Waktu menunjukan pukul tiga sore. Stella sudah kembali ke ruang rawatnya. Sedangkan Alika dan Chery sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Ya, sudah lama Stella tidak keluar ruang rawatnya. Setidaknya rasa jenuh Stella sedikit terobati. Kini Stella tengah menunggu Sean pulang. Sebelumnya Stella sudah menghubungi Sean, dan suaminya itu mengatakan masih dalam perjalanan. Well, sambil menunggu Sean; Stella memilih membaca majalah fashion.Suara dering ponsel terdengar membuat Stella langsung mengalihkan pandangannya pada ponselnya yang terus berdering itu. Stella mengambil ponselnya yang terletak di atas meja. Lalu menatapnya ke layar. Seketika senyum di bibir Stella terukir melihat nomor Miracle muncul di layar ponselnya. Tanpa menunggu, Stella pun segera menjawab telepon adik iparnya itu.“Hallo, Miracle?” sapa Stella saat panggilan terhubung.“Stella? Apa kabar? Bagimana kabarmu? Maaf aku belum bisa menjengukmu,” ujar Miracle dari seberang sana.“Tidak apa-apa, Miracle. Kesehatan
“Nyonya, jika dokter mengatakan anda sulit memiliki anak, itu tetap bukanlah jawaban. Karena menurut saya, anak adalah anugerah dari Tuhan, Nyonya. Dokter hanya menganalisa. Meski sekarang harapan anda memiliki anak hampir tidak mungkin, tapi saya harap anda tidak patah semangat. Tuan Sean telah memberikan dokter yang terbaik untuk anda. Lebih dari tujuh dokter yang menangani anda, Nyonya. Semoga anda lekas sembuh.”Tubuh Stella melemah mendengar apa yang dikatakan oleh sang dokter. Matanya menatap nanar hasil laporan medis yang ada di tangannya itu. Bulir air mata Stella menetes membasahi pipinya. Membuat dokter yang ada di hadapannya mulai sedikit panik. Sesak. Perih. Hati Stella begitu hancur mendengar kenyataan ini.“Nyonya, apa anda baik-baik saja?” tanya sang dokter.Stella hanya diam, dan tak merespon pertanyaan sang dokter. Bulir air matanya tak henti berlinang. Tubuhnya nyaris ambruk. Beruntung sang dokter dengan sigap membantu Stella.“Ada apa ini?” Suara Sean berseru melang
Hari demi hari Stella berada di rumah sakit. Entah sudah berapa lama Stella habiskan waktunya berada di rumah sakit. Sejak saat Stella mengetahui segalanya banyak yang berubah dari Stella. Dia cenderung lebih banyak diam. Tidak banyak bicara jika Alika dan Chery datang menjemput. Stella hanya tetap memberikan senyuman pada Alika dan Chery. Semua orang pun tidak ada yang berani membahas tentang apa yang terjadi di diri Stella. Mereka semua takut melukai hati Stella. Itu kenapa sejak di mana Stella mengetahui semuanya, yang datang menjenguk Stella biasanya hanya membawakan makanan dan membahas tentang film kesukaan Stella. Semua dilakukan demi membuat Stella kembali bersemangat. Nyatanya apa yang dilakukan semua orang demi menghibur Stella adalah sia-sia. Stella tetap terlihat muram. Tidak ada lagi senyuman manis di wajah Stella.Dan setiap kali Stella melakukan pemeriksaan, dia hanya bisa pasrah dna tidak bertanya apa pun pada dokter. Ya, Stella takut mendapatkan jawaban yang melukai h
Stella duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. Sesaat Stella memejamkan mata lelah. Hari ini dia sedikit kelelahan namun sekaligus bahagia. Bagimana tidak? Stella tidak menyangka kepulangannya dari rumah sakit disambut meriah oleh Alika dan Chery. Suara canda dan tawa selalu hadir di tengah-tengah percakapannya dengan kedua temannya itu. Ya, kehadiran Alika dan Chery telah menghibur Stella. Bahkan Stella sedikit melupakan masalah yang terjadi pada dirinya.“Sayang, kau belum tidur?” Sean melangkah masuk ke dalam kamar. Sejenak Sean terdiam melihat Stella yang terlihat kelelahan. Kini Sean mendekat. Lalu duduk di samping istrinya.“Sean?” Stella yang menyadari Sean sudah duduk di sampingnya, di langsung menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Masuk ke dalam dekapan Sean adalah hal yang benar-benar menyejukan. “Aku belum mengantuk.”“Apa kau lelah?” Sean membelai rambut panjang Stella. Mengecup puncak kepala sang istri. Menghirup aroma shampo strober
William mengetuk-ngetuk jemarinya di meja kerjanya. Tatapannya tak lepas menatap hasil medis Stella yang baru saja diantar oleh asistennya. Sesaat, mata William terpaku pada sebuah catatan dokter di sana. Sebuah catatan yang berisikan kondisi kesehatan rahim Stella sangat tidak memungkinkan memiliki anak. Di sisi lain, William memikirkan tentang rumah tangga putranya. Bagaimanapun Stella adalah wanita yang telah menjadi pilihan putranya. William tidak pernah memikirkan asal usul dari Stella. Bagi William, Sean mampu memilih mana wanita yang tepat untuknya. Hanya saja alasan William memaksa Sean untuk menikah karena memang dulu William harus menikah sebelum usianya menyentuh tiga puluh tahun. Itu adalah aturan keluarga yang mengharuskan anak pertama menikah sebelum berusia tiga puluh tahun.Suara ketukan pintu terdengar membuat William mengalihkan pandangannya ke arah pintu, kemudian langsung menginterupsi untuk masuk.“Tuan William.” Albert, asisten William melangkah masuk mendekat ke
Saat pagi menyapa, Stella bersenandung dengan wajah yang bahagia. Ya, kini Stella tengah berada di dapur. Memasak untuk mertuanya. Hari ini Stella akan pergi berkunjung ke rumah mertuanya bersama dengan Sean yang menemaninya. Mengingat dirinya masih belum diizinkan Sean untuk kembali berkuliah. Dan Sean pun masih melarang Stella melakukan banyak aktivitas. Itu kenapa Stella ingin mengunjungi mertuanya. Terlebih mertuanya sangat jarang berada di Jakarta.Khusus hari ini, Stella membuatkan Veal Marsala. Veal Masala adalah makanan khas italia yang Stella pilih menggunakan bahan dasar daging. Sebenarnya bisa juga ayam, namun Stella memilih daging untuk menu makanan ini. Veal Marsala sendiri adalah saus anggur khas Italia yang di tambah dengan berbagai macam bumbu seperti, jamur dan daun bawang. Daging yang Stella gunakan adalah sirloin yang lembut. Sirloin ini nantinya akan dipadukan dengan bumbu khas ala Italia. Menu makanan ini Stella buatkan khusus untuk William, ayah mertuanya.Dan de
Sepanjang perjalanan suasana hening tercipta. Sean fokus melajukan mobilnya. Sedangkan Stella terus melihat keluar jendela. Sean tak menyadari bulir air mata Stella menetes di sudut matanya. Sejak tadi mati-matian Stella menahan air matanya. Stella tak membenci mertuanya. Stella sudah tahu tentu keluarga Sean menginginkan keturunan. Yang Stella benci adalah takdir dirinya. Stella tak ingin berbohong. Tentu dia membenci keadaannya yang sekarang. Namun, Stella tidak ingin larut dalam kesedihan yang mendalam. Karena membenci pun percuma. Hanya akan menjadi penghalang keras di hatinya dan tetap tidak mengubah apa pun.Saat mobil yang Sean lajukan memasuki halaman parkir—Dengan terburu-buru Stella menyeka air matanya. Sean lebih dulu turun dari mobil. Membukakan pintu mobil untuk Stella. Lalu mengajak istrinya masuk ke dalam kamar. Ya, meski rapuh dan sedih tapi Stella tetap berusaha untuk tersenyum dan seolah baik-baik saja.“Sean, kau mandilah. Aku akan siapkan pakaian untukmu.” Stella b
“Tuan Wiliam.” Seorang pelayan menyapa dengan sopan kala William baru saja melangkah masuk ke dalam rumah.“Di mana istriku?” tanya William dingin dan raut wajah tanpa ekspresi.“Tuan, Nyonya sejak tadi pagi mengurung diri di kamar. Tidak ada makanan yang disentuhnya, Tuan,” jawab sang pelayan menundukan kepala. Tak berani menatap William yang kini menghunuskan tatapan tajam padanya.William mengembuskan napas kasar. Ya, dia sudah tahu kenapa istrinya itu memilih mengurung diri di kamar. Bahkan tadi malam saja, Marsha tidur memunggunginya. William memilih diam. Karena tidak ingin berdebat dengan sang istri. Didetik selanjutkan, William melihat ke arah Albert yang berdiri di sampingnya. Lalu menggerakan kepalanya memberi isyarat agar Albert mengikutinya.Albert langsung mengangguk patuh. Melangkah mengikuti William yang lebih dulu masuk ke dalam ruang kerjanya.“Albert, aku ingin bertanya padamu.” William duduk di kursi kebesarannya. Dia mengambil whisky dan menyesapnya perlahan. Sorot