“Jika suatu saat aku mengikuti keinginan putraku dengan menunggu hingga kau benar-benar pulih tapi kenyataannya hasilnya tidak ada. Aku ingin tahu, apa yang kau lakukan? Apa kau akan menyetujui perkataanku sebelumnya menggunakan ibu pengganti? Satu hal yang harus kau ketahui, Stella. Kau menikah dengan putraku. Harusnya tanpa aku menjelaskan, kau bisa mengerti dengan apa yang menjadi beban masuk dalam Keluarga Geovan.”Stella terdiam kala mendengar apa yang dikatakan oleh William. Kini wajahnya tampak muram. Sepasang iris mata abu-abunya memendung kepedihan yang mendalam. Ya, Stella tentu tahu apa yang menjadi beban jika masuk ke dalam keluarga terpandang. Memiliki keturunan adalah keseharusan. Tidak bisa ada kata tidak. Banyak hal yang Stella pikirkan. Bagaimana jika pengobatannya itu hanya sia-sia dan tidak berdampak apa pun padanya. Akan banyak yang Stella kecewakan terutama keluarga Sean yang mau mneunggu. Mungkin Sean akan terus mendampinginya dan tak mempedulikan tentang keturun
Sean terkejut kala melihat Stella yang melangkah mendekat ke arahnya dengan mata yang memerah sembab seperti habis menangis. Seketika sorot mata Sean menatap tajam dan penuh peringatan pada William. Rahangnya mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Ya, Sean mati-matian berusaha mengendalikan amarahnya kala melihat air mata Stella. Hal yang paling Sean benci adalah melihat Stella menangis.Sedangkan Marsha yang berdiri di samping Sean, tetap memasang wajah yang tenang ketika melihat Stella bersaman dengan William mendekat ke arahnya. Sesaat Marsha mengulas senyuman hangat di wajahnya pada Stella. Pun Stella membalas senyuman hangat Marsha.“Sean…” Stella memanggil Sean dengan lembut.Sean tidak menjawab sapaan Stella. Dia langsung menarik tangan Stella menjauh dari William. Kini Sean semakin menatap tajam ayahnya sendiri. “Apa yang kau inginkan, Dad?” geramnya dengan amarah tertahan.William tak merespon Sean. Bahkan dia pun mengabaikan tatapan tajam Sean padanya. Tampak wajah Willia
Marsha menyandarkan kepalanya di lengan kekar William. Memeluk pinggang sang suami. Sudah menikah puluhan tahun nyatanya William tetap memiliki bentuk tubuh yang sama seperti pertama kali mereka menikah dulu. Pelukan ini terasa begitu hangat dan nyaman. Sejak dulu berada dalam pelukan William adalah tempat yang ternyaman bagi Marsha. Seperti saat ini.“William,” panggil Marsha pelan sambil mendongakan kepalanya menatap sang suami.“Hm?” William membelai lembut pipi Marsha. “Ada apa?”“Apa yang membuatmu pada akhirnya membuat keputusan itu? Apa kau takut aku marah dan membencimu?” tanya Marsha yang mengintrogerasi suaminya.Ya, Marsha memang tidak tahu apa pun keputusan yang diambil oleh William. Hanya saja sebelumnya William meminta Marsha agar percaya. Keputusan yang diambil tidak akan melukai Sean dan Stella. Pada akhirnya Marsha memilih percaya akan sang suami yang tidak akan melukai putra dan menantunya. Walau tidak dipungkiri tadi Marsha merasa cemas dan takut dengan keputusan Wi
“Kau sudah bertemu dengan Paman William?” Kelvin bertanya sambil menarik kursi, lalu duduk di hadapan Sean yang tengah menyesap anggur di tangannya. Ya, Kelvin telah mengetahui semuanya. Termasuk apa yang telah diputuskan oleh Pamannya itu.“Besok ayah dan ibuku akan kembali ke Kanada. Aku dan Stella akan menemui mereka sebelum keberangkatan mereka,” jawab Sean seraya menuangkan kembali wine-nya ke gelas sloki yang sudah kosong.Kelvin mengangguk singkat. Dia menyilangkan kaki kanannya, bertumpu pada kaki kirinya. “Apa kau tidak berniat berlibur dengan istrimu? Belakangan ini terlalu banyak masalah. Kalian bisa menenangkan pikirkan kalian,” ujarnya menyarankan.Sean mengembuskan napas kasar. Menyandarkan punggungnya lelah dan mengetukan jemarinya di atas meja dan menjawab, “Aku ingin mengajak Stella berlibur. Tapi tidak sekarang. Dia sudah lama tidak masuk kuliah dan dia juga memiliki kerja sama dengan Diandra. Aku ingin Stella melanjutkan aktivitasnya. Dunia fashion adalah impiannya.
Stella mematut cermin. Memoles wajahnya dengan make up tipis. Ya, pagi ini dia akan pergi ke Bandara menemui mertuanya bersama dengan Sean. Stella sungguh bersyukur memiliki mertua yang begitu menyayangi dirinya. Stella sudah menganggap mertuanya seperti orang tua kandungnya sendiri. Kalau boleh jujur, Stella sangat sedih karena kedua orang tuanya tidak menetap tinggal di Jakarta. Mereka memiliki kehidupan di Kanada. Jika saja mertuanya itu tinggal di Jakarta tentu saja Stella merasa sangat bahagia.Kini Stella mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh pagi. Stella hendak membalikan bandannya mencari keberadaan Sean. Namun, dia mengurungkan niatnya kala melihat Sean dari pantulan cermin. Stella tersenyum melihat Sean yang mendekat dan langsung memeluknya dari belakang. Sean mengecupi tengkuk leher Stella. Mengirup aroma parfume lembut milik Stella.“Kau sangat cantik,” bisik Sean di telinga Stella sambil menggigit telinga sang istri pelan.Stella membal
“Alika, mobilmu lama sekali berada di bengkel. Kau ini menyusahkanku saja harus mengantarmu ke rumahmu. Aku sedang buru-buru hari ini. Aku harus menjemput sepupuku yang baru pulang dari Singapore.” Chery menggerutu kala memasuki komplek perumahaan Alika. Ya, sudah tiga hari ini Alika tidak membawa mobil. Jika tidak sedang terburu-buru Chery akan seperti biasa mengantar Alika. Namun, dirinya memiliki janji menjemput sepupunya yang baru saja datang dari Singapore. Jika meninggalkan Alika tentu saja dia tidak tega. Tadi pun kebetulan mencari taksi online sangat lama datangnya.“Berisik sekali kau, Chery. Apa kau tidak ingat saat mobilmu masuk bengkel siapa yang mengantarmu ke rumah? Jangan lupakan kebaikanku,” jawab Alika tak mau kalah. Well, kalau Chery mengungkit kebaikannya maka Alika pun akan mengungkit. Karena selama ini Alika juga pernah mengantarkan Chery pulang ke rumah ketika mobil temannya itu masuk ke dalam bengkel. Chery mendengkus tak suka. “Kau itu menyebalkan sekali, Alik
Sinar matahari pagi menyinari bumi. Cahaya matahari menembus sela-sela gorden kamar. Stella yang sudah bangun sejak tadi. Dia tersenyum ketika melihat pagi yang cerah. Ya, hari ini adalah hari yang Stella telah nantikan. Dia akan kembali berkuliah. Setelah berhari-hari istirahat di rumah, akhirnya Stella bisa kembali beraktivitas seperti biasanya.Kini Stella tengah berias. Memoles wajahnya dengan make up tipis. Di pagi yang cerah ini Stella memilih menggunakan dress berwarna merah jambu polos lengan pendek dipadukan dengan flat shoes. Terlihat sederhana. Namun tetap tampak cantik dan anggun.Suara ketukan pintu, membuat Stella langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan menginterupsi untuk masuk.“Selamat pagi, Nyonya.” Seorang pelayan membawakan nampan yang berisikan sarapan. Lalu sang pelayan menghidangkannya ke atas meja.“Pagi, apa suamiku yang memintamu membawakan sarapan?” tanya Stella seraya menatap sang pelayan.“Iya, Nyonya. Tuan yang meminta saya untuk membawakan sa
Stella melangkah keluar kelar. Sesaat dia memijat tengkuk lehernya lelah. Ya, sudah lama Stella tidak masuk kuliah tentu saja banyak mata kuliah yang tertinggal. Beruntung Alika dan Chery membantu menyalin catatan penting untuknya. Tidak hanya itu, materi kuliah yang tertinggal pun di kirim email oleh Alika dan Chery. Sungguh, jika tidak dibantu oleh Alika dan Chery sudah pasti Stella jauh lebih kelelahan. Namun, ada yang menjadi point plus bagi Stella yaitu jurusan yang dirinya ambil adalah impiannya. Segala sesuatu yang dikerjakan sesuatu dengan isi hati akan berjalan dengan jauh lebih mudah dan tidak akan menjadi beban.Suara dering ponsel terdengar, membuat Stella mengambil ponselnya dari dalam tas dan melihat ke layar. Seketika Stella menepuk keningnya kala melihat nomor Diandra muncul di layar ponselnya. Astaga, Stella lupa kalau hari ini dia memiliki janji dengan Diandra. Terlalu banyak mengejar mata kuliah yang tertinggal membuat Stella lupa. Tak menunggu lama, Stella langsung
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al