Langit cerah tersapu awan biru, tak nampak adanya mendung di atas sana. Alina langsung turun dari taksi hendak ke kantor setelah kembali dari rumah Pak Wibowo. Langkah pelan tak bertenaga, sejauh ini perjuangan Alina sudah begitu jauh, namun tak sebanding dengan informasi yang di dapat.Meski demikian, dalam jiwanya sudah tertanam bahwa apapun yang terjadi kematian Aira kakaknya harus terungkap meski dengan nyawa taruhannya.Satu tarikan napas panjang sebelum ia melihat seseorang di pinggir jalan. Matanya membelok tak jadi masuk kantor."Dia bukannya anak pengemis itu? Astaga, sudah aku bilang ke kantor saja."Alina berjalan menghampiri dirinya. Masih dengan penampilan yang sama, wajah tertutup masker hitam dan jubah besar memenuhi kepala hingga ujung kaki. Dan ada sebuah kaleng di samping yang mungkin isinya hanya recehan."Adek, kenapa masih ditempat panas?" sapanya berdiri di depan anak kecil itu. "Ayok kita pindah di sana."Alina berusaha menariknya tapi anak itu menggeleng menaha
Jangan sampai semua terbongkar sebelum mencapai tujuan."Saya memang punya sebuah perusahaan, tapi bukan saya yang mengelola. Saya ke sini sebagai sekretaris juga ingin menambah wawasan. Hanya itu."Berharap Yuda menerima alasan yang sudah ia berikan."Lagi pula Mas Yasa juga sudah tahu bahwa saya punya perusahaan.""Dan apakah dia tahu bahwa kamu jadi sekretaris di sini?"Pintar juga Yuda memperkirakan keadaan. Yasa memang belum tahu jika Alina menyamar sebagai sekretaris Yuda untuk masuk ke keluarga mereka."Kalau saya kasih tahu Yasa, bagaimana ya reaksinya?"Malah senyum gentir yang ia berikan, "silahkan saja. Tapi saya juga akan kasih tahu suami saya bahwa Anda masih berharap kepada saya, ipar kamu sendiri. Jika dia tahu, entah apa yang akan terjadi padamu dan Valen. Kalau saya, Mas Yasa tidak bisa marah sama saya, Pak Yuda."Pendengar yang baik, Yuda sedang mencerna secara cepat nada bicaranya."Sayang, kamu kok serius sekali?" ucapnya kemudian. "Kalau kita sama sama untung, ken
Kawasan itu sepi, hanya beberapa orang yang lalu lalang, pun penjual kaki lima tidak ada. Hanya penjual pakai gerobak dorong saja yang sesekali nongol."Kamu yakin ini tempatnya?""Iya yakin."Bima mencoba memeriksa daerah sekitar, di depan ada toko bangunan, di samping iri jalan ada toko pakaian. Jika dilihat tak ada yang mencurigakan."Saat itu aku sudah sampai di sini, tapi tiba-tiba aku ditelpon sama Tante Lira, Mamanya Wiwin. Makanya aku putar balik dan langsung ke rumahnya.""Pada saat kamu sampai di sini, lokasinya masih jauh? Tinggal berapa menit?""Masih jauh, Kak. Hampir tiga puluh menitan lagi. Aku juga bingung kenapa Wiwin mengejar Pak Yasa sampai sejauh ini. Dan akun juga nggak tahu tempat kecelakaannya di mana, sepanjang jalan tidak ada hal hal aneh.""Jika asumsinya memang sebuah kecelakaan, kemungkinan Wiwin mengalaminya saat di tiga puluh menit terakhir. Atau dia sudah kecelakaan baru kamu berangkat mencarinya," jelas Bima."Aku yang bodoh, andaikan waktu itu aku tida
Mereka bertemu di sebuah tempat makan. Lelaki itu dengan penampilan seperti biasa, memakai jaket hitam dan topi tentunya."Maaf saya telat Pak Rangga," Alina duduk di depannya."Jangan sungkan Bu Alina, lagian jangan panggil saya bapak. Saya merasa ketuaan nanti, panggil saja nama. Bi-ma."Perempuan itu mengangguk saja, "kalau begitu kamu juga jangan panggil saya dengan kata Ibu, panggil nama. A-li-na."Senyum disunggingkan, mungkin akan lebih akrab jika memanggil nama saja."Apa yang ingin kamu tanyakan?""Begini, apakah belakangan ini Bu Alina, eeeh....Maksudnya Alina, kamu ada mendapat kejadian tak beres kepada Pal Yasa?"Hati hati dan penuh kewaspadaan, Bima takut menyinggung perempuan itu dengan menyebut nama suaminya."Memang ada, tapi saya tidak yakin.""Katakan saja apa yang kamu lihat.""Mas Yasa lelaki yang baik sekali, perhatian dan hatinya lembut. Tapi,"Kalimat Alina menggantung, kini Bima hanya bisa menatapnya saja."Banyak sekali kejanggalan yang saya temukan. Dari dia
"D-dani adalah,""Mas, kamu apa apaan sih. Heh Alina, kamu jangan kepo ya urusan rumah tangga kami. Siapapun namanya Dani, atau ada nama lain yang kamu temukan, itu bukan urusan kamu. Jadi jangan sok sokan ikut campur!" teriak Valen menggebu-gebu."Jelas saya ikut campur. Ini rumah tempat saya tinggal, saya harus dong apa yang sebelumnya pernah terjadi, lagian apa susahnya kalian tinggal cerita, Dani itu siapa? Beres kan? Kecuali, kalau kalian menyembunyikan sesuatu.""Tutup mulut kamu!""Valen!" Yuda bergerak menghentikan istrinya. Sepertinya kali ini Yuda tidak punya pilihan lain. Alina sudah sangat curiga, jika terus membuatnya penasaran, maka akan berbahaya untuk kedepannya."Saya akan kasih tahu kamu.""Mas, kamu jangan gila ya!""Valen, jika benar tidak ada sesuatu, kamu tidak akan sepanik ini? Pihak sekolah anak yang bernama Dani inj juga butuh kepastian, tidak mungkin mereka asal mengirimkan surat tanpa alasan yang jelas."Kali ini mereka terbungkam, memang tidak mudah menyem
"Aku ada sesuatu buat kamu," Alina memperbaiki posisi duduknya."Apa? Kok tumben, selama ini kamu tidak pernah memberikan apapun."Yasa menebak penuh kegirangan, selama ini bukan karena Alina tak mau kasih tapi ia yang tak menerima."Sekarang kamu harus terima. Dari dulu hanya kamu yang kasih hadiah, sekarang giliranku.""Iya, memangnya mau kasih apa?"Alina membuka laci kemudian mengambil benda lancip yang selalu dibawa oleh anak sekolahan."Pulpen?""Iya itu untuk kamu. Cantik kan? Kamu kan sering periksa revisian mahasiswa, jadi cocok dibawa ke mana-mana."Yasa membolak-balikkan benda itu, memang terlihat lebih istimewa dari yang lain. Unik juga, punya tiga varian warna yang mencolok. Istrinya memang paling mengerti."Cantik seperti yang kasih," pujinya. Salah tingkah dan wajah merona, seperti baru pertama di puji suami sendiri."Sayang, boleh aku tanya sesuatu?"Senyum perempuan itu mengempis, melihat tangan Yasa memutar mutar pulpen yang ia kasih membuatnya agak menebak nebak."
"Buset, ini tembok apa? Tembok China? Tinggi bener."Mereka kembali menerawang, jalan yang mereka pilih sudah benar tapi kenapa tiba-tiba buntu?"Bim, coba matikan lampu mobil," perintah Agung kemudian.Bima langsung mematikannya. Sekarang suasana semakin gelap gulita seperti kehidupan."Lihat ke depan, ada celah di beberapa titik."Agung dan Wawan langsung turun memeriksa. Mereka menandai dengan menggores dengan kayu yang bisa dihapus."Nyalakan lagi lampunya."Saat sudah diterangi dengan cahaya mobil, terbentuklah sebuah pola yang menggambarkan bentuk."Ini pintunya."Mereka kembali masuk, ternyata seseorang sedang melakukan transaksi di sana."Cara ini digunakan oleh kelas atas," celetuk Bima. "Tidak mungkin dilakukan oleh orang sembarangan. Lagi pula sejak awal kita sudah disuguhkan banyak pemandangan yang tak akan disadari oleh orang-orang.""Kita bergerak sekarang?""Tidak bisa. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana, jangan bertindak gegabah. Kalau kita mau lebih banyak men
"Sebenarnya apa, Bi? Tolong bicara yang jelas.""Sebenarnya Bibi diminta untuk merahasiakannya, Non. Maafkan Bibi," ungkapnya sangat merasa bersalah."Siapa yang mengancam Bibi? Yuda atau Valen?"Perempuan dengan rok panjang meremas barang belanjaan yang masih terpegang di sana."Kenapa kamu kepo sekali?" Valen dagang dengan berkacak pinggang. "Apa urusan kamu?"Bi Ina langsung berlalu membawa barang bawaan masuk dapur, sementara Valen masih bertengger memandangi Alina."Aku heran deh sama kamu, setiap ada hal yang berkaitan dengan Yuda, kamu selalu saja penasaran dan ingin ikut campur. Kenapa? Atau kamu benar-benar mencintai suami saya?""Najis.""Kamu yang sopan ya Alina kalau bicara, aku ini ipar kamu, Kakak iparmu!""Saya tidak pernah menganggapmu sebagai keluarga. Kamu dan Yuda itu iblis!""Kurang ajar!" Valen mendekat dan mengangkat tangan, tapi malah Alina yang lebih dulu menjambak rambutnya. "Aaau, sakit!""Ini akibatnya jika kamu mau melawan saya Valen. Kamu kira saya akan ta
"Nikahi Clara sekarang juga," ucapnya lagi dengan nada lebih mengancam. "Saya hitung mundur. Tiga...."Suasana semakin ricuh, Bima masih belum bisa menyatukan hati dan pikiran saat ini. Jika menikah dengan Clara maka ia seakan menyakiti Alina bertubi tubi. Tapi jika tidak dilakukan, maka ia menyepelekan tugas dan mengorbankan Ririn."Dua....Saaa.....""Baik, saya akan menikahi Clara."Jawaban Bima membuat semua menatap dirinya tak percaya."Kak, apa yang sedang Kak Bima katakan? Tarik lagi, Kak. Ini semua jebakan, jangan percaya ucapan lelaki ini. Kak Bimaaa!" Berontak Ririn masih tidak berdaya."Bagus. Pilihan yang sangat bijak.""Kak Bima!""Diam!" gertak lelaki itu ke Ririn.Sementara Clara yang masih terbengong, kembali duduk di hadapan penghulu. Di sampingnya lelaki bertubuh kekar juga ikut duduk dan langsung menjabat tangan penghulu. Kuncoro sebagai wali nikah menyaksikan pernikahan anaknya dengan desir."Kak Bimaaaa, hentikan Kaaaak!"Teriakan Ririn tidak diperhatikan, Bima den
Pernikahan tiba.......Alina sudah selesai di rias dengan gaun putih melilit tubuhnya. Pilihan Ririn untuknya memang yang terbaik. Rasanya menikah untuk kedua kali tak pernah ia bayangkan, tapi takdir yang membawa perempuan itu pada pilihan."Kak Alina cantik sekali, kayak putri kerajaan," imbuh Ririn."Bisa aja mujinya.""Lah, memang benar, Kak. Ya sudah, kita turun. Sebentar," ucapnya menghampiri pintu kamar. Saat ia buka ternyata Bu Nuri."Sudah siap? Bima dan Bu Lila sudah datang.""Mama sudah datang?" tanya Ririn memastikan."Sudah, Rin. Mereka menunggu kalian turun. Dipercepat ya."Bu Nuri kembali berlalu, kini Alina berjalan keluar dibantu oleh Ririn. Semua mata menuju ke arahnya, apalagi Bima. Ia terus saja memandang secara bergantian wajah calon istri dan jam tangan. Team wedding Clara sudah menunggu di sana, kalau Bima tidak cepat akan sangat fatal. Sementara sang Mama masih menahan rasa yang bergejolak. Cantik memang cantik menantunya ini, tapi melihat perutnya yang mengg
Dengan gerakan panik, Bima menyetir mobil kecepatan tinggi. Sesaat sudah sampai, ia langsung bergegas menghampiri pintu. Namun belum saja diketuk, pintu sudah terbuka lebar."Happy birthday Om Biiiim....." teriak Dani mengibas ngibaskan balon ke atas.Hah? Lelaki itu malah menaikkan alis, ia saja tidak ingat tanggal kelahirannya sendiri."Tante Alina baik baik saja kan, Dan?" Ia masih saja mencemaskan perempuan itu.Alina begitu disebut namanya seketika nongol di belakang Dani dengan senyum."Lin, kamu nggak apa apa? Aku ditelpon Ibu, katanya kamu kesakitan.""Buktinya aku baik baik aja. Ibu sengaja bilang gitu, aku yang suruh.""Tidak lucu bercandanya Alina, aku panik.""Ide Ririn, aku juga ikut idenya dia."Hah? Bima memandang ke samping, baru wajah adiknya kembali terlihat."Kamu juga di sini?""Iya dong. Surprise buat Kakakku tercinta."Bima mendekat dan menyentil keningnya."Ya sudah, kita makan malam saja di dalam, ayok." Di meja makan sudah dipenuhi beberapa menu, tentunya mas
Bima duduk di ruang tengah ditemani Clara, seorang pembantu menyuguhkan minuman hangat untuknya. Beberapa saat perempuan dengan model rambut di gerai ikal datang, ia ikut duduk berhadapan dengan lelaki itu. "Bima ya?" tanyanya dengan wajah berbinar. "Iya benar Tante." "Memang semua cerita dari Clara tidak cacatnya. Kamu ganteng, cool, manis, abdi negara lagi. Cocok dengan Clara yang seorang aktivis muda," ucapnya memuji. Lelaki itu hanya tersenyum simpul. "Ya sudah kalau memang sudah sama sama cocok, pernikahan kalian dipercepat saja." Bima berusaha memikirkan celah, lebih cepat lebih baik. "Dua hari lagi, bagaimana?" Lelaki yang sedang meneguk segelas minuman seketika tersedak, bahkan hampir mengeluarkannya lagi. "Kamu kenapa?" "Nggak nggak, cuma tersedak saja." "Makanya hati hati kalau minum." Clara terlihat cemas. Akan rumit jika pernikahan mereka dilakukan cepat, takutnya akan tabrakan dengan pernikahannya dengan Alina. "Sepertinya harus di undur beberapa hari. Karena a
"Lagi bahas apa?" Seketika Agung dan Wawan datang mengacaukan pembicaraan mereka."Ini loh lagi bahas Kak Agung.""Bahas saya? Ada apa?"Lelaki itu melirik ke arah Bima dan Wawan secara bergantian."Ngapain lihat saya? Kita berdua baru datang," sanggah Wawan tak terima dengan tatapan curiga."Ririn, sebenarnya Agung itu....." Clara kembali melanjutkan tapi dengan cepat Agung menarik tangan Ririn menjauh."Eeh eh Kak Agung, mau ke mana?" ucapnya menurut.Keduanya berhenti di area agak jauh dari mereka."Kamu dengarkan apa kata saya, apapun yang mereka katakan sama kamu, jangan pernah percaya sebelum saya yang mengatakannya. Paham?""Memangnya mereka mau mengatakan apa, Kak?""Yaaaa," lelaki itu terlihat berpikir. "Apapun itu. Intinya jangan percaya."Ririn seperti orang polos yang tak tahu menahu apa tujuan pembicaraan Agung kali ini."Sudah bicaranya? Sekarang kita pulang," Bima menarik lengan adiknya menuju mobil."Tunggu, Kak. Mobilnya mana muat untuk kita berenam. Muat sih, tapi d
Badannya tiba tiba menggigil, dadanya sesak begitu hebat. Tidak hanya dirinya, Ririn juga mendadak kaget. Seorang perempuan cantik, pakaian rapi tertutup, jilbab ungu kalem, dan tatapannya begitu teduh. Bima melepas tangannya, bukan tanpa alas, hanya lengan yang terbungkus baju panjang yang ia pegang."Hy Riiiin...." sapa Wawan saat mereka sudah semakin dekat. "Sudah lama?"Pertanyaan yang tidak terdengar oleh Alina, fokus matanya hanya menuju ke arah Bima dan perempuan itu."B-baru saja, Kak," jawab Ririn tak mengalihkan pandangan dari Kakaknya.Sementara Bima baru saja bertemu pandang dengan Alina, ia juga terlihat menahan rindu yang berkecamuk dalam dada, namun terhalang berjarak oleh suasana mendung hari ini."Kak Bima," sapa Ririn mendaratkan kalimat datar."Rin?"Lelaki itu tersadar dan mengetahui arti tatapan dua perempuan di depannya ini. Namun bagaimana kabar Alina yang masih mematung di sana?"Alina," sapa Bima dengan sorot mata yang dalam. Melihat perempuan yang amat ia c
Bagian 2Yang mengikuti kisah Alina sampai bagian kedua, terima kasih banyak teman teman....Dijamin bagian ini akan pecahhhh, selamat membaca 🌵••••••••••••••••••••••••••••••••••"Bagaimana, Dok?"Alina yang ditemani oleh ibunya memeriksa kandungan terus memancarkan harap harap cemas. Tinggal lima hari kandungannya genap sembilan bulan, pantas ada raut tak sabaran terlihat."Kandungan Bu Alina baik, sehat juga Alhamdulillah. Dan tanggal lahiran sudah saya tulis di sini," tunjuknya di sebuah buku. "Nanti Ibu cek saja, tapi mendekati hari lahiran, kandungan harus dijaga betul betul. Kalau bisa minta suami untuk tetap ada di samping.""Baik, Dok."Alina berdiri dibantu ibunya, mereka berjalan keluar ruangan."Dengar tuh kata dokter, jaga kandungan dan jangan terlalu capek. Kamu juga mulai hari ini jangan ke kantor. Suruh saja Nina untuk menghandle semua.""Tapi nggak betah juga kalau di rumah terus.""Jangan protes," sanggah ibunya memasuki mobil."Sekalian jemput Dani di sekolah, Bu."
Apakah Alina tidak salah dengar?Melihat Bima seperti menahan tawa, ia angkat tas kecilnya lalu menimpuk lengannya."Aaaaa, sakit, Lin.""Eeh, lengan kamu masih sakit ya? Maaf maaf," ucapnya merasa bersalah."Lagian kamu bicara tidak bisa serius.""Iya iya, saya cuma bercanda kok."Tuh kan, padahal Alina berharap kalimat tadi sebuah tanda keseriusan atau setidaknya dia mengungkapkan perasaannya."Meskipun tadi itu benar, mana mungkin saya bisa menggeser nama Pak Yasa di hati kamu. Dia akan tetap menduduki posisi pertama di sana. Iya kan?"Bima menyalakan mobil dan menembus jalanan kota. Ia tidak tahu saja perasaan terdalam Alina seperti apa.Beberapa saat mereka sampai di depan rumah, perut yang semakin besar membuat perempuan itu harus ekstra hati-hati dalam melakukan segala hal."Lin," panggil Bima saat mereka sudah turun. "Ada yang ingin saya katakan."Mendadak wajah berkharisma itu berubah tegang. Apa dia ingin mengatakan sesuatu atau ingin mengungkapkan perasaan?"Besok pagi saya
"Lalu siapa yang harus aku salahkan? Ini bukan tentang Kak Aira atau Dani, tapi menyangkut banyak orang. Wiwin, Pak Tono, dan anak anak yang sudah meninggal karena ulahmu. Lantas siapa yang harus disalahkan, Mas?""Apa kamu membenciku?"Belum ada jawaban atas pertanyaan itu, lebih tepatnya Alina bingung dengan perasaan sendiri."Aku salah, aku menyesal Alina. Andaikan waktu ini bisa diputar, aku akan memilih untuk hidup di jalanan dengan sepotong roti dari pada harus kehilangan perempuan yang aku sayangi.""Sudah terlambat," jawabnya tertunduk."Apa maksud kamu?"Satu tarikan napas terdengar amat panjang, penjelasan suaminya sudah cukup untuk ia dengar. Meski kata maaf dan penyesalan tidak bisa merubah apa apa, setidaknya Yasa sudah mengaku dirinya salah."Sebelumnya, aku ingin mengatakan sesuatu. Mas, aku hamil. Aku sedang hamil anak kamu."Guncangan hebat melanda Yasa kali ini, entah bahagia atau rasa sedih."Apa kamu hamil?"Alina berdiri, "aku akan menunggu kamu keluar dari penjar