Christina melihat Gio yang hanya diam lalu terlihat membalikkan badan untuk pergi, hingga tatapannya tertuju ke pria yang tadi dipukul Gio. Pria itu terlihat ingin membalas Gio, tapi Christina dengan sigap meraih gelas lalu menyiramkannya ke wajah pria tadi.
Gio terkejut karena pria itu disiram Christina. Dia menoleh ke Christina yang terlihat sangat kesal.
“Lihat saja, aku akan melaporkanmu karena tindak pelecehan!” Christina sengaja bicara dengan lantang agar semua orang tahu kalau pria itu sudah berbuat tak senonoh.
Pria itu gelagapan tersiram air. Dia mengusap wajah hingga menyadari jika banyak pasang mata yang melihatnya sekarang.
Gio menatap Christina sekilas, menyadari jika wanita itu sudah bisa membela diri dan banyak orang melihat, membuat Gio memilih pergi.
Christina masih begitu kesal karena pria itu berani menyentuhnya, tapi sekarang yang dipikirkannya malah perasaan Gio yang pergi begitu saja.
Christina memilih menyu
Gio bergeming mendengar ucapan Christina. Tentu saja dia tidak bisa menjawab pertanyaan wanita itu.“Aku tahu semuanya tentangmu, apa kamu pikir hanya dengan kata buruk, aku akan memandangmu sebelah mata? Jika kamu tak ingin aku memandangmu sebelah mata, jelaskan semuanya.”Christina kembali bicara karena Gio diam.Gio masih menatap Christina yang masih bicara.“Setidaknya, jika kamu tak yakin dengan dirimu sendiri, jangan mengajak orang lain untuk tak yakin akan tentangmu,” ucap Christina lagi dengan nada penekanan.Gio masih diam mendengar semua ucapan Christina yang terdengar sangat serius.Christina tiba-tiba memasang wajah kesal karena Gio hanya diam.“Kamu ini memang tidak berperikemanusiaan. Kakiku sakit karena hampir terkilir saat mengejarmu, tapi kamu sibuk dengan perspektifmu sendiri,” gerutu Christina dengan satu kaki agak nyeri.Gio sangat terkejut mendengar ucapan Christina, hingga langsung menunduk melihat kaki wanita itu.“Aku antar pulang,” ucap Gio pada akhirnya.“Tid
“Apanya yang mau diceritakan dan didengar tentang sebuah keburukan?” Gio menoleh Christina yang terlihat antusias ingin mendengarkan.“Ada kalanya keburukan harus didengar agar tidak salah persepsi, serta dijadikan bahan pertimbangan,” balas Christina tetap berharap Gio mau bercerita.Gio menatap Christina yang masih menunggu, hingga dia mengembuskan napas kasar.“Kamu pasti hanya mendengar setengah cerita tentang keburukanku. Aku yakin, jika kamu tahu keseluruhan cerita, kamu pasti akan mulai cemas dan kabur,” ucap Gio lalu tersenyum getir.“Kamu terlalu pesimis,” balas Christina.Gio melihat Christina yang terlihat kesal, lalu akhirnya berkata, “Seperti yang wanita tadi katakan, pernikahanku gagal karena ada wanita lain datang mengaku hamil anakku, tapi aku malah bersyukur karena tidak jadi nikah.”“Kenapa bersyukur?” tanya Christina penasaran.Gio menoleh lagi ke Christina lalu menjawab, “Karena mereka yang mengaku hamil anakku, ternyata tidak hamil anakku. Bukankah bagus aku tidak
Gio sudah sampai di rumah, baru sadar jika jasnya tadi masih dipakai Christina. Dia agak cemas jika Christina terkena masalah karena memakai jas pria, hingga Gio berniat menghubungi untuk bertanya kabar wanita itu.Namun, saat akan mendial nomor Christina, Gio ragu karena bingung.“Bagaimana kalau dia disidang karena membawa jas pria?”Gio mencemaskan Christina, tapi takut kalau menghubungi di saat yang tidak tepat.Gio hanya menatap sambil berpikir apakah harus menghubungi Christina, hingga saat dirinya sedang bingung, tiba-tiba Christina menghubungi membuatnya secara spontan menjawab panggilan itu.“Bagaimana kondisimu?” Gio langsung bertanya padahal Christina belum menjawab.Di rumah Christina. Wanita itu terkejut karena Gio langsung bertanya kondisinya. Dia tersenyum senang karena pria itu berinisiatif bertanya lebih dulu.“Sudah lumayan baik,” ucap Christina sambil duduk memangku bantal di ranjang.Christina mendengar suara helaan napas dari seberang panggilan.“Jasmu aku kembali
Christina diam memandang paper bag berisi jas milik Gio. Dia benar-benar kesal dengan ucapan sang papa yang melarangnya dekat dengan Gio.“Apa ini alasan Gio bersikap dingin? Dia takut dipandang sebelah mata dengan pemikiran orang tanpa fakta darinya?”Tiba-tiba pemikiran itu muncul di kepala, hingga membuat Christina semakin tak bisa jika harus menjauhi Gio. Christina berdiri ingin pergi mengantar jas Gio, tapi tiba-tiba ponselnya berdering lebih dulu, ada pesan dari Gio[Bagaimana kakimu?]Christina terkejut dan merasa seperti mimpi melihat pesan dari Gio. Dia buru-buru membalas pesan itu.[Sudah lebih baik. Tidak sesakit semalam.]Christina mengirim pesan balasan itu, lalu diam menunggu Gio membalas tapi tak kunjung membalas.“Padahal online dan sudah dibaca, tapi kenapa tidak membalas lagi?”Christina menunggu sambil cemberut, hingga akhirnya Gio kembali mengirim pesan.[Baguslah.]Satu kata tapi bisa membuat Christina senang dan tenang.[Kamu di kantor? Aku mau mengantar jasmu.]
Gio cukup terkejut mendengar ucapan Christina, bahkan menatap sambil menelaah maksud ucapan wanita itu.“Menjalin hubungan? Maksudmu teman?”Christina yang sekarang terkejut karena Gio tidak paham dengan maksud ucapannya. Agak geram karena pria itu selalu saja tidak peka.“Bukan teman, tapi kekasihmu. Sesulit itukah memahami maksud ucapanku? Atau kamu memang berpura tak peka?” Christina bicara dengan nada kesal.Gio diam menatap Christina yang marah, lalu kemudian bertanya, “Kenapa kamu mau jadi kekasihku, sedangkan kamu tahu seburuk apa masa laluku?”“Aku menyukaimu yang sekarang, bukan menyukaimu yang dulu. Apa salahnya jika berusaha? Lagi pula, sebelum dan sesudah aku tahu seperti apa dirimu, aku sudah menyukaimu,” balas Christina tanpa rasa ragu lagi.“Apa kamu benar-benar tidak akan kecewa atau menyesal karena memiliki hubungan dengan pria sepertiku? Kamu tahu, mungkin saja di luar sana akan ada yang menggunjingmu,” ucap Gio memastikan sekali mencoba membuat Christina mundur denga
“Kamu bertengkar lagi dengan Chris?” Nana langsung melempar pertanyaan begitu Bastian pulang.Bastian menoleh Nana, lalu bertanya, “Apa Chris mengatakan sesuatu?”“Tidak,” jawab Nana, “tapi dia izin tidur di rumah Kak Nanda. Kalau bukan karena ada masalah denganmu, dia tidak akan menginap di sana. Kamu tahu betul bagaimana sifatnya, apa perlu kamu tanya setelah tadi pagi berdebat?”Nana tak senang jika Bastian terlalu keras ke Christina karena tahu betul bagaimana sifat keduanya.Bastian hanya diam sambil melepas dasi dan jasnya sehingga membuat Nana kesal.“Kalian berdebat masalah pria itu lagi?” tanya Nana tapi Bastian masih tak menjawab.“Apa salahnya kalau hanya dekat? Lagi pula pria itu juga menolong putrimu, bukan mencelakainya,” ucap Nana lagi karena Bastian tak bicara.Bastian akhirnya menoleh ke Nana, lalu membalas, “Pria itu punya kelakuan buruk, aku hanya tak ingin Christina bergaul dengan pria seperti itu.”“Sudah, jangan membahas hal itu lagi. Jika Christina memang mau me
“Baru pulang?” tanya Emily ketika melihat Gio datang.Gio tersenyum sambil mengangguk, lalu duduk di samping Emily yang sedang makan buah seperti biasa.“Al belum pulang?” tanya Gio lalu tanpa permisi mengambil potongan buah milik Emily tanpa izin seperti biasa.“Belum, dia bilang mengecek ke lokasi proyek dulu sebelum pulang,” jawab Emily sekarang sudah terbiasa dengan sikap Gio yang asal mengambil makanan miliknya.Gio hanya mengangguk-angguk dengan masih terus ikut makan buah milik Emily.Emily menatap Gio yang terlihat agak berbeda, membuatnya penasaran hingga terus memperhatikan.“Apa ada kabar bagus hari ini?” tanya Emily masih menatap Gio.Gio menoleh Emily lalu mengedikkan kedua bahu. “Kabar bagus apa?”“Entah, soalnya aku lihat kamu seperti sangat bahagia sekali hari ini,” ujar Emily masih memperhatikan Gio.Gio menoleh Emily lagi sambil berhenti mengunyah buah yang ada di mulut, lalu membalas, “Sepertinya biasa saja. Bukankah sudah biasa sikapku begini saat di rumah.”Emily
“Apa ada masalah dengan hal itu?” tanya Gio tanpa membuat pembelaan kalau Christina yang mendekatiny bukan sebaliknya.Bastian menghela napas kasar mendengar pertanyaan Gio, lalu menjawab, “Aku hanya ingin menekankan saja. Aku tidak suka kamu dekat dengan putriku.”Gio hanya diam mendengar jawaban Bastian. Dia tidak melakukan pembelaan sama sekali hanya karena menghormati pria itu.“Aku tidak suka basa-basi. Jika aku berkata jauhi putriku, maka lakukanlah. Pria sepertimu tak perlu menunggu diancam agar paham, bukan? Masih banyak wanita yang bisa kamu ajak bermain, tapi bukan putriku.”Setelah mengatakan itu Bastian berdiri lalu meninggalkan Gio.Gio masih diam mencerna semua ucapan pria itu tanpa pembelaan atau sanggahan sama sekali.**Saat sore hari. Christina pulang ke rumah tapi hanya untuk mengambil beberapa barangnya. Dia pulang sebelum ayahnya kembali agar tidak perlu berdebat dengan sang ayah.“Chris, kamu mau ke mana lagi?” tanya Nana keheranan karena Christina masuk kamar be
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil