Keesokan hari, Stella menyambut pagi dengan wajah yang sumiringah bahagia. Ya, bagaimana tidak? Hari ini adalah hari yang telah ditunggu-tunggu oleh Sean dan Stella. Hari ini Stella akan memeriksakan kandungannya. Tentu saja, Stella tidak sabar melihat keadaan bayi yang ada di kandungannya. Setiap malamnya, Stella selalu mengusap lembut dan mengajak bicara bayi yang masih ada di kandungannya itu. Pun sebelum tidur, Sean selalu mencium perut Stella.“Sayang, hari ini Mommy akan melihatmu, ya? Mommy tahu, kau pasti akan selalu sehat.” Stella berguman sendiri seraya mengusap lembut perutnya. Meski kandunganya masih memasuki delapan minggu, tapi perutnya sudah mulai membesar. ”Daddy juga akan ikut dengan kita, sayang. Hari ini Daddy akan meluangkan waktu untuk kita. Daddy tidak akan ke kantor.”Sean melangkah masuk ke dalam kamar seraya membawakan susu cokelat hangat untuk sang istri. "Iya, Daddy hari ini tidak akan bekerja," ucapnya sambil mengecup kening Stella. Sejak tadi dia mendenga
Sean mengusap lembut perut Stella yang mulai membuncit dengan tangan kirinya dan tangan kanan melajukan mobil. Ya, kini Sean dan Stella berada di dalam mobil. Sepulang dari rumah sakit, Sean langsung membawa sang istri untuk ke rumah orang tuanya. Mengingat William dan Marsha besok sudah kembali ke Kanada membuat Sean harus segera menemui kedua orang tuanya itu. Tampak wajah Sean dan Stella sejak tadi sumiringah bahagia. Kebahagiaan hadir di tengah-tengah mereka. Takdir telah memihak pada mereka. Kenyataannya, mereka mampu menghadapi badai yang terjadi.Sepanjang perjalanan Stella menyandarkan kepalanya di kursi dan memejamkan matanya kala Sean mengusap lembut perutnya. Setiap saat Stella merasakan tangan Sean mengusap perutnya, dia selalu mersa nyaman. Stella menyukai setiap kali Sean mengelus dan mencium perutnya.“Sean,” panggil Stella pelan.“Ya?” Sean mengalihkan sebentar pandangannya ke arah Stella, lalu melihat ke depan kembali.“Sean, menurutmu anak kita perempuan atau laki-la
“What? Alika kau sedang tidak membohongiku, kan?”Suara Chery berseru kala mendengar kabar tentang Stella yang mengandung tiga bayi kembar dari Alika. Terlihat Chery menatap lekat Alika, menuntut temannya itu untuk menjelaskan padanya. Bukan tidak percaya tapi Chery takut apa yang dia dengar ini adalah salah. Jika kembar dua bayi mungkin Chery akan percaya karena banyak wanita yang hamil dua bayi kembar. Terlebih keluarga Sean memang memiliki keturunan kembar. Namun, jika kembar tiga bayi tentu saja Chery begitu terkejut dan nyaris tak percaya.Alika menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan kala Chery tak percaya dengan apa yang dia katakan. Kini Alika menjatuhkan tubuhnya, duduk di samping Chery. Kemudian dia mengambil orange juice yang baru saja diantarkan oleh pelayan dan meminumnya perlahan.“Kalau aku bercanda, aku tidak akan datang jauh-jauh ke rumahmu saat weekend seperti ini. Lebih baik aku menonton film atau berbelanja ke mall dari pada harus ke rumahmu hanya untuk membe
“Sean… Bangun… Aku lapar, Sean. Aku mau makan.”Stella menggoyangkan bahu Sean, meminta sang suami agar membuka matanya. Namun, satu, dua, hingga tiga kali Stella membangunkan Sean tetap saja suaminya itu tak kunjung membuka matanya. Ya, Stella tak bisa menyalahkan sepenuhnya Sean. Karena tepat saat Stella melirik jam dinding—waktu menunjukan pukul tiga pagi. Tentu saja semua orang masih akan tertidur pulas pada jam itu. Sayangnya berbeda dengan Stella yang tiba-tiba terbangun. Stella merasakan perutnya sejak tadi berbunyi dan ingin makan sesuatu. Bisa saja Stella langsung menghubungi pelayan, akan tetapi Stella tidak mau makan sendirian. Dia ingin Sean menemani dirinya.Stella mengembuskan napas panjang. Kini dia mendekatkan bibirnya ke telinga Sean. Mengcupi belakang daun telinga suaminya itu sambil berbisik dengan nada yang merengek seperti anak kecil, “Sean, bangun. Aku lapar. Aku ingin makan, Sean. Ayo bangun.”Sean menggeliat kala mendengar suara rengekan Stella. Perlahan, Sean
“Stella…”Suara Alika dan Chery memanggil Stella bersamaan kala Stella baru saja turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam lobby kampus. Ya, hampir sepuluh menit Alika dan Chery menunggu Stella di lobby kampus. Sebelumnya Alika sudah bertukar pesan pada Stella bahwa dirinya menunggu di lobby kampus bersama dengan Chery. Dan beruntung Stella datang tidak terlalu lama. Hanya menunggu sepuluh menit bukanlah hal besar. Walau tak dipungkiri, menunggu adalah hal yang tidak disukai oleh banyak orang.“Ah, kalian masih di sini. Aku pikir kalian sudah di kelas,” ujar Stella kala melihat Alika dan Chery memanggilnya.“Tidak, Stella. Kelas mulai masih satu jam lagi. Oh, ya. Tadi kau di antar Sean, ya?” tanya Alika seraya menatap Stella.Stella menganggukan kepalanya. “Iya, tadi aku diantar Sean. Sebenarnya aku tidak ingin diantar Sean. Suamiku itu sedang tidak enak badan. Tapi tetap saja dia mengatakan dia tidak apa-apa. Meski sudah meminum obat tetap saja aku mencemaskannya.”“Sean sakit ap
Suara dering ponsel terdengar, membuat Stella yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menghentikan langkahnya dan menoleh pada ponsel yang tak kunjung berdering itu. Kini Stella mengambil ponselnya, lalu menatap ke layar—seketika kening Stella berkerut melihat nomor Alika muncul di layar ponselnya. Tidak biasanya Alika menghubungi sepagi ini. Stella mengembuskan napas panjang. Tanpa menunggu, dia langsung menerima panggilan itu.“Ya, Alika?” jawab Stella saat panggilan terhubung.“Stella, astaga tolong aku. Aku bingung harus seperti apa,” seru Alika dengan nada panik dari seberang line.Alis Stella bertautan mendengar apa yang diucapkan oleh Alika. “Ada apa, Alika? Apa kau mendapatkan masalah?”“Stella. Ini masalah yang sangat besar. Aku sekarang pusing, Stella. Astaga apa aku bunuh diri saja, ya?” Suara Alika terdengar dari panik dari seberang sana.“Hust! Kau itu bicara sembarangan. Ada apa sebenarnya?”“Orang tua Kelvin beserta dengan adik perempuannya sudah di Jakarta. Dan
Alika mematut cermin. Kini tubuhnnya terbalut oleh gaun berwarna merah dengan model one-shoulder. Dengan polesan make up bold membuat Alika berpenampilan sangat cantik dan sempurna. Gaun yang dipakainya ini sukses membuat lekuk tubuh Alika terlihat seksi namun tetap berkelas. Ya, jika bukan karena bantuan Stella yang memilihkannya gaun; mungkin Alika tidak tahu apa yang harus dipakainya hari ini.Alika menarik napas dalam, dan mengembuskan perlahan. Rasa gugup dan jantungnya terus berdetak kencang membuat Alika tidak nyaman. Tak dipungkiri banyak hal yang Alika pikirkan. Mulai dari kecemasan jika orang tua Kelvin tidak menyukainya. Jujur, Alika memang bahagia ketika mendengar Kelvin mengajaknya bertemu dengan keluarga dari kekasihnya itu. Akan tetapi, ketakutan pun menelusup ke dalam dirinya. Membuat Alika seolah menjadi ragu.“Alika, kau harus berpikir poisitive. Semuanya baik-baik saja.” Alika bergumam sendiri. Dia menepis semua pikiran negative yang muncul dalam benaknya.Suara ket
“Nyonya Stella.” Seorang pelayan menyapa Stella seraya melangkah mendekat pada Stella yang tengah duduk di sofa kamar. Pelayan itu membawakan nampan yang berisikan susu kacang dan sandwich tuna.Stella mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Dia mengulas senyumannya pada pelayan yang kini ada di hadapannya. “Suamiku yang memintamu membawakan sarapan untukku ke kamar?” tanyanya pelan dan lembut.Sang pelayan itu menganggukan kepalanya. Lalu dia menghidangkan sarapan yang dia bawa ke atas meja sambil menjawab, “Benar, Nyonya. Tuan yang meminta saya mengatarkan sarapan untuk anda.”Stella mendesah pelan. Ya, padahal Stella berencana untuk makan di ruang makan. Tapi karena Sean tadi tengah menerima telepon, itu kenapa Stella memilih menunggu suaminya. Namun, ternyata suaminya itu sudah hampir satu jam masih belum juga kembali.“Apa Sean masih menelepon?” tanya Stella sambil menatap pelayan itu.“Masih, Nyonya. Tadi Tuan Sean saya lihat masih menelepon,” jawab sang pelayan.St