Alina masih menikmati tidur sore, entah kenapa usai mual mual dia mengantuk dan tertidur pulas. Namun tak disangka bunyi handphone miliknya berdering. Pertama tak diangkat dan panggilan kedua baru Alina sadar.Nomor tak dikenal? Baru saja ia mau angkat malah mati lagi. Sejenak ia mengerutkan alis, ada beberapa pesan dari Wiwin lima belas menit lalu. Baru saja ia mau buka tapi malah nomor tadi menelpon lagi."Halo dengan siapa?""Bu, Bu Alinaaa...." Suara panik dan serak. "Bu, ini aku Ririn.""Ada apa Ririn? Kenapa suara kamu seperti sedang menangis?""Wiwin, Bu....Wiwin.....""Wiwin kenapa? Bicara yang jelas." Alina ikut panik."Wiwin, dia meninggal, Bu."Apa? Seketika Alina seakan ditikam belati tajam."Ma-maksud kamu apa? Jangan bercanda Ririn.""Nanti aku jelaskan. Bu Alina lihat sendiri, aku sudah kirim alamat rumah Wiwin."Telepon itu dimatikan, Alina diserbu cemas dan banyak pertanyaan. Ia ambil tas dan bergegas pergi ke alamat tujuan.Jarak rumah Wiwin dengan kampusnya lumayan
Alina panik, jantungnya begitu cepat memompa. Wiwin meninggal saat mengejar mobil Mas Yasa, tapi bagaimana Wiwin bisa meninggal?Lelaki dengan mata indah melirik ke Alina, ia menangkap wajahnya sedang panik dan takut.Mobil itu berhenti di sebuah tempat pembuangan sampah, di tengah ada alat berat yang sedang beroperasi."Hey, kenapa kita ke tempat seperti ini?" tanya Alina dilanda bingung."Dari emoticon itu dapat diartikan bahwa HP milik Wiwin berada di tempat pembuangan sampah. Coba Bu Alina buka lagi,"Perempuan itu mengecek lagi simbol yang dikirim Wiwin."Ini ada sampah, terus gambar alat berat juga. Jadi....""Iya, ini tempatnya. Ayo kita cari."Tempat sampah ini begitu luas, kecil kemungkinan bisa menemukan benda persegi panjang itu.Alina dan pria berbadan tegap masih mulai mencari di beberapa titik yang sekiranya berpotensi. Tapi di mata Alina semua yang ada di sana hanyalah sampah dan barang rongsokan yang tak digunakan lagi."Seharian kita cari tidak akan ketemu. Lihatlah t
"Mas Yasa?"Alina memperbaiki gestur berjalannya dan berusaha tenang. Lelaki baik dan penuh cinta seperti suaminya tak mungkin ada hubungannya dengan kematian Wiwin. Pasti ini hanya kebetulan saja. Alina harus bisa percaya itu.Seketika wajah datar Yasa malah melebar dengan senyum manis, ia membentang kedua lengan sembari mengangkat dua alis. Perempuan itu malah memandangi bingung. Tapi segera berjalan memeluknya."Sayang akuuu, seharian tidak ketemu kamu tuh seakan dunia seperti gelap," imbuh Yasa mengecup kepala istrinya."Kamu kenapa saja seharian? Tidak ada kabar dan telponku pun kamu gak angkat, Sayang. Ada apa?"Yasa memegang pundak Alina, sorot mata yang penuh cinta, itu yang tergambar di sana."Alina?" Lembut sekali sapaan itu. "Kamu kenapa, Sayang?"Kini malah air mata yang keluar darinya, Alina hanya membayangkan jika suami yang amat ia cintai ternyata adalah seseorang yang.....Astaga, perasaan apa yang kini Alina rasakan?"A-aku,""Sudah sudah, sini peluk."Isak itu terden
"A-apa kamu bilang?"Yuda terpaku ditempat. Mendengar nama itu seakan melihat meriam jatuh ke arahnya. Ia mendekati Alina yang masih menahan diri kemudian mencengkeram tangannya."Ulangi apa yang kamu bilang tadi?!"Lelaki itu terlihat begitu emosi. Pasti panik ketika mendengar pertanyaan tadi."Lupakan saja," jawabnya melepas pegangan Yuda. Alina kembali berbalik badan dan pergi."Siapa kamu sebenernya? Kenapa kamu bersikap seperti sedang mencari sesuatu?"Sepertinya Alina sudah lepas kendali hingga membuat Yuda mencurigai. Ini akan gawat jika diketahui sebelum menemukan kebenaran dan mencari keadilan untuk kakaknya."Saya istri Mas Yasa. Saya hanya curiga saja sama kalian, banyak hal janggal yang saya temukan di rumah ini, tapi tak ada yang mau memberitahu. Kalian semua bungkam.""Saya sudah bilang, jangan mencari tahu sesuatu yang kamu lihat dan dengar di sini.""Bagaimana aku tidak ingin cari tahu jika menemukan baju bercak merah seperti darah tersimpan di lemari gudang? Lalu ada
Yuda mengusap darah yang keluar dari mulut. Di depannya Yasa masih menggenggam tangan hendak memukul untuk kedua kali tapi ditahan. "Cukup, Mas. Ini bukan sepenuhnya salah Mas Yuda. Tadi dia mau bantu ambilkan sendok, jangan salah paham." Langkahnya tertahan dan melunak, tapi sorot mata itu masih mengarah pada saudaranya. Yuda yang sudah merasakan suasana tak nyaman langsung mengambil kunci mobil dan bergegas pergi, ia tak jadi sarapan di rumah. "Kamu nggak apa apa?" Yasa langsung berbalik menatapnya. "Aku baik baik saja." Alina sebenarnya tersentak saat Yasa memukul Yuda seperti tadi. Terlihat pukulannya sangat bertenaga dan terniat sekali, sampai ada darah yang keluar di wajahnya. "Kamu kenapa sangat membenci Mas Yuda? Dia Kakak kamu meski beda ibu. Seharusnya kalian akur dan saling menyayangi." Wajah cemas berubah berawan. Yasa melepas istrinya. "Aku tidak akan pernah akur dengan dia, sampai kapan pun. Dia lelaki bodoh dan tolol." Kalimat yang tak pernah terbayang
Langit cerah tersapu awan biru, tak nampak adanya mendung di atas sana. Alina langsung turun dari taksi hendak ke kantor setelah kembali dari rumah Pak Wibowo. Langkah pelan tak bertenaga, sejauh ini perjuangan Alina sudah begitu jauh, namun tak sebanding dengan informasi yang di dapat.Meski demikian, dalam jiwanya sudah tertanam bahwa apapun yang terjadi kematian Aira kakaknya harus terungkap meski dengan nyawa taruhannya.Satu tarikan napas panjang sebelum ia melihat seseorang di pinggir jalan. Matanya membelok tak jadi masuk kantor."Dia bukannya anak pengemis itu? Astaga, sudah aku bilang ke kantor saja."Alina berjalan menghampiri dirinya. Masih dengan penampilan yang sama, wajah tertutup masker hitam dan jubah besar memenuhi kepala hingga ujung kaki. Dan ada sebuah kaleng di samping yang mungkin isinya hanya recehan."Adek, kenapa masih ditempat panas?" sapanya berdiri di depan anak kecil itu. "Ayok kita pindah di sana."Alina berusaha menariknya tapi anak itu menggeleng menaha
Jangan sampai semua terbongkar sebelum mencapai tujuan."Saya memang punya sebuah perusahaan, tapi bukan saya yang mengelola. Saya ke sini sebagai sekretaris juga ingin menambah wawasan. Hanya itu."Berharap Yuda menerima alasan yang sudah ia berikan."Lagi pula Mas Yasa juga sudah tahu bahwa saya punya perusahaan.""Dan apakah dia tahu bahwa kamu jadi sekretaris di sini?"Pintar juga Yuda memperkirakan keadaan. Yasa memang belum tahu jika Alina menyamar sebagai sekretaris Yuda untuk masuk ke keluarga mereka."Kalau saya kasih tahu Yasa, bagaimana ya reaksinya?"Malah senyum gentir yang ia berikan, "silahkan saja. Tapi saya juga akan kasih tahu suami saya bahwa Anda masih berharap kepada saya, ipar kamu sendiri. Jika dia tahu, entah apa yang akan terjadi padamu dan Valen. Kalau saya, Mas Yasa tidak bisa marah sama saya, Pak Yuda."Pendengar yang baik, Yuda sedang mencerna secara cepat nada bicaranya."Sayang, kamu kok serius sekali?" ucapnya kemudian. "Kalau kita sama sama untung, ken
Kawasan itu sepi, hanya beberapa orang yang lalu lalang, pun penjual kaki lima tidak ada. Hanya penjual pakai gerobak dorong saja yang sesekali nongol."Kamu yakin ini tempatnya?""Iya yakin."Bima mencoba memeriksa daerah sekitar, di depan ada toko bangunan, di samping iri jalan ada toko pakaian. Jika dilihat tak ada yang mencurigakan."Saat itu aku sudah sampai di sini, tapi tiba-tiba aku ditelpon sama Tante Lira, Mamanya Wiwin. Makanya aku putar balik dan langsung ke rumahnya.""Pada saat kamu sampai di sini, lokasinya masih jauh? Tinggal berapa menit?""Masih jauh, Kak. Hampir tiga puluh menitan lagi. Aku juga bingung kenapa Wiwin mengejar Pak Yasa sampai sejauh ini. Dan akun juga nggak tahu tempat kecelakaannya di mana, sepanjang jalan tidak ada hal hal aneh.""Jika asumsinya memang sebuah kecelakaan, kemungkinan Wiwin mengalaminya saat di tiga puluh menit terakhir. Atau dia sudah kecelakaan baru kamu berangkat mencarinya," jelas Bima."Aku yang bodoh, andaikan waktu itu aku tida
"Nikahi Clara sekarang juga," ucapnya lagi dengan nada lebih mengancam. "Saya hitung mundur. Tiga...."Suasana semakin ricuh, Bima masih belum bisa menyatukan hati dan pikiran saat ini. Jika menikah dengan Clara maka ia seakan menyakiti Alina bertubi tubi. Tapi jika tidak dilakukan, maka ia menyepelekan tugas dan mengorbankan Ririn."Dua....Saaa.....""Baik, saya akan menikahi Clara."Jawaban Bima membuat semua menatap dirinya tak percaya."Kak, apa yang sedang Kak Bima katakan? Tarik lagi, Kak. Ini semua jebakan, jangan percaya ucapan lelaki ini. Kak Bimaaa!" Berontak Ririn masih tidak berdaya."Bagus. Pilihan yang sangat bijak.""Kak Bima!""Diam!" gertak lelaki itu ke Ririn.Sementara Clara yang masih terbengong, kembali duduk di hadapan penghulu. Di sampingnya lelaki bertubuh kekar juga ikut duduk dan langsung menjabat tangan penghulu. Kuncoro sebagai wali nikah menyaksikan pernikahan anaknya dengan desir."Kak Bimaaaa, hentikan Kaaaak!"Teriakan Ririn tidak diperhatikan, Bima den
Pernikahan tiba.......Alina sudah selesai di rias dengan gaun putih melilit tubuhnya. Pilihan Ririn untuknya memang yang terbaik. Rasanya menikah untuk kedua kali tak pernah ia bayangkan, tapi takdir yang membawa perempuan itu pada pilihan."Kak Alina cantik sekali, kayak putri kerajaan," imbuh Ririn."Bisa aja mujinya.""Lah, memang benar, Kak. Ya sudah, kita turun. Sebentar," ucapnya menghampiri pintu kamar. Saat ia buka ternyata Bu Nuri."Sudah siap? Bima dan Bu Lila sudah datang.""Mama sudah datang?" tanya Ririn memastikan."Sudah, Rin. Mereka menunggu kalian turun. Dipercepat ya."Bu Nuri kembali berlalu, kini Alina berjalan keluar dibantu oleh Ririn. Semua mata menuju ke arahnya, apalagi Bima. Ia terus saja memandang secara bergantian wajah calon istri dan jam tangan. Team wedding Clara sudah menunggu di sana, kalau Bima tidak cepat akan sangat fatal. Sementara sang Mama masih menahan rasa yang bergejolak. Cantik memang cantik menantunya ini, tapi melihat perutnya yang mengg
Dengan gerakan panik, Bima menyetir mobil kecepatan tinggi. Sesaat sudah sampai, ia langsung bergegas menghampiri pintu. Namun belum saja diketuk, pintu sudah terbuka lebar."Happy birthday Om Biiiim....." teriak Dani mengibas ngibaskan balon ke atas.Hah? Lelaki itu malah menaikkan alis, ia saja tidak ingat tanggal kelahirannya sendiri."Tante Alina baik baik saja kan, Dan?" Ia masih saja mencemaskan perempuan itu.Alina begitu disebut namanya seketika nongol di belakang Dani dengan senyum."Lin, kamu nggak apa apa? Aku ditelpon Ibu, katanya kamu kesakitan.""Buktinya aku baik baik aja. Ibu sengaja bilang gitu, aku yang suruh.""Tidak lucu bercandanya Alina, aku panik.""Ide Ririn, aku juga ikut idenya dia."Hah? Bima memandang ke samping, baru wajah adiknya kembali terlihat."Kamu juga di sini?""Iya dong. Surprise buat Kakakku tercinta."Bima mendekat dan menyentil keningnya."Ya sudah, kita makan malam saja di dalam, ayok." Di meja makan sudah dipenuhi beberapa menu, tentunya mas
Bima duduk di ruang tengah ditemani Clara, seorang pembantu menyuguhkan minuman hangat untuknya. Beberapa saat perempuan dengan model rambut di gerai ikal datang, ia ikut duduk berhadapan dengan lelaki itu. "Bima ya?" tanyanya dengan wajah berbinar. "Iya benar Tante." "Memang semua cerita dari Clara tidak cacatnya. Kamu ganteng, cool, manis, abdi negara lagi. Cocok dengan Clara yang seorang aktivis muda," ucapnya memuji. Lelaki itu hanya tersenyum simpul. "Ya sudah kalau memang sudah sama sama cocok, pernikahan kalian dipercepat saja." Bima berusaha memikirkan celah, lebih cepat lebih baik. "Dua hari lagi, bagaimana?" Lelaki yang sedang meneguk segelas minuman seketika tersedak, bahkan hampir mengeluarkannya lagi. "Kamu kenapa?" "Nggak nggak, cuma tersedak saja." "Makanya hati hati kalau minum." Clara terlihat cemas. Akan rumit jika pernikahan mereka dilakukan cepat, takutnya akan tabrakan dengan pernikahannya dengan Alina. "Sepertinya harus di undur beberapa hari. Karena a
"Lagi bahas apa?" Seketika Agung dan Wawan datang mengacaukan pembicaraan mereka."Ini loh lagi bahas Kak Agung.""Bahas saya? Ada apa?"Lelaki itu melirik ke arah Bima dan Wawan secara bergantian."Ngapain lihat saya? Kita berdua baru datang," sanggah Wawan tak terima dengan tatapan curiga."Ririn, sebenarnya Agung itu....." Clara kembali melanjutkan tapi dengan cepat Agung menarik tangan Ririn menjauh."Eeh eh Kak Agung, mau ke mana?" ucapnya menurut.Keduanya berhenti di area agak jauh dari mereka."Kamu dengarkan apa kata saya, apapun yang mereka katakan sama kamu, jangan pernah percaya sebelum saya yang mengatakannya. Paham?""Memangnya mereka mau mengatakan apa, Kak?""Yaaaa," lelaki itu terlihat berpikir. "Apapun itu. Intinya jangan percaya."Ririn seperti orang polos yang tak tahu menahu apa tujuan pembicaraan Agung kali ini."Sudah bicaranya? Sekarang kita pulang," Bima menarik lengan adiknya menuju mobil."Tunggu, Kak. Mobilnya mana muat untuk kita berenam. Muat sih, tapi d
Badannya tiba tiba menggigil, dadanya sesak begitu hebat. Tidak hanya dirinya, Ririn juga mendadak kaget. Seorang perempuan cantik, pakaian rapi tertutup, jilbab ungu kalem, dan tatapannya begitu teduh. Bima melepas tangannya, bukan tanpa alas, hanya lengan yang terbungkus baju panjang yang ia pegang."Hy Riiiin...." sapa Wawan saat mereka sudah semakin dekat. "Sudah lama?"Pertanyaan yang tidak terdengar oleh Alina, fokus matanya hanya menuju ke arah Bima dan perempuan itu."B-baru saja, Kak," jawab Ririn tak mengalihkan pandangan dari Kakaknya.Sementara Bima baru saja bertemu pandang dengan Alina, ia juga terlihat menahan rindu yang berkecamuk dalam dada, namun terhalang berjarak oleh suasana mendung hari ini."Kak Bima," sapa Ririn mendaratkan kalimat datar."Rin?"Lelaki itu tersadar dan mengetahui arti tatapan dua perempuan di depannya ini. Namun bagaimana kabar Alina yang masih mematung di sana?"Alina," sapa Bima dengan sorot mata yang dalam. Melihat perempuan yang amat ia c
Bagian 2Yang mengikuti kisah Alina sampai bagian kedua, terima kasih banyak teman teman....Dijamin bagian ini akan pecahhhh, selamat membaca 🌵••••••••••••••••••••••••••••••••••"Bagaimana, Dok?"Alina yang ditemani oleh ibunya memeriksa kandungan terus memancarkan harap harap cemas. Tinggal lima hari kandungannya genap sembilan bulan, pantas ada raut tak sabaran terlihat."Kandungan Bu Alina baik, sehat juga Alhamdulillah. Dan tanggal lahiran sudah saya tulis di sini," tunjuknya di sebuah buku. "Nanti Ibu cek saja, tapi mendekati hari lahiran, kandungan harus dijaga betul betul. Kalau bisa minta suami untuk tetap ada di samping.""Baik, Dok."Alina berdiri dibantu ibunya, mereka berjalan keluar ruangan."Dengar tuh kata dokter, jaga kandungan dan jangan terlalu capek. Kamu juga mulai hari ini jangan ke kantor. Suruh saja Nina untuk menghandle semua.""Tapi nggak betah juga kalau di rumah terus.""Jangan protes," sanggah ibunya memasuki mobil."Sekalian jemput Dani di sekolah, Bu."
Apakah Alina tidak salah dengar?Melihat Bima seperti menahan tawa, ia angkat tas kecilnya lalu menimpuk lengannya."Aaaaa, sakit, Lin.""Eeh, lengan kamu masih sakit ya? Maaf maaf," ucapnya merasa bersalah."Lagian kamu bicara tidak bisa serius.""Iya iya, saya cuma bercanda kok."Tuh kan, padahal Alina berharap kalimat tadi sebuah tanda keseriusan atau setidaknya dia mengungkapkan perasaannya."Meskipun tadi itu benar, mana mungkin saya bisa menggeser nama Pak Yasa di hati kamu. Dia akan tetap menduduki posisi pertama di sana. Iya kan?"Bima menyalakan mobil dan menembus jalanan kota. Ia tidak tahu saja perasaan terdalam Alina seperti apa.Beberapa saat mereka sampai di depan rumah, perut yang semakin besar membuat perempuan itu harus ekstra hati-hati dalam melakukan segala hal."Lin," panggil Bima saat mereka sudah turun. "Ada yang ingin saya katakan."Mendadak wajah berkharisma itu berubah tegang. Apa dia ingin mengatakan sesuatu atau ingin mengungkapkan perasaan?"Besok pagi saya
"Lalu siapa yang harus aku salahkan? Ini bukan tentang Kak Aira atau Dani, tapi menyangkut banyak orang. Wiwin, Pak Tono, dan anak anak yang sudah meninggal karena ulahmu. Lantas siapa yang harus disalahkan, Mas?""Apa kamu membenciku?"Belum ada jawaban atas pertanyaan itu, lebih tepatnya Alina bingung dengan perasaan sendiri."Aku salah, aku menyesal Alina. Andaikan waktu ini bisa diputar, aku akan memilih untuk hidup di jalanan dengan sepotong roti dari pada harus kehilangan perempuan yang aku sayangi.""Sudah terlambat," jawabnya tertunduk."Apa maksud kamu?"Satu tarikan napas terdengar amat panjang, penjelasan suaminya sudah cukup untuk ia dengar. Meski kata maaf dan penyesalan tidak bisa merubah apa apa, setidaknya Yasa sudah mengaku dirinya salah."Sebelumnya, aku ingin mengatakan sesuatu. Mas, aku hamil. Aku sedang hamil anak kamu."Guncangan hebat melanda Yasa kali ini, entah bahagia atau rasa sedih."Apa kamu hamil?"Alina berdiri, "aku akan menunggu kamu keluar dari penjar