:-0 Kalau hari ini Jihan ke Korea, author hari ini mau ke Semarang. Baru pulang senin. Maaf ya kalau besok nggak up. Tapi author usahakan tetap bisa nulis.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya juga pengen tahu kalian kalau ngobrol tuh kayak apa." Pak Akhtara mendengus geli sembari kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. "Saya nggak mau Merissa tahu saya ada dimana sekarang." Ucapan beliau membuat rasa penasaranku membumbung tinggi. "Jadi ... Merissa nggak tahu kalau Bapak sama saya ke Korea?" Bukannya menjawab, Pak Akhtara kembali merangkul pundakku dan berkata ... "Saya udah puasa beberapa minggu. Sekarang waktunya berbuka. Dan saya paling nggak suka kalau mau senang-senang lalu ada yang gangguin." Beliau kemudian menarik tanganku seenaknya. Lalu aku segera meraih paper bag berisi pakaian baruku yang beliau belikan tadi. Puasa? Berbuka? Apa maksudnya? "Lho? Bapak beberapa minggu ini puasa? Dari tadi belum berbuka?" Kemudian secara tidak sengaja aku melihat jam dinding di Lotte Word menunjukkan pukul sembilan malam. "Bapak beneran belum buka?" Tanyaku lagi. Seraya mengimbangi langkah lebar kaki beliau kelu
Ketika membuka mata, aku bertanya dalam hati.'Tempat apa ini?'Seingatku, kamar yang kutempati di rumah Pak Akhtara tidak memiliki tirai yang mengitari kasur. Dan plafon kamar berwarna coklat, bukan putih polos seperti ini. Lalu aku mencoba untuk duduk dari rebahan dan bertepatan dengan itu, tirainya tersingkap. Menampilkan Pak Akhtara dengan kemeja kerja yang masih melekat di tubuhnya.Mengapa beliau ada disini? Dan masih memakai pakaian kerja?"Pak?"Pak Akhtara kemudian kembali menutup tirai dan mengambil duduk di kursi dekat tempatku berbaring. Sambil bersedekap, kemudian beliau menatapku dengan sorot yang ... berbeda. Ada apa?Mengapa beliau menatapku seakan-akan aku baru saja melakukan kesalahan?Memangnya, apa salahku?Lalu mataku menatap nakas dan ranjang yang kududuki. Ternyata ini ranjang rumah sakit. "Kenapa saya di rumah sakit, Pak?" Tanyaku. "Kamu udah ngerasa lebih baik?"Bukannya menjawab pertanyaanku, beliau justru bertanya hal lain. "Iya."Kepalaku mengangguk sem
"Tinggal tunggu biusnya hilang, Pak Akhtara.""Makasih, Dokter Arman."Telingaku menangkap percakapan singkat itu berbarengan dengan kesadaran yang mulai kembali. Mataku masih kabur dan tubuhku masih lemas."Bu Jihan? Apa bisa dengar suara saya?"Itu suara perempuan yang tadi membantuku menaiki ranjang pesakitan sebelum dilakukan operasi. Dia juga terlihat berdiri di sebelah tempatku berbaring dengan siluet pandangan yang masih kabur.Namun aku belum bisa merespon pertanyaannya. Kedua mataku masih terbuka sedikit namun segala suara bisa kudengar."Gimana, Sus?" Itu suara dokter yang menanganiku."Masih belum sadar sepnuhnya, Dok.""Lima menit lagi. Tungguin aja sama dipantau.""Baik, Dok.""Mari, Pak Akhtara. Kita bicara di sebelah."Mau membicarakan apa mereka?Apakah operasi yang kulalui berjalan lancar?Menit demi menit akhirnya terlewati. Pandanganku mulai kembali jelas sedikit demi sedikit. Kepalaku bisa digerakkan ke kanan dan kiri perlahan. Pun dengan tangan yang mulai bisa kug
“Di rumah mau ada pesta.”Kepalaku mengangguk seraya menatap beliau.“Saya udah tahu. Mbak Mini yang bilang, Pak.”Pak Akhtara kemudian diam sejenak dengan wajah sedang memikirkan sesuatu.“Ehm … kayaknya … mending kamu di kamar aja, Han.”Mendengar hal itu, aku menjadi sangat penasaran. Mengapa Pak Akhtara tidak mengizinkanku untuk keluar dari kamar dan menampakkan diri sebagai istrinya?“Boleh saya tahu alasannya kenapa, Pak?”“Saya nggak mau hubungan kita memburuk karena memperdebatkan masalah ini, Han. Saya mau semuanya ngalir dulu.”Mendengar jawaban diplomatis Pak Akhtara, mendadak hatiku setuju saja. Juga, aku merasa yakin jika beliau sedang berusaha membawa hubungan pernikahan kami menuju ke arah yang lebih baik.Hingga sekelebat ucapan Imron, satpam rumah ini, membuatku kembali melayangkan pertanyaan untuk Pak Akhtara. Meski itu berlalu beberapa bulan lalu, namun anehnya mengapa aku bisa mengingatnya. “Pak, apa boleh saya tanya?”“Selama saya bisa jawab.”“Apa … pesta nanti b
“Lho?”Aku terkejut seraya menunjuk pada lelaki yang kini berdiri dekat kitchen set dapur rumah Pak Akhtara.“Lho? Mbak Jihan?”Dia pun terkejut sama denganku sembari menunjuk diriku.“Mas Rafqi … ikut pesta juga?” Tanyaku.Rafqi, lelaki yang pernah kutolong dengan menyimpan ponselnya saat di mall, itu kini berada di rumah Pak Akhtara.Kepalanya mengangguk dengan seulas senyum.“Iya. Lalu … Mbak Jihan sendiri … kok bisa disini?”Haruskah aku mengatakan padanya jika aku ini istri Pak Akhtara?Mau mengakui status, namun aku ingat ucapan Pak Akhtara yang seakan-akan tidak ingin mengenalkanku pada rekan-rekan bisnisnya. Jadi, aku memilih alasan …“Eh … aku pembantu di rumah ini, Mas.”Lebih baik mengalah dari pada Pak Akhtara kembali mengeluarkan taringnya karena pengakuanku tanpa seizinnya.Mbak Mini yang duduk di sebelahku langsung mengangkat kedua alisnya sembari menatapku. Pasalnya aku adalah istri majikannya tapi lebih memilih mengaku sebagai pembantu.Mbak Mini juga pasti ingat perte
Kepalaku dan Rafqi sama-sama menoleh ke asal suara. Dan yang datang adalah ...'Pak Akhtara!' Batinku terkejut.Seketika kedua mataku terbuka lebar dengan kedatangan beliau yang begitu mendadak ke dapur. Juga ... takut terkena getah amarahnya karena aku berani keluar dari kamar tanpa izin. Mau bagaimana lagi? Keduanya temannya yang tidak tahu diri itu memasuki kamarku. Menganggapku pembantu d rumah ini, mengusirku dari kamarku, dan ... bercumbu di sana. "Sorry, Tar. Gue di dapur. Nggak ikut gabung," Rafqi berucap tanpa turun dari duduknya. Sedang aku memilih langsung berdiri dari duduk dengan perasaan cemas dan ekspresi wajah yang mulai ketakutan. Kemudian Pak Akhtara melangkah mendekati kami dengan tatapan tajamnya yang dialamatkan padaku. Begitu sudah berdiri di dekat Rafqi, beliau melirik gelas berisi air hangat milik Rafqi yang berada dalam genggaman. "Ngapain lo nggak gabung sama yang lain, Raf?" Tanya Pak Akhtara."Kepala gue pusing, Tar.""Pusing?" Tanya Pak Akhtara dengan
Bukannya menjawab pertanyaan Pak Akhtara, aku justru menatap kedua bola matanya lekat dengan penuh keberanian. "Jihan!!!" Bentaknya. Sembari kedua tangannya mencengkeram erat kedua lenganku. Terasa sakit. Namun aku sudah terbiasa dengan luka fisik dan terlebih luka hati yang kerap beliau torehkan. Bahkan, jumlah luka itu jauh lebih banyak dari luka masa lalu yang pernah kuberikan pada beliau. Aku terus menatap kedua bola matanya yang makin lama makin menatapku tajam penuh kobaran emosi. Untuk apa beliau marah hanya karena aku berhubungan dengan Rafqi? Bukankah beliau sendiri juga sudah bahagia dengan adanya Merissa diantara kami? "Dimana tas yang Rafqi kasih?!" Tanyanya lagi dengan nada bicara yang rendah namun menusuk. Aku masih tetap diam tidak menjawab. Alasannya karena aku sudah lelah dan muak dengan sikap beliau yang terlalu diktator menghukumku tanpa melihat kebenarannya. "Kamu bisu, heh?!" Kepalaku menggeleng pelan dengan tetap menatap kedua matanya yang makin di
“Kalian berdua memang br***sek!”Tanpa menunggu mereka selesai berciuman, aku segera melangkah ke kamar. Untuk apa terus melihat tontonan yang hanya membuatku makin hancur tak karuan?Cukup sudah Pak Akhtara menghempaskan perasaanku! Hatiku benar-benar sakit!Dengan sedikit membanting pintu kamar, aku langsung menguncinya rapat-rapat. Dan tubuhku langsung merosot dibalik pintu hingga terduduk di lantai.Dinginnya lantai kamar benar-benar tidak bisa memadamkan api kecemburuan di hatiku. Dan ketika aku menatap ranjang kamar yang begitu berantakan, bekas pergumulan kami yang terjadi karena paksaan Pak Akhtara, makin menambah luka di hati.Lalu aku memeluk kedua lutut tanpa air mata yang mungkin telah mengering. Semua ini karena balas dendam Pak Akhtara yang tidak main-main menyakitkannya.Bayangan indah kami saat di Korea beberapa waktu lalu melintas di otakku. Namun aku segera menggelengkan kepala untuk mengusir kenangan indah yang mungkin hanya akan menjadi kenangan.Hatinya yang kala i
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang
POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr