Sean membanting kasar pintu mobilnya. Sepanjang jalan menuju rumah, dia tak henti mengumpat dalam hati. Ya, amarahnya harus dia mampu kendalikan meski ingin rasanya dia menghajar sepupunya sendiri. Jika saja di dalam mobil tidak ada Stella, dia akan memutar balik dan segera menemui Kelvin. Tindakan yang dilakukan Kelvin benar-benar tidak akan termaafkan. Bisa-bisanya sepupunya itu memposting videonya yang tengah memetik buah salak di kebun salal. Sial! Sean tak akan bisa bersabar. Kali ini tindakan Kelvin sungguh konyol!“Sean, kau marah, ya, sayang?” Stella melangkah mengekori Sean yang sejak tadi memasang wajah datar dan dingin kala memasuki rumah.“Kapan kau melihat video itu?” Suara Sean bertanya dengan nada kesal. Namun, dia berusha mati-matian menahan kesal di depan sang istri.“Saat aku sedang di kantin bersama dengan Alika dan Chery, ada sekumpulan seniorku yang sedang berbisik-bisik sambil melihat ke arahku. Kemudian, salah satu wanita yang ikut berkumpul itu menghampiriku da
Stella mematut cermin seraya mengusap pelan perutnya. Ya, kini kandungan Stella tengah memasuki minggu ke delapan. Perutnya sudah mulai membuncit membuat Stella sedikit bingung, pasalnya kandungannya masih masih baru delapan minggu tapi perutnya sudah mulai terlihat. Namun, Stella tak begitu mempersoalkan itu. Mungkin karena belakangan ini Stella makan dengan baik. Serta mualnya pun sudah sedikit mulai berkurang. Walau setiap pagi Stella masih sering muntah, tetapi itu sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Stella mengatasi rasa mualnya dengan makan makanan manis dan asam. Setiap harinya Stella selalu memakan chocolate cake atau tiramisu cake.“Pasti nanti kalau perutku semakin membesar, tubuhku akan menjadi bengkak.” Stella bergumam sambil mengulum senyumannya kala membayangkan tubuhnya akan melebar ke samping. Tentu saja moment itu sangat ditunggu-tunggu oleh Stella. Mimpinya bisa mengandung buah cintanya dengan Sean terwujud. Sungguh, terkadang Stella masih menganggap ini semua ada
Keesokan hari, Stella menyambut pagi dengan wajah yang sumiringah bahagia. Ya, bagaimana tidak? Hari ini adalah hari yang telah ditunggu-tunggu oleh Sean dan Stella. Hari ini Stella akan memeriksakan kandungannya. Tentu saja, Stella tidak sabar melihat keadaan bayi yang ada di kandungannya. Setiap malamnya, Stella selalu mengusap lembut dan mengajak bicara bayi yang masih ada di kandungannya itu. Pun sebelum tidur, Sean selalu mencium perut Stella.“Sayang, hari ini Mommy akan melihatmu, ya? Mommy tahu, kau pasti akan selalu sehat.” Stella berguman sendiri seraya mengusap lembut perutnya. Meski kandunganya masih memasuki delapan minggu, tapi perutnya sudah mulai membesar. ”Daddy juga akan ikut dengan kita, sayang. Hari ini Daddy akan meluangkan waktu untuk kita. Daddy tidak akan ke kantor.”Sean melangkah masuk ke dalam kamar seraya membawakan susu cokelat hangat untuk sang istri. "Iya, Daddy hari ini tidak akan bekerja," ucapnya sambil mengecup kening Stella. Sejak tadi dia mendenga
Sean mengusap lembut perut Stella yang mulai membuncit dengan tangan kirinya dan tangan kanan melajukan mobil. Ya, kini Sean dan Stella berada di dalam mobil. Sepulang dari rumah sakit, Sean langsung membawa sang istri untuk ke rumah orang tuanya. Mengingat William dan Marsha besok sudah kembali ke Kanada membuat Sean harus segera menemui kedua orang tuanya itu. Tampak wajah Sean dan Stella sejak tadi sumiringah bahagia. Kebahagiaan hadir di tengah-tengah mereka. Takdir telah memihak pada mereka. Kenyataannya, mereka mampu menghadapi badai yang terjadi.Sepanjang perjalanan Stella menyandarkan kepalanya di kursi dan memejamkan matanya kala Sean mengusap lembut perutnya. Setiap saat Stella merasakan tangan Sean mengusap perutnya, dia selalu mersa nyaman. Stella menyukai setiap kali Sean mengelus dan mencium perutnya.“Sean,” panggil Stella pelan.“Ya?” Sean mengalihkan sebentar pandangannya ke arah Stella, lalu melihat ke depan kembali.“Sean, menurutmu anak kita perempuan atau laki-la
“What? Alika kau sedang tidak membohongiku, kan?”Suara Chery berseru kala mendengar kabar tentang Stella yang mengandung tiga bayi kembar dari Alika. Terlihat Chery menatap lekat Alika, menuntut temannya itu untuk menjelaskan padanya. Bukan tidak percaya tapi Chery takut apa yang dia dengar ini adalah salah. Jika kembar dua bayi mungkin Chery akan percaya karena banyak wanita yang hamil dua bayi kembar. Terlebih keluarga Sean memang memiliki keturunan kembar. Namun, jika kembar tiga bayi tentu saja Chery begitu terkejut dan nyaris tak percaya.Alika menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan kala Chery tak percaya dengan apa yang dia katakan. Kini Alika menjatuhkan tubuhnya, duduk di samping Chery. Kemudian dia mengambil orange juice yang baru saja diantarkan oleh pelayan dan meminumnya perlahan.“Kalau aku bercanda, aku tidak akan datang jauh-jauh ke rumahmu saat weekend seperti ini. Lebih baik aku menonton film atau berbelanja ke mall dari pada harus ke rumahmu hanya untuk membe
“Sean… Bangun… Aku lapar, Sean. Aku mau makan.”Stella menggoyangkan bahu Sean, meminta sang suami agar membuka matanya. Namun, satu, dua, hingga tiga kali Stella membangunkan Sean tetap saja suaminya itu tak kunjung membuka matanya. Ya, Stella tak bisa menyalahkan sepenuhnya Sean. Karena tepat saat Stella melirik jam dinding—waktu menunjukan pukul tiga pagi. Tentu saja semua orang masih akan tertidur pulas pada jam itu. Sayangnya berbeda dengan Stella yang tiba-tiba terbangun. Stella merasakan perutnya sejak tadi berbunyi dan ingin makan sesuatu. Bisa saja Stella langsung menghubungi pelayan, akan tetapi Stella tidak mau makan sendirian. Dia ingin Sean menemani dirinya.Stella mengembuskan napas panjang. Kini dia mendekatkan bibirnya ke telinga Sean. Mengcupi belakang daun telinga suaminya itu sambil berbisik dengan nada yang merengek seperti anak kecil, “Sean, bangun. Aku lapar. Aku ingin makan, Sean. Ayo bangun.”Sean menggeliat kala mendengar suara rengekan Stella. Perlahan, Sean
“Stella…”Suara Alika dan Chery memanggil Stella bersamaan kala Stella baru saja turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam lobby kampus. Ya, hampir sepuluh menit Alika dan Chery menunggu Stella di lobby kampus. Sebelumnya Alika sudah bertukar pesan pada Stella bahwa dirinya menunggu di lobby kampus bersama dengan Chery. Dan beruntung Stella datang tidak terlalu lama. Hanya menunggu sepuluh menit bukanlah hal besar. Walau tak dipungkiri, menunggu adalah hal yang tidak disukai oleh banyak orang.“Ah, kalian masih di sini. Aku pikir kalian sudah di kelas,” ujar Stella kala melihat Alika dan Chery memanggilnya.“Tidak, Stella. Kelas mulai masih satu jam lagi. Oh, ya. Tadi kau di antar Sean, ya?” tanya Alika seraya menatap Stella.Stella menganggukan kepalanya. “Iya, tadi aku diantar Sean. Sebenarnya aku tidak ingin diantar Sean. Suamiku itu sedang tidak enak badan. Tapi tetap saja dia mengatakan dia tidak apa-apa. Meski sudah meminum obat tetap saja aku mencemaskannya.”“Sean sakit ap
Suara dering ponsel terdengar, membuat Stella yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menghentikan langkahnya dan menoleh pada ponsel yang tak kunjung berdering itu. Kini Stella mengambil ponselnya, lalu menatap ke layar—seketika kening Stella berkerut melihat nomor Alika muncul di layar ponselnya. Tidak biasanya Alika menghubungi sepagi ini. Stella mengembuskan napas panjang. Tanpa menunggu, dia langsung menerima panggilan itu.“Ya, Alika?” jawab Stella saat panggilan terhubung.“Stella, astaga tolong aku. Aku bingung harus seperti apa,” seru Alika dengan nada panik dari seberang line.Alis Stella bertautan mendengar apa yang diucapkan oleh Alika. “Ada apa, Alika? Apa kau mendapatkan masalah?”“Stella. Ini masalah yang sangat besar. Aku sekarang pusing, Stella. Astaga apa aku bunuh diri saja, ya?” Suara Alika terdengar dari panik dari seberang sana.“Hust! Kau itu bicara sembarangan. Ada apa sebenarnya?”“Orang tua Kelvin beserta dengan adik perempuannya sudah di Jakarta. Dan
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al