Alina mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, semua benang-benang ini masih saja kusut bahkan amat kusut. Belum terlihat secercah cahaya yang bisa memberikan harapan untuknya.Kali ini tujuannya ke rumah sakit gila tempat Pak Tono di rawat. Rasanya semua informasi semakin melebar ke mana mana dan semakin banyak korban yang mulai muncul.Beruntung istri Pak Tono mempercayai dirinya untuk mengungkap semua kejanggalan ini, ia juga memberikan alamat tempat suaminya berada. Namun lamunan Alina malah meledak ketika ia mengerem mendadak."Astaga, apa yang aku tabrak?"Ia segera keluar mobil dan memastikan, ternyata Alina menabrak mobil lain yang sedang berhenti di tepi jalan."Maaf maaf, saya tidak sengaja menabrak mobil Bapak," ucap Alina kepada seorang lelaki yang sedang mengamati mobilnya lecet atau tidak."Sekali lagi saya minta maaf, saya akan ganti rugi betapapun."Lelaki bertopi hitam itu menoleh ke arahnya, "ganti 1 M."Hal itu membuat Alina mendongak menatapnya balik. Yang satu
"Mas," panggilnya saat sedang sarapan pagi. "Tadi malam kenapa nggak pulang?"Yasa meneguk keras air minum di tangannya lalu berusaha tenang."Sayang, maaf ya?" Begitu kalimat yang terdengar. Bahkan Alina mulai ragu apalah lelaki yang ia nikahi ini adalah Yasa yang dulu."Aku tidak butuh kata maaf," imbuhnya memalingkan wajah. Melihat reaksi istrinya Yasa merasa ada atmosfer berbeda. Baru kali ini ia melihat wajah masam dari Alina sejak bertahun-tahun mereka kenal."Lin," Ia meraih tangan perempuan itu. "Aku minta maaf, aku memang salah apalagi tidak mengabari kamu."Alina melepas pegangannya. "Aku bilang tidak butuh maaf, aku butuh penjelasan!"Kali ini ia benar-benar marah, lebih tepatnya bingung akan semua keadaan yang menimpa dirinya dan Yasa."Oke, aku akan cerita. Tapi tolong dong, jangan acuhkan aku seperti ini. Aku tidak bisa jika kamu mengabaikan aku seperti ini, Lin.""Bagaimana aku tidak marah jika kamu baru pulang pagi tadi? Kamu kira aku robot tidak punya perasaan? Aku k
Langkahnya tiba-tiba terangkat dan mendekati batu ukir itu. Sepertinya ia pernah melihat persis sama dengan yang ada di hadapannya ini."Alina, kamu kenapa?"Ia tersadar dan mengalihkan pandangan."Saya merasa pernah melihat ukiran baru ini, tapi entah di mana itu."Sebenarnya sejak tadi Wawan dan Agung tersenyum geli melihat penampilan Bima dan Akina, bukan terlihat pasutri romantis, tapi malah seperti pasangan tidak jelas, kocak dan ugal-ugalan."Ssst, dilarang ketawa," kecam Agung setelah mengetuk pintu panti itu. "Permisi, ada orang?"Tidak masuk akal juga jika panti tak ada penghuni? Kalau memang kosong kenapa halamannya masih bersih dan tan kanak-kanak terlihat tapi sekali."Sepertinya tidak ada orang."Disaat mereka memilih untuk pergi, baru terdengar seseorang melangkah mendekati pintu lalu membukanya.Mereka berempat kaget, bukan saat melihat orangnya tapi karena ia tiba-tiba muncul dari balik pintu. Sosok perempuan paruh baya, pakai kerudung merah dengan postur tubuh ideal
Seorang pria berewokan, berotot dan wajah sangat nongol di ambang pintu masuk.Memangnya ada penjaga di panti asuhan dengan modelan seperti ini?"Siapa kalian?!"Wawan menanggapi dengan santai, bertemu dengan sosok makhluk seperti lelaki di depan ini sudah biasa. "Hey Bro," sapanya seperti teman lama baru bertemu. "Kami boleh masih tidak?"Lelaki tegap itu tak bergeming, sama sekali tidak mengubah ekspresi wajahnya."Langsung ke intinya. Siapa kalian dan ada urusan apa di sini?"Sepertinya pria berewokan tidak suka basa basi, Bima yang menyadari langsung berjalan menuju mobil dan membuka pintu."Ayo turun, Sayang." Kalimatnya membuat Alina terhenyak. Tapi melihat senyum dan kedipan matanya membuat ia mengerti. Alina menerima uluran tangannya dan turun menghampiri pria berotot."Kasihan kamu, Sayang. Kita susah sepuluh tahun menikah tapi tidak kunjung dikaruniai anak."Tidak hanya perempuan dengan gaun cantik yang membulatkan mata, Agung dan Wawan juga ternganga di tempat. Lelaki mac
"Tante Alin?" gumamnya masih memegang lutut.Sementara Alina yang terguncang masih tercengang luar biasa. "D-dani?" Seluruh tubuhnya bergetar hingga ke tulang tulang. Namun saat mereka hendak berpelukan, Bima menarik lengan perempuan itu."Jangan membuat gerak gerik mencurigakan," bisiknya."Dia Dani, Bim. Dia keponakan saya yang selama ini saya cari.""Saya tahu Alina, tapi dalam keadaan kita seperti ini, kita tidak bisa berbuat banyak. Kita sedang ada di kandang musuh, saya harap kamu paham itu, ini demi keselamatan Dani dan juga kita."Alina berusaha menenangkan diri, ia kembali menatap wajah Dani yang tersiksa. Badannya kurus dan layu."Tante, selamatkan aku dari sini," ucapnya dengan lelehan air mata."Tante janji akan selamatkan kamu, Dani harus janji akan bertahan di sini sampai Tante datang lagi, ya?"Lelaki kecil itu mengangguk cepat sebelum Alina dan Bima pergi. Seketika terbayang wajah Yuda yang biadab itu. Apa yang dia pikirkan hingga memasukkan Dani ke tempat seperti ini
Edo melepas genggaman tangan Alina dan mundur dengan wajah panik."Ada apa Edo? Bukankah ini yang kamu inginkan, keluar dari panti itu?""Bagaimana?" Agung dan Wawan menghampiri mereka."Banyak sekali keanehan di dalam sana. Terutama dalam proses adopsi anak ini.""Edo, ada apa?""Di sini tidak aman, lebih baik kita bicara di mobil. Edo, kamu mau kan cerita ke kami tentang tempat ini? Tenang saja, kami yang akan membantu kamu dan teman teman keluar dari sini."Perlahan anak itu luluh dan kembali menerima uluran tangan Alina. Mereka langsung memasuki mobil."Edo, sebelumnya bagaimana kamu bisa masuk ke sini?" Anak itu masih syok dah terlihat takut. Tapi dengan berkata jujur, ia dan teman-temannya biaa selamat."Aku awalnya di pantinya Bu Lin, tapi ada yang mengadopsi aku, Tante. Saat aku dibawa pergi sama mereka, tiba-tiba mobil kami dicegat seseorang. Aku dipukul sampai pingsan. Saat bangun, aku sudah ada di sini," jelasnya dengan wajah ketakutan. "Di sini kami disiksa, disuruh bers
Lelaki dengan badan ideal berdiri melipat dada menghadapnya. Bukan ke arah Alina melainkan ke arah Bima. Lelaki itu juga lekat menatap. Pantas jika Alina sangat mencintainya, Yasa memilik saya tarik yang kuat kepada lawan bicaranya."Sayang, kamu tidak apa apa?" ucapnya memastikan istri dari bawah hingga atas.Tidak hanya rupawan, kaya raya, tapi juga cinta yang ugal-ugalan untuk Alina. Ah, mereka pasangan yang serasi. Bima tidak ingin ambil pusing, ia berniat pamit tak mau mengganggu mereka."Tunggu," Yasa menghentikan. "Siapkan kamu dan kenapa baju kalian couplean begini seperti seorang pasangan?"Mampus! Ternyata Yasa menyadari, sekarang pintar pintar saja mereka membuat alasan."I-ini, Mas. Tadi di acara kantor harus pakai baju yang unik dan mencolok, mungkin kebetulan saja kami sama.""Benar Pak Yasa, Anda jangan berburuk sangka seperti itu. Apa yang dibilang sama Bu Alina benar," jawabnya meyakinkan.Meski di mulut begitu terdengar manis, tapi dari tatapan Bima sangat jelas bah
Alina kembali muntah muntah sejak pagi tadi, ia kira hanya masuk angin tapi semakin ke sini terasa tak enak. Mana suaminya tidak pulang sejak tadi malam.Ia akhirnya turun dan memanggil sopir hendak menemaninya ke dokter."Kenapa?" tanya Valen dengan wajah sinis. "Sakit? Duh, sakit di tinggal suami semalaman?""Bukan urusan Anda.""Dih, sok sekali kamu ya. Kemarin seharian tidak ada kabar, sekarang pulan pulang muntah. Selingkuh sama siapa di sana?"Perkataan Valen membuat urat leher Alina mengeras. Apa dia tidak melihat dirinya sendiri? "Sudah bosan sama Yasa? Hingga mencari kesenangan lain?"Tanpa basa basi Alina langsung melayangkan satu tamparan ke wajah putih perempuan itu."Sakit! Kamu gila?""Kamu yang gila, maling teriak maling. Lalu kamu apa namanya? Bahkan kamu menjadi perusak rumah tangga Aira. Iya kan?""Tahu apa kamu tentang Aira? Jangan asal bicara deh kalau kamu tidak tahu apa apa.""Banyak. Termasuk dalih tentang kematian Aira yang kalian sebut hanya kecelakaan di kam
"Nikahi Clara sekarang juga," ucapnya lagi dengan nada lebih mengancam. "Saya hitung mundur. Tiga...."Suasana semakin ricuh, Bima masih belum bisa menyatukan hati dan pikiran saat ini. Jika menikah dengan Clara maka ia seakan menyakiti Alina bertubi tubi. Tapi jika tidak dilakukan, maka ia menyepelekan tugas dan mengorbankan Ririn."Dua....Saaa.....""Baik, saya akan menikahi Clara."Jawaban Bima membuat semua menatap dirinya tak percaya."Kak, apa yang sedang Kak Bima katakan? Tarik lagi, Kak. Ini semua jebakan, jangan percaya ucapan lelaki ini. Kak Bimaaa!" Berontak Ririn masih tidak berdaya."Bagus. Pilihan yang sangat bijak.""Kak Bima!""Diam!" gertak lelaki itu ke Ririn.Sementara Clara yang masih terbengong, kembali duduk di hadapan penghulu. Di sampingnya lelaki bertubuh kekar juga ikut duduk dan langsung menjabat tangan penghulu. Kuncoro sebagai wali nikah menyaksikan pernikahan anaknya dengan desir."Kak Bimaaaa, hentikan Kaaaak!"Teriakan Ririn tidak diperhatikan, Bima den
Pernikahan tiba.......Alina sudah selesai di rias dengan gaun putih melilit tubuhnya. Pilihan Ririn untuknya memang yang terbaik. Rasanya menikah untuk kedua kali tak pernah ia bayangkan, tapi takdir yang membawa perempuan itu pada pilihan."Kak Alina cantik sekali, kayak putri kerajaan," imbuh Ririn."Bisa aja mujinya.""Lah, memang benar, Kak. Ya sudah, kita turun. Sebentar," ucapnya menghampiri pintu kamar. Saat ia buka ternyata Bu Nuri."Sudah siap? Bima dan Bu Lila sudah datang.""Mama sudah datang?" tanya Ririn memastikan."Sudah, Rin. Mereka menunggu kalian turun. Dipercepat ya."Bu Nuri kembali berlalu, kini Alina berjalan keluar dibantu oleh Ririn. Semua mata menuju ke arahnya, apalagi Bima. Ia terus saja memandang secara bergantian wajah calon istri dan jam tangan. Team wedding Clara sudah menunggu di sana, kalau Bima tidak cepat akan sangat fatal. Sementara sang Mama masih menahan rasa yang bergejolak. Cantik memang cantik menantunya ini, tapi melihat perutnya yang mengg
Dengan gerakan panik, Bima menyetir mobil kecepatan tinggi. Sesaat sudah sampai, ia langsung bergegas menghampiri pintu. Namun belum saja diketuk, pintu sudah terbuka lebar."Happy birthday Om Biiiim....." teriak Dani mengibas ngibaskan balon ke atas.Hah? Lelaki itu malah menaikkan alis, ia saja tidak ingat tanggal kelahirannya sendiri."Tante Alina baik baik saja kan, Dan?" Ia masih saja mencemaskan perempuan itu.Alina begitu disebut namanya seketika nongol di belakang Dani dengan senyum."Lin, kamu nggak apa apa? Aku ditelpon Ibu, katanya kamu kesakitan.""Buktinya aku baik baik aja. Ibu sengaja bilang gitu, aku yang suruh.""Tidak lucu bercandanya Alina, aku panik.""Ide Ririn, aku juga ikut idenya dia."Hah? Bima memandang ke samping, baru wajah adiknya kembali terlihat."Kamu juga di sini?""Iya dong. Surprise buat Kakakku tercinta."Bima mendekat dan menyentil keningnya."Ya sudah, kita makan malam saja di dalam, ayok." Di meja makan sudah dipenuhi beberapa menu, tentunya mas
Bima duduk di ruang tengah ditemani Clara, seorang pembantu menyuguhkan minuman hangat untuknya. Beberapa saat perempuan dengan model rambut di gerai ikal datang, ia ikut duduk berhadapan dengan lelaki itu. "Bima ya?" tanyanya dengan wajah berbinar. "Iya benar Tante." "Memang semua cerita dari Clara tidak cacatnya. Kamu ganteng, cool, manis, abdi negara lagi. Cocok dengan Clara yang seorang aktivis muda," ucapnya memuji. Lelaki itu hanya tersenyum simpul. "Ya sudah kalau memang sudah sama sama cocok, pernikahan kalian dipercepat saja." Bima berusaha memikirkan celah, lebih cepat lebih baik. "Dua hari lagi, bagaimana?" Lelaki yang sedang meneguk segelas minuman seketika tersedak, bahkan hampir mengeluarkannya lagi. "Kamu kenapa?" "Nggak nggak, cuma tersedak saja." "Makanya hati hati kalau minum." Clara terlihat cemas. Akan rumit jika pernikahan mereka dilakukan cepat, takutnya akan tabrakan dengan pernikahannya dengan Alina. "Sepertinya harus di undur beberapa hari. Karena a
"Lagi bahas apa?" Seketika Agung dan Wawan datang mengacaukan pembicaraan mereka."Ini loh lagi bahas Kak Agung.""Bahas saya? Ada apa?"Lelaki itu melirik ke arah Bima dan Wawan secara bergantian."Ngapain lihat saya? Kita berdua baru datang," sanggah Wawan tak terima dengan tatapan curiga."Ririn, sebenarnya Agung itu....." Clara kembali melanjutkan tapi dengan cepat Agung menarik tangan Ririn menjauh."Eeh eh Kak Agung, mau ke mana?" ucapnya menurut.Keduanya berhenti di area agak jauh dari mereka."Kamu dengarkan apa kata saya, apapun yang mereka katakan sama kamu, jangan pernah percaya sebelum saya yang mengatakannya. Paham?""Memangnya mereka mau mengatakan apa, Kak?""Yaaaa," lelaki itu terlihat berpikir. "Apapun itu. Intinya jangan percaya."Ririn seperti orang polos yang tak tahu menahu apa tujuan pembicaraan Agung kali ini."Sudah bicaranya? Sekarang kita pulang," Bima menarik lengan adiknya menuju mobil."Tunggu, Kak. Mobilnya mana muat untuk kita berenam. Muat sih, tapi d
Badannya tiba tiba menggigil, dadanya sesak begitu hebat. Tidak hanya dirinya, Ririn juga mendadak kaget. Seorang perempuan cantik, pakaian rapi tertutup, jilbab ungu kalem, dan tatapannya begitu teduh. Bima melepas tangannya, bukan tanpa alas, hanya lengan yang terbungkus baju panjang yang ia pegang."Hy Riiiin...." sapa Wawan saat mereka sudah semakin dekat. "Sudah lama?"Pertanyaan yang tidak terdengar oleh Alina, fokus matanya hanya menuju ke arah Bima dan perempuan itu."B-baru saja, Kak," jawab Ririn tak mengalihkan pandangan dari Kakaknya.Sementara Bima baru saja bertemu pandang dengan Alina, ia juga terlihat menahan rindu yang berkecamuk dalam dada, namun terhalang berjarak oleh suasana mendung hari ini."Kak Bima," sapa Ririn mendaratkan kalimat datar."Rin?"Lelaki itu tersadar dan mengetahui arti tatapan dua perempuan di depannya ini. Namun bagaimana kabar Alina yang masih mematung di sana?"Alina," sapa Bima dengan sorot mata yang dalam. Melihat perempuan yang amat ia c
Bagian 2Yang mengikuti kisah Alina sampai bagian kedua, terima kasih banyak teman teman....Dijamin bagian ini akan pecahhhh, selamat membaca 🌵••••••••••••••••••••••••••••••••••"Bagaimana, Dok?"Alina yang ditemani oleh ibunya memeriksa kandungan terus memancarkan harap harap cemas. Tinggal lima hari kandungannya genap sembilan bulan, pantas ada raut tak sabaran terlihat."Kandungan Bu Alina baik, sehat juga Alhamdulillah. Dan tanggal lahiran sudah saya tulis di sini," tunjuknya di sebuah buku. "Nanti Ibu cek saja, tapi mendekati hari lahiran, kandungan harus dijaga betul betul. Kalau bisa minta suami untuk tetap ada di samping.""Baik, Dok."Alina berdiri dibantu ibunya, mereka berjalan keluar ruangan."Dengar tuh kata dokter, jaga kandungan dan jangan terlalu capek. Kamu juga mulai hari ini jangan ke kantor. Suruh saja Nina untuk menghandle semua.""Tapi nggak betah juga kalau di rumah terus.""Jangan protes," sanggah ibunya memasuki mobil."Sekalian jemput Dani di sekolah, Bu."
Apakah Alina tidak salah dengar?Melihat Bima seperti menahan tawa, ia angkat tas kecilnya lalu menimpuk lengannya."Aaaaa, sakit, Lin.""Eeh, lengan kamu masih sakit ya? Maaf maaf," ucapnya merasa bersalah."Lagian kamu bicara tidak bisa serius.""Iya iya, saya cuma bercanda kok."Tuh kan, padahal Alina berharap kalimat tadi sebuah tanda keseriusan atau setidaknya dia mengungkapkan perasaannya."Meskipun tadi itu benar, mana mungkin saya bisa menggeser nama Pak Yasa di hati kamu. Dia akan tetap menduduki posisi pertama di sana. Iya kan?"Bima menyalakan mobil dan menembus jalanan kota. Ia tidak tahu saja perasaan terdalam Alina seperti apa.Beberapa saat mereka sampai di depan rumah, perut yang semakin besar membuat perempuan itu harus ekstra hati-hati dalam melakukan segala hal."Lin," panggil Bima saat mereka sudah turun. "Ada yang ingin saya katakan."Mendadak wajah berkharisma itu berubah tegang. Apa dia ingin mengatakan sesuatu atau ingin mengungkapkan perasaan?"Besok pagi saya
"Lalu siapa yang harus aku salahkan? Ini bukan tentang Kak Aira atau Dani, tapi menyangkut banyak orang. Wiwin, Pak Tono, dan anak anak yang sudah meninggal karena ulahmu. Lantas siapa yang harus disalahkan, Mas?""Apa kamu membenciku?"Belum ada jawaban atas pertanyaan itu, lebih tepatnya Alina bingung dengan perasaan sendiri."Aku salah, aku menyesal Alina. Andaikan waktu ini bisa diputar, aku akan memilih untuk hidup di jalanan dengan sepotong roti dari pada harus kehilangan perempuan yang aku sayangi.""Sudah terlambat," jawabnya tertunduk."Apa maksud kamu?"Satu tarikan napas terdengar amat panjang, penjelasan suaminya sudah cukup untuk ia dengar. Meski kata maaf dan penyesalan tidak bisa merubah apa apa, setidaknya Yasa sudah mengaku dirinya salah."Sebelumnya, aku ingin mengatakan sesuatu. Mas, aku hamil. Aku sedang hamil anak kamu."Guncangan hebat melanda Yasa kali ini, entah bahagia atau rasa sedih."Apa kamu hamil?"Alina berdiri, "aku akan menunggu kamu keluar dari penjar