“What? Alika kau sedang tidak membohongiku, kan?”Suara Chery berseru kala mendengar kabar tentang Stella yang mengandung tiga bayi kembar dari Alika. Terlihat Chery menatap lekat Alika, menuntut temannya itu untuk menjelaskan padanya. Bukan tidak percaya tapi Chery takut apa yang dia dengar ini adalah salah. Jika kembar dua bayi mungkin Chery akan percaya karena banyak wanita yang hamil dua bayi kembar. Terlebih keluarga Sean memang memiliki keturunan kembar. Namun, jika kembar tiga bayi tentu saja Chery begitu terkejut dan nyaris tak percaya.Alika menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan kala Chery tak percaya dengan apa yang dia katakan. Kini Alika menjatuhkan tubuhnya, duduk di samping Chery. Kemudian dia mengambil orange juice yang baru saja diantarkan oleh pelayan dan meminumnya perlahan.“Kalau aku bercanda, aku tidak akan datang jauh-jauh ke rumahmu saat weekend seperti ini. Lebih baik aku menonton film atau berbelanja ke mall dari pada harus ke rumahmu hanya untuk membe
“Sean… Bangun… Aku lapar, Sean. Aku mau makan.”Stella menggoyangkan bahu Sean, meminta sang suami agar membuka matanya. Namun, satu, dua, hingga tiga kali Stella membangunkan Sean tetap saja suaminya itu tak kunjung membuka matanya. Ya, Stella tak bisa menyalahkan sepenuhnya Sean. Karena tepat saat Stella melirik jam dinding—waktu menunjukan pukul tiga pagi. Tentu saja semua orang masih akan tertidur pulas pada jam itu. Sayangnya berbeda dengan Stella yang tiba-tiba terbangun. Stella merasakan perutnya sejak tadi berbunyi dan ingin makan sesuatu. Bisa saja Stella langsung menghubungi pelayan, akan tetapi Stella tidak mau makan sendirian. Dia ingin Sean menemani dirinya.Stella mengembuskan napas panjang. Kini dia mendekatkan bibirnya ke telinga Sean. Mengcupi belakang daun telinga suaminya itu sambil berbisik dengan nada yang merengek seperti anak kecil, “Sean, bangun. Aku lapar. Aku ingin makan, Sean. Ayo bangun.”Sean menggeliat kala mendengar suara rengekan Stella. Perlahan, Sean
“Stella…”Suara Alika dan Chery memanggil Stella bersamaan kala Stella baru saja turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam lobby kampus. Ya, hampir sepuluh menit Alika dan Chery menunggu Stella di lobby kampus. Sebelumnya Alika sudah bertukar pesan pada Stella bahwa dirinya menunggu di lobby kampus bersama dengan Chery. Dan beruntung Stella datang tidak terlalu lama. Hanya menunggu sepuluh menit bukanlah hal besar. Walau tak dipungkiri, menunggu adalah hal yang tidak disukai oleh banyak orang.“Ah, kalian masih di sini. Aku pikir kalian sudah di kelas,” ujar Stella kala melihat Alika dan Chery memanggilnya.“Tidak, Stella. Kelas mulai masih satu jam lagi. Oh, ya. Tadi kau di antar Sean, ya?” tanya Alika seraya menatap Stella.Stella menganggukan kepalanya. “Iya, tadi aku diantar Sean. Sebenarnya aku tidak ingin diantar Sean. Suamiku itu sedang tidak enak badan. Tapi tetap saja dia mengatakan dia tidak apa-apa. Meski sudah meminum obat tetap saja aku mencemaskannya.”“Sean sakit ap
Suara dering ponsel terdengar, membuat Stella yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menghentikan langkahnya dan menoleh pada ponsel yang tak kunjung berdering itu. Kini Stella mengambil ponselnya, lalu menatap ke layar—seketika kening Stella berkerut melihat nomor Alika muncul di layar ponselnya. Tidak biasanya Alika menghubungi sepagi ini. Stella mengembuskan napas panjang. Tanpa menunggu, dia langsung menerima panggilan itu.“Ya, Alika?” jawab Stella saat panggilan terhubung.“Stella, astaga tolong aku. Aku bingung harus seperti apa,” seru Alika dengan nada panik dari seberang line.Alis Stella bertautan mendengar apa yang diucapkan oleh Alika. “Ada apa, Alika? Apa kau mendapatkan masalah?”“Stella. Ini masalah yang sangat besar. Aku sekarang pusing, Stella. Astaga apa aku bunuh diri saja, ya?” Suara Alika terdengar dari panik dari seberang sana.“Hust! Kau itu bicara sembarangan. Ada apa sebenarnya?”“Orang tua Kelvin beserta dengan adik perempuannya sudah di Jakarta. Dan
Alika mematut cermin. Kini tubuhnnya terbalut oleh gaun berwarna merah dengan model one-shoulder. Dengan polesan make up bold membuat Alika berpenampilan sangat cantik dan sempurna. Gaun yang dipakainya ini sukses membuat lekuk tubuh Alika terlihat seksi namun tetap berkelas. Ya, jika bukan karena bantuan Stella yang memilihkannya gaun; mungkin Alika tidak tahu apa yang harus dipakainya hari ini.Alika menarik napas dalam, dan mengembuskan perlahan. Rasa gugup dan jantungnya terus berdetak kencang membuat Alika tidak nyaman. Tak dipungkiri banyak hal yang Alika pikirkan. Mulai dari kecemasan jika orang tua Kelvin tidak menyukainya. Jujur, Alika memang bahagia ketika mendengar Kelvin mengajaknya bertemu dengan keluarga dari kekasihnya itu. Akan tetapi, ketakutan pun menelusup ke dalam dirinya. Membuat Alika seolah menjadi ragu.“Alika, kau harus berpikir poisitive. Semuanya baik-baik saja.” Alika bergumam sendiri. Dia menepis semua pikiran negative yang muncul dalam benaknya.Suara ket
“Nyonya Stella.” Seorang pelayan menyapa Stella seraya melangkah mendekat pada Stella yang tengah duduk di sofa kamar. Pelayan itu membawakan nampan yang berisikan susu kacang dan sandwich tuna.Stella mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Dia mengulas senyumannya pada pelayan yang kini ada di hadapannya. “Suamiku yang memintamu membawakan sarapan untukku ke kamar?” tanyanya pelan dan lembut.Sang pelayan itu menganggukan kepalanya. Lalu dia menghidangkan sarapan yang dia bawa ke atas meja sambil menjawab, “Benar, Nyonya. Tuan yang meminta saya mengatarkan sarapan untuk anda.”Stella mendesah pelan. Ya, padahal Stella berencana untuk makan di ruang makan. Tapi karena Sean tadi tengah menerima telepon, itu kenapa Stella memilih menunggu suaminya. Namun, ternyata suaminya itu sudah hampir satu jam masih belum juga kembali.“Apa Sean masih menelepon?” tanya Stella sambil menatap pelayan itu.“Masih, Nyonya. Tadi Tuan Sean saya lihat masih menelepon,” jawab sang pelayan.St
Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menelusuri malam di Jakarta. Meski langit gelap tapi bintang beraburan di langit dan bulan yang sebagai pelengkap keindahan langit malam. Ya, hari ini Sean sedikit pulang terlambat karena ada pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Dan beruntung, saat Sean tadi menghubungi Stella akan pulang terlambat; istrinya itu mengerti dan tidak marah. Karena memang biasanya, Stella sering merengek kala dirinya harus pulang di malam hari.Tak berselang lama, mobil yang dilajukan Sean mulai memasuki gerbang rumahnya. Tampak para penjaga langsung membungkukan kepala kala mobil Sean memasuki halaman parkir rumah. Kini Sean turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah.“Selamat malam, Tuan.” Sang pelayan menundukan kepalanya menyapa Sean dengan sopan dan hormat.Sean mengangguk singkat membalas sapaan pelayan itu. “Di mana istriku? Apa dia sudah tidur?” tanyanya.“Belum, Tuan. Tadi baru saja saya mengantarkan tiramisu cake untuk Nyonya Stella. Saat
“Alika, apa kau yakin Kelvin akan menjemputmu? Ini sudah jam tiga sore tapi kau masih belum juga dijemput. Stella saja sudah dijemput oleh sopirnya. Kau malah sampai sekarang masih belum juga dijemput. Kenapa Kelvin hobby sekali datang menjemputmu terlambat? Apa dia itu tidak memiliki jam?” seru Chery mengomel di area lobby kampus.Ya, sudah hampir tiga puluh menit Chery menemai Alika di lobby kampus. Sore ini Kelvin akan menjemput Alika, namun kenyataannya hingga detik ini Kelvin masih belum juga muncul. Padahal sudah sejak tadi Stella dijemput oleh sopir. Well, sopir pribadi Stella jauh lebih tepat waktu dari pada Kelvin.“Kelvin tadi bilang sedang dijalan. Kau tahu, kan, Jakarta itu macet. Jadi sabar saja,” jawab Alika yang berusaha berpikir positive. “Sekarang lebih baik kau pulang, tidak perlu menungguku. Biar aku saja yang menunggu Kelvin di sini. Lagi pula aku yakin Kelvin sebentar lagi akan datang,” lanjutnya lagi.Chery mengembuskan napas kasar. “Kau benar aku tinggal sendiri
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al