Sean turun dari mobil bersamaan dengan Kelvin dan Tomy yang ikut dengannya. Sean tidak membawa satu pun anak buahnya. Sesuai perkataan Raynold. Dia memilih untuk tak membuat banyak yang mencurigainya. Sesaat mata Sean bertemu pada mobil Raynold yang baru saja terparkir. Kini Raynold melangkah menghampiri Sean yang sejak tadi memberikan tatapan dingin.“Ini apartemen Alesya?” tanya Sean dingin.Raynold mengangguk singkat. “Aurora ada di dalam. Aku tidak tahu Alesya sudah datang atau belum. Kalau Alesya sudah datang kemungkinan akan banyak anak buahnya di sekitar kita. Aku hanya bisa mengatakan kalian berhati-hati.”“Aku bukan orang lemah. Tidak perlu mengingatkanku,” jawab Sean dingin dan tak ramah.Kelvin mengembuskan napas kasar melihat Sean yang tidak pernah baik dalam merespon Raynold. “Singkirkan ego kalian berdua. Lebih baik kita masuk ke dalam. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”Sean mengangguk menyetujui prkataan Kelvin. Didetik selanjutnya, Raynold melangkah lebih dulu
Suara alarm kebakaran rumah sakit berbunyi kencang membuat Marsha, Alika, dan Chery yang tengah menjaga Stella memekik terkejut mendengar alarm itu. Bukan hanya Marsha, Alika, dan Chery tapi William yang tengah duduk di sofa ruang rawat Stella terkejut. Tampak wajah mereka semua begitu terkejut.“Mom, ini kenapa?” Stella menjadi panik mendengar suara alarm kebarakan berbunyi.“Sebentar sayang. Mommy tidak tahu. Tenanglah dulu.” Marsha menjawab menenangkan Stella.“William, ada apa ini? Kenapa alarm rumah sakit berbunyi?” tanya Marsha pada sang suami.“Kau tunggu sebentar, anak buahku pasti akan segera ke sini,” jawab William seraya menatap dingin ke arah pintu.Benar saja, tak berselang lama. Albert, asisten William berlari menghampiri William. Tampak wajah Albert yang begitu panik.“Tuan.” Albert menundukan kepalaya kala tiba di hadapan William.“Katakan ada apa ini, Albert?” seru William dengan penuh peringatan.“Tuan, ada penyusup yang maletakan alat peledak di koridor ini. Saya su
Sudah lebih dari satu minggu Stella berada di rumah sakit. Sejauh ini kondisi Stella masih dalam pengawasan dokter. Setiap kali pemeriksaan Sean masih belum menceritakan tentang keadaan Stella yang sesungguhnya. Alasannya tentu karena Sean tidak mau membuat kesehatan Stella menurun. Setiap harinya Sean hanya mengatakan dokter memeriksa kesehatannya agar segera pulih. Meski tidak bisa dipungkiri cepat atau lambat Stella pasti akan tahu yang sebenarnya.“Sean, kau membawa apa?” tanya Stella seraya menatap Sean yang melangkah masuk ke dalam ruuang rawatnya.“Aku tadi meminta pelayan membawakan salmon steak dan mashed potato untukmu.” Sean mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. “Kau makan, ya? Belakangan ini makanmu sangat sedikit.”Stella tersenyum dan mengangguk. “Iya, tapi aku ingin kau yang suapi aku,” ucapnya manja.“Ya.” Sean mencium hidung Stella gemas. Kemudian, dia membuka kotak makanan yang telah disiapkan oleh pelayan. Aroma masakan begitu harum menyentuh indra penciuman Stella.
Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Wajahnya tampak begitu dingin dan sorot mata tajam memendung amarahnya. Ya, Sean tengah menuju ke rumah sakit jiwa di mana tempat Alesya berada. Harusnya memang sejak dulu wanita itu berada di tempat yang semestinya. Jika saja Sean mengetahui ini lebih awal, maka kejadian buruk tidak akan menimpa istrinya. Sungguh, Sean begitu merutuki kebodohannya. Seharusnya dia lebih waspada dan hati-hati. Apa yang telah menimpa istrinya adalah bagian dari kesalahannya.Saat Sean telah tiba di tempat yang telah dia tuju, dia langsung memarkirkan mobil sembarangan dan masuk ke dalam lobby rumah sakit. Menuju ruang di mana Alesya berada.“Tuan Sean?” Seorang perawat penyapa Sean dengan sopan.“Aku ingin bertemu Alesya,” ucap Sean dingin dengan raut wajah datar.“Mari, Tuan saya tunjukan,” jawab sang perawat dengan sopan.Sean mengangguk singkat. Kemudian, dia melangkah mengikuti sang perawat masuk ke dalam. Sesaat Sean menatap dingin dan tajam ketika ti
“Stella.”Alika dan Chery kompak memanggil nama Stella sambil melangkah masuk ke dalam ruang rawat temannya itu. Dengan wajah yang riang, Alika dan Chery mengulas senyumannya pada Stella yang tengah membaca majalah fashion.“Kalian sudah datang?” Stella menyambut hangat Alika dan Chery yang mendekat ke arahnya.Ya, setiap hari selama Stella berada di rumah sakit baik Alika dan Chery tidak pernah ada satu pun yang lewatkan untuk tidak datang. Biasanya sepulang Alika dan Chery kuliah maka mereka akan datang menjenguk Stella.“Tentu saja kami sudah datang. Oh, ya. Stella kami membawakan tiramisu cake untukmu. Semoga kau suka.” Alika memberikan tiramisu cake yang telah dia beli bersama dengan Chery sebelum ke rumah sakit.Stella tersenyum hangat kala menerima tiramisu cake yang diberikan oleh Alika. “Aku pasti menyukainya,” jawabnya hangat.“Ah, Iya. Ini sendoknya, Stella. Kau tidak mungkin makan tiramisu cake dengan tanganmu.” Chery terkekeh sembari memberikan sendok yang dia ambil untuk
Waktu menunjukan pukul tiga sore. Stella sudah kembali ke ruang rawatnya. Sedangkan Alika dan Chery sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Ya, sudah lama Stella tidak keluar ruang rawatnya. Setidaknya rasa jenuh Stella sedikit terobati. Kini Stella tengah menunggu Sean pulang. Sebelumnya Stella sudah menghubungi Sean, dan suaminya itu mengatakan masih dalam perjalanan. Well, sambil menunggu Sean; Stella memilih membaca majalah fashion.Suara dering ponsel terdengar membuat Stella langsung mengalihkan pandangannya pada ponselnya yang terus berdering itu. Stella mengambil ponselnya yang terletak di atas meja. Lalu menatapnya ke layar. Seketika senyum di bibir Stella terukir melihat nomor Miracle muncul di layar ponselnya. Tanpa menunggu, Stella pun segera menjawab telepon adik iparnya itu.“Hallo, Miracle?” sapa Stella saat panggilan terhubung.“Stella? Apa kabar? Bagimana kabarmu? Maaf aku belum bisa menjengukmu,” ujar Miracle dari seberang sana.“Tidak apa-apa, Miracle. Kesehatan
“Nyonya, jika dokter mengatakan anda sulit memiliki anak, itu tetap bukanlah jawaban. Karena menurut saya, anak adalah anugerah dari Tuhan, Nyonya. Dokter hanya menganalisa. Meski sekarang harapan anda memiliki anak hampir tidak mungkin, tapi saya harap anda tidak patah semangat. Tuan Sean telah memberikan dokter yang terbaik untuk anda. Lebih dari tujuh dokter yang menangani anda, Nyonya. Semoga anda lekas sembuh.”Tubuh Stella melemah mendengar apa yang dikatakan oleh sang dokter. Matanya menatap nanar hasil laporan medis yang ada di tangannya itu. Bulir air mata Stella menetes membasahi pipinya. Membuat dokter yang ada di hadapannya mulai sedikit panik. Sesak. Perih. Hati Stella begitu hancur mendengar kenyataan ini.“Nyonya, apa anda baik-baik saja?” tanya sang dokter.Stella hanya diam, dan tak merespon pertanyaan sang dokter. Bulir air matanya tak henti berlinang. Tubuhnya nyaris ambruk. Beruntung sang dokter dengan sigap membantu Stella.“Ada apa ini?” Suara Sean berseru melang
Hari demi hari Stella berada di rumah sakit. Entah sudah berapa lama Stella habiskan waktunya berada di rumah sakit. Sejak saat Stella mengetahui segalanya banyak yang berubah dari Stella. Dia cenderung lebih banyak diam. Tidak banyak bicara jika Alika dan Chery datang menjemput. Stella hanya tetap memberikan senyuman pada Alika dan Chery. Semua orang pun tidak ada yang berani membahas tentang apa yang terjadi di diri Stella. Mereka semua takut melukai hati Stella. Itu kenapa sejak di mana Stella mengetahui semuanya, yang datang menjenguk Stella biasanya hanya membawakan makanan dan membahas tentang film kesukaan Stella. Semua dilakukan demi membuat Stella kembali bersemangat. Nyatanya apa yang dilakukan semua orang demi menghibur Stella adalah sia-sia. Stella tetap terlihat muram. Tidak ada lagi senyuman manis di wajah Stella.Dan setiap kali Stella melakukan pemeriksaan, dia hanya bisa pasrah dna tidak bertanya apa pun pada dokter. Ya, Stella takut mendapatkan jawaban yang melukai h