SHINJI dan temannya telah keluar dari apartemen Daniel saat kami sampai. Ekspresi laki-laki bertopi itu terlihat buruk, wajahnya yang merah, bibirnya yang pucat, dan tatapannya yang sayu membuatku iba.
"Kau kenapa?" tanyaku seraya mendekat, tapi Yuki ternyata ikut melangkah di sampingku.
"Apa yang terjadi?" tanya Yuki serius.
"Ah ... tidak apa-apa, aku hanya membayangkan sesuatu yang menjijikkan."
Shinji dan Daniel tersenyum miring.
"Kalian yang membuatnya seperti ini? Tega sekali," komentarku.
"Kau salah sangka, Alin. Aku tak melakukan apa pun," sangkal Daniel cepat-cepat.
"Benarkah?" Aku semakin curiga. Pasti dia telah melakukan sesuatu sampai laki-laki itu menjadi begitu.
"Dia bohong." Shinji bersiul pelan, tangannya masuk ke saku celana, sedang kepalanya mendongak. "Yuki, Rieki, ayo kita pulang, sepertinya Daniel ingin berduaan dengan kekasihnya."
"Apa maksudmu?" tanya Daniel tak mengerti, tapi Shinji telah melangkah pergi disusul Yuki serta pria bernama Rieki yang masih kesulitan mengendalikan mimik wajahnya.
"Jadi, apa yang sudah kalian bicarakan dan apa yang kau perbuat padanya?" tanyaku setelah tiga orang tamu itu pergi dari sana.
"Hm ...." Daniel membuka mulut, tapi tak ada suara apa pun yang keluar dari mulutnya. Bibirnya kembali terkatup, lalu terbuka lagi, tapi tetap tidak ada suara.
"Kalian sedang apa di sana?"
Kepala kami sontak menoleh. Seorang pria berkemeja dengan celana bahan berwarna hitam menatap kami penasaran.
"Ah, tidak, kami hanya sedang—"
"Sedang bicara sebentar. Kau baru pulang bekerja?"
Aku menatap Daniel tajam. Bukannya semua kantor diliburkan, lalu, apa maksud pertanyaannya itu? Aku mendengkus keras.
Sejak adanya pembunuh berantai sialan, semuanya harus mengunci diri di rumah, dilarang keluar tanpa kepentingan serius, bahkan bekerja pun dilarang. Itu sebabnya, aku pernah bilang, mau keluar atau tidak, kita akan tetap mati juga.
Pemerintah memang menjanjikan uang ganti rugi, tapi jelas-jelas, uang itu takkan berlaku bagi orang sekelas aku dan Daniel. Karena kedatangan kami kemari bukan untuk menetap, bekerja, melainkan hanya berlibur dan melepas penat.
"Ah ... tidak, aku baru pulang belanja." Dia menunjukkan kantung di tangannya. "Kalau begitu, aku masuk dulu, ya?"
Namanya Fukumi, dia tetangga di sebelah apartemen Daniel. Orangnya cukup ramah, tapi juga pendiam, dan hal itu membuatnya jadi terlihat misterius.
"Kau sudah makan?" tanya Daniel kemudian.
Aku melirik jam dinding di koridor. Sebentar lagi malam dan waktunya makan. Aku harus memasak sesuatu, tapi sebelum itu aku ingin mandi dulu.
"Kau sendiri? Apa kau mau makan malam bersamaku?"
"Boleh juga."
"Baiklah, sekarang kau mandi dulu!" Aku mendorong tubuhnya untuk segera memasuki unitnya sendiri.
"Kenapa kau menyuruhku mandi?" Daniel mencium bau tubuhnya sendiri sembari melirikku. "Aku tidak sebusuk itu, kan?"
"Mandi saja, aku juga mau mandi dulu baru akan memasak."
Aku melangkah mendahuluinya dan masuk ke unit apartemenku sendiri. Toh, diundang atau tidak, Daniel pasti akan menyusup kemari. Terutama di jam-jam makan seperti ini.
***
Baru saja selesai berendam, aku dikejutkan oleh kehadiran Daniel di kamarku. Dia duduk di atas ranjang, tatapannya terarah padaku, sedang tangannya memegangi ponsel yang baru kulihat hari ini.
Walaupun hidup di zaman modern, tapi Daniel tidak terlalu suka dengan benda persegi empat itu. Karena aku nyaris tidak pernah melihatnya memegang ponsel untuk menghubungi orang lain.
"Baru selesai mandi?" tanyanya.
Aku lantas memegangi handuk agar tidak merosot dan memperlihatkan aset berharga milikku padanya. Daniel tersenyum tipis, dia bangkit dan berjalan mendekat tanpa ragu. Matanya bahkan serasa menelanjangiku.
"Aku sudah memasak untukmu."
Dahiku mengernyit. "Sejak kapan kau bisa memasak?"
Daniel membuang muka. "Aku tadi beli, sekalian belanja."
Oh, jadi begini tingkahnya kalau dia sedang salah tingkah?
Namun, kurasa dia pria yang cukup jujur. Lalu, kenapa ia menyembunyikan informasi yang ia ketahui dariku? Apakah ada masalah jika sampai aku mengetahui informasinya tersebut?
"Kau tidak mau memakai baju? Apa kau menungguku memakaikan baju itu untukmu?"
Mataku melotot. Segera saja aku berbalik menuju lemari dan mencari pakaian ganti. Daniel hanya diam di tempat ia berdiri, walau matanya terus menatapku tanpa henti, tapi ia tak melangkahkan kakinya sama sekali.
"Bisakah kau keluar dari sini?"
"Tidak."
Aku mendesah kasar dan meninggalkannya menuju kamar mandi. Aku tidak mungkin mengganti baju di kamar dan membiarkan pria mesum itu menatap tubuh polosku dengan gratis.
Aku tidak terkejut Daniel ada di tempat tidurku, karena biasanya memang begitu. Toh, setelah makan dia akan kembali ke unit apartemennya tanpa perlu diusir dengan cara yang kasar.
Namun, memang, kehadirannya di waktu-waktu yang terlalu pas kadang membuatku curiga. Apa ia memiliki kamera pengawas yang dipasang di sudut ruangan apartemenku ini?
****
Makan bersama di apartemenku sudah seperti agenda wajib untuk Daniel. Entah aku yang memasak makanan biasa atau dia yang membeli makanan dari restoran mewah yang sengaja tetap buka. Namun, kami tetap makan berdua di tempat ini.
Setelah makan, dia akan pergi tanpa permisi dan meninggalkanku seorang diri.
Aku mendesah kasar seraya membereskan piring-piring kotor kemudian membawanya ke wastafel. Mencuci piring kemudian meletakkan piring itu ke tempatnya, sudah seperti agenda wajib yang mulai terasa membosankan.
Aku membuka kulkas untuk mengambil air dingin, tapi saat melihat kulkas yang harusnya kosong-melompong kini berisikan banyak bahan makanan membuatku terkejut.
"Siapa yang mengisi kulkasku?"
Ada daging segar dalam kemasan, beberapa kemasan sayur, dan telur. Setidaknya, ini semua cukup untuk makan seminggu lebih.
"Aku."
Aku menoleh. Daniel berdiri di belakangku dengan pakaiannya yang baru. Aroma wangi yang menguar dari tubuhnya jelas-jelas menunjukkan bahwa ia baru saja selesai mandi.
"Aku sudah mengatakannya padamu, kan? Aku takkan membuatmu mati kelaparan di tempat ini, Alin. Aku akan menjagamu dengan baik."
Dan untuk pertama kalinya, aku bersyukur telah mengenal Daniel.
_____
MALAM ini terasa begitu dingin. Bahkan untuk seorang vampir seperti Daniel, ia merasakan dingin itu memasuki tubuh dan mulai memeluk relung hatinya. Daniel juga merasakan firasat buruk yang sejak tadi terus mengganggu, seperti tengah mengintai mereka.Daniel melirik Alin yang tertidur lelap di atas ranjang. Pria itu ingin pergi, tapi ia merasa enggan. Ada sedikit ketakutan meninggalkan Alin malam ini, tapi ada rasa penasaran yang membuatnya harus segera pergi.Daniel melompat, dia berdiri di atas pagar pembatas balkon, sedang wajahnya menghadap bulan purnama yang berwarna merah."Malam yang begitu sempurna," ujarnya bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi.Daniel tidak suka memakai ponsel, tapi ia memang memilikinya. Dia bahkan jarang mengeluarkan benda itu, karena tak ada seorang pun yang akan menghubunginya, kecuali satu orang ... Shinji Akira."Apakah sudah ada perkembanga
UNTUK pertama kalinya setelah tinggal beberapa hari di sini, aku bisa bangun siang. Biasanya Daniel akan membangunkanku—lebih tepatnya mengganggu tidur dan memaksa untuk segera memasak sarapan untuk kami berdua.Namun, entah apa yang terjadi dengannya pagi ini. Dia tidak muncul sama sekali. Aku berniat mencarinya setelah memasak dan mandi, tetapi niatku urung saat bel apartemen berbunyi, tepat setelah aku selesai mengenakan pakaian ganti."Fukumi-san, doushita?"Fukumi mengulum senyum, dia menyodorkan sebuah kantung plastik padaku. "Untuk sarapanmu.""Harusnya, kau tidak perlu repot-repot." Aku tetap menerima pemberian darinya, karena memang Fukumi adalah orang yang baik. Bukan hanya kali ini dia berbagi sarapan denganku maupun Daniel, tapi sudah beberapa kali."Daniel ... apa kau melihatnya?"Aku menggeleng. Jujur saja, tidak melihatnya di pag
DANIEL kehilangan semua rencana awalnya setelah apa yang terjadi tadi malam. Mata pria itu terpejam, kepalanya masih terngiang-ngiang oleh kalimat yang dilontarkan salah seorang vampir yang nyaris ia tangkap hidup-hidup."Daniel!" panggilan itu membuatnya menoleh. "Kau tidak mau mengganti pakaian sebelum pulang?"Daniel menatap pakaiannya semalam yang kini dipenuhi bercak darah mengering. Darah dari para vampir yang ia bunuh dengan kedua tangannya sendiri. Ia masih ingat, bagaimana kuku-kuku tajamnya menembus dada mereka dan meraup jantung vampir yang hanya bisa membelalak menatapnya."Tidak.""Kau tidak takut ... Alin akan mencurigaimu?"Daniel terdiam. Dia tidak mau Alin tahu, tapi sampai kapan semua ini akan berlangsung? Sampai kapan ia harus menyembunyikan identitasnya dari wanita itu?"Itu bisa kupikirkan nanti."Daniel bangkit, dia sudah me
AKU terkejut setengah mati saat memasuki kamar. Di atas ranjang, Daniel tengkurap dengan kemeja putih yang dipenuhi darah. Aku segera berlari mendekat, menatap wajah Daniel yang kini terlihat sangat pucat."Daniel ... apa yang terjadi padamu?"Apa yang terjadi dengannya? Kenapa pakaiannya dipenuhi bercak darah? Apakah dia terluka?Aku menyentuh kemejanya. Darahnya sudah mengering, sepertinya luka semalam. Namun, apa benar dia terluka? Lalu, kenapa dia bisa sampai ke kamarku? Dan dari mana dia datang?Sejak tadi aku berada di ruangan depan, berbicara dengan Fukumi, harusnya, ia akan bertamu melalui pintu depan, kan?Aku mengusap pipinya. Dingin, tubuhnya sangat dingin. Aku mendekatkan wajahku ke hadapan wajahnya. Masih ada embusan napas, dia masih hidup, tapi kenapa tubuhnya ... dingin sekali."Apa yang telah terjadi
DANIEL berhasil menghentikan diri tepat pada waktunya. Pria itu bangkit, duduk di sebelah tubuh Alin yang tak tertutupi sehelai benang pun. Jemarinya bergerak menyentuh kulit wajah Alin yang kini terlihat pucat pasi."Apakah aku terlalu berlebihan?"Daniel menghela napas kasar. Matanya memejam, mengingat beberapa saat lalu mereka bercinta panas, lalu kemudian, ia menggigit Alin dan mengisap banyak darah, membuat Daniel harus segera membuat keputusan.Alin akan takut padanya ketika ia sadar nanti. Bahkan, mungkin saja wanita itu akan membencinya, menolak keberadaannya.Vampir tidak seharusnya ada di antara manusia. Mereka makhluk yang takkan bisa hidup berdampingan dengan manusia. Itu mengapa, selama ini ia mengurung diri di kamarnya.Namun, ketika ia memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya, pertemuannya dengan Alin dan interaksi mereka berhasil membuat Daniel mengi
"AKU ingin tahu apa yang terjadi denganmu. Kau ... tidak terluka parah, kan?"Daniel berhenti, mata biru safirnya menatap lurus mataku. "Menurutmu?""Menurutku tidak, tapi kenapa pakaianmu dipenuhi bercak darah?"Walaupun tahu, pertanyaanku hanya akan dianggap angin lalu, tapi aku tetap ingin mengatakannya. Aku ingin mengetahui, apa saja yang telah terjadi padanya semalam, hingga membuat pakaiannya menjadi seperti itu.Daniel memejamkan mata. Aku menyentuhkan jemari ke pipi Daniel bersama dengan matanya yang kembali terbuka lebar. Warna biru safir yang selama ini kukagumi perlahan berubah warna menjadi merah.Sama seperti saat ia akan memasuki klimaks tadi, matanya berubah warna menjadi merah.Ini nyata.Aku tidak sedang berhalusinasi."Kau bisa me
"SIALAN!"Daniel langsung menangkup pipi Alin dan membawa wajah wanita itu untuk terus menatapnya, lantas ia mengecup bibir ranum milik Alin.Sialan! Mereka akan mencapai puncak kenikmatan, tapi mengapa ponselnya malah berdering di saat yang tidak tepat!Shinji sialan!Daniel memaki dalam hati sembari berusaha mengais-ngais sisa berahi di antara mereka. Alin jelas-jelas kehilangan fokus, tapi Daniel tetap berusaha mendapatkannya kembali. Ia akan memberikan kenikmatan itu pada wanita yang diam-diam mencuri hatinya."Niel, ponselmu ... ahhh!""Abaikan," gumam Daniel sembari mengerang.Pria itu terus menggerakkan pinggulnya dengan lebih cepat, membuat tubuh Alin ikut bergerak seirama dengan gerakan tubuhnya.Ponsel Daniel berhenti bernyanyi. Pria itu sedikit lega, tapi tak lama, karena dering ponselnya kembali mengganggu akt
AKU ditelan emosi. Semua perasaan kini bercampur aduk menjadi satu, membuat hatiku tak menentu, dan pikiranku kacau-balau.Di satu sisi, aku telah bersumpah agar tidak akan terlibat cinta dengan pria mana pun selain dari negara asalku, tapi aku telah melanggar sumpah itu. Aku mencintai Daniel, aku menginginkannya menjadi milikku.Namun, di situlah masalah sebenarnya dimulai.Ketika aku berani mencintainya, menitipkan hatiku padanya, kenyataan lantas menamparku dengan keji.Bahkan setelah kemanisan sekaligus sumpah setia Daniel padaku, kami takkan bisa bersama sampai tua. Tidak, karena Daniel tidak akan menua, dia abadi, dan aku akan binasa.Kenyataan itu mengundang air mata, mengundang pilu dan beban hati yang hanya bisa kurasakan seorang diri.Masih ada cara lain untuk menyelesaikan semua ini.Aku merelakan semuanya dan memilih Daniel, menjadi a
AKU akan abadi. Tidak bisa mati maupun terluka. Semuanya menjadi seperti ini karena dua saudara bodoh yang telah mengubah nasibku tanpa bertanya lebih dulu."Kau masih menyesali semuanya?" pertanyaan itu membuatku mendengkus keras.Menyesal? Tentu saja.Manusia biasa pasti akan mati suatu hari nanti, tapi kematian itu terabaikan saat vampir ini menanamkan racun ke dalam tubuhku melalui gigitan dan juga darahnya.Racun yang mengubahku menjadi vampir pengisap darah yang mengerikan."Maafkan aku, aku benar-benar tidak ingin mengubahmu.""Tapi kau tetap mengubahku juga," balasku seraya berlalu.Daniel mengikuti langkahku dengan tergesa-gesa. "Jika aku tak me
SHINJI tidak tahu harus melakukan apa. Terlalu banyak vampir yang menyerangnya dan jelas-jelas, mereka bukan tandingan Shinji. Apalagi, mereka bergerak tanpa ragu untuk membunuh, sedang Shinji akan berpikir puluhan kali untuk membunuh.Ia hanya berharap, bantuan segera datang, tapi nyatanya mustahil. Sejak tadi, belum ada suara sirine polisi maupun ambulan yang telah ia perintahkan melalui Rieki sebelumnya."Apa yang dia lakukan sampai perintahku terabaikan?" gumamnya seraya mengutuk Rieki di dalam hati."Aku butuh bantuanmu."Shinji berjengit, dia nyaris menebaskan pedangnya pada vampir yang baru saja mengejutkannya. Vampir itu kini berada di balik punggungnya, menjaga punggung Shinji yang sejak tadi terbuka lebar."Kau ... Carlos?"Pertanyaan Shinji dibalas dengan senyuman tipis. "Sejauh mana si Bodoh itu memberitahumu tentang aku?"Shinji terd
SHINJI pikir, Daniel akan menerobos masuk tanpa berpikir dua kali. Nyatanya, vampir itu berhenti sejenak dan menjaga jarak dari ruangan yang sejak tadi menjadi fokus tatapannya."Kenapa?" Shinji bertanya-tanya, apa yang membuat Daniel berhenti sejenak tanpa mengalihkan pandangan?"Di sana ada banyak vampir."Shinji mengernyit. "Jangan bercanda, ini bukan tengah malam, harusnya mereka tidak ada di sini, kan?"Daniel menoleh. "Kenyataanya, sebagian besar yang ada di sana adalah vampir. Hanya ada dua manusia dan jelas-jelas salah satunya Alin.""Dan Fukumi?" Shinji mengernyitkan dahi.Otaknya bekerja keras. Apa mungkin vampir-vampir itu berkaitan dengan Fukumi? Atau jangan-jangan mereka bekerja sama? Namun, untuk apa? Kenapa vampir-vampir yang harusnya membunuh manusia malah bekerja sama dengan penjahat seperti Fukumi?"Mungkin." Daniel kembali mena
"BENAR, mereka berubah menjadi vampir menggunakan darahku, tapi bukan aku yang mengubahnya."Aku mengernyitkan dahi. "Bagaimana ceritanya? Kalau bukan kau yang mengubah mereka, lalu siapa? Mereka meresahkan sekali, asal kau tahu itu! Gara-gara mereka aku tidak bisa kembali ke negara asalku."Tanpa bisa mencegah diriku sendiri, aku mulai terbuka padanya. Kebingungan serta beban membuat hatiku tak keruan."Fukumi," jawabannya membuatku terkejut. "Jangan menilainya sebagai manusia baik, karena kebalikannya, dia hanyalah manusia licik.""Eh?" Aku hanya bisa menganga lebar, tak mengerti apa yang sebenarnya ingin dia utarakan."Dia menahanku di sini bukan tanpa alasan, dia perlu darahku untuk mengubah manusia menjadi vampir.""Kenapa dia mengubah manusia menjadi vampir? Apa alasannya? Kenapa dia sampai repot-repot melakukan hal tidak berguna seperti itu!" geramku.
"KERJAKAN dengan serius!"Sialan!Sialan!SIALAAAANN!!!Rieki ingin mengumpati vampir yang berdiri di sebelahnya. Yuki hanya menahan tawa di samping Shinji yang tampak puas melihatnya disiksa."Ini juga serius, Tuan!" Rieki mendengkus, Daniel pun melakukan hal yang sama.Sejak tadi mereka berada di rumah Shinji, bergabung dengan Yuki dan Rieki yang ternyata sedang pacaran. Shinji mengganggu mereka dan memaksa Rieki mencari informasi tentang Takigawa Fukumi.Rieki sudah menolak mentah-mentah dan menyuruh Shinji meminta bantuan polisi pusat, tapi karena hanya orang satu yang hilang, dan itu permintaan Daniel yang hanya masyarakat asing biasa, tentunya keinginan Shinji akan sulit dikabulkan.Dan ... Rieki menjadi korban."Ketemu!" Rieki bersorak ria saat menemukan apa yang ia cari. Digesernya laptop agar vampir yang s
AKU hanya bisa mematung, melihat pria itu duduk dengan tubuh lemah tampak tak berdaya. Jika memang dia ingin memakanku, kenapa dia tidak lantas menerkamku saja?Tiba-tiba saja pria itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya agak sedikit serak. Belum lagi ketika ia bergerak, rantai yang mengikat tangan dan kakinya beradu dengan lantai dan membuat suara nyaring tercipta memenuhi ruangan.Dia tersenyum miring. "Aneh, harusnya kau bertanya-tanya siapa aku, tapi kau langsung mengenaliku sebelum aku mengatakan siapa diriku yang sebenarnya."Aku mendengkus. "Aku mengenal vampir lain yang lebih menyebalkan sebelum ini."Aku ikut duduk agak berjauhan dengannya. Tidak peduli apakah dia benar-benar akan memakanku atau tidak, karena aku sendiri ragu bisa lari darinya.Pria itu mengernyitkan dahi. "Siapa yang kau maksud?""Kuberi tahu pun, kau belum tentu mengenalnya."
SEMUANYA sudah terlambat. Itu yang Daniel pikirkan saat tak menemukan Alin di kamar apartemennya.Shinji ikut melangkah masuk dan terkejut saat tak menemukan Alin berada di mana pun."Di mana Alin?""Tidak ada." Daniel menggeleng. Dia teringat akan kalimat yang telah ia ucapkan pada wanita itu dan penyesalan mulai menghantuinya. "Dia sudah pergi."Melihat mimik Daniel sudah membuat Shinji tahu bagaimana isi hati vampir itu sekarang. Kehilangan orang yang ia cintai, ketika mereka baru saling memiliki.Shinji berpikir, kemungkinan besar Alin sudah tahu semua rencana Daniel sebelum ia menampar vampir itu beberapa saat lalu. Obsesi Daniel akan Alin memang menakutkan, Shinji mengakuinya, tapi harusnya Alin tahu, Daniel tidak akan senekad itu walau kata-katanya sangat menyeramkan.Shinji melangkah ke kamar, mencari-cari di setiap sudut ruangan. Alin benar-benar tidak
DIA pergi.Tanpa pamit ataupun meninggalkan pesan lain, dia meninggalkanku di kamar ini. Setelah semua yang terjadi, dia tak lantas menganggapku spesial dan memberiku kabar akan ke mana ia pergi berikutnya.Seperti hubungan biasa, tiada yang istimewa.Setelah mandi dan sarapan, aku mencari kartu nama Fukumi yang dia tinggalkan untukku kemarin, dan segera meninggalkan tempat.Hanya ini satu-satunya kesempatan yang kumiliki. Walau terkesan begitu kebetulan, tapi apa yang Fukumi tawarkan memang tengah kubutuhkan sekarang.Aku perlu pergi secepatnya. Ilegal ataupun tidak, aku harus segera menjauh dari sini ... dari Daniel yang akan memaksakan kehendaknya padaku nanti.Aku tidak bisa bertahan lama atau aku akan semakin jatuh mencintainya. Kemungkinan terbesar, pikiranku akan teracuni cinta dan aku rela menjadi vampir hanya demi bersama dengan Daniel selamanya.
"MANUSIA mana yang mau berubah menjadi vampir?"Kalimat itu mengusik Daniel. Dia memikirkan bagaimana kehidupan mereka nanti, ketika Alin tak mau berubah menjadi vampir.Dia akan abadi dan Alin akan binasa. Apa yang akan ia lakukan ketika melihat Alin berada di ujung hayatnya?"Sialan!"Daniel berjalan dengan tubuh tegap, mata birunya menatap tajam jejeran polisi yang kini menatapnya waspada. Dia tidak berniat kemari, tapi Shinji menjemputnya tadi pagi. Tepat setelah ia meninggalkan Alin di kamarnya."Kau mengumpat padaku?""Menurutmu?" Daniel melirik Shinji sinis. "Aku akan mundur dari kasus ini."Ia ingin sekal