Alamat yang dikirim Wiwin sudah benar, kalau tidak salah pasti yang cat tembok warna abu rumahnya. Nomor 39? Memang itu rumahnya. Alina turun dan mengucapkan salam. Seorang perempuan keluar dengan wajah ramah."Cari siapa Neng?""Eee mau tanya saja, Bi. Ini benar rumahnya Pak Yasa?""Oh ya benar. Ini mahasiswanya Tuan ya? Mau antar laporan, tugas atau bingkisan?""Ah bukan, Bi. Mau bertamu saja ke dalam.""Silahkan masuk, Neng."Tidak ada penolakan atau hal mencurigakan. Sampai Alina masuk ke dalam pun tak ada hal atau benda benda yang terlihat aneh."Kamar Pak Yasa di mana, Bi?""Ada di atas, Neng. Tunggu ya, Bibi buatkan minum."Alina bangkit dan melihat lihat, seperti rumah pada umumnya. Ada foto, ada vas bunga, dapur, kamar mandi dan yang lain. Apa Alina sudah aalah mencurigai suami sendiri?Alina berjalan menuju kamar Yasa, siapa tahu tidak dikunci. Ia tekan dan hampir terbuka."Neng, ini minumnya."Kaget. Perempuan itu menelan ludah kasar. Ia urungkan niat dan meminum air yang
Alina masih menikmati tidur sore, entah kenapa usai mual mual dia mengantuk dan tertidur pulas. Namun tak disangka bunyi handphone miliknya berdering. Pertama tak diangkat dan panggilan kedua baru Alina sadar.Nomor tak dikenal? Baru saja ia mau angkat malah mati lagi. Sejenak ia mengerutkan alis, ada beberapa pesan dari Wiwin lima belas menit lalu. Baru saja ia mau buka tapi malah nomor tadi menelpon lagi."Halo dengan siapa?""Bu, Bu Alinaaa...." Suara panik dan serak. "Bu, ini aku Ririn.""Ada apa Ririn? Kenapa suara kamu seperti sedang menangis?""Wiwin, Bu....Wiwin.....""Wiwin kenapa? Bicara yang jelas." Alina ikut panik."Wiwin, dia meninggal, Bu."Apa? Seketika Alina seakan ditikam belati tajam."Ma-maksud kamu apa? Jangan bercanda Ririn.""Nanti aku jelaskan. Bu Alina lihat sendiri, aku sudah kirim alamat rumah Wiwin."Telepon itu dimatikan, Alina diserbu cemas dan banyak pertanyaan. Ia ambil tas dan bergegas pergi ke alamat tujuan.Jarak rumah Wiwin dengan kampusnya lumayan
Satu map yang jatuh dari meja membuat fokus gadis itu terpecah-belah. Entah mengapa, perasaan tak enak langsung menyeruak cepat hingga ke relung hatinya. Perempuan bernama Alina itu berusaha untuk mengambil lagi map yang jatuh ke sela meja, tapi bersamaan dengan itu sebuah pesan masuk ke ponselnya.[Balaskan dendam Kakak kepada Yuda dan siapa pun yang berkaitan dengannya. Tolong jaga Dani untuk Kakak, Lin.]Pesan itu membuat Alina langsung berdiri tak berkutik dan seketika membuatnya panik attack. Ia segera menghubungi nomor Aira, tapi nomor itu sudah tidak aktif."Kak Aira, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba mengirim pesan seperti ini?" Alina berujar sembari berdiri dengan cemas. Baru saja hendak kembali menelepon kakaknya, ia kembali dikagetkan dengan panggilan masuk dari seseorang."Halo. Kenapa, Bu?""Lin! Kakakmu, Lin! Aira.. Aira meninggal!" Isak tangis ibunya di seberang telepon membuat tubuh Aira bergetar hebat, terguncang begitu keras.Tanpa pikir panjang, ia langs
Rambut ikal Alina berkibar cantik seiring dengan tiupan angin yang ringan. Rok hitam yang disertai dengan kemeja putih membuat tubuh rampingnya terlihat begitu elegan. Saat ini, di tangannya ada beberapa berkas yang harus segera ia berikan kepada bosnya. Namun, Alina masih saja berdiri memandangi rumah megah yang baru beberapa hari lalu menjadi tempatnya mengamuk. Ia memang memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai sekretaris Yuda beberapa minggu lalu. Sebab, Liana menganggap posisi ini strategis untuk memata-matai kedua targetnya.Jujur, Alina masih bingung dan penasaran. Sebenarnya apa yang terjadi tiga hari lalu usai pernikahan kedua Pak Yuda hingga membuat Aira mengirim pesan singkat itu? Alina yakin kematian kakaknya pasti berhubungan dengan kedua manusia sialan itu.Sejenak ia menarik napas panjang dan mulai berjalan memasuki rumah. Untuk saat ini Alina harus bisa menampakkan sopan dan tata krama yang baik agar diterima. Bukankah pertemuan pertama akan mempengaruhi hubungan me
"Maaf sebelumnya, Anda siapa ya?” tanya perempuan di ambang pintu keheranan. “Perkenalkan saya Alina, sekretaris Pak Yuda di kantor." Seketika perempuan itu mundur mengenai kursi, terlihat jelas di matanya ada cermin kegelisahan. "Ada apa ya, Mbak? Kok bisa sampai ke sini?" tanyanya sambil meminta Alina untuk duduk. Alina akhirnya menceritakan maksud dan tujuannya ke sana. Ia berharap akan mendapat sedikit informasi terkait kejadian beberapa hari lalu di rumah yang atapnya bisa terlihat dari samping rumah Bu Gina. "Saya benar-benar tidak tahu tentang kematian Aira," jawabnya sedikit gemetar. "Saya, saya hanya tahu setelah suaminya menikah lagi, dia sering diperlakukan tidak baik, kadang teriakannya terdengar dari dinding kamar mandi saya." Alina mengepalkan tangan, seakan dadanya ingin pecah mendengar potongan kecil penderitaan Aira. "Hanya itu yang saya tahu, sebelum pernikahan suaminya dengan Bu Valen, kami sering bertemu untuk mengobrol tapi setelah suaminya menikah lagi, Ai
Rambut ikal melewati bahu tergerai cantik, langkahnya anggun mendekati nomor meja yang sudah dipilihkan Yasa untuk mereka bertemu. Beberapa kali mencari, baru ia melihat lambaian tangan pria itu di bagian ujung cafe. Alina menghampiri dan akhirnya bertemu sosok pria yang sudah lama tak melihat senyum manisnya."Kenapa kamu menatapku seperti itu?""Aku terpesona," jawab lelaki dengan mata bulat itu tanpa mengalihkan pandangan."Ihhh gombal sekali."“Duduk dong, Sayang."Pria bernama Yasa menarik kursi untuk sang kekasih. Kini pandangannya tak lepas dari gadis yang ia kenal tiga tahun lalu. Wajah rupawan dan manis membuat lelaki itu punya daya tarik tersendiri."Kamu kok tambah cantik, Lin?" imbuhnya."Apaan sih, Yas. Stop ya, jangan ganggu aku dengan kalimat nggak ngefek kamu itu.""Memang benar, Sayang. Iya sudah jangan dipikirkan. Ini aku sudah pesan makan."Keduanya mengobrol lama usai makanan datang, terlihat jelas bahwa kedua sejoli itu tengah menikmati waktu yang terbuang. Alina
Valen melangkah menuruni tangga, pagi itu makanan sudah memenuhi meja. Dia bagai putri kerajaan yang apa-apa saja selalu menyuruh orang lain dan hanya bisa bersolek. Kali ini ia sengaja berpakaian dinas untuk merayu suaminya.Tangan putih membelai lembut pundak Yuda, beralih ke wajah, ia pun meraba lembut kumis tipisnya. Namun, pria itu masih fokus ke layar HP, tak memperdulikan. Menyadari suami yang acuh membuat Valen menghentikan diri kemudian memasang wajah masam."Mas! Kamu sedang lihat apa sampai mengabaikanku?"Yuda berbalik dan mendapati wanita itu seperti kunti gentayangan, sama sekali tak terpesona. Seakan penglihatan dan hati pria itu sudah tersihir oleh Alina seorang."Kamu ngapain berpakaian seperti itu?""Aku sedang mengenang masa lalu. Dulu saat Aira masih hidup, aku sering menggoda kamu di depan dia dengan pakaian seperti ini, melihatnya cemburu dan sakit hati aku merasakan bahagia.""Sama sekali tidak lucu!""Kenapa, Mas? Kamu masih mencintai dia?"Yuda tak menggubris
"Kita masuk ke ruangan! Apa kalian tidak malu dilihat oleh karyawan kalian di sini?" Alina mempersilahkan sepasang suami istri itu masuk. Pintu ditutup rapat-rapat. Di sana hanya ada mereka bertiga. Alina berpikir ketika suasana mereda Valen bisa berpikir jernih, nyatanya tanpa aba-aba ia mendekati Alina lalu menjambak rambutnya. "Sakit!" "Dasar perempuan tidak hau diri!" "Valen!" Yuda langsung menarik lengannya dan mendorong hingga terpental ke kursi. "Aaarrgggh," Alina memperbaiki rambutnya yang berantakan. "Mas! Kamu nggak sadar dia sudah pelet kamu?" "Diam! Apapun yang kamu bilang tidak akan merubah pendirianku untuk menikahi Alina." Sementara Alina pun kembali membulatkan mata, sepertinya ia sudah terlalu jauh masuk ke dalam hati pria itu. Tapi jika bukan dengan menikah dengannya, bagaimana ia bisa mengetahui insiden kematian Aira dengan jelas. Sudahlah, semua sudah terlanjur. Alina akan meneruskan permainan tanpa mundur. Ia tak akan menyerah sebelum dua bajingan ini men