:-0
Begitu sampai di jalan tol Jagorawi, mobil Pak Akhtara tidak memilih jalur putar balik. Beliau tetap fokus mengemudi dan menambah kecepatan mobil.Aku menoleh jalur putar balik yang semakin menjauh lalu menatap Pak Akhtara. "Pak, kok kita lurus? Bukannya belok disitu tadi?" Tanyaku. Pak Akhtara tidak menoleh ke arahku. Beliau tetap fokus mengemudi dan berkata ..."Mending kamu duduk, diem. Nanti kamu bakal tahu kita mau kemana."Kemudian aku memilih duduk dan tidak bertanya lagi. Hubunganku dengan Pak Akhtara sedang tidak baik-baik saja, jadi .... lebih baik aku memainkan ponsel saja. Menit demi menit berlalu. Tidak kupungkiri bila perasaan takut mulai membayangi. Ingatan tentang ucapan Pak Akhtara dulu yang ingin memberikanku pada rekan relasi bisnisnya mulai mengusik pikiran.Bukankah beliau sudah puas menikmatiku dan telah memilih Merissa sebagai pelabuhan cintanya?Jika beliau sudah tidak membutuhkanku, bukankah tidak mungkin jika apa yang mengusik pikiranku bisa saja terjadi?T
"Ris, saya berangkat dulu ke Korea. Kamu handle tugas saya tiga hari ke depan.""Baik, Pak Akhtara.""Dan terima kasih karena udah mempersiapkan segala keperluan perjalanan saya sama Jihan. Tanpa kamu pasti saya keteteran.""Sama-sama, Pak. Kebetulan kopian data Bu Jihan masih ada sama saya."Memangnya apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang berduit seperti Pak Akhtara. Relasi Faris, asisten pribadinya, pasti merupakan kumpulan orang-orang ternama dengan jabatan mentereng. Memangnya apa yang tidak bisa dilakukan jika memiliki orang dalam?Usai menghubungi Faris, panggilan untuk check in tujuan Korean mulai terdengar. Pak Akhtara kemudian membuka kopernya dan mengambil dokumen keberangkatan kami untuk ditunjukkan pada petugas bandara."Pak, apa saya boleh tanya?" Tanyaku ketika kami berjalan bersisian dengan menggeret koper masing-masing. "Apa?"Tangan kami tidak bergandengan karena satu tangan Pak Akhtara digunakan untuk memegang dokumen penerbangan kami yang baru saja diverifikasi
"Nggak apa-apa, Pak. Saya juga pengen tahu kalian kalau ngobrol tuh kayak apa." Pak Akhtara mendengus geli sembari kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. "Saya nggak mau Merissa tahu saya ada dimana sekarang." Ucapan beliau membuat rasa penasaranku membumbung tinggi. "Jadi ... Merissa nggak tahu kalau Bapak sama saya ke Korea?" Bukannya menjawab, Pak Akhtara kembali merangkul pundakku dan berkata ... "Saya udah puasa beberapa minggu. Sekarang waktunya berbuka. Dan saya paling nggak suka kalau mau senang-senang lalu ada yang gangguin." Beliau kemudian menarik tanganku seenaknya. Lalu aku segera meraih paper bag berisi pakaian baruku yang beliau belikan tadi. Puasa? Berbuka? Apa maksudnya? "Lho? Bapak beberapa minggu ini puasa? Dari tadi belum berbuka?" Kemudian secara tidak sengaja aku melihat jam dinding di Lotte Word menunjukkan pukul sembilan malam. "Bapak beneran belum buka?" Tanyaku lagi. Seraya mengimbangi langkah lebar kaki beliau kelu
Ketika membuka mata, aku bertanya dalam hati.'Tempat apa ini?'Seingatku, kamar yang kutempati di rumah Pak Akhtara tidak memiliki tirai yang mengitari kasur. Dan plafon kamar berwarna coklat, bukan putih polos seperti ini. Lalu aku mencoba untuk duduk dari rebahan dan bertepatan dengan itu, tirainya tersingkap. Menampilkan Pak Akhtara dengan kemeja kerja yang masih melekat di tubuhnya.Mengapa beliau ada disini? Dan masih memakai pakaian kerja?"Pak?"Pak Akhtara kemudian kembali menutup tirai dan mengambil duduk di kursi dekat tempatku berbaring. Sambil bersedekap, kemudian beliau menatapku dengan sorot yang ... berbeda. Ada apa?Mengapa beliau menatapku seakan-akan aku baru saja melakukan kesalahan?Memangnya, apa salahku?Lalu mataku menatap nakas dan ranjang yang kududuki. Ternyata ini ranjang rumah sakit. "Kenapa saya di rumah sakit, Pak?" Tanyaku. "Kamu udah ngerasa lebih baik?"Bukannya menjawab pertanyaanku, beliau justru bertanya hal lain. "Iya."Kepalaku mengangguk sem
"Tinggal tunggu biusnya hilang, Pak Akhtara.""Makasih, Dokter Arman."Telingaku menangkap percakapan singkat itu berbarengan dengan kesadaran yang mulai kembali. Mataku masih kabur dan tubuhku masih lemas."Bu Jihan? Apa bisa dengar suara saya?"Itu suara perempuan yang tadi membantuku menaiki ranjang pesakitan sebelum dilakukan operasi. Dia juga terlihat berdiri di sebelah tempatku berbaring dengan siluet pandangan yang masih kabur.Namun aku belum bisa merespon pertanyaannya. Kedua mataku masih terbuka sedikit namun segala suara bisa kudengar."Gimana, Sus?" Itu suara dokter yang menanganiku."Masih belum sadar sepnuhnya, Dok.""Lima menit lagi. Tungguin aja sama dipantau.""Baik, Dok.""Mari, Pak Akhtara. Kita bicara di sebelah."Mau membicarakan apa mereka?Apakah operasi yang kulalui berjalan lancar?Menit demi menit akhirnya terlewati. Pandanganku mulai kembali jelas sedikit demi sedikit. Kepalaku bisa digerakkan ke kanan dan kiri perlahan. Pun dengan tangan yang mulai bisa kug
“Di rumah mau ada pesta.”Kepalaku mengangguk seraya menatap beliau.“Saya udah tahu. Mbak Mini yang bilang, Pak.”Pak Akhtara kemudian diam sejenak dengan wajah sedang memikirkan sesuatu.“Ehm … kayaknya … mending kamu di kamar aja, Han.”Mendengar hal itu, aku menjadi sangat penasaran. Mengapa Pak Akhtara tidak mengizinkanku untuk keluar dari kamar dan menampakkan diri sebagai istrinya?“Boleh saya tahu alasannya kenapa, Pak?”“Saya nggak mau hubungan kita memburuk karena memperdebatkan masalah ini, Han. Saya mau semuanya ngalir dulu.”Mendengar jawaban diplomatis Pak Akhtara, mendadak hatiku setuju saja. Juga, aku merasa yakin jika beliau sedang berusaha membawa hubungan pernikahan kami menuju ke arah yang lebih baik.Hingga sekelebat ucapan Imron, satpam rumah ini, membuatku kembali melayangkan pertanyaan untuk Pak Akhtara. Meski itu berlalu beberapa bulan lalu, namun anehnya mengapa aku bisa mengingatnya. “Pak, apa boleh saya tanya?”“Selama saya bisa jawab.”“Apa … pesta nanti b
“Lho?”Aku terkejut seraya menunjuk pada lelaki yang kini berdiri dekat kitchen set dapur rumah Pak Akhtara.“Lho? Mbak Jihan?”Dia pun terkejut sama denganku sembari menunjuk diriku.“Mas Rafqi … ikut pesta juga?” Tanyaku.Rafqi, lelaki yang pernah kutolong dengan menyimpan ponselnya saat di mall, itu kini berada di rumah Pak Akhtara.Kepalanya mengangguk dengan seulas senyum.“Iya. Lalu … Mbak Jihan sendiri … kok bisa disini?”Haruskah aku mengatakan padanya jika aku ini istri Pak Akhtara?Mau mengakui status, namun aku ingat ucapan Pak Akhtara yang seakan-akan tidak ingin mengenalkanku pada rekan-rekan bisnisnya. Jadi, aku memilih alasan …“Eh … aku pembantu di rumah ini, Mas.”Lebih baik mengalah dari pada Pak Akhtara kembali mengeluarkan taringnya karena pengakuanku tanpa seizinnya.Mbak Mini yang duduk di sebelahku langsung mengangkat kedua alisnya sembari menatapku. Pasalnya aku adalah istri majikannya tapi lebih memilih mengaku sebagai pembantu.Mbak Mini juga pasti ingat perte
Kepalaku dan Rafqi sama-sama menoleh ke asal suara. Dan yang datang adalah ...'Pak Akhtara!' Batinku terkejut.Seketika kedua mataku terbuka lebar dengan kedatangan beliau yang begitu mendadak ke dapur. Juga ... takut terkena getah amarahnya karena aku berani keluar dari kamar tanpa izin. Mau bagaimana lagi? Keduanya temannya yang tidak tahu diri itu memasuki kamarku. Menganggapku pembantu d rumah ini, mengusirku dari kamarku, dan ... bercumbu di sana. "Sorry, Tar. Gue di dapur. Nggak ikut gabung," Rafqi berucap tanpa turun dari duduknya. Sedang aku memilih langsung berdiri dari duduk dengan perasaan cemas dan ekspresi wajah yang mulai ketakutan. Kemudian Pak Akhtara melangkah mendekati kami dengan tatapan tajamnya yang dialamatkan padaku. Begitu sudah berdiri di dekat Rafqi, beliau melirik gelas berisi air hangat milik Rafqi yang berada dalam genggaman. "Ngapain lo nggak gabung sama yang lain, Raf?" Tanya Pak Akhtara."Kepala gue pusing, Tar.""Pusing?" Tanya Pak Akhtara dengan