William mengetuk-ngetuk jemarinya di meja kerjanya. Tatapannya tak lepas menatap hasil medis Stella yang baru saja diantar oleh asistennya. Sesaat, mata William terpaku pada sebuah catatan dokter di sana. Sebuah catatan yang berisikan kondisi kesehatan rahim Stella sangat tidak memungkinkan memiliki anak. Di sisi lain, William memikirkan tentang rumah tangga putranya. Bagaimanapun Stella adalah wanita yang telah menjadi pilihan putranya. William tidak pernah memikirkan asal usul dari Stella. Bagi William, Sean mampu memilih mana wanita yang tepat untuknya. Hanya saja alasan William memaksa Sean untuk menikah karena memang dulu William harus menikah sebelum usianya menyentuh tiga puluh tahun. Itu adalah aturan keluarga yang mengharuskan anak pertama menikah sebelum berusia tiga puluh tahun.Suara ketukan pintu terdengar membuat William mengalihkan pandangannya ke arah pintu, kemudian langsung menginterupsi untuk masuk.“Tuan William.” Albert, asisten William melangkah masuk mendekat ke
Saat pagi menyapa, Stella bersenandung dengan wajah yang bahagia. Ya, kini Stella tengah berada di dapur. Memasak untuk mertuanya. Hari ini Stella akan pergi berkunjung ke rumah mertuanya bersama dengan Sean yang menemaninya. Mengingat dirinya masih belum diizinkan Sean untuk kembali berkuliah. Dan Sean pun masih melarang Stella melakukan banyak aktivitas. Itu kenapa Stella ingin mengunjungi mertuanya. Terlebih mertuanya sangat jarang berada di Jakarta.Khusus hari ini, Stella membuatkan Veal Marsala. Veal Masala adalah makanan khas italia yang Stella pilih menggunakan bahan dasar daging. Sebenarnya bisa juga ayam, namun Stella memilih daging untuk menu makanan ini. Veal Marsala sendiri adalah saus anggur khas Italia yang di tambah dengan berbagai macam bumbu seperti, jamur dan daun bawang. Daging yang Stella gunakan adalah sirloin yang lembut. Sirloin ini nantinya akan dipadukan dengan bumbu khas ala Italia. Menu makanan ini Stella buatkan khusus untuk William, ayah mertuanya.Dan de
Sepanjang perjalanan suasana hening tercipta. Sean fokus melajukan mobilnya. Sedangkan Stella terus melihat keluar jendela. Sean tak menyadari bulir air mata Stella menetes di sudut matanya. Sejak tadi mati-matian Stella menahan air matanya. Stella tak membenci mertuanya. Stella sudah tahu tentu keluarga Sean menginginkan keturunan. Yang Stella benci adalah takdir dirinya. Stella tak ingin berbohong. Tentu dia membenci keadaannya yang sekarang. Namun, Stella tidak ingin larut dalam kesedihan yang mendalam. Karena membenci pun percuma. Hanya akan menjadi penghalang keras di hatinya dan tetap tidak mengubah apa pun.Saat mobil yang Sean lajukan memasuki halaman parkir—Dengan terburu-buru Stella menyeka air matanya. Sean lebih dulu turun dari mobil. Membukakan pintu mobil untuk Stella. Lalu mengajak istrinya masuk ke dalam kamar. Ya, meski rapuh dan sedih tapi Stella tetap berusaha untuk tersenyum dan seolah baik-baik saja.“Sean, kau mandilah. Aku akan siapkan pakaian untukmu.” Stella b
“Tuan Wiliam.” Seorang pelayan menyapa dengan sopan kala William baru saja melangkah masuk ke dalam rumah.“Di mana istriku?” tanya William dingin dan raut wajah tanpa ekspresi.“Tuan, Nyonya sejak tadi pagi mengurung diri di kamar. Tidak ada makanan yang disentuhnya, Tuan,” jawab sang pelayan menundukan kepala. Tak berani menatap William yang kini menghunuskan tatapan tajam padanya.William mengembuskan napas kasar. Ya, dia sudah tahu kenapa istrinya itu memilih mengurung diri di kamar. Bahkan tadi malam saja, Marsha tidur memunggunginya. William memilih diam. Karena tidak ingin berdebat dengan sang istri. Didetik selanjutkan, William melihat ke arah Albert yang berdiri di sampingnya. Lalu menggerakan kepalanya memberi isyarat agar Albert mengikutinya.Albert langsung mengangguk patuh. Melangkah mengikuti William yang lebih dulu masuk ke dalam ruang kerjanya.“Albert, aku ingin bertanya padamu.” William duduk di kursi kebesarannya. Dia mengambil whisky dan menyesapnya perlahan. Sorot
Stella melangkah keluar dari walk-in closet dan hendak menuju meja rias. Namun langkah Stella terhenti kala mendengar dering ponselnya berbunyi. Kini Stella mengambil ponselnya dan menatap ke layar tertera nama Alika di sana. Senyuman di bibir Stella terukir melihat Alika menghubunginya. Tanpa menunggu, Stella menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan sebelum kemudian meletakan ke telinganya.“Ya, Alika?” jawab Stella saat panggilan terhubung.“Stella, apa aku mengganggumu?” tanya Alika dari seberang sana.“Tidak, Alika. Ada apa?”“Ah, ini. Aku hanya ingin memberitahumu hari ini aku dan Kelvin akan ke rumahmu. Apa hari ini kau dan Sean ada ingin pergi?”“Tidak, Alika. Sean hari ini juga menyelesaikan pekerjaannya dari rumah. Datang saja. Aku dan Sean menunggu kalian.”“Baiklah, aku akan bersiap-siap setelah itu aku akan menghubungi Kelvin untuk datang menjemputku tepat waktu. Terkadang dia sering datang menjemputku terlambat.”“Hm, Alika. Kau tidak mengajak Chery juga?”“Chery h
“Yang datang adalah Tuan Besar William dan Nyonya Besar Marsha, Nyonya,” jawab sang pelayan yang langsung membuat raut wajah Stella berubah seketika.Sean mengembuskan napas kasar. Sorot matanya kian dingin dan tajam mendengar kedatangan kedua orang tuanya. Bukan tidak suka kedua orang tuanya datang, namun hal yang Sean tidak ingin adalah mendengar perkataan konyol ayahnya yang meminta dirinya menggunakan ibu pengganti. Kejadian itu sudah cukup membuat Stella terluka. Sean tidak ingin lagi melihat Stella terluka lebih dalam lagi. Tidak! Dia tidak akan membiarkan. Selama ini Stella menderita karean dirinya. Kecelakaan yang menimpa Stella pun diakibatkan karena dirinya.“Kau pergilah. Nanti aku akan ke bawah,” ucap Sean dingin pada pelayan yang berdiri di hadapannya.“Baik, Tuan.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Sean dan Stella.Sejak tadi Stella hanya diam. Raut wajah yang bingung dan tak tahu harus bagaimana. Ya, Stella berusaha tenang. Jujur saja
“Jika suatu saat aku mengikuti keinginan putraku dengan menunggu hingga kau benar-benar pulih tapi kenyataannya hasilnya tidak ada. Aku ingin tahu, apa yang kau lakukan? Apa kau akan menyetujui perkataanku sebelumnya menggunakan ibu pengganti? Satu hal yang harus kau ketahui, Stella. Kau menikah dengan putraku. Harusnya tanpa aku menjelaskan, kau bisa mengerti dengan apa yang menjadi beban masuk dalam Keluarga Geovan.”Stella terdiam kala mendengar apa yang dikatakan oleh William. Kini wajahnya tampak muram. Sepasang iris mata abu-abunya memendung kepedihan yang mendalam. Ya, Stella tentu tahu apa yang menjadi beban jika masuk ke dalam keluarga terpandang. Memiliki keturunan adalah keseharusan. Tidak bisa ada kata tidak. Banyak hal yang Stella pikirkan. Bagaimana jika pengobatannya itu hanya sia-sia dan tidak berdampak apa pun padanya. Akan banyak yang Stella kecewakan terutama keluarga Sean yang mau mneunggu. Mungkin Sean akan terus mendampinginya dan tak mempedulikan tentang keturun
Sean terkejut kala melihat Stella yang melangkah mendekat ke arahnya dengan mata yang memerah sembab seperti habis menangis. Seketika sorot mata Sean menatap tajam dan penuh peringatan pada William. Rahangnya mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Ya, Sean mati-matian berusaha mengendalikan amarahnya kala melihat air mata Stella. Hal yang paling Sean benci adalah melihat Stella menangis.Sedangkan Marsha yang berdiri di samping Sean, tetap memasang wajah yang tenang ketika melihat Stella bersaman dengan William mendekat ke arahnya. Sesaat Marsha mengulas senyuman hangat di wajahnya pada Stella. Pun Stella membalas senyuman hangat Marsha.“Sean…” Stella memanggil Sean dengan lembut.Sean tidak menjawab sapaan Stella. Dia langsung menarik tangan Stella menjauh dari William. Kini Sean semakin menatap tajam ayahnya sendiri. “Apa yang kau inginkan, Dad?” geramnya dengan amarah tertahan.William tak merespon Sean. Bahkan dia pun mengabaikan tatapan tajam Sean padanya. Tampak wajah Willia
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau
“Shawn, Mommy tidak mau kau menggunakan kekerasan lagi. Tidak bagus, Nak. Kalau pun temanmu salah, kau bisa menegurnya tanpa harus memukul. Kalau kau menggunakan kekerasan sama saja kau main hakim sendiri, Shawn. Mommy tidak pernah mengajarkanmu untuk seperti itu.”Suara Stella menegur putra pertamanya itu. Nada bicaranya tegas tapi tetap lembut. Ya, Stella dan Shawn baru saja keluar dari ruang guru. Jika Stanley, dan Steve sudah lebih dulu pulang lain halnya dengan Shawn yang tadi ditahan di ruang guru. Itu kenapa Stella datang ke sekolah karena ulah putra pertamanya yang memukul teman sekolahnya. Tentu saja Shawn memukul bukan tanpa alasan. Bocah laki-laki kecil itu memukul temannya karena teman sekolahnya itu berani mencium pipi Katharina—putri bungsu Ken dan Chery. Dan hari ini Stella ke sekolah mendatangi guru tidak bersama dengan Sean. Kesibukan Sean yang membuat suaminya itu tidak bisa hadir. Pun Stella tidak memaksa untuk Sean menemaninya. Mengingat belakangan ini Sean terlalu
Suara tangis bocah kecil perempuan memasuki mansion, membuat Chery yang tengah membaca laporan perkembangan butik miliknya langsung terkejut. Tampak Chery segera meletakan laporan di tangannya ke atas meja. Wanita itu terburu-buru menghampiri suara tangis itu. Tentu Chery tahu itu adalah suara tangis putri kecilnya.“Katharina … kau kenapa, Nak? Kenapa menangis, Sayang?” Chery bersimpuh di depan Katharina—putri kecilnya yang tak kunjung berhenti menangis.“Nyonya, tadi di sekolah ada sedikit masalah.” Sang pengasuh menundukan kepalanya di depan Chery. “Masalah?” Chery bangkit berdiri. Lalu dia menatap Clovis—putra sulungnya yang sejak tadi hanya diam. “Clovis, ada apa, Nak? Kenapa adikmu menangis seperti ini? Apa kau tidak menjaga adikmu? Kan Mommy sudah bilang, kau harus menjaga adikmu dengan baik.” Chery menegur putranya dengan nada yang pelan, namun tersirat sedikit marah.Clovis Kendrick Jefferson adalah anak laki-laki pertama dari Ken dan Chery. Saat ini Clovis berusia empat tah
PranggggSebuah guci mahal pecah begitu saja akibat tendangan seorang bocah perempuan kecil. Pecahan beling itu memenuhi lantai. Beruntung pecahan beling tak mengenai bocah perempuan cantik itu. Tidak hanya sendirian tapi bocah laki-laki yang merupakan saudara kembarnya juga ada di hadapannya. Mereka terlalu asik bermain sampai-sampai memecahkan guci di ruang keluarga. Ya, kini kedua bocah laki-laki dan perempuan itu begitu panik kala melihat guci pecah. Wajah mereka tampak ketakutan. Baru saja mereka melarikan diri dari pengasuh yang menjaga mereka. Tapi malah mereka mendapatkan masalah.“Tuan Muda … Nona Muda …” Seorang pengasuh terlihat sangat panik melihat pecahan guci itu.“Kami tidak sengaja.” Luke dan Lydia memasang wajah merengut agar tak disalahkan.“Astaagaaa Luke … Lydia … ada apa ini?” Suara Alika berseru seraya melangkah memasuki ruang keluarga. Seketika raut wajah Alika berubah melihat guci kesayangannya dengan harga fantastis itu pecah. Kini sepasang iris mata hitam Al