"APA yang akan aku lakukan sekarang?"
Aku mengembuskan napas panjang, melemparkan dompetku ke atas meja, dan lantas menyandarkan punggung ke sofa.
Sial, benar-benar sial.
Jika aku tidak bisa pulang bulan depan, aku akan mati mengenaskan di tempat ini. Bukannya apa atau kenapa, hanya saja, lockdown mendadak dari pemerintah sejak satu minggu yang lalu sukses membuatku tidak berkutik.
Duduk diam di apartemen sempit dan berakhir mati kelaparan karena kehabisan uang. Aku hanya memindahkan beberapa dolar ke VISA sebelum terbang kemari, dan kalau keadaan seperti ini tetap berlanjut, mau diam atau keluar dari sini pun aku akan tetap mati.
"Kau terlihat sedih." Bahasa Jepang dengan aksen khas orang luar negeri menyahut.
"Berhentilah, Daniel, kau membuat mood-ku semakin buruk." Aku memejamkan mata, enggan menatap wajah menyebalkan yang menjadi tetangga sebelah kamar.
Sosok menyebalkan yang suka seenaknya masuk dan keluar apartemenku. Entah apa yang membuatnya merasa senang ketika menyusup rumahku, tapi ekspresinya memang selalu begitu, menyebalkan sekali, dan membuat semua kesialanku serasa bertambah hingga berkali-kali lipat.
"Kau kehilangan mood, karena tidak bisa keluar dari sini?"
"Kalau sudah tahu, jangan bertanya lagi."
Pria itu terkekeh. Dia berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahku. "Aku hanya ingin menabur garam di atas penderitaanmu."
"Sialan!" Aku meliriknya. "Sedang apa kau kemari?"
"Hn, melihat kondisimu. Apa kau masih bernapas atau tidak di tempat kecil ini."
Aku mendengkus. "Tempatmu sama kecilnya dengan tempat ini, jangan menghinaku." Aku menatapnya.
"Aku tidak menghina, tapi memang beginilah kenyataannya." Daniel menatap langit-langit ruangan. "Setelah ini, apa yang akan kau lakukan?"
"Apa? Kalau aku bisa pulang, aku akan pulang sekarang juga."
"Mustahil."
Aku mendengkus. "Aku tahu."
"Dan jangan coba-coba mencari jalan ilegal hanya untuk pulang. Sayangi nyawamu."
Aku tak kuasa mendengkus keras. "Mau tinggal atau pulang, aku tetap akan mati, Niel. Kau pasti mengerti itu. Dan lagi, kenapa kita harus tinggal di rumah hanya karena pembunuh berantai yang wujudnya saja tidak jelas begini? Harusnya kita melarikan diri, bukannya diam di rumah bagaikan hewan ternak yang siap dibunuh kapan saja."
Daniel melirikku, mata biru dengan rambut pirangnya benar-benar memperlihatkan bahwa dia orang asing, bahkan sebelum ia menyebutkan namanya. Aku dulu berasumsi dia berasal dari London atau benua Amerika, dan benar saja, dia memang berasal dari London.
Tiba-tiba saja, Daniel mendekatkan wajah, sontak aku menjaga jarak. Mata birunya menatapku tajam, entah mengapa tatapannya sedikit berbeda dari yang biasanya, tatapan kali ini terasa dingin dan mencekam.
Aku baru saja hendak bangkit, saat tangannya menarik tanganku hingga tubuhku terempas di sofa. Mataku melotot. Daniel menindih tubuhku, senyum di bibirnya teramat lebar layaknya seringai mengerikan.
"Kalau kau butuh sesuatu, mintalah padaku. Aku takkan membiarkanmu mati di tempat kecil ini, Alin."
Aku menelan ludah susah payah, terlebih saat kurasakan embusan napasnya di dekat daun telingaku.
"Jangan berpikir untuk pergi, tidak, Alin. Aku takkan membiarkannya, kau bisa mati jika berani meninggalkan Akita."
"Ck, menyingkir dariku, bodoh!" Aku mendorong Daniel dan berhasil, pria itu terkekeh kecil dan duduk di sebelahku setelah aku terduduk. "Lagipula, apa yang mengintai di luar sana? Kau pasti tahu sesuatu, kan?"
"Apa kau ingin mengetahuinya?"
Aku menatapnya penuh harap. "Apa boleh? Aku akan membantu kalian mengungkap misteri sialan ini, tapi sebagai gantinya, izinkan aku pergi secepatnya dari sini. Aku-"
"Berhenti berpikir untuk meninggalkanku." Daniel berdiri. "Aku takkan membiarkanmu pergi dari sini."
"Ck, kau tahu, Niel? Kau adalah orang paling menyebalkan yang pernah kutemui."
Daniel menatapku dengan senyuman miris. "Terima kasih telah memuji polisi rendahan sepertiku, Nona."
Dia benar, Daniel memang seorang polisi yang bekerja di divisi kejahatan. Namun, anehnya, dia jarang masuk kantor polisi dan lebih sering masuk ke rumahku.
Bahkan, aku meragukan jika dia benar-benar polisi. Mengingat tindakannya yang kurang sopan, juga ... karena aku belum pernah melihatnya memakai pakaian polisi, aku ragu dia benar-benar seorang polisi.
____
DANIEL memejamkan mata. "Mungkin, aku sedikit berlebihan."Dia membuka pintu unit apartemennya. Aroma asing lantas membuatnya mengernyit. Dia melirik pintu dan mendapati engselnya telah bergeser dari tempat asalnya.Matanya menatap waspada. Daniel menelisir sekitar ruangan dan sosok pria bermata sipit dengan seragam kebanggaannya terlihat oleh netra birunya. Daniel menghela napas kasar, matanya memejam."Kau berlebihan, Shin.""Hm."Shinji Akira, salah seorang petinggi kepolisian di Akita. Lelaki berusia tiga puluh tahun yang terkenal dengan prestasi hebatnya dalam memecahkan masalah. Otaknya yang licik, cenderung manipulatif, dan ia tanpa ragu melakukan pekerjaan kotor jika diperlukan, membuatnya menjadi salah satu sosok paling menakutkan di sana."Aku kemari untuk mengorek semua informasi yang kau miliki, Pangeran."Daniel mendengkus, kakinya m
"APA tidak apa-apa kita keluar seperti ini?" tanyaku pada gadis Jepang yang sangat manis.Dia ini tipe waifu ideal bagi anak-anak otaku. Tubuhnya ramping, kulit wajahnya mulus, dengan rambut lurus panjang sepunggung berwarna hitam, matanya yang sipit berwarna senada, dan jangan lupakan senyumannya.Aku bahkan sampai ragu, jika sampai sekarang dia masih menjomlo."Hm, benar juga." Yuki berhenti melangkah, matanya menatapku. "Tempat tinggal Onee-chan ada di mana?"Aku tersenyum. "Di sebelah unit apartemen polisi rendahan satu itu."Aku mendengkus, benar-benar tidak yakin dia seorang polisi rendahan. Apa jangan-jangan dia membohongiku? Demi men
"VAMPIR itu ada dan aku salah satu dari mereka."Daniel hanya memikirkan cara ini agar mereka bisa mempercayai kata-katanya, tapi sepertinya, cara ini saja tidak akan cukup."Ma-matamu ... berubah warna." Rieki kesulitan mengutarakan kalimat.Daniel tersenyum tipis, manusia biasa tidak akan mungkin bisa mengubah warna iris matanya."Kau punya penyakit, Tuan? Apa itu namanya ... sindrom wesdeburg, apa, ya?" ujar Rieki lagi."Sindrom Waardenburg," ralat Shinji. Namun, matanya memperhatikan Daniel dengan sangat baik. "Tapi kurasa, dia tidak memiliki penyakit langka itu."Daniel tersenyum miring. "Aku abadi, aku tidak bisa mati apalagi sakit. Aku vampir, kau bisa menyadarinya, kan?"
SHINJI dan temannya telah keluar dari apartemen Daniel saat kami sampai. Ekspresi laki-laki bertopi itu terlihat buruk, wajahnya yang merah, bibirnya yang pucat, dan tatapannya yang sayu membuatku iba."Kau kenapa?" tanyaku seraya mendekat, tapi Yuki ternyata ikut melangkah di sampingku."Apa yang terjadi?" tanya Yuki serius."Ah ... tidak apa-apa, aku hanya membayangkan sesuatu yang menjijikkan."Shinji dan Daniel tersenyum miring."Kalian yang membuatnya seperti ini? Tega sekali," komentarku."Kau salah sangka, Alin. Aku tak melakukan apa pun," sangkal Daniel cepat-cepat."Benarkah?" Aku semakin curiga. Pasti dia telah melakukan sesuatu sampai laki-laki itu menjadi begitu."Dia bohong." Shinji bersiul pelan, tangannya masuk ke saku celana, sedang kepalanya mendongak. "Yuki, Rieki, ayo kita pulang, sepertinya Daniel ingin berduaa
MALAM ini terasa begitu dingin. Bahkan untuk seorang vampir seperti Daniel, ia merasakan dingin itu memasuki tubuh dan mulai memeluk relung hatinya. Daniel juga merasakan firasat buruk yang sejak tadi terus mengganggu, seperti tengah mengintai mereka.Daniel melirik Alin yang tertidur lelap di atas ranjang. Pria itu ingin pergi, tapi ia merasa enggan. Ada sedikit ketakutan meninggalkan Alin malam ini, tapi ada rasa penasaran yang membuatnya harus segera pergi.Daniel melompat, dia berdiri di atas pagar pembatas balkon, sedang wajahnya menghadap bulan purnama yang berwarna merah."Malam yang begitu sempurna," ujarnya bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi.Daniel tidak suka memakai ponsel, tapi ia memang memilikinya. Dia bahkan jarang mengeluarkan benda itu, karena tak ada seorang pun yang akan menghubunginya, kecuali satu orang ... Shinji Akira."Apakah sudah ada perkembanga
UNTUK pertama kalinya setelah tinggal beberapa hari di sini, aku bisa bangun siang. Biasanya Daniel akan membangunkanku—lebih tepatnya mengganggu tidur dan memaksa untuk segera memasak sarapan untuk kami berdua.Namun, entah apa yang terjadi dengannya pagi ini. Dia tidak muncul sama sekali. Aku berniat mencarinya setelah memasak dan mandi, tetapi niatku urung saat bel apartemen berbunyi, tepat setelah aku selesai mengenakan pakaian ganti."Fukumi-san, doushita?"Fukumi mengulum senyum, dia menyodorkan sebuah kantung plastik padaku. "Untuk sarapanmu.""Harusnya, kau tidak perlu repot-repot." Aku tetap menerima pemberian darinya, karena memang Fukumi adalah orang yang baik. Bukan hanya kali ini dia berbagi sarapan denganku maupun Daniel, tapi sudah beberapa kali."Daniel ... apa kau melihatnya?"Aku menggeleng. Jujur saja, tidak melihatnya di pag
DANIEL kehilangan semua rencana awalnya setelah apa yang terjadi tadi malam. Mata pria itu terpejam, kepalanya masih terngiang-ngiang oleh kalimat yang dilontarkan salah seorang vampir yang nyaris ia tangkap hidup-hidup."Daniel!" panggilan itu membuatnya menoleh. "Kau tidak mau mengganti pakaian sebelum pulang?"Daniel menatap pakaiannya semalam yang kini dipenuhi bercak darah mengering. Darah dari para vampir yang ia bunuh dengan kedua tangannya sendiri. Ia masih ingat, bagaimana kuku-kuku tajamnya menembus dada mereka dan meraup jantung vampir yang hanya bisa membelalak menatapnya."Tidak.""Kau tidak takut ... Alin akan mencurigaimu?"Daniel terdiam. Dia tidak mau Alin tahu, tapi sampai kapan semua ini akan berlangsung? Sampai kapan ia harus menyembunyikan identitasnya dari wanita itu?"Itu bisa kupikirkan nanti."Daniel bangkit, dia sudah me
AKU terkejut setengah mati saat memasuki kamar. Di atas ranjang, Daniel tengkurap dengan kemeja putih yang dipenuhi darah. Aku segera berlari mendekat, menatap wajah Daniel yang kini terlihat sangat pucat."Daniel ... apa yang terjadi padamu?"Apa yang terjadi dengannya? Kenapa pakaiannya dipenuhi bercak darah? Apakah dia terluka?Aku menyentuh kemejanya. Darahnya sudah mengering, sepertinya luka semalam. Namun, apa benar dia terluka? Lalu, kenapa dia bisa sampai ke kamarku? Dan dari mana dia datang?Sejak tadi aku berada di ruangan depan, berbicara dengan Fukumi, harusnya, ia akan bertamu melalui pintu depan, kan?Aku mengusap pipinya. Dingin, tubuhnya sangat dingin. Aku mendekatkan wajahku ke hadapan wajahnya. Masih ada embusan napas, dia masih hidup, tapi kenapa tubuhnya ... dingin sekali."Apa yang telah terjadi