Sudah lebih dari satu minggu Stella berada di rumah sakit. Sejauh ini kondisi Stella masih dalam pengawasan dokter. Setiap kali pemeriksaan Sean masih belum menceritakan tentang keadaan Stella yang sesungguhnya. Alasannya tentu karena Sean tidak mau membuat kesehatan Stella menurun. Setiap harinya Sean hanya mengatakan dokter memeriksa kesehatannya agar segera pulih. Meski tidak bisa dipungkiri cepat atau lambat Stella pasti akan tahu yang sebenarnya.“Sean, kau membawa apa?” tanya Stella seraya menatap Sean yang melangkah masuk ke dalam ruuang rawatnya.“Aku tadi meminta pelayan membawakan salmon steak dan mashed potato untukmu.” Sean mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. “Kau makan, ya? Belakangan ini makanmu sangat sedikit.”Stella tersenyum dan mengangguk. “Iya, tapi aku ingin kau yang suapi aku,” ucapnya manja.“Ya.” Sean mencium hidung Stella gemas. Kemudian, dia membuka kotak makanan yang telah disiapkan oleh pelayan. Aroma masakan begitu harum menyentuh indra penciuman Stella.
Sean melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Wajahnya tampak begitu dingin dan sorot mata tajam memendung amarahnya. Ya, Sean tengah menuju ke rumah sakit jiwa di mana tempat Alesya berada. Harusnya memang sejak dulu wanita itu berada di tempat yang semestinya. Jika saja Sean mengetahui ini lebih awal, maka kejadian buruk tidak akan menimpa istrinya. Sungguh, Sean begitu merutuki kebodohannya. Seharusnya dia lebih waspada dan hati-hati. Apa yang telah menimpa istrinya adalah bagian dari kesalahannya.Saat Sean telah tiba di tempat yang telah dia tuju, dia langsung memarkirkan mobil sembarangan dan masuk ke dalam lobby rumah sakit. Menuju ruang di mana Alesya berada.“Tuan Sean?” Seorang perawat penyapa Sean dengan sopan.“Aku ingin bertemu Alesya,” ucap Sean dingin dengan raut wajah datar.“Mari, Tuan saya tunjukan,” jawab sang perawat dengan sopan.Sean mengangguk singkat. Kemudian, dia melangkah mengikuti sang perawat masuk ke dalam. Sesaat Sean menatap dingin dan tajam ketika ti
“Stella.”Alika dan Chery kompak memanggil nama Stella sambil melangkah masuk ke dalam ruang rawat temannya itu. Dengan wajah yang riang, Alika dan Chery mengulas senyumannya pada Stella yang tengah membaca majalah fashion.“Kalian sudah datang?” Stella menyambut hangat Alika dan Chery yang mendekat ke arahnya.Ya, setiap hari selama Stella berada di rumah sakit baik Alika dan Chery tidak pernah ada satu pun yang lewatkan untuk tidak datang. Biasanya sepulang Alika dan Chery kuliah maka mereka akan datang menjenguk Stella.“Tentu saja kami sudah datang. Oh, ya. Stella kami membawakan tiramisu cake untukmu. Semoga kau suka.” Alika memberikan tiramisu cake yang telah dia beli bersama dengan Chery sebelum ke rumah sakit.Stella tersenyum hangat kala menerima tiramisu cake yang diberikan oleh Alika. “Aku pasti menyukainya,” jawabnya hangat.“Ah, Iya. Ini sendoknya, Stella. Kau tidak mungkin makan tiramisu cake dengan tanganmu.” Chery terkekeh sembari memberikan sendok yang dia ambil untuk
Waktu menunjukan pukul tiga sore. Stella sudah kembali ke ruang rawatnya. Sedangkan Alika dan Chery sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Ya, sudah lama Stella tidak keluar ruang rawatnya. Setidaknya rasa jenuh Stella sedikit terobati. Kini Stella tengah menunggu Sean pulang. Sebelumnya Stella sudah menghubungi Sean, dan suaminya itu mengatakan masih dalam perjalanan. Well, sambil menunggu Sean; Stella memilih membaca majalah fashion.Suara dering ponsel terdengar membuat Stella langsung mengalihkan pandangannya pada ponselnya yang terus berdering itu. Stella mengambil ponselnya yang terletak di atas meja. Lalu menatapnya ke layar. Seketika senyum di bibir Stella terukir melihat nomor Miracle muncul di layar ponselnya. Tanpa menunggu, Stella pun segera menjawab telepon adik iparnya itu.“Hallo, Miracle?” sapa Stella saat panggilan terhubung.“Stella? Apa kabar? Bagimana kabarmu? Maaf aku belum bisa menjengukmu,” ujar Miracle dari seberang sana.“Tidak apa-apa, Miracle. Kesehatan
“Nyonya, jika dokter mengatakan anda sulit memiliki anak, itu tetap bukanlah jawaban. Karena menurut saya, anak adalah anugerah dari Tuhan, Nyonya. Dokter hanya menganalisa. Meski sekarang harapan anda memiliki anak hampir tidak mungkin, tapi saya harap anda tidak patah semangat. Tuan Sean telah memberikan dokter yang terbaik untuk anda. Lebih dari tujuh dokter yang menangani anda, Nyonya. Semoga anda lekas sembuh.”Tubuh Stella melemah mendengar apa yang dikatakan oleh sang dokter. Matanya menatap nanar hasil laporan medis yang ada di tangannya itu. Bulir air mata Stella menetes membasahi pipinya. Membuat dokter yang ada di hadapannya mulai sedikit panik. Sesak. Perih. Hati Stella begitu hancur mendengar kenyataan ini.“Nyonya, apa anda baik-baik saja?” tanya sang dokter.Stella hanya diam, dan tak merespon pertanyaan sang dokter. Bulir air matanya tak henti berlinang. Tubuhnya nyaris ambruk. Beruntung sang dokter dengan sigap membantu Stella.“Ada apa ini?” Suara Sean berseru melang
Hari demi hari Stella berada di rumah sakit. Entah sudah berapa lama Stella habiskan waktunya berada di rumah sakit. Sejak saat Stella mengetahui segalanya banyak yang berubah dari Stella. Dia cenderung lebih banyak diam. Tidak banyak bicara jika Alika dan Chery datang menjemput. Stella hanya tetap memberikan senyuman pada Alika dan Chery. Semua orang pun tidak ada yang berani membahas tentang apa yang terjadi di diri Stella. Mereka semua takut melukai hati Stella. Itu kenapa sejak di mana Stella mengetahui semuanya, yang datang menjenguk Stella biasanya hanya membawakan makanan dan membahas tentang film kesukaan Stella. Semua dilakukan demi membuat Stella kembali bersemangat. Nyatanya apa yang dilakukan semua orang demi menghibur Stella adalah sia-sia. Stella tetap terlihat muram. Tidak ada lagi senyuman manis di wajah Stella.Dan setiap kali Stella melakukan pemeriksaan, dia hanya bisa pasrah dna tidak bertanya apa pun pada dokter. Ya, Stella takut mendapatkan jawaban yang melukai h
Stella duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. Sesaat Stella memejamkan mata lelah. Hari ini dia sedikit kelelahan namun sekaligus bahagia. Bagimana tidak? Stella tidak menyangka kepulangannya dari rumah sakit disambut meriah oleh Alika dan Chery. Suara canda dan tawa selalu hadir di tengah-tengah percakapannya dengan kedua temannya itu. Ya, kehadiran Alika dan Chery telah menghibur Stella. Bahkan Stella sedikit melupakan masalah yang terjadi pada dirinya.“Sayang, kau belum tidur?” Sean melangkah masuk ke dalam kamar. Sejenak Sean terdiam melihat Stella yang terlihat kelelahan. Kini Sean mendekat. Lalu duduk di samping istrinya.“Sean?” Stella yang menyadari Sean sudah duduk di sampingnya, di langsung menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Masuk ke dalam dekapan Sean adalah hal yang benar-benar menyejukan. “Aku belum mengantuk.”“Apa kau lelah?” Sean membelai rambut panjang Stella. Mengecup puncak kepala sang istri. Menghirup aroma shampo strober
William mengetuk-ngetuk jemarinya di meja kerjanya. Tatapannya tak lepas menatap hasil medis Stella yang baru saja diantar oleh asistennya. Sesaat, mata William terpaku pada sebuah catatan dokter di sana. Sebuah catatan yang berisikan kondisi kesehatan rahim Stella sangat tidak memungkinkan memiliki anak. Di sisi lain, William memikirkan tentang rumah tangga putranya. Bagaimanapun Stella adalah wanita yang telah menjadi pilihan putranya. William tidak pernah memikirkan asal usul dari Stella. Bagi William, Sean mampu memilih mana wanita yang tepat untuknya. Hanya saja alasan William memaksa Sean untuk menikah karena memang dulu William harus menikah sebelum usianya menyentuh tiga puluh tahun. Itu adalah aturan keluarga yang mengharuskan anak pertama menikah sebelum berusia tiga puluh tahun.Suara ketukan pintu terdengar membuat William mengalihkan pandangannya ke arah pintu, kemudian langsung menginterupsi untuk masuk.“Tuan William.” Albert, asisten William melangkah masuk mendekat ke