“Kenapa harus pergi dari rumah?” tanya Gio sambil menatap Christina yang menemuinya. “Ya, karena ....” Christina belum menceritakan soal ayahnya yang melarang dirinya dekat dengan Gio. Gio juga tak menceritakan soal Bastian yang memintanya menjauhi Christina. Dia hanya tak ingin ada masalah di antara Bastian dan Christina. “Karena apa?” tanya Gio menuntut penjelasan. “Ya, karena aku mau mandiri saja. Aku akan tinggal di apartemen,” jawab Christina meyakinkan. Gio menatap Christina yang tersenyum canggung, lalu bertanya, “Apa sebelumnya kamu pernah tinggal sendiri?” Christina ingin berbohong, tapi saat melihat tatapan Gio membuatnya urung berbohong. “Tidak, dulu saat di Amerika tinggal di rumah keluarga.” “Lalu, apa benar alasanmu ingin tinggal di apartemen hanya karena ingin mandiri saja?” tanya Gio seolah menuntut kejujuran Christina. Christina ingin menjawab tapi urung. Dia tampak berpikir sejenak, hingga kemudian membalas, “Sebenarnya Papa tidak suka kalau aku dekat denganmu
Hari berikutnya Christina terlihat menuruni anak tangga siap ke kantor. Namun, dia tidak berbelok ke ruang makan, tapi langsung menuju pintu keluar.“Chris, kamu tidak sarapan dulu?” tanya Nana karena melihat Christina langsung berjalan menuju pintu.“Tidak nafsu,” jawab Christina tanpa menoleh ke sang mama.Nana cukup terkejut mendengar ucapan Christina, hingga kemudian menoleh ke Bastian.“Lihat, ini hasil dari sikap kerasmu. Kamu hanya mementingkan egomu, apa harus sampai begini? Apa kamu baru akan menyesal kalau kita kehilangannya? Jika memang itu demi kebahagiaannya, kenapa kamu tidak coba mengalah? Kita dulu pernah diberi pilihan, dan sekarang Christina pun berhak mendapat pilihan.”Setelah mengatakan itu Nana memilih meninggalkan ruang makan. Tidak berselera karena keluarganya tidak harmonis akibat keegoisan masing-masing.Bastian hanya diam mendengar Nana mengamuk, lalu kemudian memilih melanjutkan sarapan.Di rumah Bobby. Gio baru saja keluar dari kamar sambil memperhatikan po
Siang itu Nana nekat pergi ke perusahaan Gio. Dia hanya ingin memastikan jika Gio memang baik sama seperti yang Christina katakan. Dia ada di lobi menemui resepsionis agar bisa bertemu Gio.“Apa Anda sudah membuat janji dengan Pak Gio?” tanya resepsionis.“Belum,” jawab Nana karena tak mungkin berbohong.“Kalau begitu maaf, saya tidak bisa mengizinkan Anda menemui Pak Gio,” ucap resepsionis ramah.“Tapi bisakah hubungi dia. Katakan saja kalau mamanya Chris mau bertemu,” kata Nana.Resepsionis itu tersenyum canggung dan agak bingung karena takut menyalahi aturan. Namun, karena Nana terus memaksa, membuat resepsionis itu akhirnya mencoba menghubungi ruangan Gio.“Halo, Pak. Di bawah ada wanita yang ingin menemui Anda. Dia bilang mamanya Chris,” kata resepsionis ketika panggilannya dijawab Gio.Di ruang kerjanya, Gio cukup terkejut mendengar perkataan resepsionis.“Beliau masih di sana?” tanya Gio memastikan.“Masih, Pak,” jawab resepsionis, “apa Anda mau menemuinya?” tanya resepsionis l
Setelah selesai rapat. Gio menepati janji menemui Nana. Wanita itu masih menunggu di sana, hingga akhirnya Nana mengajak Gio makan di kafe samping perusahaan agar bisa lebih nyaman ketika bicara.Gio tak banyak bicara. Dia menunggu sampai Nana menyampaikan apa yang ingin dikatakan.Nana memandang Gio yang bersikap sopan. Tidak terlihat urak-urakan atau sombong saat berhadapan dengannya. Cara duduk tak luput dari perhatian Nana, hingga wanita itu tersenyum kecil.“Sebenarnya aku datang untuk memastikan sesuatu,” ucap Nana.“Anda mau memastikan apa?” tanya Gio.Nana menghela napas pelan, kemudian berkata, “Aku hanya ingin tahu, apa kamu serius dengan Chris atau hanya mau main-main saja dengannya?”Gio seharusnya sudah bisa menebak alasan Nana menemuinya, tapi tetap saja pertanyaan wanita itu membuatnya terkejut.“Ya, mau dibilang serius, tentu saja serius. Hanya saja saya pribadi sudah bilang ke Chris untuk menjalani dulu, tidak ada kepastian bagaimana, hanya saja saya melakukan ini sem
“Chris, papa mau bicara.”Christina baru saja pulang, hingga langkahnya terhenti saat mendengar suara sang papa. Dia hanya mengembuskan napas kasar, kemudian kembali melanjutkan langkah.“Chris!” Bastian berdiri karena Christina tak mau bicara dengannya.“Aku malas bicara dengan Papa jika berakhir dengan perdebatan,” balas Christina terus berjalan menaiki anak tangga.Bastian diam mendengar Christina yang benar-benar marah kepadanya. Nana sendiri hanya diam memperhatikan sang suami yang diabaikan oleh putri mereka.“Semua ini salahmu, kalau kamu mau memahami sedikit saja keinginannya, pasti tidak akan ada kejadian seperti ini,” ucap Nana lalu memilih meninggalkan suaminya juga.Bastian memandang ke lantai atas. Dia akhirnya naik menuju kamar Christina untuk mengajak bicara.“Chris, Papa hanya mau bicara,” ucap Bastian setelah mengetuk pintu.Tidak ada balasan dari dalam. Bastian mencoba memutar gagang pintu kamar Christina, tapi ternyata dikunci.“Chris, kamu benar-benar tidak mau bic
“Chris.”Nana mengetuk pintu, memanggil putrinya agar pagi itu sarapan. Sejak semalam Christina tidak keluar untuk makan malam, bahkan tampak mengambil minum di dapur saja tidak hingga membuat Nana cemas.“Chris!” Nana kembali mengetuk pintu. “Mama tahu kamu marah ke papamu, tapi apa kamu juga mau mengabaikan mama? Padahal mama sudah kasih restu untuk hubunganmu dengan Gio.”Nana mencoba bicara untuk membujuk Christina keluar.Benar saja, pintu kamar Christina akhirnya terbuka, terlihat wanita itu berdiri di ambang pintu memandang sang mama.“Kapan Mama kasih restu? Jangan membujukku,” ucap Christina tak percaya begitu saja.“Kemarin, tanya saja ke Gio,” balas Nana.Christina mengerutkan alis mendengar ucapan Nana.“Mama bertemu dengannya?” tanya Christina memastikan.“Iya,” jawab Nana, “dia tidak cerita?” tanya Nana.Christina terdiam mendengar pertanyaan Nana, hingga kemudian mengingat ucapan Gio kemarin. Mungkinkah setelah bicara dan mendapat restu dari Nana, Gio tiba-tiba mengajak
Bastian pergi ke ruang tamu, hingga melihat Gio dan yang lain duduk menunggu di sana.Gio terlihat tenang saat melihat bastian, sedangkan Emily yang memang sengaja duduk di samping Gio, langsung tersenyum ke sang paman.Bastian tidak punya alasan untuk tak membalas senyum Emily, hingga akhirnya membalas senyuman keponakannya itu sebelum akhirnya duduk di samping Nana.“Apa yang membawa kalian ke sini?” tanya Bastian langsung tanpa basa-basi.Emily dan Alaric melirik Gio, tapi kemudian Mia yang bicara lebih dulu.“Apa bisa menunggu Christina dulu?” tanya Mia dengan sikap sopan dan ramah.Bastian diam mendengar pertanyaan Mia, lalu menganggukkan kepala.Beberapa saat kemudian, Christina datang dengan pakaian rapi. Dia duduk di dekat sang mama dan siap mendengarkan maksud kedatangan Gio sekeluarga ke sana.Mia memulas senyum ke Christina yang baru saja duduk, hingga kemudian mulai bicara.“Maksud kedatangan kami ke sini untuk bersilaturahmi, sekalian ingin membahas soal hubungan Christin
“Semalam kamu mau papa ajak bahas ini tidak mau, sekarang senyum-senyum?” Bastian memandang Christina yang sangat bahagis.Christina melebarkan senyum mendengar sindiran sang papa. Dia lantas merangkul lengan Bastian sambil bergelayut manja.“Ya, Papa soalnya maksa agar aku menjauhi Gio, padahal aku benar-benar serius ingin menjalin hubungan dengannya,” balas Christina.Bastian menatap Christina yang sangat bahagia. Semudah itu membuat putrinya senang, tapi dia bersikukuh dengan sikap dan keputusannya yang malah membuat perselisihan di antara mereka.“Meski Papa kasih restu, tapi papa akan terus mengawasi kalian. Jika sebelum nikah saja dia membuat ulah, maka papa tidak segan membatalkan rencana pernikahan kalian,” ucap Bastian memberi ultimatum.Christina mengangkat kepala dari lengan Bastian, lalu menatap sang papa yang bicara sangat serius.“Iya, Papa jangan cemas. Papa boleh melakukan apa pun jika Gio tidak menepati janjinya. Aku hanya butuh satu kesempatan, sisanya aku hanya akan
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil