Gio pergi ke salah satu rumah sakit. Dia berjalan menuju ke salah satu kamar yang terdapat di sana. Gio melihat sipir penjara berdiri di depan salah satu kamar, hingga dia menghampiri.Dia dihubungi pihak lapas yang mengatakan kalau Lena dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang mendadak drop. Gio memilih pergi untuk memastikan kondisi Lena.“Bagaimana kondisinya?” tanya Gio saat menemui sipir wanita itu.“Anda putra Bu Lena?” tanya sipir itu memastikan.Gio mengangguk-angguk menjawab pertanyaan sipir itu.“Dia semalam mengalami demam tinggi, lalu pagi ini tiba-tiba tak sadarkan diri. Dokter sudah memeriksanya, tekanan darahnya terlalu rendah, kami masih menunggu hasil pemeriksaan menyeluruhnya,” jawab sipir menjelaskan.Gio diam mendengar jawaban sipir. Dia ingin melihat, tapi langkahnya terasa berat.“Anda bisa menemuinya, tapi tak bisa lama,” kata sipir itu. Gio mengangguk lalu akhirnya masuk ke ruang inap itu. Dia melihat Lena berbaring memejamkan mata, satu tangannya diborg
“Kalian seharian ga ketemu Gio?” tanya Mia saat Alaric dan Emily pulang.“Nggak, Ma. Memangnya ada apa?” tanya Emily.“Oh, tidak ada apa-apa. Hanya saja tadi Gio bilang mau makan sup iga buatan mama, tapi mama telepon kok ga aktif nomornya,” jawab Mia sambil menatap ponsel yang dipegang.Alaric dan Emily saling tatap mendengar jawaban Mia.“Mungkin dia sedang sibuk. Dia baru saja mendapat proyek besar, mungkin mengurus banyak hal sampai ponselnya mati pun tidak sadar,” ujar Alaric agar Mia tidak cemas.“Hm ... iya juga,” balas Mia mengangguk. “Ya sudah, biar mama simpan supnya dulu, siapa tahu nanti dia datang jadi tinggal manasin saja.”Mia tersenyum ke Emily dan Alaric, lalu pergi ke dapur.“Sekarang Mama sangat perhatian ke Gio,” ucap Emily.“Mungkin Mama hanya tak ingin Gio kembali seperti dulu, jadi Mama berusaha memberikan apa yang t
“Kenapa?” tanya Alaric saat melihat Emily memijat betis.“Tiba-tiba pegal, apa karena tadi kebanyakan jalan, ya?” Emily menjawab sambil memijat betisnya.Alaric mendekat ke ranjang. Dia duduk tepat di dekat kaki Emily, lalu meminta istrinya itu menaikkan kaki di pahanya.“Mau apa?” tanya Emily terkejut dengan yang dilakukan Alaric.“Memijat kakimu, katanya pegal,” jawab Alaric lalu memijat pelan.Emily tersenyum mendengar jawaban suaminya, sebenarnya bukan hanya kaki tapi pinggang juga pegal karena efek kehamilan yang terus berkembang.“Kalau kamu mudah lelah, apa tidak sebaiknya kamu berhenti bekerja saja?” tanya Alaric sambil memijat kaki Emily.Emily terkejut mendengar pertanyaan Alaric, tapi mencoba menanggapinya dengan pikiran positif.“Kalau berhenti bekerja, aku suruh apa? Aku masih ingin bekerja dan bertemu banyak orang biar ga jenuh,” jawab Emily m
“Tidak masuk kantor?”Christina terkejut mendengar resepsionis perusahaan Gio berkata kalau pria itu tidak masuk kantor hari itu.“Apa saya boleh tahu alasan beliau tidak masuk?” tanya Christina dengan sopan.“Maaf, saya juga tidak tahu. Hanya saja sekretaris beliau berkata jika Pak Gio tidak masuk dan meminta agar saya menyampaikan ini jika ada datang untuk janji temu dengan beliau,” jawab resepsionis yang juga tak tahu.Christina mengangguk pelan mendengar jawaban resepsionis, lalu akhirnya pamit dari tempat itu. Dia berjalan menuju mobil sambil mencoba menghubungi Emily.“Halo, Chris.”Christina mendengar suara Emily dari seberang panggilan, membuatnya segera membalas sapaan sepupunya itu.“Emi, apa kamu tahu kalau Gio tidak masuk kantor?” tanya Christina.“Dia benar-benar tidak masuk kantor?”Christina mendengar suara Emily yang terkejut dari seberang panggilan.“Iya, apa ada masalah?” tanya Christina lagi karena cemas. Dia lalu memandang paper bag berisi jas pria itu.“Entah, sej
Christina masih memikirkan di mana Gio karena Emily juga masih belum mendapatkan kabar. Sore itu dia mengemudikan mobil dari perusahaan, hingga saat melewati jalanan ke arah rumah, Christina melihat mobil yang dia rasa kenal.“Bukankah itu mobilnya, Gio?”Christina mengemudikan mobil dengan kecepatan rendah, mencoba memastikan apakah mobil itu benar milik Gio atau bukan. Hingga setelah memastikan, Christina akhirnya menepikan mobil dan berhenti tak jauh dari mobil yang dilihatnya terparkir di bahu jalan.Christina turun dari mobil, lalu menghampiri mobil Gio untuk memastikan apakah benar Gio di sana atau tidak. Dia melihat ada seseorang di dalam mobil, sehingga mencoba mengetuk kaca jendela meski agak ragu.Gio sedang memejamkan mata saat kaca jendelanya diketuk. Dia menoleh dan terkejut karena Christina berada di luar mobil. Gio akhirnya membuka pintu untuk menemui Christina.“Ternyata benar kamu,” ucap Christina begitu lega melihat Gio.“Kenapa kamu di sini?” tanya Gio.Christina me
“Kenapa kamu ga jawab? Kamu menghilang sehari semalam ga karena melakukan yang--” Ucapan Mia terhenti karena dipotong Alaric.“Ma.” Alaric menghentikan Mia bicara lalu memberi isyarat melirik ke Christina.Christina hanya melongo melihat Mia yang sedang mengamuk Gio.Mia baru menyadari keberadaan Christina, sehingga tak melanjutkan apa yang hendak dikatakan.“Penampilanmu buruk sekali. Kamu mau pulang?” tanya Mia sambil menurunkan nada bicara, bersabar menahan rasa penasarannya karena perginya Gio.Gio menatap Alaric yang memberikan kode untuk ikut pergi bersanam Mia, lalu dia memandang Christina yang sejak tadi memandangnya.“Sepertinya aku harus pergi. Terima kasih karena menemaniku makan. Lain kali aku pasti akan membalasnya,” ucap Gio ke Christina.Christina mencoba memahami kondisi Gio.“Iya, tidak apa,” balas Christina.Gio berdiri sambil memandang ke Mia,
“Ada apa? Cerita saja.” Mia menggenggam erat tangan Gio karena merasa jika keponakannya itu begitu berat untuk bicara. Gio menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan sebelum kembali bicara. “Meski belum pasti dan perlu tes lebih lanjut, tapi dokter mengatakan kemungkinan Mama mengidap kanker usus dari tanda-tanda juga keluhan yang disampaikannya.” Gio bicara sambil menunduk dan semakin tertunduk ketika memberitahu penyakit ibunya. Semua orang tentunya sangat syok mendengar ucapan Gio. Bahkan Mia langsung menoleh ke Bobby dengan rasa tak percaya karena selama ini mereka tahu jika Lena dalam kondisi baik secara fisik. “Kamu yakin mamamu mengidap kanker usus?” tanya Mia memastikan. Gio mengangguk sambil menundukkan kepala. “Aku tak bisa meninggalkannya dalam kondisi seperti itu. Dia masih dirawat dengan kondisi terborgol, tubuhnya juga tak sesehat dulu,” ucap Gio dengan suara sedikit bergetar. Mia kembali menatap Bobby dan Alaric secara bergantin. Dia tak bisa berkata-kata
Bobby dan Mia pergi ke rumah sakit di hari berikutnya. Dia ingin memastikan sendiri bagaimana kondisi Lena apakah sama seperti yang Gio katakan.Saat hampir sampai di ruang inap, mereka bertemu dengan penjaga yang duduk di depan kamar inap.“Maaf, kami keluarga dari Lena ingin melihat kondisinya,” ucap Mia sopan ke sipir yang berjaga di sana.“Bisa perlihatkan kartu identitas kalian?” tanya sipir itu.Mia mengangguk lalu mengeluarkan kartu identitasnya untuk diperlihatkan ke sipir itu, begitu juga dengan Bobby.Setelah sipir itu mendata demi keamanan narapidana yang dirawat, Mia dan Bobby akhirnya diizinkan masuk untuk menjenguk.Saat masuk ke ruangan itu. Mereka melihat Lena yang terbaring lemah dan sangat pucat. Mia menoleh ke Bobby, lalu keduanya mendekat ke ranjang.Keduanya hanya diam sesaat hingga melihat Lena menggerakkan kelopak mata. Mia sebenarnya tak ingin melihat karena masih sakit hati dengan segala perbuatan Lena, tapi dirinya juga tak bisa menolak untuk peduli hingga ak
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil