“Yang datang adalah Tuan Besar William dan Nyonya Besar Marsha, Nyonya,” jawab sang pelayan yang langsung membuat raut wajah Stella berubah seketika.Sean mengembuskan napas kasar. Sorot matanya kian dingin dan tajam mendengar kedatangan kedua orang tuanya. Bukan tidak suka kedua orang tuanya datang, namun hal yang Sean tidak ingin adalah mendengar perkataan konyol ayahnya yang meminta dirinya menggunakan ibu pengganti. Kejadian itu sudah cukup membuat Stella terluka. Sean tidak ingin lagi melihat Stella terluka lebih dalam lagi. Tidak! Dia tidak akan membiarkan. Selama ini Stella menderita karean dirinya. Kecelakaan yang menimpa Stella pun diakibatkan karena dirinya.“Kau pergilah. Nanti aku akan ke bawah,” ucap Sean dingin pada pelayan yang berdiri di hadapannya.“Baik, Tuan.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Sean dan Stella.Sejak tadi Stella hanya diam. Raut wajah yang bingung dan tak tahu harus bagaimana. Ya, Stella berusaha tenang. Jujur saja
“Jika suatu saat aku mengikuti keinginan putraku dengan menunggu hingga kau benar-benar pulih tapi kenyataannya hasilnya tidak ada. Aku ingin tahu, apa yang kau lakukan? Apa kau akan menyetujui perkataanku sebelumnya menggunakan ibu pengganti? Satu hal yang harus kau ketahui, Stella. Kau menikah dengan putraku. Harusnya tanpa aku menjelaskan, kau bisa mengerti dengan apa yang menjadi beban masuk dalam Keluarga Geovan.”Stella terdiam kala mendengar apa yang dikatakan oleh William. Kini wajahnya tampak muram. Sepasang iris mata abu-abunya memendung kepedihan yang mendalam. Ya, Stella tentu tahu apa yang menjadi beban jika masuk ke dalam keluarga terpandang. Memiliki keturunan adalah keseharusan. Tidak bisa ada kata tidak. Banyak hal yang Stella pikirkan. Bagaimana jika pengobatannya itu hanya sia-sia dan tidak berdampak apa pun padanya. Akan banyak yang Stella kecewakan terutama keluarga Sean yang mau mneunggu. Mungkin Sean akan terus mendampinginya dan tak mempedulikan tentang keturun
Sean terkejut kala melihat Stella yang melangkah mendekat ke arahnya dengan mata yang memerah sembab seperti habis menangis. Seketika sorot mata Sean menatap tajam dan penuh peringatan pada William. Rahangnya mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Ya, Sean mati-matian berusaha mengendalikan amarahnya kala melihat air mata Stella. Hal yang paling Sean benci adalah melihat Stella menangis.Sedangkan Marsha yang berdiri di samping Sean, tetap memasang wajah yang tenang ketika melihat Stella bersaman dengan William mendekat ke arahnya. Sesaat Marsha mengulas senyuman hangat di wajahnya pada Stella. Pun Stella membalas senyuman hangat Marsha.“Sean…” Stella memanggil Sean dengan lembut.Sean tidak menjawab sapaan Stella. Dia langsung menarik tangan Stella menjauh dari William. Kini Sean semakin menatap tajam ayahnya sendiri. “Apa yang kau inginkan, Dad?” geramnya dengan amarah tertahan.William tak merespon Sean. Bahkan dia pun mengabaikan tatapan tajam Sean padanya. Tampak wajah Willia
Marsha menyandarkan kepalanya di lengan kekar William. Memeluk pinggang sang suami. Sudah menikah puluhan tahun nyatanya William tetap memiliki bentuk tubuh yang sama seperti pertama kali mereka menikah dulu. Pelukan ini terasa begitu hangat dan nyaman. Sejak dulu berada dalam pelukan William adalah tempat yang ternyaman bagi Marsha. Seperti saat ini.“William,” panggil Marsha pelan sambil mendongakan kepalanya menatap sang suami.“Hm?” William membelai lembut pipi Marsha. “Ada apa?”“Apa yang membuatmu pada akhirnya membuat keputusan itu? Apa kau takut aku marah dan membencimu?” tanya Marsha yang mengintrogerasi suaminya.Ya, Marsha memang tidak tahu apa pun keputusan yang diambil oleh William. Hanya saja sebelumnya William meminta Marsha agar percaya. Keputusan yang diambil tidak akan melukai Sean dan Stella. Pada akhirnya Marsha memilih percaya akan sang suami yang tidak akan melukai putra dan menantunya. Walau tidak dipungkiri tadi Marsha merasa cemas dan takut dengan keputusan Wi
“Kau sudah bertemu dengan Paman William?” Kelvin bertanya sambil menarik kursi, lalu duduk di hadapan Sean yang tengah menyesap anggur di tangannya. Ya, Kelvin telah mengetahui semuanya. Termasuk apa yang telah diputuskan oleh Pamannya itu.“Besok ayah dan ibuku akan kembali ke Kanada. Aku dan Stella akan menemui mereka sebelum keberangkatan mereka,” jawab Sean seraya menuangkan kembali wine-nya ke gelas sloki yang sudah kosong.Kelvin mengangguk singkat. Dia menyilangkan kaki kanannya, bertumpu pada kaki kirinya. “Apa kau tidak berniat berlibur dengan istrimu? Belakangan ini terlalu banyak masalah. Kalian bisa menenangkan pikirkan kalian,” ujarnya menyarankan.Sean mengembuskan napas kasar. Menyandarkan punggungnya lelah dan mengetukan jemarinya di atas meja dan menjawab, “Aku ingin mengajak Stella berlibur. Tapi tidak sekarang. Dia sudah lama tidak masuk kuliah dan dia juga memiliki kerja sama dengan Diandra. Aku ingin Stella melanjutkan aktivitasnya. Dunia fashion adalah impiannya.
Stella mematut cermin. Memoles wajahnya dengan make up tipis. Ya, pagi ini dia akan pergi ke Bandara menemui mertuanya bersama dengan Sean. Stella sungguh bersyukur memiliki mertua yang begitu menyayangi dirinya. Stella sudah menganggap mertuanya seperti orang tua kandungnya sendiri. Kalau boleh jujur, Stella sangat sedih karena kedua orang tuanya tidak menetap tinggal di Jakarta. Mereka memiliki kehidupan di Kanada. Jika saja mertuanya itu tinggal di Jakarta tentu saja Stella merasa sangat bahagia.Kini Stella mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh pagi. Stella hendak membalikan bandannya mencari keberadaan Sean. Namun, dia mengurungkan niatnya kala melihat Sean dari pantulan cermin. Stella tersenyum melihat Sean yang mendekat dan langsung memeluknya dari belakang. Sean mengecupi tengkuk leher Stella. Mengirup aroma parfume lembut milik Stella.“Kau sangat cantik,” bisik Sean di telinga Stella sambil menggigit telinga sang istri pelan.Stella membal
“Alika, mobilmu lama sekali berada di bengkel. Kau ini menyusahkanku saja harus mengantarmu ke rumahmu. Aku sedang buru-buru hari ini. Aku harus menjemput sepupuku yang baru pulang dari Singapore.” Chery menggerutu kala memasuki komplek perumahaan Alika. Ya, sudah tiga hari ini Alika tidak membawa mobil. Jika tidak sedang terburu-buru Chery akan seperti biasa mengantar Alika. Namun, dirinya memiliki janji menjemput sepupunya yang baru saja datang dari Singapore. Jika meninggalkan Alika tentu saja dia tidak tega. Tadi pun kebetulan mencari taksi online sangat lama datangnya.“Berisik sekali kau, Chery. Apa kau tidak ingat saat mobilmu masuk bengkel siapa yang mengantarmu ke rumah? Jangan lupakan kebaikanku,” jawab Alika tak mau kalah. Well, kalau Chery mengungkit kebaikannya maka Alika pun akan mengungkit. Karena selama ini Alika juga pernah mengantarkan Chery pulang ke rumah ketika mobil temannya itu masuk ke dalam bengkel. Chery mendengkus tak suka. “Kau itu menyebalkan sekali, Alik
Sinar matahari pagi menyinari bumi. Cahaya matahari menembus sela-sela gorden kamar. Stella yang sudah bangun sejak tadi. Dia tersenyum ketika melihat pagi yang cerah. Ya, hari ini adalah hari yang Stella telah nantikan. Dia akan kembali berkuliah. Setelah berhari-hari istirahat di rumah, akhirnya Stella bisa kembali beraktivitas seperti biasanya.Kini Stella tengah berias. Memoles wajahnya dengan make up tipis. Di pagi yang cerah ini Stella memilih menggunakan dress berwarna merah jambu polos lengan pendek dipadukan dengan flat shoes. Terlihat sederhana. Namun tetap tampak cantik dan anggun.Suara ketukan pintu, membuat Stella langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan menginterupsi untuk masuk.“Selamat pagi, Nyonya.” Seorang pelayan membawakan nampan yang berisikan sarapan. Lalu sang pelayan menghidangkannya ke atas meja.“Pagi, apa suamiku yang memintamu membawakan sarapan?” tanya Stella seraya menatap sang pelayan.“Iya, Nyonya. Tuan yang meminta saya untuk membawakan sa