Beberapa hari berlalu, hubungan Sabrina dan Vano semakin baik meski keduanya masih menyembunyikan hubungan dari semua orang, tapi gelagat keduanya sudah dicurigai para staff.
Sepulang bekerja, Vano mengajak Sabrina pulang bersama seperti biasa, tapi hari itu tak langsung pulang karena Vano malah mengajak Sabrina jalan.
“Harusnya ganti pakaian dulu sebelum jalan,” ucap Sabrina saat berjalan sambil bergandengan tangan dengan Vano.
“Memangnya kenapa kalau memakai pakaian kantor, menurutku bukan masalah besar,” balas Vano.
“Iya bukan masalah besar, tapi kalau jalan pakai sepatu hak tinggi seperti ini juga lama-lama pegal,” ucap Sabrina.
“Kalau pegal, aku yang gendong,” balas Vano dengan santainya.
Sabrina gemas sampai memukul lengan Vano.
Vano hanya tersenyum melihat Sabrina gemas kepadanya hingga terlihat lucu.
“Aku masih penasaran dengan satu hal, tapi selalu lupa saat ingin b
“Om Vano, makan bareng kita, ya!” ajak Kyle ketika mereka sudah mendapatkan barang yang diinginkan.Claudia dan Billy terkejut mendengar ajakan Kyle ke Vano. Tentunya itu akan menjadikan rasa canggung satu sama lain, mengingat Vano selama ini mendiamkan mereka.Sabrina melihat gelagat aneh dari Claudia dan Billy, meski keduanya tersenyum tapi sikap mereka seperti ada rasa canggung. Dia menoleh Vano dan menunggu jawaban Vano atas ajakan Kyle.“Sama Kakak juga, kita makan bersama. Nanti aku biar bisa pamer ke Thalia kalau aku makan sama Om Vano,” ucap Kyle penuh semangat dan memaksa.“Kyle, Om Vano dan Kakak mungkin masih sibuk dan ada urusan lain. Kyle tidak boleh memaksa, ya.” Claudia mencoba memberi pengertian ke putranya.“Baiklah.” Bertolak dengan Claudia yang berusaha tak menciptakan kecanggungan lebih dalam, Vano malah setuju untuk makan bersama Kyle.“Asik!” teriak Kyle senang
Hari itu. Sabrina ikut Vano ke acara ulang tahun Athalia. Acara itu diadakan di taman samping rumah dan mengundang teman sekolah Athalia. “Kakak Sabrina!” Athalia terlihat sangat senang melihat Sabrina datang. Sabrina langsung tersenyum senang, tapi siapa sangka Athalia yang berlari ke arahnya langsung minta gendong. Emily dan Oma Aruna yang ada di sana sampai terkejut dengan tingkah Athalia, hingga Oma Aruna memandang Vano yang menatap Sabrina sambil tersenyum. Oma Aruna sedikit heran, kenapa Vano mengajak staff itu ke pesta Emily, apakah benar kalau keduanya memang dekat seperti yang Oma Aruna pikirkan? “Thalia, jangan minta gendong seperti itu. Ayo turun!” perintah Emily. “Iya, Mama.” Athalia menoleh ke Emily, lalu memandang Sabrina yang menggendongnya. “Kakak Sabrina, kueku tinggi dan besar sekali, lho. Kakak Sabrina mau lihat?” tanya Athalia lalu turun dari gendongan Sabrina. “Boleh,” jawab Sabrina. Athalia menggandeng tangan Sabrina, lalu mengajak ke taman samping untuk
“Sepertinya kamu dan Kak Claudia sangat dekat. Apa karena dia teman Kak Emily?” tanya Sabrina saat berada di mobil yang melaju di jalanan. Vano terkejut mendengar pertanyaan Sabrina, tapi dia memilih diam tak menjawab pertanyaan Sabrina. Sabrina menataop Vano yang hanya diam, lalu menghela napas agak kasar. “Sepertinya kamu sangat membencinya. Aku melihat tatapanmu yang tak biasa saat berhadapan dengannya,” ucap Sabrina lagi karena Vano tak membalas ucapannya. “Lebih baik kamu tak membahasnya,” balas Vano akhirnya mau bicara. Sabrina terkejut dengan reaksi Vano, rasa penasarannya diselimuti banyak tebakan di kepala. “Bukan ingin membahas, hanya saja aku merasa sikapmu sangat dingin kepadanya. Apa kamu ada masalah dengannya?” tanya Sabrina lagi, “padahal dia baik.” “Sab, berhenti membahasnya.” Vano langsung menegaskan karena untuk saat ini dia tak mau membicarakan soal Claudia. Sabrina langsung diam mendengar suara Vano agak membentaknya. Hingga dia memalingkan muka dan tak mema
Hari berikutnya, Vano berangkat ke perusahaan seperti biasa. Namun, pagi ini dia tak menjemput Sabrina karena gadis itu tak membalas pesannya atau menjawab panggilan darinya.Vano berpikir jika Sabrina pasti masih kesal, lalu membiarkan saja jika Sabrina ingin menghindarinya lebih dulu. Dia hanya ingin memberi kesempatan agar Sabrina lebih tenang dan rasa kesalnya tak semakin memuncak.Jam kerja sudah dimulai. Vano berada di ruang kerjanya mengecek berkas, hingga tatapannya tertuju ke meja Sabrina. Kosong, gadis itu tidak berangkat ke kantor.“Kenapa dia tidak berangkat?” Vano tentunya cemas, apalagi sejak pagi Sabrina tak menjawab panggilan darinya.Vano mencoba menghubungi Sabrina lagi, tapi masih tidak dijawab. Akhirnya Vano memutuskan untuk keluar dari ruangannya.“Apa Sabrina memberitahu kalau dia tidak berangkat?” tanya Vano ke rekan terdekat Sabrina.“Tidak, Pak. Sabrina tidak menghubungi saya. Saya juga
Vano masih di apartemen Sabrina. Dia begitu cemas karena panas tubuh Sabrina tidak turun-turun dan gadis itu tidak mau minum obat.“Sab.” Vano memanggil lembut karena Sabrina tidur dengan dahi berkerut, menandakan jika gadis itu gelisah.“Kamu mimpi buruk, hm?” tanya Vano sambil mengusap pipi Sabrina yang panas.Sabrina seperti terkejut hingga membuka mata saat merasakan sentuhan tangan Vano di pipinya.“Tubuhmu semakin panas, kalau kamu tidak coba minum obat, kita ke rumah sakit saja agar kamu mendapat penanganan tepat,” ucap Vano karena sangat mencemaskan kondisi Sabrina.Sabrina menggeleng mendengar ucapan Vano, lalu mencoba bangun untuk minum obat karena tak ingin ke rumah sakit.Vano bingung kenapa Sabrina tak mau minum obat, padahal kondisinya sangat tidak baik.Sabrina ingin mengambil obat, tapi karena tubuhnya lemas membuatnya susah menggapai.Akhirnya Vano yang mengambilkan bersamaan dengan segelas air putih.Setelah mendapat obatnya, Sabrina masih ragu untuk minum.“Ada apa?
Vano masih berada di apartemen Sabrina seharian bahkan sampai malam. Saat jam makan malam, Vano membangunkan Sabrina yang seharian ini tidur karena kondisi tubuhnya masih belum sehat. “Sab, bangunlah dan makan dulu sebelum minum obat,” kata Vano dengan suara lembut saat membangunkan Sabrina. Sabrina membuka mata dengan agak berat lalu melihat Vano yang berjongkok di samping ranjang menatap dirinya. “Tidak mau,” jawab Sabrina karena merasa kondisi tubuhnya tak ada perubahan. “Harus, Sab. Biar kamu sembuh,” ucap Vano memaksa, “kalau malam ini sampai pagi panasmu tidak turun, aku akan membawamu ke rumah sakit,” ucap Vano lagi. Sabrina langsung memanyunkan bibir mendengar ucapan Vano, hingga kemudian membalas, “Sebenarnya sakitku ini bisa sembuh dengan mudah. Tidak perlu obat atau dokter.” Dahi Vano berkerut halus mendengar ucapan Sabrina. “Mudah apanya? Nyatanya sudah minum obat dan istirahat seharian masih panas.” Sabrina masih manyun, lalu membalas, “Sakitku itu karena memikirkan
Vano terkejut mendengar pertanyaan Sabrina. Dia bingung harus menjawab apa karena dia sendiri masih tidak tahu apa sebenarnya yang ada di hatinya. Masih suka atau benci ke Claudia. Sabrina masih menunggu jawaban Vano dengan hati cemas. Apalagi pria itu terlihat ragu dan tak menjawab secara spontan yang menunjukkan jika ada sesuatu yang harus dipertimbangkan. “Bagaimana masa lalu dan perasaanku dulu, aku sekarang hanya ingin fokus mencintaimu saja,” ucap Vano tak menjawab bagaimana perasaannya ke Claudia. Sabrina agak kecewa karena bukan jawaban itu yang diharapkan. “Jika kamu tidak bisa lepas dari masa lalu, hubungan kita takkan pernah berjalan dengan baik ketika kamu masih terikat dengan hubungan yang sebenarnya belum kamu yakini berakhi,” ujar Sabrina. Vano diam mendengar ucapan Sabrina, lalu mendengar kekasihnya itu kembali bicara. “Aku sudah mengalaminya. Semenjak bertemu denganmu, aku tidak pernah bisa melupakanmu. Aku ingin melupakan, tapi tak bisa sampai akhirnya membuatku
Vano sangat terkejut melihat sang mami di sana. Dia tak menyangka kalau Oma Aruna akan datang ke apartemen itu. “Mami? Mami kenapa di sini?” tanya Vano yang panik. Oma Aruna melongok ke dalam saat mendengar pertanyaan Vano, lalu kembali menatap putranya itu. “Mami hanya mau mastiin kamu bohong atau tidak,” jawab Oma Aruna. Vano menggeleng pelan mendengar jawaban Oma Aruna. “Sabrina sakit, kan? Mami ke sini untuk melihat kondisinya serta memastikan apakah yang kamu katakan benar.” Oma Aruna masuk begitu saja melewati Vano hingga membuat pria itu terkejut. Vano tak bisa mencegah sang mami, hingga akhirnya memilih mengikuti Oma Aruna ke dalam. Saat Oma Aruna baru saja masuk, Sabrina keluar kamar dan terkejut melihat Oma Aruna di apartemen itu. Oma Aruna melihat kening Sabrina memakai kompres seperti bayi, lalu dia mendekat ke Sabrina yang terlihat terkejut. “Kamu sakit? Sudah periksa?” tanya Oma Aruna sambil memperhatikan Sabrina. “Ini sudah lebih baik, Bibi.” Sabri
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil