketika kamu masih terikat dengan hubungan yang sebenarnya belum kamu yakini berakhi,” ujar Sabrina. Vano diam mendengar ucapan Sabrina, lalu mendengar kekasihnya itu kembali bicara. “Aku sudah mengalaminya. Semenjak bertemu denganmu, aku tidak pernah bisa melupakanmu. Aku ingin melupakan, tapi tak bisa sampai akhirnya membuatku