Teman-teman, habis ini lanjut season 2 ya. Kalau kalian sayang dengan buku ini, jangan lupa berikan ulasan dan bintang lima juga ya, biar pembaca lain tahu, kalau novel ini juga layak dibaca, hehehehe. Yang terus memberi komentar juga mau memberi ulasan, terima kasih banyak. Sayang kalian.
Waktu cepat berlalu, tak terasa enam tahun terlewati begitu saja. Di perusahaan keluarga Emily, Vano kini bekerja di sana sebagai manager keuangan setelah berusaha bekerja menjadi karyawan biasa selama dua tahun.Vano sedang mengecek berkas laporan dari staff, hingga ponselnya berdering membuat fokusnya teralihkan ke benda pipih itu.“Apa?” tanya Vano saat menjawab panggilan.“Galak sekali kamu, berani kamu sama atasan!”Vano menghela napas kasar, lalu membalas, “Iya, Bu Emily yang cantik, Anda butuh apa?”“Vano, aku ada rapat dadakan. Thalia tidak ada yang menjemput karena papanya ke luar kota, jadi bantu jemput dia di sekolah, ya.”Vano membuang napas dari mulut lalu membalas, “Aku tidak bekerja di divisimu, kenapa kamu memerintahku?”“Hei, bocah nakal! Kulaporkan ke Papi kalau kamu nggak nurut, lagian perhitungan sekali sama keponakan. Sana buruan jemput, lima belas menit lagi dia keluar. Aku harus rapat, bye.”Vano terkejut dengan perintah sang kakak, bisa-bisanya sang kakak menga
“Kamu pikir, nyari orang dengan hanya bermodal nama itu mudah? Nggak hanya satu yang punya nama itu, mungkin ada beberapa di satu kota, kamu mau cek satu-satu?”Seorang gadis menghela napas kasar mendengar ucapan temannya. Dia jauh-jauh kembali ke kota itu untuk mencari seseorang, tapi ternyata mencari orang bermodal nama saja memang sulit.Sabrina duduk di bangku yang terdapat di trotoar, memandang langit yang tampak cerah dengan matahari yang begitu terik.“Apa aku berhenti mencarinya saja?” Sabrina mendadak putus asa, seperti ucapan temannya memang benar.Saat Sabrina sedang duduk memikirkan apa yang harus dilakukan setelah ini, dia melihat gadis kecil berlari ke arah jalan raya hingga membuatnya langsung berdiri. Sabrina berada di seberang jalan agak jauh dengan gadis kecil itu, membuatnya terkejut karena jalanan cukup ramai siang itu.“Thalia!”Sabrina mendengar suara pria memanggil sebuah nama. Tatapannya tertuju ke pria yang sedang berlari kencang menghampiri gadis kecil yang h
Vano kembali ke perusahaan setelah mengantar Athalia pulang. Saat dia baru saja menginjakkan kaki di lobi, Vano menghentikan langkah ketika melihat siapa yang baru saja keluar dari lift. “Om Vano.” Suara anak kecil memanggil Vano, membuat pria itu tak bisa menghindar atau berpura tak melihat. Vano terpaksa bersikap biasa saat melihat Claudia bersama putranya menghampiri Vano. “Kamu dari mengantar Athalia pulang?” tanya Claudia saat menghampiri Vano untuk sekadar menyapa. “Ya,” jawab Vano singkat. Tampaknya Vano takkan pernah bisa memperbaiki hubungannya dengan Claudia meski sebagai teman. “Om Vano, aku baru beli mobil baru lho,” kata anak Claudia yang berumur tiga tahun. Vano sedikit membungkuk lalu mengusap kepala bocah laki-laki itu. “Iya, bagus.” Vano tersenyum ke anak Claudia tapi tidak dengan ibunya. “Om Vano kembali kerja dulu,” ucap Vano lalu berdiri dengan tegap lagi. Vano menatap sekilas ke Claudia tanpa ekspresi, lalu memilih meninggalkan Claudia. Claudia memilih be
“Baru pulang? Kemarilah!” perintah Oma Aruna saat melihat Vano datang. Vano berjalan agak malas ke arah sang mami duduk, lalu memandang sang mami yang memintanya duduk. “Ada apa, Mi? Aku baru pulang mau mandi dan istirahat dulu,” kata Vano karena pusing mengurus banyak laporan hari ini. “Bentar saja, mami hanya mau tanya,” balas Oma Aruna. “Tanya apa?” Vano terlihat malas karena lelah. “Mami punya temen, temannya punya anak gadis cantik dan pandai main celo. Kamu mau nggak kenalan sama dia?” tanya Oma Aruna. Sejak kuliah, Oma Aruna tak pernah melihat sekalipun putranya berpacaran, hal itu membuat Oma Aruna cemas apalagi di usia Vano yang menginjak usia 28 tahun, masih tak ada tanda-tanda putranya itu punya kekasih. “Tunggu! Maksud Mami apa? Mami mau jodohin aku? Mi, nggak zamannya!” Vano langsung bisa menebak lalu menolak. Oma Aruna terkejut mendengar tebakan dan penolakan Vano, lalu menjelaskan, “Mami hanya ingin kamu tuh kenal sama gadis. Mami nggak pernah tuh lihat kamu deke
Sabrina terkejut mendengar pertanyaan satpam, tapi kemudian berpikir jika mungkin ini jalan agar dirinya bisa bertemu dan membalas budi kebaikan Vano.“Iya, Pak. Saya memang mau daftar jadi cleaning service, tapi memang sejak tadi bingung saja harus lewat mana,” ujar Sabrina agar dirinya tak diusir.“Oh, tanya dong dari tadi. Jadi bisa aku bantu arahin,” balas satpam.Sabrina melebarkan senyum meski agak canggung.“Masuk saja, nanti lewat sisi kanan gedung. Di sana ada pintu untuk cleaning service, nah masuk saja cari yang namanya Bu Monik, bilang mau daftar kerja cleaning service,” ucap satpam memberi instruksi.Sabrina mengangguk-angguk mendengar ucapan satpam.“Sudah bawa syarat-syaratnya, kan?” tanya satpam lagi.“Sudah, Pak.” Sabrina berbohong hanya agar diperbolehkan masuk.“Ya sudah, sana buruan sebelum keduluan orang,” ucap satpam lagi.Sabrina berterima kasih karena satpam itu baik. Dia segera berjalan ke arah satpam tadi mengarahkan. Dia berjalan sambil memandang ke lobi, be
Sabrina benar-benar sangat senang. Dia masih berdiri sambil memperhatikan Vano yang sedang bicara dengan salah satu staff di divisi itu, sampai tidak sadar kalau Bu Monik sudah masuk ke pantry.“Sabrina, kenapa kamu malah diam di sana?” tanya Bu Monik menatap heran ke Sabrina.“Oh ya, Bu.” Sabrina tersadar dari lamunan, lalu masuk mengikuti Bu Monik.Di sana Sabrina bertemu dengan dua petugas lainnya.“Ini Rahmat dan Haikal. Kalian harus kerja bareng dan jangan ada namanya senior junior, semua sama. Paham!” Bu Monik menegaskan agar Sabrina tidak dikerjai Rahmat dan Haikal yang sudah lebih dulu bekerja di sana.Dua pria berumur 25 tahunan itu langsung buru-buru memperkenalkan diri ke Sabrina karena senang mendapat teman kerja perempuan.“Rahmat.”“Haikal.“Aku Sabrina, salam kenal.” Sabrina membalas jabat tangan kedua rekan kerjanya itu.“Bagus kalau kalian bisa akur. Ingat, tugas wajib dilaksanakan bersama, jangan mengerjai yang perempuan untuk kerja terlalu berat juga,” ucap Bu Monik
“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Vano menatap Sabrina yang masih berdiri termangu di depan mejanya.Sabrina terlihat bingung mendengar pertanyaan Vano, sepertinya pria itu memang tak mengenalinya dan sudah lupa.“Tidak ada, Pak.” Sabrina tetap sopan meski kebingungan. “Saya permisi,” ucap Sabrina lalu berjalan menuju pintu.“Tunggu!” Vano memanggil hingga membuat langkah Sabrina terhenti.Sabrina membalikkan badan, melihat Vano yang menatapnya hingga berpikir jika pria itu mungkin baru menyadari siapa dirinya.Vano terlihat ingin bicara tapi agak ragu, hingga kemudian berkata, “Kamu office girl baru?”Sabrina harus menelan kekecewaan karena ternyata Vano memang tak mengenalinya.“Iya, Pak. Jika Anda butuh sesuatu, panggil saya saja,” balas Sabrina meski begitu kecewa.Vano mengangguk lalu bertanya, “Siapa namamu?”“Sabrina.”Vano hanya mengangguk lalu mengambil cangkir kopi yang dibawa Sabrina.Sabrina terlihat begitu kecewa hingga tersenyum getir, tampaknya yang mengingat kebaikan
Sabrina sangat syok melihat Athalia jatuh. Dia sangat panik lalu memilih meletakkan nampan berisi cangkir di meja samping pantry, lantas berlari menghampiri Athalia. “Papa, Mama, sakit!” teriak Athalia menangis masih dengan posisi terlentang, kepala Athalia sepertinya membentur lantai. Haikal dan Rahmat terkejut mendengar suara Athalia menangis, mereka mendekat untuk menolong, tapi Sabrina lebih dulu sampai di tempat Athalia. Sabrina langsung membantu Athalia bangun, lalu mengusap belakang kepala gadis kecil itu. Athalia menangis sangat kencang karena sangat kesakitan, sedangkan Sabrina panik karena takut terkena marah. “Mana yang sakit, kakak bantu usap, ya.” Sabrina mencoba menenangkan, tapi Athalia malah semakin menangis menjadi-jadi. Vano keluar dari ruangan karena mendengar suara Athalia, hingga melihat keponakannya itu sedang dipeluk Sabrina. “Ada apa ini?” tanya Vano dengan suara keras karena Athalia menangis sampai seperti itu. Rahmat dan Haikal diam menunduk kare
Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan
Hari berikutnya, Vano masih menemani Sabrina di apartemen. Pagi itu bersama Sabrina di sofa untuk mengganti perban gadis itu.“Tahan bentar,” ucap Vano saat membersihkan luka Sabrina sebelum diperban lagi.Sabrina melirik ke lengannya. Dia agak meringis karena terasa sedikit perih.Vano membungkus luka itu lagi dengan perlahan setelah selesai dibersihkan.Sabrina menatap Vano yang serius mengganti perban, hingga dia bertanya, “Apa kamu yakin kalau keputusanmu ingin menikah tidak terburu-buru?”Sabrina merasa Vano mengatakan itu hanya spontan saja.Vano melirik Sabrina, lalu menjawab, “Kamu juga setuju, kan? Lalu kenapa sekarang tanya?”“Ya, aku hanya syok saja. Tidak menyangka kamu akan semudah itu bilang mau menikahiku,” balas Sabrina.“Aku serius mengatakan itu,” ucap Vano sambil merapikan perban yang baru saja selesai dipasang.Vano kini menatap Sabrina, memb
Sabrina mengajak Raditya duduk agar bisa mengobrol dengan nyaman. Vano juga ikut bersama keduanya tapi hanya menjadi pendengar saja.“Bagaimana kejadiannya sampai kamu diserang seperti itu?” tanya Raditya penasaran.Sabrina menceritakan dari awal dan akhir apa yang terjadi sampai membuatnya terluka.“Aku hanya masih nggak nyangka kalau dia masih dendam karena dulu aku kabur, Pa. Dia bilang dihajar habis-habisan dan ganti rugi, makanya begitu melihatku dia mau membawaku,” ujar Sabrina menjelaskan.“Dia sudah salah karena menjualmu, lalu dengan enaknya bilang dendam. Dia benar-benar harus diberi pelajaran!” geram Raditya karena pria itu sangat jahat.“Tapi Papa tidak usah terlalu cemas, sekarang pelakunya juga sudah ditangkap,” kata Sabrina menenangkan sang papa.Saat mereka masih mengobrol, terdengar suara bel yang membuat mereka menoleh ke pintu.“Biar aku lihat siapa yang datang,” kata Vano.Vano berdiri menuju pintu, lalu mel
Sabrina terbangun karena lapar. Dia melihat Vano yang baru saja masuk kamar. “Kamu sudah bangun.” Vano langsung mendekat ke ranjang. Sabrina hendak bangun tapi kesusahan karena lengannya sakit. Vano dengan sigap membantu, lalu memastikan Sabrina duduk dengan nyaman. “Aku lapar,” ucap Sabrina karena siang tadi belum makan dan sudah ada tragedi yang membuatnya terluka. “Untung saja aku pesan makanan. Baru saja sampai dan kamu bangun. Biar aku ambilkan ke sini,” kata Vano hendak berdiri. “Aku makan di luar saja, tidak nyaman makan di sini,” kata Sabrina bersiap turun dari ranjang. Vano langsung membantu Sabrina turun dari ranjang karena lengan Sabrina yang terluka tidak bisa dibuat banyak gerak. Vano benar-benar perhatian ke Sabrina. Dia berjalan sambil memperhatikan Sabrina agar tak jatuh, padahal Sabrina bisa berjalan dengan baik karena lengannya saja yang sakit bukan seluruh tubuh. Sabrina sudah duduk di kursi meja makan. Vano membuka pembungkus makanan, lalu mengambil