Sean menatap Stella yang masih memejamkan matanya. Perih. Sesak. Rindu mendalam. Melebur menjadi satu. Sepanjang malam Sean tidak henti mengajak Stella berbicara. Ya, dia tidak pernah lelah sedikit pun. Biasanya Sean akan menceritakan tentang bulan madu mereka. Lalu moment-moment indah yang telah mereka lalui bersama. Sean tahu Stella mendengarnya. Dia ingin menyampaikan makna di mana dirinya begitu merindukan sang istri. Sudah cukup hidupnya tersiksa tanpa mendengar suara lembut sang istri yang menyambutnya ketika pulang bekerja. Tidak hanya itu, Sean pun merindukan masakan sang istri. Semua hal yang menyangkut Stella begitu Sean rindukan.Selama Stella berada di rumah sakit, Sean meminta Kelvin yang mengurus semua pekerjannya. Pun Sean tidak pernah pulang ke rumah. Dia meminta pelayan untuk memindahkan pakaiannya ke ruang ICU Stella. Sean tidak mau meninggalkan Stella seorang diri. Meskipun Di depan ruang ICU Stella, banyak pengawalnya yang berjaga-jaga tetap saja Sean sering merasa
Marsha membelai lembut pipi Stella. Dia merapikan rambut panjang dan hitam legam milik menantunya itu yang sedikit berantakan di bantal. Sesaat Marsha menatap Stella lembut. Hatinya teriris melihat keadaan Stella saat ini. Marsha tidak tega melihat menantunya tertidur dengan bantuan alat pernapasan. Ditambah dengan vonis dokter yang Marsha dengar membuatnya sangat terluka. Wanita mana yang tidak hancur ketika tidak bisa memiliki anak?Tanpa sadar, bulir air mata Marsha menetes membasahi pipinya. Banyangan tentang betapa hati Stella terluka mendengar semua itu selalu muncul dalam benaknya.“Selamat pagi, Bibi…” Alika dan Chery melangkah menghampiri Marsha yang tengah menjaga Stella. Mereka menundukan kepalanya dengan sopan ke hadapan Marsha. Ya, sebelumnya Alika sudah mendengar dari Kelvin bahwa Marsha, ibu Sean datang.Marsha mengalihkan pandangannya, menatap dua wanita cantik di hadapannya. “Pagi, apa kalian teman Stella?” tebaknya yang menduga.“Iya, Bibi. Kami teman Stella. Namaku
Aurora melangkah ke ruang makan, dia duduk dengan santai di kursi meja makan sambil menggigit apel yang dia telah ambil di atas meja. Sesaat Aurora melihat ke arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu menunjukan pukul sebelas siang. Ya, Aurora memag bangun terlambat hari ini. Terlalu banyak minum kemarin, membuat Aurora terlelap. Namun, tidak biasanya dirinya hanya sendiri di ruang makan. Alesya, adiknya itu pun sering bangun terlambat jika terlalu banyak minum.“Nona, apa anda ingin sesuatu?” Seorang pelayan menawarkan dengan sopan.“Tidak, aku tidak ingin apa-apa,” jawab Aurora datar. “Oh, ya. Apa kau melihat adikku?”“Nona Alesya tadi malam pergi, Nona. Setelah berbicara dengan Nona, beliau langsung pergi,” jawab sang pelayan yang sontak membuat kening Aurora berkerut.“Pergi? Maksudmu tadi malam saat aku masuk ke dalam kamar, adikku pergi dan sampai sekarang belum pulang?” Aurora bertanya kembali memastikan. Tatapannnya menatap lekat sang pelayan, menunggu sampai pelay
“Sean?”Suara lembut Marsha kala melihat Sean baru saja keluar dari ruang ICU Stella. Ya, Marsha kini bisa melihat wajah putranya begitu bahagia. Pancaran di sepasang iris mata cokelatnya menunjukan kebahagiaan. Kini Marsha bersamaan dengan Alika, Chery, dan Kelvin melangkah menghampiri Sean.“Stella sedang tidur. Aku sudah meminta pihak rumah sakit memindahkan ruang rawat VVIP untuk Stella,” ujar Sean saat melihat Marsha, Alika, Chery dan Kelvin berada di hadapannya.Marsha mengangguk. “Baiklah, sayang. Mommy senang melihat Stella sudah pulih.”Sean trsenyum samar. “Mom, aku titip Stella sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan pada Kelvin dan Tomy.”“Iya, sayang. Mommy akan menjaga Stella,” jawab Marsha hangat.“Sean, boleh aku dan Chery menemani Bibi Marsha menjaga Stella?” tanya Alika seraya manatap Sean. Meminta izin dalam menjaga Stella.Sean mengangguk singkat sebagai jawaban atas pertanyaan Alika.Alika dan Chery tersenyum bersamaan. “Terima kasih, Sean.”Kini Marsha, mengajak A
Sean turun dari mobil bersamaan dengan Kelvin dan Tomy yang ikut dengannya. Sean tidak membawa satu pun anak buahnya. Sesuai perkataan Raynold. Dia memilih untuk tak membuat banyak yang mencurigainya. Sesaat mata Sean bertemu pada mobil Raynold yang baru saja terparkir. Kini Raynold melangkah menghampiri Sean yang sejak tadi memberikan tatapan dingin.“Ini apartemen Alesya?” tanya Sean dingin.Raynold mengangguk singkat. “Aurora ada di dalam. Aku tidak tahu Alesya sudah datang atau belum. Kalau Alesya sudah datang kemungkinan akan banyak anak buahnya di sekitar kita. Aku hanya bisa mengatakan kalian berhati-hati.”“Aku bukan orang lemah. Tidak perlu mengingatkanku,” jawab Sean dingin dan tak ramah.Kelvin mengembuskan napas kasar melihat Sean yang tidak pernah baik dalam merespon Raynold. “Singkirkan ego kalian berdua. Lebih baik kita masuk ke dalam. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”Sean mengangguk menyetujui prkataan Kelvin. Didetik selanjutnya, Raynold melangkah lebih dulu
Suara alarm kebakaran rumah sakit berbunyi kencang membuat Marsha, Alika, dan Chery yang tengah menjaga Stella memekik terkejut mendengar alarm itu. Bukan hanya Marsha, Alika, dan Chery tapi William yang tengah duduk di sofa ruang rawat Stella terkejut. Tampak wajah mereka semua begitu terkejut.“Mom, ini kenapa?” Stella menjadi panik mendengar suara alarm kebarakan berbunyi.“Sebentar sayang. Mommy tidak tahu. Tenanglah dulu.” Marsha menjawab menenangkan Stella.“William, ada apa ini? Kenapa alarm rumah sakit berbunyi?” tanya Marsha pada sang suami.“Kau tunggu sebentar, anak buahku pasti akan segera ke sini,” jawab William seraya menatap dingin ke arah pintu.Benar saja, tak berselang lama. Albert, asisten William berlari menghampiri William. Tampak wajah Albert yang begitu panik.“Tuan.” Albert menundukan kepalaya kala tiba di hadapan William.“Katakan ada apa ini, Albert?” seru William dengan penuh peringatan.“Tuan, ada penyusup yang maletakan alat peledak di koridor ini. Saya su
Sudah lebih dari satu minggu Stella berada di rumah sakit. Sejauh ini kondisi Stella masih dalam pengawasan dokter. Setiap kali pemeriksaan Sean masih belum menceritakan tentang keadaan Stella yang sesungguhnya. Alasannya tentu karena Sean tidak mau membuat kesehatan Stella menurun. Setiap harinya Sean hanya mengatakan dokter memeriksa kesehatannya agar segera pulih. Meski tidak bisa dipungkiri cepat atau lambat Stella pasti akan tahu yang sebenarnya.“Sean, kau membawa apa?” tanya Stella seraya menatap Sean yang melangkah masuk ke dalam ruuang rawatnya.“Aku tadi meminta pelayan membawakan salmon steak dan mashed potato untukmu.” Sean mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. “Kau makan, ya? Belakangan ini makanmu sangat sedikit.”Stella tersenyum dan mengangguk. “Iya, tapi aku ingin kau yang suapi aku,” ucapnya manja.“Ya.” Sean mencium hidung Stella gemas. Kemudian, dia membuka kotak makanan yang telah disiapkan oleh pelayan. Aroma masakan begitu harum menyentuh indra penciuman Stella.
Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Wajahnya tampak begitu dingin dan sorot mata tajam memendung amarahnya. Ya, Sean tengah menuju ke rumah sakit jiwa di mana tempat Alesya berada. Harusnya memang sejak dulu wanita itu berada di tempat yang semestinya. Jika saja Sean mengetahui ini lebih awal, maka kejadian buruk tidak akan menimpa istrinya. Sungguh, Sean begitu merutuki kebodohannya. Seharusnya dia lebih waspada dan hati-hati. Apa yang telah menimpa istrinya adalah bagian dari kesalahannya.Saat Sean telah tiba di tempat yang telah dia tuju, dia langsung memarkirkan mobil sembarangan dan masuk ke dalam lobby rumah sakit. Menuju ruang di mana Alesya berada.“Tuan Sean?” Seorang perawat penyapa Sean dengan sopan.“Aku ingin bertemu Alesya,” ucap Sean dingin dengan raut wajah datar.“Mari, Tuan saya tunjukan,” jawab sang perawat dengan sopan.Sean mengangguk singkat. Kemudian, dia melangkah mengikuti sang perawat masuk ke dalam. Sesaat Sean menatap dingin dan tajam ketika ti
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al