Saat pagi menyapa, Stella bersenandung dengan wajah yang bahagia. Ya, kini Stella tengah berada di dapur. Memasak untuk mertuanya. Hari ini Stella akan pergi berkunjung ke rumah mertuanya bersama dengan Sean yang menemaninya. Mengingat dirinya masih belum diizinkan Sean untuk kembali berkuliah. Dan Sean pun masih melarang Stella melakukan banyak aktivitas. Itu kenapa Stella ingin mengunjungi mertuanya. Terlebih mertuanya sangat jarang berada di Jakarta.Khusus hari ini, Stella membuatkan Veal Marsala. Veal Masala adalah makanan khas italia yang Stella pilih menggunakan bahan dasar daging. Sebenarnya bisa juga ayam, namun Stella memilih daging untuk menu makanan ini. Veal Marsala sendiri adalah saus anggur khas Italia yang di tambah dengan berbagai macam bumbu seperti, jamur dan daun bawang. Daging yang Stella gunakan adalah sirloin yang lembut. Sirloin ini nantinya akan dipadukan dengan bumbu khas ala Italia. Menu makanan ini Stella buatkan khusus untuk William, ayah mertuanya.Dan de
Sepanjang perjalanan suasana hening tercipta. Sean fokus melajukan mobilnya. Sedangkan Stella terus melihat keluar jendela. Sean tak menyadari bulir air mata Stella menetes di sudut matanya. Sejak tadi mati-matian Stella menahan air matanya. Stella tak membenci mertuanya. Stella sudah tahu tentu keluarga Sean menginginkan keturunan. Yang Stella benci adalah takdir dirinya. Stella tak ingin berbohong. Tentu dia membenci keadaannya yang sekarang. Namun, Stella tidak ingin larut dalam kesedihan yang mendalam. Karena membenci pun percuma. Hanya akan menjadi penghalang keras di hatinya dan tetap tidak mengubah apa pun.Saat mobil yang Sean lajukan memasuki halaman parkir—Dengan terburu-buru Stella menyeka air matanya. Sean lebih dulu turun dari mobil. Membukakan pintu mobil untuk Stella. Lalu mengajak istrinya masuk ke dalam kamar. Ya, meski rapuh dan sedih tapi Stella tetap berusaha untuk tersenyum dan seolah baik-baik saja.“Sean, kau mandilah. Aku akan siapkan pakaian untukmu.” Stella b
“Tuan Wiliam.” Seorang pelayan menyapa dengan sopan kala William baru saja melangkah masuk ke dalam rumah.“Di mana istriku?” tanya William dingin dan raut wajah tanpa ekspresi.“Tuan, Nyonya sejak tadi pagi mengurung diri di kamar. Tidak ada makanan yang disentuhnya, Tuan,” jawab sang pelayan menundukan kepala. Tak berani menatap William yang kini menghunuskan tatapan tajam padanya.William mengembuskan napas kasar. Ya, dia sudah tahu kenapa istrinya itu memilih mengurung diri di kamar. Bahkan tadi malam saja, Marsha tidur memunggunginya. William memilih diam. Karena tidak ingin berdebat dengan sang istri. Didetik selanjutkan, William melihat ke arah Albert yang berdiri di sampingnya. Lalu menggerakan kepalanya memberi isyarat agar Albert mengikutinya.Albert langsung mengangguk patuh. Melangkah mengikuti William yang lebih dulu masuk ke dalam ruang kerjanya.“Albert, aku ingin bertanya padamu.” William duduk di kursi kebesarannya. Dia mengambil whisky dan menyesapnya perlahan. Sorot
Stella melangkah keluar dari walk-in closet dan hendak menuju meja rias. Namun langkah Stella terhenti kala mendengar dering ponselnya berbunyi. Kini Stella mengambil ponselnya dan menatap ke layar tertera nama Alika di sana. Senyuman di bibir Stella terukir melihat Alika menghubunginya. Tanpa menunggu, Stella menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“Ya, Alika?” jawab Stella saat panggilan terhubung.“Stella, apa aku mengganggumu?” tanya Alika dari seberang sana.“Tidak, Alika. Ada apa?”“Ah, ini. Aku hanya ingin memberitahumu hari ini aku dan Kelvin akan ke rumahmu. Apa hari ini kau dan Sean ada ingin pergi?”“Tidak, Alika. Sean hari ini juga menyelesaikan pekerjaannya dari rumah. Datang saja. Aku dan Sean menunggu kalian.”“Baiklah, aku akan bersiap-siap setelah itu aku akan menghubungi Kelvin untuk datang menjemputku tepat waktu. Terkadang dia sering datang menjemputku terlambat.”“Hm, Alika. Kau tidak mengajak Chery juga?”“Chery h
“Yang datang adalah Tuan Besar William dan Nyonya Besar Marsha, Nyonya,” jawab sang pelayan yang langsung membuat raut wajah Stella berubah seketika.Sean mengembuskan napas kasar. Sorot matanya kian dingin dan tajam mendengar kedatangan kedua orang tuanya. Bukan tidak suka kedua orang tuanya datang, namun hal yang Sean tidak ingin adalah mendengar perkataan konyol ayahnya yang meminta dirinya menggunakan ibu pengganti. Kejadian itu sudah cukup membuat Stella terluka. Sean tidak ingin lagi melihat Stella terluka lebih dalam lagi. Tidak! Dia tidak akan membiarkan. Selama ini Stella menderita karean dirinya. Kecelakaan yang menimpa Stella pun diakibatkan karena dirinya.“Kau pergilah. Nanti aku akan ke bawah,” ucap Sean dingin pada pelayan yang berdiri di hadapannya.“Baik, Tuan.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Sean dan Stella.Sejak tadi Stella hanya diam. Raut wajah yang bingung dan tak tahu harus bagaimana. Ya, Stella berusaha tenang. Jujur saja
“Jika suatu saat aku mengikuti keinginan putraku dengan menunggu hingga kau benar-benar pulih tapi kenyataannya hasilnya tidak ada. Aku ingin tahu, apa yang kau lakukan? Apa kau akan menyetujui perkataanku sebelumnya menggunakan ibu pengganti? Satu hal yang harus kau ketahui, Stella. Kau menikah dengan putraku. Harusnya tanpa aku menjelaskan, kau bisa mengerti dengan apa yang menjadi beban masuk dalam Keluarga Geovan.”Stella terdiam kala mendengar apa yang dikatakan oleh William. Kini wajahnya tampak muram. Sepasang iris mata abu-abunya memendung kepedihan yang mendalam. Ya, Stella tentu tahu apa yang menjadi beban jika masuk ke dalam keluarga terpandang. Memiliki keturunan adalah keseharusan. Tidak bisa ada kata tidak. Banyak hal yang Stella pikirkan. Bagaimana jika pengobatannya itu hanya sia-sia dan tidak berdampak apa pun padanya. Akan banyak yang Stella kecewakan terutama keluarga Sean yang mau mneunggu. Mungkin Sean akan terus mendampinginya dan tak mempedulikan tentang keturun
Sean terkejut kala melihat Stella yang melangkah mendekat ke arahnya dengan mata yang memerah sembab seperti habis menangis. Seketika sorot mata Sean menatap tajam dan penuh peringatan pada William. Rahangnya mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Ya, Sean mati-matian berusaha mengendalikan amarahnya kala melihat air mata Stella. Hal yang paling Sean benci adalah melihat Stella menangis.Sedangkan Marsha yang berdiri di samping Sean, tetap memasang wajah yang tenang ketika melihat Stella bersaman dengan William mendekat ke arahnya. Sesaat Marsha mengulas senyuman hangat di wajahnya pada Stella. Pun Stella membalas senyuman hangat Marsha.“Sean…” Stella memanggil Sean dengan lembut.Sean tidak menjawab sapaan Stella. Dia langsung menarik tangan Stella menjauh dari William. Kini Sean semakin menatap tajam ayahnya sendiri. “Apa yang kau inginkan, Dad?” geramnya dengan amarah tertahan.William tak merespon Sean. Bahkan dia pun mengabaikan tatapan tajam Sean padanya. Tampak wajah Willia
Marsha menyandarkan kepalanya di lengan kekar William. Memeluk pinggang sang suami. Sudah menikah puluhan tahun nyatanya William tetap memiliki bentuk tubuh yang sama seperti pertama kali mereka menikah dulu. Pelukan ini terasa begitu hangat dan nyaman. Sejak dulu berada dalam pelukan William adalah tempat yang ternyaman bagi Marsha. Seperti saat ini.“William,” panggil Marsha pelan sambil mendongakan kepalanya menatap sang suami.“Hm?” William membelai lembut pipi Marsha. “Ada apa?”“Apa yang membuatmu pada akhirnya membuat keputusan itu? Apa kau takut aku marah dan membencimu?” tanya Marsha yang mengintrogerasi suaminya.Ya, Marsha memang tidak tahu apa pun keputusan yang diambil oleh William. Hanya saja sebelumnya William meminta Marsha agar percaya. Keputusan yang diambil tidak akan melukai Sean dan Stella. Pada akhirnya Marsha memilih percaya akan sang suami yang tidak akan melukai putra dan menantunya. Walau tidak dipungkiri tadi Marsha merasa cemas dan takut dengan keputusan Wi