Marsha membelai lembut pipi Stella. Dia merapikan rambut panjang dan hitam legam milik menantunya itu yang sedikit berantakan di bantal. Sesaat Marsha menatap Stella lembut. Hatinya teriris melihat keadaan Stella saat ini. Marsha tidak tega melihat menantunya tertidur dengan bantuan alat pernapasan. Ditambah dengan vonis dokter yang Marsha dengar membuatnya sangat terluka. Wanita mana yang tidak hancur ketika tidak bisa memiliki anak?Tanpa sadar, bulir air mata Marsha menetes membasahi pipinya. Banyangan tentang betapa hati Stella terluka mendengar semua itu selalu muncul dalam benaknya.“Selamat pagi, Bibi…” Alika dan Chery melangkah menghampiri Marsha yang tengah menjaga Stella. Mereka menundukan kepalanya dengan sopan ke hadapan Marsha. Ya, sebelumnya Alika sudah mendengar dari Kelvin bahwa Marsha, ibu Sean datang.Marsha mengalihkan pandangannya, menatap dua wanita cantik di hadapannya. “Pagi, apa kalian teman Stella?” tebaknya yang menduga.“Iya, Bibi. Kami teman Stella. Namaku
Aurora melangkah ke ruang makan, dia duduk dengan santai di kursi meja makan sambil menggigit apel yang dia telah ambil di atas meja. Sesaat Aurora melihat ke arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukan pukul sebelas siang. Ya, Aurora memag bangun terlambat hari ini. Terlalu banyak minum kemarin, membuat Aurora terlelap. Namun, tidak biasanya dirinya hanya sendiri di ruang makan. Alesya, adiknya itu pun sering bangun terlambat jika terlalu banyak minum.“Nona, apa anda ingin sesuatu?” Seorang pelayan menawarkan dengan sopan.“Tidak, aku tidak ingin apa-apa,” jawab Aurora datar. “Oh, ya. Apa kau melihat adikku?”“Nona Alesya tadi malam pergi, Nona. Setelah berbicara dengan Nona, beliau langsung pergi,” jawab sang pelayan yang sontak membuat kening Aurora berkerut.“Pergi? Maksudmu tadi malam saat aku masuk ke dalam kamar, adikku pergi dan sampai sekarang belum pulang?” Aurora bertanya kembali memastikan. Tatapannnya menatap lekat sang pelayan, menunggu sampai pelay
“Sean?”Suara lembut Marsha kala melihat Sean baru saja keluar dari ruang ICU Stella. Ya, Marsha kini bisa melihat wajah putranya begitu bahagia. Pancaran di sepasang iris mata cokelatnya menunjukan kebahagiaan. Kini Marsha bersamaan dengan Alika, Chery, dan Kelvin melangkah menghampiri Sean.“Stella sedang tidur. Aku sudah meminta pihak rumah sakit memindahkan ruang rawat VVIP untuk Stella,” ujar Sean saat melihat Marsha, Alika, Chery dan Kelvin berada di hadapannya.Marsha mengangguk. “Baiklah, sayang. Mommy senang melihat Stella sudah pulih.”Sean trsenyum samar. “Mom, aku titip Stella sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan pada Kelvin dan Tomy.”“Iya, sayang. Mommy akan menjaga Stella,” jawab Marsha hangat.“Sean, boleh aku dan Chery menemani Bibi Marsha menjaga Stella?” tanya Alika seraya manatap Sean. Meminta izin dalam menjaga Stella.Sean mengangguk singkat sebagai jawaban atas pertanyaan Alika.Alika dan Chery tersenyum bersamaan. “Terima kasih, Sean.”Kini Marsha, mengajak A
Sean turun dari mobil bersamaan dengan Kelvin dan Tomy yang ikut dengannya. Sean tidak membawa satu pun anak buahnya. Sesuai perkataan Raynold. Dia memilih untuk tak membuat banyak yang mencurigainya. Sesaat mata Sean bertemu pada mobil Raynold yang baru saja terparkir. Kini Raynold melangkah menghampiri Sean yang sejak tadi memberikan tatapan dingin.“Ini apartemen Alesya?” tanya Sean dingin.Raynold mengangguk singkat. “Aurora ada di dalam. Aku tidak tahu Alesya sudah datang atau belum. Kalau Alesya sudah datang kemungkinan akan banyak anak buahnya di sekitar kita. Aku hanya bisa mengatakan kalian berhati-hati.”“Aku bukan orang lemah. Tidak perlu mengingatkanku,” jawab Sean dingin dan tak ramah.Kelvin mengembuskan napas kasar melihat Sean yang tidak pernah baik dalam merespon Raynold. “Singkirkan ego kalian berdua. Lebih baik kita masuk ke dalam. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”Sean mengangguk menyetujui prkataan Kelvin. Didetik selanjutnya, Raynold melangkah lebih dulu
Suara alarm kebakaran rumah sakit berbunyi kencang membuat Marsha, Alika, dan Chery yang tengah menjaga Stella memekik terkejut mendengar alarm itu. Bukan hanya Marsha, Alika, dan Chery tapi William yang tengah duduk di sofa ruang rawat Stella terkejut. Tampak wajah mereka semua begitu terkejut.“Mom, ini kenapa?” Stella menjadi panik mendengar suara alarm kebarakan berbunyi.“Sebentar sayang. Mommy tidak tahu. Tenanglah dulu.” Marsha menjawab menenangkan Stella.“William, ada apa ini? Kenapa alarm rumah sakit berbunyi?” tanya Marsha pada sang suami.“Kau tunggu sebentar, anak buahku pasti akan segera ke sini,” jawab William seraya menatap dingin ke arah pintu.Benar saja, tak berselang lama. Albert, asisten William berlari menghampiri William. Tampak wajah Albert yang begitu panik.“Tuan.” Albert menundukan kepalaya kala tiba di hadapan William.“Katakan ada apa ini, Albert?” seru William dengan penuh peringatan.“Tuan, ada penyusup yang maletakan alat peledak di koridor ini. Saya su
Sudah lebih dari satu minggu Stella berada di rumah sakit. Sejauh ini kondisi Stella masih dalam pengawasan dokter. Setiap kali pemeriksaan Sean masih belum menceritakan tentang keadaan Stella yang sesungguhnya. Alasannya tentu karena Sean tidak mau membuat kesehatan Stella menurun. Setiap harinya Sean hanya mengatakan dokter memeriksa kesehatannya agar segera pulih. Meski tidak bisa dipungkiri cepat atau lambat Stella pasti akan tahu yang sebenarnya.“Sean, kau membawa apa?” tanya Stella seraya menatap Sean yang melangkah masuk ke dalam ruuang rawatnya.“Aku tadi meminta pelayan membawakan salmon steak dan mashed potato untukmu.” Sean mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. “Kau makan, ya? Belakangan ini makanmu sangat sedikit.”Stella tersenyum dan mengangguk. “Iya, tapi aku ingin kau yang suapi aku,” ucapnya manja.“Ya.” Sean mencium hidung Stella gemas. Kemudian, dia membuka kotak makanan yang telah disiapkan oleh pelayan. Aroma masakan begitu harum menyentuh indra penciuman Stella.
Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Wajahnya tampak begitu dingin dan sorot mata tajam memendung amarahnya. Ya, Sean tengah menuju ke rumah sakit jiwa di mana tempat Alesya berada. Harusnya memang sejak dulu wanita itu berada di tempat yang semestinya. Jika saja Sean mengetahui ini lebih awal, maka kejadian buruk tidak akan menimpa istrinya. Sungguh, Sean begitu merutuki kebodohannya. Seharusnya dia lebih waspada dan hati-hati. Apa yang telah menimpa istrinya adalah bagian dari kesalahannya.Saat Sean telah tiba di tempat yang telah dia tuju, dia langsung memarkirkan mobil sembarangan dan masuk ke dalam lobby rumah sakit. Menuju ruang di mana Alesya berada.“Tuan Sean?” Seorang perawat penyapa Sean dengan sopan.“Aku ingin bertemu Alesya,” ucap Sean dingin dengan raut wajah datar.“Mari, Tuan saya tunjukan,” jawab sang perawat dengan sopan.Sean mengangguk singkat. Kemudian, dia melangkah mengikuti sang perawat masuk ke dalam. Sesaat Sean menatap dingin dan tajam ketika ti
“Stella.”Alika dan Chery kompak memanggil nama Stella sambil melangkah masuk ke dalam ruang rawat temannya itu. Dengan wajah yang riang, Alika dan Chery mengulas senyumannya pada Stella yang tengah membaca majalah fashion.“Kalian sudah datang?” Stella menyambut hangat Alika dan Chery yang mendekat ke arahnya.Ya, setiap hari selama Stella berada di rumah sakit baik Alika dan Chery tidak pernah ada satu pun yang lewatkan untuk tidak datang. Biasanya sepulang Alika dan Chery kuliah maka mereka akan datang menjenguk Stella.“Tentu saja kami sudah datang. Oh, ya. Stella kami membawakan tiramisu cake untukmu. Semoga kau suka.” Alika memberikan tiramisu cake yang telah dia beli bersama dengan Chery sebelum ke rumah sakit.Stella tersenyum hangat kala menerima tiramisu cake yang diberikan oleh Alika. “Aku pasti menyukainya,” jawabnya hangat.“Ah, Iya. Ini sendoknya, Stella. Kau tidak mungkin makan tiramisu cake dengan tanganmu.” Chery terkekeh sembari memberikan sendok yang dia ambil untuk