"VAMPIR itu ada dan aku salah satu dari mereka."
Daniel hanya memikirkan cara ini agar mereka bisa mempercayai kata-katanya, tapi sepertinya, cara ini saja tidak akan cukup.
"Ma-matamu ... berubah warna." Rieki kesulitan mengutarakan kalimat.
Daniel tersenyum tipis, manusia biasa tidak akan mungkin bisa mengubah warna iris matanya.
"Kau punya penyakit, Tuan? Apa itu namanya ... sindrom wesdeburg, apa, ya?" ujar Rieki lagi.
"Sindrom Waardenburg," ralat Shinji. Namun, matanya memperhatikan Daniel dengan sangat baik. "Tapi kurasa, dia tidak memiliki penyakit langka itu."
Daniel tersenyum miring. "Aku abadi, aku tidak bisa mati apalagi sakit. Aku vampir, kau bisa menyadarinya, kan?"
"Hm."
Shinji terdiam, kemudian kepalanya menatap langit-langit. Dia sedang duduk di sofa dan menyaksikan kegilaan Daniel yang kini duduk di atas meja kaca di ruangan tamu.
"Jadi, vampir benar-benar ada?" ulang Rieki, seraya mengambil buku catatannya. Daniel bisa menilai jika Rieki adalah orang yang akan bekerja keras demi apa pun.
"Kau masih ragu? Apa kau perlu bukti lain?" tanya Daniel sekali lagi.
Shinji melirik Daniel dengan malas, dia sudah cukup percaya, lantaran Daniel tidak memiliki motif apa pun untuk membohonginya. Namun, entah kenapa ... dia masih tidak bisa menerima jika makhluk immortal itu ternyata benar-benar ada.
"Apa kau punya benda tajam, Rieki?" Daniel mengulurkan tangan.
"Untuk apa?"
Shinji menatap Daniel sekali lagi, mata merah pria itu dan juga gigi taring yang tiba-tiba keluar membuatnya takut. Tatapannya yang tajam dan mengintimidasi pun berhasil membuat nyalinya menciut.
Shinji menghela napas kasar, sejak menjadi polisi beberapa tahun yang lalu, dia yakin telah membuang semua rasa takutnya. Namun, kali ini, Daniel berhasil mengembalikan perasaan menjijikkan itu padanya.
"Aku hanya punya pistol dan pisau," ujar Rieki, seraya mengeluarkan pisau lipat dari sakunya.
"Aku akan membuktikan sesuatu pada kalian."
"Membuktikan apa lagi?" tanya Shinji malas-malasan.
Daniel tersenyum miring. Senyuman mengerikan yang membuat Rieki maupun Shinji hanya bisa menahan rasa takutnya dalam benak.
Daniel membuka lipatan pisau, kemudian memotong tangan kirinya sendiri hingga darah bercucuran. Rieki dan Shinji lantas melotot, bahkan Rieki terlihat panik karena ia lantas berdiri.
"Apa yang kau lakukan, Tuan? Apa itu tidak sakit? Di mana kotak ob—"
Rieki mengangakan mulut saat melihat luka itu teregenerasi dengan perlahan. Bagaikan waktu yang diputar ulang, darah itu pun kembali ke tempat asalnya.
"Apakah aku sedang bermimpi?" tanyanya, seraya mengucek kedua bola matanya menggunakan tangan.
"Kau tidak bermimpi, ini kenyataan yang akan kalian hadapi."
Untuk pertama kalinya setelah Shinji menjabat sebagai petinggi polisi di Akita, pria itu mendesah kasar. "Mimpi buruk apa ini? Bagaimana caraku mengatasi teror mengerikan ini?"
"Bagaimana?" ulang Daniel tidak mengerti maksud kata-kata pria yang sebulan lalu berteman dengannya.
"Iyalah bagaimana!" Nada suara Shinji meninggi. "Kau abadi, jika maksudmu menunjukkan semua ini, karena kau ingin memberitahu bahwa dalang dari kejadian selama ini adalah makhluk sepertimu, lalu bagaimana cara kami bisa mengatasinya? Kami tidak akan bisa membunuh vampir!"
Daniel terdiam, mulutnya terkatup rapat. Manusia tidak akan bisa membunuh vampir tanpa bekal yang cukup. Namun, keberadaannya di sana untuk membantu manusia. Walau itu berarti, ia akan membongkar kelemahannya sendiri pada mereka.
"Tunggu, bukannya vampir takut sinar matahari, ya?"
Daniel tersenyum miring. "Itu kenapa mereka melakukan teror di waktu malam."
"Ck, kita akan menangkap mereka dan menjemurnya sampai hilang!"
Daniel lantas terbahak-bahak mendengar usulan bodoh dari anak buah Shinji. Rieki terlalu naif. Jika vampir bisa mati karena sinar matahari, itu pun ada waktu yang sangat lama. Namun sebelum itu ....
"Memangnya, bagaimana caramu menangkap mereka?"
Rieki terdiam.
"Sebelum kau menangkap mereka, kau akan dihisap hidup-hidup dan kehilangan kesadaran, itu adalah efek yang paling ringan. Efek paling fatal karena kehabisan darah, tentu saja, kematian."
Rieki menundukkan kepala, wajah murungnya menjelaskan semuanya.
"Lalu, bagaimana manusia bisa menghadapi semua ini? Kenapa hanya di Jepang, kenapa tidak sampai di negara luar?" Shinji mengacak-acak rambutnya yang selalu tertata rapi karena saking frustrasi.
"Aku tidak tahu, tapi yang jelas, pelaku lebih dari satu."
"Lebih dari satu vampir? Satu vampir saja bisa membuatku gila!" Shinji tiba-tiba terdiam. "Kau juga vampir, apa kau mengenal pelakunya?"
Daniel memejamkan mata. "Ini hanya asumsi, tapi yang bisa mengubah manusia menjadi vampir hanyalah vampir sekelas kaum bangsawan."
"Maksudmu?"
"Sepupuku, Carlos. Namun, aku tidak tahu dia berada di mana sekarang. Aromanya tidak bisa kutemukan, tapi jelas dia ada di Jepang, karena dia memang mau menetap di negara ini cukup lama."
Shinji terdiam. "Kenapa kau bilang mengubah manusia menjadi vampir? Memangnya, kaum vampir lainnya tidak ada di sini?"
Daniel menggeleng. "Ada beberapa, tapi kuyakin mereka tidak akan sebodoh itu untuk memulai teror. Jelas-jelas yang membunuh manusia setiap malam hanyalah vampir bodoh yang kehausan. Sedangkan vampir yang telah mengerti alur hidup dunia ini, mereka akan mencari cara lain agar bisa hidup tanpa membunuh manusia."
"Ck!" Shinji berdecak. "Lantas, bagaimana cara kita mengatasi vampir-vampir itu? Jika mereka abadi, lalu bagaimana cara kami menyelesaikan semua ini? Kami tidak bisa membiarkan mereka terus berkeliaran dan membunuh setiap malam. Daniel, kau pasti tahu sesuatu, kan?"
"Vampir memang abadi, tapi mereka bukan kadal."
"Maksudmu?" Shinji mengernyitkan dahi.
"Tangan yang putus takkan bisa kembali lagi, jika bagiannya tidak ada. Hanya ada satu cara membunuh vampir yang bisa manusia lakukan."
"APA?" tanya Shinji maupun Rieki kompak.
"Putuskan leher mereka dan pisahkan dari tubuhnya atau ambil jantungnya lalu bakar."
Shinji terdiam, Rieki langsung muntah. Membayangkan memutus leher vampir menggunakan pedang dan melihat darah-darah itu bercucuran, lalu menyimpan kepala tanpa badan itu di suatu tempat.
"Hueekkk!!!"
"Keraguanmu hanya akan membuat semakin banyak korban berjatuhan, sedang keberanianmu akan menyelamatkan beberapa orang. Apa yang akan kau pilih adalah apa yang bisa kau lakukan, semuanya tergantung pada seberapa beraninya kamu membunuh mereka."
Shinji memejamkan matanya. Dengan kata lain, tidak ada pilihan lain selain berperang melawan teror mengerikan itu sendiri.
"Apa kau mau membantu?"
Daniel tersenyum tipis. "Aku akan membantu kalian mengurus Carlos, karena dia takkan mungkin bisa kau lawan seorang diri."
"Terima kasih, untuk sementara, aku akan menampung semua ini dan mulai melacak, di mana peristiwa itu akan terjadi lagi."
------
Mau muntah :'(
SHINJI dan temannya telah keluar dari apartemen Daniel saat kami sampai. Ekspresi laki-laki bertopi itu terlihat buruk, wajahnya yang merah, bibirnya yang pucat, dan tatapannya yang sayu membuatku iba."Kau kenapa?" tanyaku seraya mendekat, tapi Yuki ternyata ikut melangkah di sampingku."Apa yang terjadi?" tanya Yuki serius."Ah ... tidak apa-apa, aku hanya membayangkan sesuatu yang menjijikkan."Shinji dan Daniel tersenyum miring."Kalian yang membuatnya seperti ini? Tega sekali," komentarku."Kau salah sangka, Alin. Aku tak melakukan apa pun," sangkal Daniel cepat-cepat."Benarkah?" Aku semakin curiga. Pasti dia telah melakukan sesuatu sampai laki-laki itu menjadi begitu."Dia bohong." Shinji bersiul pelan, tangannya masuk ke saku celana, sedang kepalanya mendongak. "Yuki, Rieki, ayo kita pulang, sepertinya Daniel ingin berduaa
MALAM ini terasa begitu dingin. Bahkan untuk seorang vampir seperti Daniel, ia merasakan dingin itu memasuki tubuh dan mulai memeluk relung hatinya. Daniel juga merasakan firasat buruk yang sejak tadi terus mengganggu, seperti tengah mengintai mereka.Daniel melirik Alin yang tertidur lelap di atas ranjang. Pria itu ingin pergi, tapi ia merasa enggan. Ada sedikit ketakutan meninggalkan Alin malam ini, tapi ada rasa penasaran yang membuatnya harus segera pergi.Daniel melompat, dia berdiri di atas pagar pembatas balkon, sedang wajahnya menghadap bulan purnama yang berwarna merah."Malam yang begitu sempurna," ujarnya bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi.Daniel tidak suka memakai ponsel, tapi ia memang memilikinya. Dia bahkan jarang mengeluarkan benda itu, karena tak ada seorang pun yang akan menghubunginya, kecuali satu orang ... Shinji Akira."Apakah sudah ada perkembanga
UNTUK pertama kalinya setelah tinggal beberapa hari di sini, aku bisa bangun siang. Biasanya Daniel akan membangunkanku—lebih tepatnya mengganggu tidur dan memaksa untuk segera memasak sarapan untuk kami berdua.Namun, entah apa yang terjadi dengannya pagi ini. Dia tidak muncul sama sekali. Aku berniat mencarinya setelah memasak dan mandi, tetapi niatku urung saat bel apartemen berbunyi, tepat setelah aku selesai mengenakan pakaian ganti."Fukumi-san, doushita?"Fukumi mengulum senyum, dia menyodorkan sebuah kantung plastik padaku. "Untuk sarapanmu.""Harusnya, kau tidak perlu repot-repot." Aku tetap menerima pemberian darinya, karena memang Fukumi adalah orang yang baik. Bukan hanya kali ini dia berbagi sarapan denganku maupun Daniel, tapi sudah beberapa kali."Daniel ... apa kau melihatnya?"Aku menggeleng. Jujur saja, tidak melihatnya di pag
DANIEL kehilangan semua rencana awalnya setelah apa yang terjadi tadi malam. Mata pria itu terpejam, kepalanya masih terngiang-ngiang oleh kalimat yang dilontarkan salah seorang vampir yang nyaris ia tangkap hidup-hidup."Daniel!" panggilan itu membuatnya menoleh. "Kau tidak mau mengganti pakaian sebelum pulang?"Daniel menatap pakaiannya semalam yang kini dipenuhi bercak darah mengering. Darah dari para vampir yang ia bunuh dengan kedua tangannya sendiri. Ia masih ingat, bagaimana kuku-kuku tajamnya menembus dada mereka dan meraup jantung vampir yang hanya bisa membelalak menatapnya."Tidak.""Kau tidak takut ... Alin akan mencurigaimu?"Daniel terdiam. Dia tidak mau Alin tahu, tapi sampai kapan semua ini akan berlangsung? Sampai kapan ia harus menyembunyikan identitasnya dari wanita itu?"Itu bisa kupikirkan nanti."Daniel bangkit, dia sudah me
AKU terkejut setengah mati saat memasuki kamar. Di atas ranjang, Daniel tengkurap dengan kemeja putih yang dipenuhi darah. Aku segera berlari mendekat, menatap wajah Daniel yang kini terlihat sangat pucat."Daniel ... apa yang terjadi padamu?"Apa yang terjadi dengannya? Kenapa pakaiannya dipenuhi bercak darah? Apakah dia terluka?Aku menyentuh kemejanya. Darahnya sudah mengering, sepertinya luka semalam. Namun, apa benar dia terluka? Lalu, kenapa dia bisa sampai ke kamarku? Dan dari mana dia datang?Sejak tadi aku berada di ruangan depan, berbicara dengan Fukumi, harusnya, ia akan bertamu melalui pintu depan, kan?Aku mengusap pipinya. Dingin, tubuhnya sangat dingin. Aku mendekatkan wajahku ke hadapan wajahnya. Masih ada embusan napas, dia masih hidup, tapi kenapa tubuhnya ... dingin sekali."Apa yang telah terjadi
DANIEL berhasil menghentikan diri tepat pada waktunya. Pria itu bangkit, duduk di sebelah tubuh Alin yang tak tertutupi sehelai benang pun. Jemarinya bergerak menyentuh kulit wajah Alin yang kini terlihat pucat pasi."Apakah aku terlalu berlebihan?"Daniel menghela napas kasar. Matanya memejam, mengingat beberapa saat lalu mereka bercinta panas, lalu kemudian, ia menggigit Alin dan mengisap banyak darah, membuat Daniel harus segera membuat keputusan.Alin akan takut padanya ketika ia sadar nanti. Bahkan, mungkin saja wanita itu akan membencinya, menolak keberadaannya.Vampir tidak seharusnya ada di antara manusia. Mereka makhluk yang takkan bisa hidup berdampingan dengan manusia. Itu mengapa, selama ini ia mengurung diri di kamarnya.Namun, ketika ia memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya, pertemuannya dengan Alin dan interaksi mereka berhasil membuat Daniel mengi
"AKU ingin tahu apa yang terjadi denganmu. Kau ... tidak terluka parah, kan?"Daniel berhenti, mata biru safirnya menatap lurus mataku. "Menurutmu?""Menurutku tidak, tapi kenapa pakaianmu dipenuhi bercak darah?"Walaupun tahu, pertanyaanku hanya akan dianggap angin lalu, tapi aku tetap ingin mengatakannya. Aku ingin mengetahui, apa saja yang telah terjadi padanya semalam, hingga membuat pakaiannya menjadi seperti itu.Daniel memejamkan mata. Aku menyentuhkan jemari ke pipi Daniel bersama dengan matanya yang kembali terbuka lebar. Warna biru safir yang selama ini kukagumi perlahan berubah warna menjadi merah.Sama seperti saat ia akan memasuki klimaks tadi, matanya berubah warna menjadi merah.Ini nyata.Aku tidak sedang berhalusinasi."Kau bisa me
"SIALAN!"Daniel langsung menangkup pipi Alin dan membawa wajah wanita itu untuk terus menatapnya, lantas ia mengecup bibir ranum milik Alin.Sialan! Mereka akan mencapai puncak kenikmatan, tapi mengapa ponselnya malah berdering di saat yang tidak tepat!Shinji sialan!Daniel memaki dalam hati sembari berusaha mengais-ngais sisa berahi di antara mereka. Alin jelas-jelas kehilangan fokus, tapi Daniel tetap berusaha mendapatkannya kembali. Ia akan memberikan kenikmatan itu pada wanita yang diam-diam mencuri hatinya."Niel, ponselmu ... ahhh!""Abaikan," gumam Daniel sembari mengerang.Pria itu terus menggerakkan pinggulnya dengan lebih cepat, membuat tubuh Alin ikut bergerak seirama dengan gerakan tubuhnya.Ponsel Daniel berhenti bernyanyi. Pria itu sedikit lega, tapi tak lama, karena dering ponselnya kembali mengganggu akt